Seri terakhir dari rangkaian cerita lebaran di Timteng adalah tentang
lebaran dan berpuasa di Saudi Arabia (SA). Mudah-mudahan belum pada
bosen, yak….
Ceritanya nie, saya punya teman yang tinggal di SA. Teman yang
akhirnya ketemu ketika Umroh bulan Maret lalu setelah hampir 6 tahun
hanya kenal di dunia maya.
Profil
teman saya nie: Adiestianing Tyas, yang punya nama panggilan Yasmin.
Berasal dari Yogya, jebolan D3 Pariwisata UGM. Sudah tinggal 10 tahun di
SA karena menikah dengan warga SA yang bekerja di Maaden, perusahaan
gold mining milik lokal Saudi.
***
Yasmin bercerita, tradisi Ramadhan bagi ibu-ibu rumah tangga di SA
itu khas sekali, dengan menimbun bahan-bahan makanan. Entah kenapa,
belanjaan
grocery mereka selalu lebih banyak daripada hari biasa.
Mungkin karena memang banyak macam makanan yang “wajib” hadir saat
berbuka puasa. Seperti
sambusak, semacam
pastry yang gurih berbentuk segitiga berisi daging cincang atau keju feta; juga makanan wajib lainnya, yaitu
sup barley dengan
oatmeal yang dimasak dengan kambing, yang lazim disebut
shorba.
Tentunya, yang gak boleh ketinggalan, ya, kurma dan air zamzam
(“Tinggal di SA, ya, jelas airnya zamzam! Bikin sirik deh...”). Untuk
minumannya, nah, ini yang unik dan sangat-sangat khas Ramadan:
subia.
Subia konon berasal dari Makkah. Dibuat dari campuran roti pita
/khubs, barley, sultana (anggur kering),
spices
(biasanya kayu manis, cengkih dan kapulaga hijau) yang diperam selama
24 jam sebelum siap untuk dikonsumsi. Jika Ramadan tiba, banyak dijual
di pinggir-pinggir jalan. Dikemas dalam plastik dan berwarna putih
seperti air beras putih campur dengan air beras merah. Rasanya manis
segar.
Satu lagi yang khas adalah kopi arab, atau
gahwa, untuk teman minum kurma. Kopinya khas sekali, karena di-
roast dengan sangat
light,
hingga warnanya masih kecoklatan, dan tidak sepekat kopi biasa.
Dibuatnya dengan direbus dan ditambahkan kapulaga hijau dan jahe parut.
Disajikan dalam cawan kecil tanpa gula.
***
Ramadan selalu menjadi “bulan sibuk” bagi kebanyakan orang Saudi atau
expat yang bermukim di Saudi. Selain harus menyiapkan
full meal dua kali sehari, para ibu-ibu juga sibuk berbelanja keperluan Eid/Lebaran.
Kebiasaan orang Arab itu, kalau lebaran, harus berbaju baru. Artinya,
semua baru; dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari baju dalam sampai
baju luar. Malahan nggak sedikit yang sengaja memanfaatkan momentum ini
sebagai
'closet cleaner', alias cuci gudang-lemari. Sebagian baju-baju disedekahkan, karena emang sudah
out of season.
Mesjid selalu penuh setiap Ramadhan. Di awal bulan memang agak sepi,
tapi makin lama makin penuh. Terutama di 10 hari terakhir dan malam ke
27, yang dipercaya sebagai malam Lailatul Qadar.
Selain itu, banyak
stall dadakan yang khusus buka dimalam hari; seperti pedagang
kibdah dan
tagati (hati kambing dan babat kambing yang ditumis kering). Juga pedagang kentang goreng dan
balila (kacang
cheakpeas rebus dengan kuah cuka, plus
topping parutan ketimun).
Tapi, yang paling khas di Saudi selama Ramadhan itu hari menjadi “terbalik”: Malam jadi siang, dan siang jadi malam. Toko dan
mall justru buka dan mulai ramai setelah Shalat Isha. Bahkan sebagian buka setelah taraweh.
Hal ini memang sangat menolong, karena orang-orang jadi leluasa
berbelanja tanpa menggangu ibadah. Jalan sendirian di tengah malam hanya
buat beli
sandwich, misalnya, bukan hal yang aneh, karena memang
pada saat itu jalanan masih sangat padat dan ramai. Anak-anak biasanya
masih main petasan dan
table soccer di pinggir-pinggir jalan hingga waktu sahur tiba.
Mungkin banyak yang bertanya, kok malam melek sih? Apa jadi gak
kurang tidur, yah? Lalu, bagaimana dengan mereka yang bersekolah dan
kerja kantoran?
Begini. Selama bulan puasa, jam kerja di Saudi yang biasanya 8 jam
sehari, diperpendek jadi 6 jam saja. Anak sekolah pun biasanya libur
dua minggu sebelum lebaran dan dua minggu setelah lebaran. Tapi, karena
tahun ini Ramadhan bersamaan dengan liburan kenaikan kelas, maka libur
anak sekolah jadi lumayan panjang: 3 bulan!
***
Saat
Ied tiba. Orang-orang berbondong-bondong pergi ke masjid atau lapangan
untuk shalat dengan berbaju baru, mirip seperti di tanah air.
Setelah Sholat Ied, biasanya banyak yang membagikan coklat dan permen.
Hidangan Ied gak jauh beda dengan sarapan sehari-hari; hanya ditambah beberapa menu istimewa saja.
Sarapan umumnya terdiri dari roti arab (
samoli atau
khubs), telur mata sapi dengan tomat, zaitun, keju,
ghista/gemar/cream kental yang disajikan dengan aneka selai dan madu, juga halawa tahiniya/halva (semacam
sweets yang terbuat dari wijen).
Yang istimewa di keluarga suami Yasmin adalah
Dubyaza, semacam selai encer yang terbuat dari lembaran
pasta apricot (qamar al deen), kurma, buah
zaitun/fig/ara, apricot
kering yang disajikan dengan taburan kacang-kacangan dan dikucuri
minyak zaitun. Cara makannya dicolekkan ke roti, dan rasanya
asam-manis….
Selai aprikot dubiyaza dengan campuran kurma-kismis-fig yang tadi saya ceritakan. Kacang
topping-nya dipisah di mangkok tersendiri.
***
Setelah sarapan, acara biasanya dilanjutkan dengan tidur hingga lohor
(makanya jalanan sepi pada saat itu!), lalu makan siang di salah satu
rumah sanak-saudara.
Malam harinya, mereka berkeliling mengucapkan
“Kul 'am wa inti/inta bi khayr…” (yang artinya, kira-kira: “Semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan sejahtera…”).
Soal sungkem-menyungkem atau meminta maaf, justru tidak ada dalam tradisi Arab/Islam. Anak-anak biasanya hanya mengucap
“Kul 'am wa inta/inti bi khayr…” kepada orang tua masing-masing dan mencium kening mereka. Sedangkan para menantu, cukup dengan mencium tangan/pipi sang Mertua.
Kue yang wajib ada di hari raya di SA bukanlah kue kering. Melainkan
permen beraneka jenis, juga coklat. Butik coklat lokal yang jadi
favorit, tentunya Patchi (setidaknya di keluarga saya dan sebagian besar
teman-teman).
Jadi, jangan heran kalau bertamu di keluarga Arab pada saat lebaran,
suguhan utama mereka permen dan coklat beraneka jenis, yang memang cocok
sekali disantap dengan kopi arab/
gahwa yang pahit rasanya.
***
Demikian cerita Yasmin.
Kelihatannya berpuasa dan berlebaran di UAE dan Saudi emang gak
banyak beda, ya. Hanya saja, Yasmin berada di tengah keluarga lokal.
Sedangkan kami, meski berada di Jazirah Arab, tapi lingkungan kami tetap
Indonesia, sehingga hampir semua kebiasaan di Indonesia diimpor ke UAE.
Seperti lebaran dengan ketupat dan lauk-pauknya, atau ketika berbuka
puasa gak lupa ada gorengan, kolak, dan tentunya makanan berat….
Tapi, “tradisi” keliling bertakbir seperti di Indonesia, emang gak
popular di Timteng. Juga gak ada budaya cium tangan kepada semua orang,
apalagi sungkem. Cium tangan hanya kepada kerabat dekat saja. Juga gak
ada budaya ber maaf-maafan.