Juli 26, 2011
Oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah
Jawaban Terhadap Prof. KH. Said Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PBNU)
Sangat disayangkan, seorang profesor
doktor yang bernama KH. Said Agil Siraj ikut-ikutan pula memberi kata
pengantar dan menganjurkan untuk membaca buku yang sangat tidak ilmiah
dan penuh dengan kedustaan serta pemutarbalikan fakta ini. Bahkan
profesor memujinya sebagai karya ilmiah. Buku ini juga penuh dengan
prasangka buruk terhadap negeri yang dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin
Su’ud dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yaitu
Kerajaan Saudi Arabia (KSA).
Saya tidak tahu, apakah sang profesor
lupa dengan jasa-jasa pemerintah Saudi Arabia terhadapnya, di mana
profesor belajar dari tingkat S1 sampai meraih gelar doktor di
universitas yang ada di Kerajaan Saudi Arabia yang dibiayai oleh
pemerintah, bagaikan kacang yang lupa akan kulitnya.
Berikut ini beberapa catatan terhadap kata pengantar sang Profesor.
1. Tuduhan Profesor bahwa sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu melakukan tipuan.
Profesor berkata dalam kata pengantarnya, “Ketika Amr bin Ash melakukan tipuan
dengan mengangkat Mushaf Al-Qur’an sebagai tanda perdamaian, Ali r.a.
dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya.” (Sejarah Berdarah…, hal. 13)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, tidakkah Anda
memiliki adab terhadap sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu
dengan menuduhnya telah melakukan tipuan?
Apakah anda lupa bagaimana jasa
sahabat dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada generasi
selanjutnya hingga hari ini kita bisa mengamalkan Islam?
Sulitkah bagi Anda untuk mendoakan Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu sebagaimana engkau lakukan untuk Ali radhiallahu ‘anhu?[1]
Adapun aqidah kami, aqidah yang Anda
sebut Wahabi, tidak seperti kaum Syi’ah[2] yang mengkultuskan Ali
radhiallahu ‘anhu dan membenci para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang lainnya. Aqidah kami penuh cinta dan penghormatan kepada
seluruh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Washitiyyah,
“DAN DI ANTARA PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL
JAMA’AH ADALAH SELAMATNYA HATI DAN LISAN MEREKA TERHADAP PARA SAHABAT
RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam syarahnya mengatakan,
“SELAMATNYA HATI YAITU TIDAK MEMBENCI, TIDAK HASAD, TIDAK DENGKI DAN TIDAK SUKA TERHADAP SAHABAT. ADAPUN SELAMATNYA LISAN, YAITU TIDAK MENGUCAPKAN SESUATU YANG TIDAK LAYAK BAGI SAHABAT.
MAKA AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH BERSIH DARI PERBUATAN TERCELA ITU, HATI
MEREKA PENUH DENGAN CINTA, PENGHORMATAN DAN PEMULIAAN TERHADAP PARA SAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.”[3]
Demikianlah yang harus dilakukan generasi
umat Islam setelah sahabat, yaitu mendoakan generasi pendahulu mereka
dan tidak membenci mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا
لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Yaa Rabb kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Yaa Rabb
kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Risalah Ila Ahlil Qosim,
“Aku mencintai para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam aku hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan
mereka, mendoakan keridhoan untuk mereka, memohon ampun untuk mereka,
aku tidak berbicara tentang kejelekan-kejelekan mereka dan perselisihan
yang terjadi di antara mereka dan aku meyakini keutamaan mereka, sebagai
pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا
لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Yaa Rabb kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Yaa Rabb
kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10) (Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, hal. 129-130)
Adapun tentang pertikaian dan
perselisihan yang terjadi antara para sahabat radhiallahu ‘anhu, seperti
Ali dan Mu’awiyah yang melibatkan Amr bin Ash radhiallahu ‘anhum,
berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Wasitiyyah,
“Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari pertikaian yang terjadi antara para sahabat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berpendapat bahwa riwayat-riwayat tentang kejelekan para sahabat di
antaranya ada yang dusta, ada yang ditambah, dikurangi dan dirubah-rubah
sehingga tidak seperti kisah yang sebenarnya.
Dan yang benar (pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dalam masalah pertikaian para sahabat, bahwa mereka diberikan pemaafan, sebab para sahabat adalah mujtahid yang benar mendapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala.”[4]
Apakah Profesor tidak mengindahkan himbauan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak mecela sahabatnya?
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan:
لَا تَسُبُّو أَصْحَابِي لَا
تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ لَا
نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencerca sahabatku,
janganlah kalian mencerca sahabatku, demi Allah yang jiwaku ada di
tanganNya, andaikan seorang dari kalian bersedekah emas sebesar gunung
Uhud, niscaya tidak akan menyamai segenggam emas yang disedekahkan oleh
sahabatku, tidak pula separuhnya.” (HR. Al-Imam Muslim)[5]
Kenyataan ini adalah bukti penyimpangan
aqidah dan kecondongan kepada Syi’ah yang ada dalam buku ini, karena
memang kolompok Syi’ah yang ajarannya penuh dengan kesyirikan dan bid’ah, yang paling banyak dirugikan dengan munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Tidak terkecuali penulis buku Sejarah Berdarah
ini yang cenderung mengakui Karbala sebagai “tanah suci” versi Syi’ah,
walaupun kelihatannya saudara Idahram belum berani secara tegas membela
Syi’ah dalam buku ini, sehingga Idahram tidak terang-terangan mengatakan
bahwa Syi’ah-lah yang menjadikan Karbala sebagai kota suci.
Saudara Idahram berkata, “Ada sebagian umat muslim yang menjadikannya sebagai salah satu kota suci.” (Sejarah Berdarah…, hal. 70)
Pembaca yang budiman, sebetulnya, ucapan Profesor, “Ali
r.a. dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya.
Tapi karena didesak oleh sekelompok orang, akhirnya Ali r.a. pun
menerima perdamaian itu,” juga mengandung celaan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, karena mengandung tiga tuduhan:
Pertama, Ali radhiallahu ‘anhu tidak mempercayai seorang muslim yang jujur, Profesor pun tidak mampu mendatangkan bukti ilmiah atas tuduhan ini.
Kedua, Ali radhiallahu ‘anhu orang yang lemah, yang mudah didesak.
Ketiga, Ali radhiallahu
‘anhu seakan tidak mau melakukan perdamaian, padahal dengan itu
pertumpahan darah antara kaum muslimin dapat dihentikan. Apakah engkau
mengira Ali radhiallahu ‘anhu mau terus membunuh kaum muslimin?!
2. Tuduhan Profesor bahwa Imam
Muhammad bin Su’ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri
dari Khilafah Utsmani (Sekaligus jawaban terhadap tuduhan Syaikh Idahram
bahwa Wahabi bekerjasama dengan Inggris)
Profesor berkata –dengan tanpa bukti sedikitpun-, “Tapi
awal abad ke-18, Gubernur Najd, Muhammad Ibnu Su’ud, yang didukung
seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri dari
khalifah Utsmani.” (Sejarah Berdarah…, hal. 15)
Jawaban:
Sangat disayangkan seorang profesor
berbicara tanpa sedikit pun memberikan bukti, bahkan bukti-bukti sejarah
menuturkan bahwa Najd memang tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan
Khilafah Utsmani sebagaimana akan kami paparkan insya Allah.
Tidak jauh beda dengan tuduhan dusta saudara Idahram, “Bekerjasama dengan Inggris Merongrong Kekhalifahan Turki Utsmani”. (Sejarah Berdarah…, hal. 120)
Ternyata (pada hal. 121), yang dijadikan bukti oleh Idahram adalah arsip sejarah milik orang-orang kafir Inggris.
Padahal dalam sejarah Islam, jangankan
kepada orang-orang kafir, berita orang-orang muslim yang fasik saja
tidak boleh kita percayai begitu saja.[6] Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا
بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas dakam Muqaddimah Shahihnya,
“KABAR YANG BERASAL DARI ORANG FASIK ITU
JATUH, TIDAK BOLEH DITERIMA. DAN PERSAKSIAN SEORANG YANG TIDAK ADIL
(YAITU TIDAK BERIMAN DAN BERTAKWA) TERTOLAK.”[7]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memperingatkan,
كَفَى بِلْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukupklah seorang dianggap pendusta, jika dia menceritakan setiap yang dia dengarkan.” (HR. Al-Imam Muslim)[8]
Pembaca yang budiman, menjawab tuduhan
dusta ini kami nukilkan dulu bagaimana pandangan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah terhadap usaha memisahkan diri atau merongrong
kepemimpinan kaum muslimin. Beliau rahimahullah berkata dalam Risalah Ila Ahlil Qosim,
“Aku memandang wajibnya mendengar dan
taat kepada para pemimpin kaum muslimin, apakah itu pemimpin yang baik
maupun jahat, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.”[9]
Dan siapa yang memimpin khilafah dan
manusia bersatu dalam kepemimpinannya, mereka ridho kepadanya, meskipun
dia mengalahkan mereka dengan pedang sampai menjadi khilafah, maka wajib
taat kepadanya dan haram memisahkan diri (memberontak) kepadanya.”[10]
Beliau rahimahullah juga berkata dalam kitabnya Sittatu Ushulin ‘Azhimah Mufidah,
“Di antara kesempurnaan persatuan
kaum muslimin adalah mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun yang
memimpin kita adalah seorang budak habasyi (Etiopia).”[11]
Beliau rahimahullah juga berkata tentang perangai Jahiliyah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah,
“Anggapan kaum jahiliyyah bahwa
menyelisihi pemimpin, tidak mendengar dan taat kepadanya adalah sebuah
keutamaan, sedangkan mendengar dan taat kepadanya adalah kehinaan dan
kerendahan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi
mereka, beliau memerintahkan untuk mendengar, taat dan menasehati
pemimpin.”[12]
Inilah sesungguhnya pandangan beliau
terhadap pemberontakan terhadap penguasa muslim, bahwa hal itu
diharamkan dalam Islam. Adapun tentang bekerjasama dengan orang-orang
kafir dalam memerangi kaum muslimin, beliau rahimahullah berkata dalam
risalah Nawaqidul Islam,
“Pembatal keislaman yang kedelapan,
bekerjasama dengan kaum musyrikin dan tolong-menolong dengan mereka
dalam memerangi kaum muslimin.”[13]
Bagi orang yang adil dan obyektif,
penukilan langsung dari kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah di atas sebenarnya sudah cukup sebagai bantahan terhadap
mereka yang menuduh beliau memberontak kepada khalifah Turki Utsmani
dengan bantuan orang-orang kafir Inggris. Namun untuk lebih dapat
membungkam kedustaan mereka, berikut ini kami nukilkan fakta sejarah
bahwa wilayah Najd tidak termasuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani ketika
itu.
Prof. Dr. Shalih Al-‘Abud –semoga Allah menjaganya- memaparkan hasil penelitian beliau,
“Najd bukanlah termasuk dalam wilayah
kekuasaan daulah Utsmaniyah, penguasa Utsmani tidak pernah melakukan
perluasan sampai ke Najd, tidak pula para penguasa Utsmani pernah datang
ke Najd. Pasukan Turki tidak pernah menembus Najd sebelum munculnya
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Bukti atas kenyataan sejarah ini adalah
sebuah studi menyeluruh terhadap pembagian admisnistrasi wilayah daulah
Utsmaniyyah, dari sebuah dokumen Turki yang berjudul, “Undang-undang
Utsmani yang mencakup daftar perbendaharaan negeri”, ditulis oleh Yamin
Ali Afandi, petugas dan penjaga daftar Al-Khaqoni pada tahun 1018 H yang
bertepatan dengan 1608 M. Dari dokumen ini jelas bahwa sejak awal abad
ke-11 Hijriah, daulah Utsmaniyah terbagi 32 distrik, di antaranya 14
distrik wilayah Arab dan negeri Najd tidaklah termasuk wilayahnya
kecuali Ahsaa, jika kita menganggapnya sebagai Najd.”[14]
Pada akhirnya Ahsaa pun lepas karena
pemberontakan Bani Khalid yang menganut Syi’ah pada tahun 1080 H, yang
pada akhirnya juga Bani Khalid berusaha memerangi Dir’iyyah dan berhasil
dikalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan
pasukannya. Dalam ensiklopedi sejarah Muqotil min Ash-Shoro’,
tercatat 7 kali penyerangan Bani Khalid dari Ahsaa ke Dir’iyyah, Qosim
dan daerah-daerah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah.
Tujuh penyerangan ini terjadi pada tahun
1172 H, 1178 H, 1188 H, 1192 H, 1193 H, 1195 H, dan 1197 H. Pada tahun
1198 H Dir’iyyah baru melakukan serangan pembalasan atas kejahatan
mereka.
Pada tahun 1207 H, Dir’iyyah bisa
menguasai Ahsaa dan menerima permohonan damai mereka, sehingga dibuatlah
perjanjian damai. Adapun sebagian pemimpin Bani Khalid ini lari ke Kuwait dan berhasil membangun kekuatan di sana, maka pada tahun 1208 H Dir’iyyah pun mengejar Bani Khalid sampai ke Kuwait.
Menurut Ensiklopedi Sejarah Al-Muqotil min Ash-Shohro’, yang ditulis oleh 10 pakar sejarah, sebagaimana dalam website resminya, bahwa penyerangan Dir’iyyah pertama terhadap Bani Khalid di Kuwait itu terjadi pada tahun 1208 H, berbeda dengan klaim saudara Idahram, pada tahun 1205 H (pada hal. 95)
Dan pada tahun 1208 H, Ahsaa juga
mengkhianati perjanjian damai dengan membunuh para pemimpin, pengurus
baitul maal dan penasihat yang ditugaskan Dir’iyyah di Ahsaa. Maka
Dir’iyyah pun kembali menyerang Ahsaa untuk membalas (qishash) para pembunuh.
Pada tahun 1210 H, Ahsaa kembali memberontak, namun berhasil dipadamkan oleh Dir’iyyah. Inilah rangkaian kejadian penyerangan Ahsaa dan Kuwait yang sebenarnya, tidak sekedar penggalan-penggalan sejarah yang dibuat saudara Idahram (pada hal. 91-93) dan penyerangan Kuwait (pada hal. 95-96).
Jadi jelaslah kalau ternyata buku yang
diberi kata pengantar oleh sang profesor ini tidak lebih dari sebuah
karya yang sangat tidak ilmiyah dan penuh dengan kedustaan serta
pemutarbalikan fakta.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, Maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
3. Profesor menyesalkan pembongkaran terhadap situs-situs sejarah dan meratakan kuburan
Profesor berkata, “Begitu masuk
Mekkah, mereka langsung meratakan semua kuburan, termasuk kuburannya
Siti Khadijah, Abdullah bin Zubaer, Asma binti Abu Bakar, kuburan para
sahabat, dan semua kuburan ulama.” (Sejarah Berdarah…, hal. 15)
Lalu dengan sangat berlebihan profesor mengatakan –yang lagi-lagi Profesor berbicara tanpa bukti-,
“Situs-situ sejarah perkembangan Islam juga dibongkar: rumah paman Nabi Saw…” (Sejarah Berdarah…, hal. 16)
Saudara Idahram pun tak ketinggalan, Idahram berkata,
“Kemudian, mereka menghancurkan kubah
di Pekuburan Baqi, seperti kubah Ahlul Bait (isteri-isteri Nabi, anak
dan keturunannya) serta perkuburan kaum muslimin.” (Sejarah Berdarah…, hal. 86)
Idahram juga berkata,
“Sebelum kehadiran mereka, penginggalan bersejarah itu terjaga dengan rapi…” (Sejarah Berdarah…” hal. 105)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, menjaga tauhid
jauh lebih penting dari sekedar menjaga situs-situs sejarah Islam,
sehingga Islam tidak melarang sedikit pun penghancuran tempat-tempat
bersejarah demi untuk menjaga tauhid. Tentunya selama itu bukan tempat
yang dilarang untuk dihancurkan. Buktinya pemerintah Saudi tidak pernah
menhancurkan ka’bah, hajar aswad maupun maqam Ibrahim ‘alaihissalam.
Jangankan rumah atau kubah kuburan yang
hanya sebuah benda mati, bahkan sebuah pohon yang merupakan makhluk
hidup dan saksi sejarah perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada peristiwa Bai’atur Ridhwan (bahkan pohon ini disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits), ditebang oleh Khilafah Ar-Rasyid Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ketika beliau mendengar adanya sebagian orang yang mulai melakukan napak tilas sejarah ke pohon tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang pohon ini dalam Al-Qur’an:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي
قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا
قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha
terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di
bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka
dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18)
Juga disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits,
لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Tidak akan masuk neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi)[15]
Namun ternyata, pohon yang sangat bersejarah itu ditebang oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Apa sebab beliau menebangnya?
Apakah karena di situ terjadi kesyirikan?
Jawabannya, belum terjadi kesyirikan di
situ. Beliau menebangnya hanya karena khawatir jangan sampai pohon
tersebut kelak dijadikan tempat kesyirikan. Padahal, orang-orang yang
datang ke sana tidak melakukan kejahatan, yang mereka lakukan hanyalah
sholat di bawah pohon itu.
Al-Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menuturkan,
سَمِعْتُ عِيْسَى بْنَ يُيْنُسَ
يَقُيْلُ; أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الخطابِ رَضي اللە عَنْەُ بقطعِ الشَّجَرَةِ
التي بوْيعَ تَحْتَهَا النَّبيُّ صلى اللە عليە و سلم٬ فقطعَهَا٬ لَأَنَّ
النّاس كانوْا يذْهَبُوْنَ فيصلوْنَ تَحْتهَا٬ فخافَ عَليْهِمُ الفِتْنة
“Aku mendengar Isa bin Yunus berkata,
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu memerintahkan untuk memotong pohon
yang di bawahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibai’at, maka
dipotonglah. Hal itu dilakukan karena orang-orang pergi ke pohon itu
untuk sholat di bawahnya, maka beliau khawatir mereka akan ditimpa
fitnah (syirik).”[16]
Adapun menghancurkan kubah-kubah di
kuburan dan meratakannya, inilah salah satu isu mereka untuk memberi
kesan jelek terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah. Dalam hal ini, mereka memanfaatkan keawaman sebagian besar
kaum muslimin yang tidak mengetahui hakikat permasalahan ini.
Padahal, meratakan kuburan yang
ditinggikan memang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
telah diamalkan dengan baik oleh sahabat dan tabi’in. Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisabur rahimahullah meriwayatkan:
عَنْ أَبِى الهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ
قَال قَال لِى عَلىُّ بْنُ أَبِى طَالِبِ أَلَّا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا
بَعَثَنِى عَلَيْەِ رَسُلُ اللە صلى اللە عليە و سلم أَنْ لَا تَدَعَ
تِمْثَالًا إِلَّا طَمَشْتَهُ وَ لَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Dari Abul Hayyaj Al-Asadi
rahimahullah, beliau berkata, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
berkata kepadaku, akan aku utus engkau sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku; janganlah engkau
biarkan sebuah patung (dalam riwayat lain: gambar bernyawa) kecuali
engkau hancurkan dan tidak pula kuburan yang ditinggikan, kecuali engkau
ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim)[17]
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kaum muslimin membangun kuburan, seperti dalam hadits,
نهى رسول الله صلى اللە عليە و سلم أن يجصص القبر و أن يقعد عليه و أن يبنى عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengapur kuburan, duduk di atasnya dan dibangun di atasnya.” (HR. Al-Imam Muslim)[18]
Pembesar ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“ADAPUN MEMBANGUN DI ATAS KUBURAN,
APABILA TANAH PEKUBURAN MILIK ORANG YANG MEMBANGUNNYA MAKA HAL ITU
MAKRUH[19] DAN JIKA DI PEKUBURAN UMUM MAKA HARAM,HAL SEPERTI INI DINASHKAN OLEH ASY-SYAFI’I DAN ULAMA SYAFI’IYYAH.
Berkata Al-Imam Syafi’I dalam Al-Umm,
DAN AKU MELIHAT PARA IMAM DI MAKKAH
MEMERINTAHKAN UNTUK MENGHANCURKAN KUBURAN YANG DIBANGUN. ADAPUN DALIL
YANG MENDUKUNG PENGHANCURAN KUBURAN ADALAH SABDA NABI SHALLALLAHU
‘ALAIHI WA SALLAM (KEPADA ALI BIN ABI THALIB RADHIALLAHU ‘ANHU):
لَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Dan tidaklah ada kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan”.”[20]
Pembaca yang budiman, ternyata
menghancurkan dan meratakan kuburan memang perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam diamalkan oleh sahabat dan tabi’in, juga
dianjurkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam An-Nawawi serta
diperintahkan oleh para imam Makkah yang hidup di zaman Al-Imam
Asy-Syafi’i.[21]
Walhamdulillah, ketika para
pelaku syirik dan bid’ah membangun kembali kuburan-kuburan di Makkah,
Madinah dan sekitarnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
dan pasukannya mengancurkan bangunan-bangunan itu kembali setelah sekian
lama diagungkan dan disembah oleh sebagian orang. Jadi pantas kalau
banyak ulama menggelari beliau sebagai Mujaddid (pembaharu).
Asy-Syaikh Muhammad bin Utsman Asy-Syawi
rahimahullah menceritakan kisah yang terjadi pada tahun 1343 H, yaitu
penghancuran kuburan di kota Makkah yang telah dijadikan arena
kesyirikan oleh sebagian orang, beliau berkata,
“Ketika kami selesai melakukan umroh,
kami segera menghancurkan kubah-kubah (kuburan), dan kami dapati
sesuatu yang sangat berat untuk diceritakan, berada pada kubah yang
dibangun di atas kuburan Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Di
antaranya kami dapati sebuah surat permohonan (doa) yang berbunyi,
‘WAHAI KHADIJAH, WAHAI UMMUL
MUKMININ, KAMI DATANG BERZIARAH KEPADAMU, KAMI BERDIRI DI PINTUMU, MAKA
JANGANLAH ENGKAU MENOLAK KAMI SEHINGGA KAMI MERUGI, BERILAH SYAFAA’AT KEPADA KAMI, AGAR SAMPAI KEPADA MUHAMMAD, AGAR SAMPAI KEPADA JIBRIL, AGAR SAMPAI KEPADA ALLAH’.
KAMI JUGA MENDAPATI KUBURAN TERSEBUT KAMBING SESAJEN UNTUK MENDEKATKAN DIRI (TAQARRUB) KEPADA KHADIJAH RADHIALLAHU ‘ANHA.”[22]
Tidak diragukan lagi, berdoa kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyembelih untuk selainNya adalah
perbuatan syirik, sebab do’a dan menyembelih adalah ibadah, maka
mempersembahkan doa dan sembelihan kepada selain Allah Subhanahu wa
Ta’ala berarti beribadah kepada selainNya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ ثُمَّ
قَرَأَ: وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Doa itu adalah ibadah. Lalu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan Rabbmu telah berfirman, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku
kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
beribadah (doa) kepadaku, mereka akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (HR. Al-Imam Abu Daud dan Al-Imam At-Tirmidzi)[23]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ الله مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat orang yang menyembelih untuk selainNya.” (HR. Al-Imam Muslim)[24]
Inilah sesungguhnya salah satu sebab
pertikaian yang terjadi antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, ketika
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menguasai suatu negeri
maka misi utama beliau dalam penguasaan negeri itu untuk melaksanakan
perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya
menhancurkan kuburan-kuburan yang diringgikan, dan sebabnya pun jelas,
bahwa pengagungan terhadap kuburan telah mengantarkan sebagian orang
kepada penyembahan terhadap kuburan tersebut, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersikap tegas dalam permasalahan ini.
فَاعْتَبِرُوا يَٰأُوْلِى البْصَٰرِ
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Footnote:
[1] Penulisan shalawat dan doa
radhiallahu ‘anhu dengan disingkat menjadi “saw” dan “ra” itu juga bukan
cara yang baik. Profesor dan penulis buku ini sudah terbiasa menyingkat
shalawat dan doa. Bagaimana pandangan ulama dalam masalah ini?
Al-Imam As-Sakhawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi,
“Dan dan jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan,
yaitu menjadikannya dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang.
Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang jahil
dari kalangan ‘ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam.”
Al-Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat, sebagaimana dijelaskan dalam Syarah Muslim dan kitab lainnya.” (Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah (2/339))
[2] Seorang penulis, memang sempat mencurigai Profesor sebagai penganut Syi’ah yang tidak terang-terangan. Dalam buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (hal. 119) terdapat sebuah bab khusus membahas paham sesat profesor yang mirip Syi’ah, yaitu “Tak Mengaku Syi’ah Sambil Mengkafirkan Sahabat.” Penulisnya berkata, “Model
menyakiti hati bahkan mengkafirkan para sahabat ternyata bukan hanya
dilakukan oleh orang yang terang-terangan mengaku Syi’ah. Bahkan di
Indonesia, orang yang mengaku Sunni padahal rumahnya dipasangi gambar
Khomeini besar (konon kini dicopot, menurut sumber Media Dakwah) pun
menulis makalah yang sangat lancang mengkafirkan para sahabat. Dialah
Dr. Said Agil Siraj.”
Penulis yang sama, dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN juga memasukkan Sang Profesor dalam daftar “Sosok-sosok Nyeleneh, Banyak yang di UIN dan IAIN.” Penulisnya berkata (pada hal. 98), “Said Aqil Siraj dosen pasca sarjana UIN Jakarta dan tokoh NU – Nahdatul Ulama – yang pernah bersuara sangat aneh dan menyakiti para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun
tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tetapi karena
suku/kabilah. Dengan tulisannya di makalah yang sangat menyakiti para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu maka Aqil Siraj dikafirkan oleh belasan ulama
dan ada gagasan untuk diusulkan ke almamaternya, Universitas Ummul Quro
Makkah, agar gelar dotornya dicabut; namun malah Aqil Siraj menantang
silakan dicabut, sekalian gelar hajinya yang telah ia jalani belasan
kali silakan dicabut. Lancangnya Said Agil Siradj melontarkan tuduhan…”
[3] Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, 2/247-248
[4] Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, 2/285-287
[5] HR. Al-Imam Muslim no. 6651 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
[6] Mereka yang menjadikan berita-berita orang kafir untuk menghantam kaum muslimin tak ubahnya seperti yang dikatakan penyair:
“Siapa yang menjadikan burung gagak sebagai dalil baginya. Maka burung itu akan membawanya melewati bangkai-bangkai anjing.”
[7] Shahih Muslim, 1/6
[8]HR. Al-Imam Muslim no. 7 dari Hafsh bin ‘Ashim radhiallahu ‘anhu.
[9] Maksud beliau rahimahullah, jika
perintah itu merupakan maksiat kepada Allah maka tidak boleh ditaati,
namun tetap wajib taat pada perintah lain yang bukan kemaksiatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[10] Lihat Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 47
[11] Silsilah Syarhil Rosaail, hal. 34.
[12] Lihat Syarhu Masaail Jahiliyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 47
[13] Lihat Silsilah Syarhil Rosaail, hal. 231.
[14] Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islamy, 1/27, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawi’in, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Lathif, hal. 303-304.
[15] HR. At-Tirmidzi dan
beliau berkata, hadits ini Hasan Shahih dari Jabir bin Abdullah
radhiallahu ‘anhuma dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 7680.
[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha, sebagaimana dalam Fathul Majid Syarah Kitab At-Tauhid Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan ta’liq Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah, hal. 255.
[17] HR. Al-Imam Muslim no. 2287 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
[18] HR. Al-Imam Muslim no. 2289 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma.
[19] Yang lebih tepat –wallahu A’lam-,
hukumnya juga haram, karena keumuman dalil dan tidak ada dalil yang
memperkecualikan kuburan yang dibangun oleh pemilik tanah pekuburan.
[20] Syarah Muslim, 7/27
[21] Apakah kalian akan menuduh
Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai Wahabi?! Bukankah Wahabi yang lebih
layak berbangga –andaikan boleh saling membanggakan diri- dengan
madzhab Syafi’i?!
[22] Al-Qoulul Asad, Qof (3), sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 421.
[23] HR. Abu Daud no. 1481 dan At-Tirmidzi no. 3247 dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 1329.
[24] HR. Al-Imam Muslim no. 5239, 5240, 5241 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. pertama. Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.
NB: Tulisan beliau di blog saya dan note
di FB ini sudah mendapat persetujuan dari beliau Al-Ustadz Sofyan Chalid
bin Idham Ruray hafidzhahullah.
Sumber : Note Al-Akh Rizky Abu Salman
http://abangdani.wordpress.com/2011/07/26/jawaban-terhadap-pak-prof-yang-telah-merekomendasikan-buku-penuh-dusta-%E2%80%9Csejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi%E2%80%9D/