Saat membaca judul di atas, mungkin terbersit di dalam benak kita sebuah pertanyaan, “mengapa kita harus memahami syirik? Bukankah syirik adalah dosa yang terbesar?” Jika memang demikian, maka simaklah perkataan Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu ini,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ
أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي
“Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, sedangkan aku justru
bertanya kepada beliau tentang keburukan disebabkan rasa takut keburukan
itu akan menimpaku.”[1]
Sebagaimana seorang muslim dituntut untuk mengetahui
berbagai macam kebaikan agar dapat mengamalkannya, begitu pula
selayaknya bagi dia untuk mengetahui pelbagai macam keburukan agar mampu
menghindarinya. Jika dicermati sejenak, betapa banyak kitab-kitab ulama
terdahulu yang mengupas masalah dosa-dosa besar. Hal itu bertujuan
untuk memperingatkan umat agar tidak terjerumus ke dalamnya.
Terlebih lagi perkara syirik,
yang merupakan kezaliman terbesar, yang mampu menyeret manusia menjadi
bahan bakar api neraka selama-lamanya. Sudah sepantasnyalah kita
memahami hakikat kesyirikan itu sendiri. Karena siapa yang tidak
mengetahuinya, dikhawatirkan akan terperosok di dalamnya tanpa
disadarinya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh penyair Arab, Abu Faras al-Hamdani,
عَرَفْتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّر … رِ لَكِنْ لِتَوَقِّيهِ
وَمَنْ لَا يَعْرِفِ الشَّرَّ … مِنَ النَّاسِ يَقَعْ فيهِ!
“Aku mengetahui keburukan bukan untuk berbuat keburukan…
Akan tetapi agar mampu terhindar darinya…
Karena barang siapa dari manusia yang tidak mengetahui keburukan..
Suatu saat akan terjerumus ke dalamnya!”[2]
Makna Syirik
Secara etimologi, syirik berarti persekutuan yang
terdiri dari dua atau lebih yang disebut sekutu. Sedangkan secara
terminologi, syirik berarti menjadikan bagi Allah tandingan atau sekutu.
Definisi ini bermuara dari hadis Nabi tentang dosa terbesar,
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهْوَ خَلَقَكَ
“…Engkau menjadikan sekutu bagi Allah sedangkan Dia yang menciptakanmu.”[3]
Sebagian ulama membagi makna syirik menjadi makna
umum dan makna khusus. Bermakna umum, jika menyekutukan Allah di dalam
peribadahan hamba kepada-Nya (uluhiyyah), menyekutukan-Nya di dalam perbuatan-Nya (rububiyyah), nama-Nya, dan sifat-Nya (al-asma’ wa ash-shifat).
Akan tetapi, jika disebutkan secara mutlak, syirik
berarti memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah. Dan inilah makna
syirik secara khusus. Sebagaimana tauhid bermakna mengesakan Allah
-dalam ibadah- jika disebut secara mutlak. Karena kesyirikan jenis
inilah yang diperangi oleh Rasulullah semasa hidup beliau. Bahkan,
kesyirikan pertama yang terjadi di muka bumi ini disebabkan oleh
penyelewengan dalam beribadah kepada selain Allah yang telah menimpa
kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.
Diriwayatkan bahwa di zaman Nabi Nuh terdapat
beberapa orang saleh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada
manusia-manusia setelah mereka untuk mendirikan patung orang-orang saleh
tersebut dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Hal itu bertujuan
untuk membuat mereka semangat dalam beribadah tatkala melihat patung
tersebut.
Kala itu tiada seorang pun yang menyembah patung itu.
Akan tetapi, ketika generasi pembuat patung wafat dan manusia berada di
dalam kungkungan kebodohan, maka generasi setelahnya menjadikan
patung-patung tersebut sebagai sesembahan. Mereka telah menduakan Allah
dan itulah sebesar-besar dosa.
Fenomena Syirik
Syirik di dalam ibadah (uluhiyyah)
Syirik di dalam uluhiyyah Allah bermakna menyekutukan
Allah di dalam ibadah. Atau dengan arti lain menyelewengkan ibadah
kepada selain Allah. Ini adalah definisi syirik ketika penyebutannya
bersifat mutlak. Karena kesyirikan ini yang paling menjamur, dan
parahnya, tidak banyak orang yang menyadari akan hal itu. Betapa banyak
manusia menduakan Allah di dalam penghambaan dirinya tanpa mereka
sadari.
Termasuk ibadah di antaranya adalah salat, zakat,
puasa, sembelihan, sumpah, doa, istigasah, cinta, takut, harap, dan
segala bentuk peribadahan seorang hamba kepada Allah. Oleh sebab itu,
termasuk bentuk kesyirikan ketika seseorang menyembelih kurban untuk jin
semisal sesajen, berdoa meminta pertolongan kepada orang mati, atau
penyelewangan ibadah lainnya kepada selain Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu ialah milik Allah. Maka janganlah kalian menyembah sesuatu pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jinn: 18)
Syirik di dalam perbuatan Allah (rububiyyah)
Syirik di dalam rububiyyah Allah berarti meyakini
adanya selain Allah yang melakukan perbuatan-perbuatan Allah. Atau
menyamakan makhluk dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan
rububiyyah-Nya. Misalnya, memercayai adanya sang pencipta selain Allah,
pemberi rezeki, penurun hujan, dan pengatur alam semesta.
