MEKKAH - Awal dan akhir pelaksanaan
Ramadan 1433 Hijriyah di Arab Saudi, muslim setempat tidak melakukan
persiapan khusus. Masyarakat di sini tidak pernah melakukan kegiatan
semisal di Tanah Air seperti kegiatan tumpengan, makan dan berdoa
bersama (nyadran), atau tradisi lainnya.
Menjelang ibadah puasa, muslim melakukan ibadahnya masing-masing.
Aktivitas ini berlaku untuk muslim Arab atau pendatang yang sudah
bermukim di Madinah dan Mekkah. Termasuk dengan jemaah asal Indonesia.
Mereka tidak melakukan tradisi-tradisi itu secara terbuka sebagaimana
yang pernah dilakukan di rumah asal.
Kendati prosesi tumpengan atau kegiatan lainnya bisa dilakukan, maka
hal ini umumnya dilakukan secara bersembunyi dan berkelompok. Artinya,
mereka tidak bisa melakukan di tempat terbuka dengan mendirikan tenda
atau kursi. Alasannya, jika hal itu sengaja dilakukan bisa ditangkap
oleh polisi setempat.
Di tanah suci Madinah dan Mekkah, seluruh kegiatan peribadatan harus
bersumber kepada syariat Islam. Mengingat negara ini memberlakukan hukum
dan aturan yang bersumber kepada Alquran dan hadis Nabi Muhammad.
Sehingga jika ada yang menyempal dari syariat, ulama dan polisi (asykar)
segera membasminya.
Apabila di Tanah Air terselenggara acara ‘padusan’ atau mandi
balimau, maka di sini tidak ada aktivitas tersebut. Selain tidak ada
sungai yang berlimpah air, kondisi dataran negeri yang kaya minyak ini
suhu udara panasnya cukup ekstrem. Sehingga warga tempatan dan pendatang
tidak bisa berlama-lama berada di luar rumah atau gedung.
"Tradisi padusan, tumpengan, atau yang lain yang pernah dikerjakan
warga muslim di Tanah Air tidak bisa dilakukan di sini. Termasuk tradisi
nyekar (ziarah) ke pemakaman dengan membawa bunga. Hal ini sangat
terlarang dan tidak diperkenankan oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi,"
terang ustaz Syukron Azis, Minggu (5/8/2012).
Apabila larangan itu dilanggar, lanjut pria asal Bone Sulawesi
Selatan ini, maka polisi setempat akan merazia dan membubarkannya.
Bahkan tidak jarang akibat pelanggaran seperti itu pelaku akan diproses
dan dipenjarakan. Jika pelanggaran dianggap cukup berat maka yang
bersangkutan bisa dipulangkan ke negara asalnya.
Di sini, rangkaian ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah
dilakukan secara individu. Terkecuali ibadah salat lima waktu, yakni
Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya maka harus dilakukan secara
berjamaah. Jika kedapatan warga muslim tidak salat berjamaah di masjid,
maka polisi setempat akan segera menangkap mereka.
"Siapapun muslim yang berada di tanah suci harus mengikuti salat
wajib (fardhu) di Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram Mekkah
berjamaah. Jika kedapatan tidak salat berjamaah, maka akan ditangkap
oleh polisi dan dipenjarakan. Hal ini sudah menjadi ketetapan syariat
Islam dan berlaku sampai akhir zaman," ujar Syukron yang sudah menetap
di Mekkah al Mukaramah sejak tahun 1995 silam.
Senada juga disampaikan M Anshori Jamal, warga muslim asal Bau-Bau
Sulawesi Tenggara yang sudah hampir 25 tahun bermukim di Mekkah. Dia
menyebutkan, selama tinggal di Mekkah, tradisi khusus menyambut bulan
suci Ramadan tidak pernah dilakukan, baik itu warga muslim Arab atau
para pendatang.
"Tidak ada kegiatan khusus menyambut Ramadan. Di sini ibadah
dikerjakan secara mutlak berdasarkan syariat Islam, jika tidak
tuntunannya maka hal tersebut tidak boleh dikerjakan," ujar Anshori.
Selama pelaksanaan puasa Ramadan, sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan di masjid Tanah Air. Setiap menjelang waktu berbuka puasa, warga
muslim berbondong-bondong ke masjid. Namun sebelum waktu berbuka tiba,
para dermawan sudah menyediakan makanan dan minuman secara cuma-cuma.
Setiap jamaah akan diberikan makanan dan minuman sesuka hatinya.
Setelah azan Magrib berkumandang, mereka secara kompak meminum air
zam-zam dengan dua rasa berbeda, dingin atau biasa. Kegiatan seperti ini
akan terus dilakukan sampai bulan Ramadan usai.
Laporan Wartawan Tribun Batam, Candra P. Pusponegoro dari Mekkah Arab Saudi
TRIBUNNEWS.COM,
No comments:
Post a Comment