Oleh A. SAFRIL MUBAH*UPAYA
Palestina mendapat keanggotaan penuh di Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) bakal menemui jalan terjal. Amerika Serikat (AS) dan Israel hampir
pasti menolak proposal Palestina yang rencananya dibahas dalam sidang
Majelis Umum PBB pada Jumat besok (23/9).
Bahkan, AS mengancam akan menggunakan hak vetonya sebagai anggota tetap
Dewan Keamanan PBB jika ternyata mayoritas negara anggota PBB menyetujui
usul Palestina.
AS menganggap langkah Palestina itu mengingkari peta
jalan (road map) perdamaian yang telah digagas kuartet AS, Rusia, Uni
Eropa, dan PBB pada 2002. Road map tersebut berisi tiga tahap yang harus
ditempuh Palestina dan Israel untuk mencapai perdamaian abadi.
Pertama,
pada Mei 2003, Palestina harus menghentikan semua bentuk kekerasan dan
Israel menghentikan pembangunan permukiman. Kedua, Juni–Desember 2003,
konferensi internasional pertama diadakan untuk mendukung pemulihan
ekonomi dan perumusan batas negara Palestina. Ketiga, pada 2004–2005,
konferensi internasional kedua diselenggarakan untuk finalisasi batas
antarnegara dan kesepakatan untuk mengakhiri konflik.
Namun,
realitanya, road map tersebut tidak berjalan mulus. Jalan menuju
perdamaian terhenti pada tahap pertama karena Israel hingga kini masih
terus membangun dan memperluas permukiman dengan mencaplok wilayah
Palestina. Kondisi itulah yang mendorong Presiden Mahmoud Abbas untuk
mengajukan usul keanggotaan penuh Palestina di PBB. Harapannya, dengan
menjadi anggota penuh PBB, negara Palestina merdeka dapat dengan mudah
direalisasikan daripada mengikuti kemauan kuartet untuk melanjutkan
negosiasi yang dirasa lebih menguntungkan Israel.
Posisi TawarJika
usul tersebut disetujui, bisa dipastikan posisi tawar Palestina akan
meningkat. Selama ini, Palestina hanya diakui sebagai entitas dengan
status pengamat tanpa hak suara di PBB. Dengan status itu, mereka tidak
pernah dianggap sebagai negara seperti halnya 193 anggota PBB lainnya.
Akibatnya, otoritas Palestina nyaris tak berdaya ketika berhadapan
dengan kekuatan-kekuatan internasional lain, terutama dengan Israel.
Berbagai
macam perundingan yang diadakan menghasilkan kesepakatan timpang yang
lebih mengakomodasi kepentingan Israel sebagai negara berdaulat daripada
Palestina yang hanyalah entitas kecil tanpa kedaulatan. Ketika Israel
melanggar perjanjian, misalnya dengan merebut tanah orang-orang
Palestina untuk dimanfaatkan sebagai permukiman, Palestina tidak punya
hak untuk mengadukan pelanggaran tersebut ke Mahkamah Internasional.
Sebaliknya, Israel bisa bersuara lantang di berbagai forum dunia ketika
orang-orang Palestina melawan militer Israel yang merebut hak-hak
mereka.
Ketimpangan itulah yang tidak ingin diderita Palestina pada
masa depan. Bagi Abbas, pengakuan PBB merupakan syarat mutlak untuk
menempatkan Palestina sejajar dengan Israel dan negara-negara lain.
Dengan berdiri sama tinggi, Palestina bakal memiliki kekuatan lebih
besar untuk menuntut hak-hak yang direbut Israel. Kondisi itulah yang
sesungguhnya dikhawatirkan AS dan Israel.
Dua negara tersebut tidak
ingin daya tawar Palestina semakin kuat dalam proses negosiasi. Mereka
berkepentingan untuk terus membuat Palestina tidak berdaya selama masih
berunding dengan Israel. Mereka takut, jika Palestina semakin kuat,
tuntutan-tuntutan yang diajukan terhadap Israel bakal sulit dihadang.
Salah satu tuntutan itu adalah pengembalian wilayah Palestina sesuai
dengan batas teritorial 1967.
Sampai kapan pun, Israel tidak akan mau
mengembalikan wilayah seperti yang disepakati pada 1967 tersebut.
Israel telah merasa sangat aman dan nyaman dengan wilayahnya sekarang
yang banyak menganeksasi wilayah Palestina pasca-1967. Wilayah Israel
tidak bakal terusik selama Palestina tetap berstatus bukan negara.
Karena itu, Israel pasti menggunakan segala cara untuk menghadang jalan
Palestina menjadi anggota penuh di PBB.
Dukungan DuniaDi
tengah ancaman veto AS, dukungan dunia tentu sangat diharapkan
Palestina. Sekarang merupakan momentum bagi negara-negara di dunia untuk
mendukung Palestina mencapai cita-cita sebagai negara merdeka. Israel
kini sedang melemah setelah ditinggal Mesir dan Turki yang merupakan
sekutu utamanya di Timur Tengah.
Peralihan kekuasaan di Mesir dari
Hosni Mubarak ke Omar Sulaiman telah semakin menjauhkan hubungan Mesir
dan Israel yang semula sangat dekat sejak perjanjian Camp David 1979.
Keengganan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu untuk meminta maaf atas
penyerangan terhadap misi kemanusiaan Mavi Marmara berdampak pada
keputusan Turki untuk menarik mundur duta besarnya di Israel. Selain
itu, Arab Saudi yang selama ini selalu mengikuti kemauan AS telah
memberikan sinyal mendukung proposal Palestina.
Di luar negara-negara
itu, masyarakat internasional sesungguhnya juga mendukung kemerdekaan
Palestina. Hal tersebut terbaca dari jajak pendapat yang dilakukan BBC
di 19 negara pada Juli–Agustus 2011. Survei via telepon itu mencatat
adanya 49 persen warga dunia yang mendukung dan 21 persen yang menolak
Palestina merdeka. Hanya, polling tersebut tidak akan ada artinya tanpa
upaya serius dari negara-negara untuk meredam rencana AS menggunakan hak
vetonya di DK PBB.
Karena itu, tindakan mendesak yang perlu
dilakukan negara-negara pendukung Palestina saat ini adalah
mengintensifkan lobi untuk meraup dukungan suara mayoritas di sidang
Majelis Umum PBB. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara besar yang
selama ini mendukung perjuangan Palestina harus berdiri di garda
terdepan untuk merealisasikan misi tersebut. Tidak cukup hanya
berkomentar, para diplomat Indonesia harus memanfaatkan posisi negara
ini sebagai ketua ASEAN dan anggota G-20 untuk memengaruhi negara-negara
lain agar menyetujui usul keanggotaan penuh Palestina di PBB.
www.radarjogja.co.id