Syirik jenis ini umumnya sedikit. Karena kaum kafir Quraisy yang diperangi oleh Rasulullah pun meyakini tauhid jenis ini. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ
وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا
تَتَّقُونَ
“Katakanlah wahai Muhammad, ‘Siapakah yang
memberi kalian rezeki dari langit dan bumi? Siapakah yang menguasai
pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang
mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka
katakan, ‘Lantas mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31)
Syirik di dalam nama dan sifat-Nya (asma’ wa shifat)
Syirik di dalam al-asma’ wa ash-shifat bermakna menjadikan sekutu bagi Allah, baik itu di dalam salah satu nama-Nya, atau salah satu sifat-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Asy-syura: 11)
Salah Kaprah tentang Syirik
Sebagian orang ada yang menyempitkan definisi syirik.
Mereka mengatakan syirik adalah mengesakan Allah dalam perbuatan yang
menjadi kekhususan bagi-Nya saja, atau dalam arti lain sifat rububiyah
Allah semata. Misalkan keyakinan adanya pencipta, pemberi rezeki,
pengatur alam semesta selain Allah. Sampai di sini, benar. Mereka yang
menjadikan tandingan bagi Allah dalam perbuatan yang merupakan
kekhususan bagi-Nya, maka itu termasuk syirik besar yang dapat
menyebabkan seorang keluar dari koridor Islam.
Akan tetapi, tatkala mereka mengatakan bahwa orang
yang telah meyakini ke-rububiyah-an Allah bukanlah orang yang musyrik,
maka ini adalah kesalahan yang besar. Karena ternyata Al-Quran
mengisahkan tentang kaum kafir yang juga mengakui bahwa Allah-lah
pencipta mereka,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan jika engkau bertanya kepada mereka,
‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Maka mereka pasti menjawab, ‘Allah.’
Lantas bagaimana mereka dapat dipalingkan?” (QS. Az-Zukhruf: 87)
Sebagian lagi berpendapat bahwa syirik itu berarti
tidak mengucapkan kalimat syahadat. Jadi, jika seseorang telah
mengucapkan kalimat syahadat, maka ia terlepas dari perbuatan syirik.
Maka ini merupakan kekeliruan yang nyata. Karena kaum munafik di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan kalimat syahadat, akan tetapi Allah menggambarkan kondisi mereka kelak,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sungguh, orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan
terbawah dari neraka. Dan engkau tidak mendapati seorang penolong pun
bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 145)
Sebagian lagi mengatakan bahwa jika seseorang telah
menyembah Allah, telah beribadah kepada Allah, maka ia telah terlepas
dari syirik. Maka ini pun kesalahan yang jelas. Toh, kaum kafir
Quraisy dahulu juga menyembah Allah. Namun di samping itu, mereka juga
menyembah berhala. Ketika mereka ditimpa kesulitan, mereka mengikhlaskan
ibadah mereka hanya untuk Allah. Allah Ta’ala menceritakan ihwal kaum kafir saat dikungkung mara bahaya,
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ
بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ
وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ
بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا
مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ فَلَمَّا أَنْجَاهُمْ إِذَا
هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَق
“Dialah yang menjadikan kalian mampu berjalan di
darat dan berlayar di lautan. Sehingga apabila kalian berada di atas
kapal, dan melajulah kapal itu membawa mereka dengan tiupan angin yang
tenang dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba badai datang disertai
gelombang yang menghantam dari segala penjuru. Mereka pun mengira bahwa
bahaya telah mengungkung mereka. Maka mereka lantas berdoa kepada Allah
dengan tulus ikhlas, ‘Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari bahaya
ini, niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Akan tetapi
ketika Allah telah menyelamatkan mereka, mereka justru berbuat kezaliman
di muka bumi tanpa alasan yang benar.”(QS. Yunus: 22-23)
Akhir kata, semoga artikel ini memperluas cakrawala pemikiran kita tentang makna syirik yang sebenarnya. Sehingga kita bisa lebih waspada agar tidak terjerumus ke dalamnya.
_________
[1] HR. Bukhari: 3060, dan Muslim: 1847
[2] Jami’ Dawawin asy-Syi’r al-‘Arabi ‘ala Marr al-‘Ushur, 16/41. Maktabah Syamilah.
[3] HR. Bukhari: 7520, dan Muslim: 86
Daftar Pustaka
-
Sholih bin Fauzan Al-Fauzan. 1417. Al-Irsyad ash-Shahih al-I’tiqad wa ar-Radd ‘ala Ahli asy-Syirk wa al-Ilhad (Cetakan ke-2). Riyadh – Arab Saudi: Dar Ibn Khuzaimah.
-
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.1430. Syarh Kasyf asy-Syubuhat (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir: Dar Ibn Hazm.
-
Ushul al-Iman fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunah. Maktabah Syamilah.
Penulis: Roni Nuryusmansyah
Muraja’ah: Ust. Muhsan Syarafuddin, Lc, M.HI
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment