Perkara jihad merupakan wewenang penguasa bukan orang selain mereka, sehingga seorang mujahid tidak diperkenankan menegakkan jihad tanpa seizin mereka. Hal ini berdasar beberapa dalil berikut:
Pertama, hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ
مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ
كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Seorang imam merupakan perisai,
kaum muslimin berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. Apabila
dia memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla
dan berlaku adil, maka dia akan mendapat pahala akan hal itu. Akan
tetapi apabila dia memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka dia berhak
memperoleh dosanya.” (HR. Muslim 3428).
Hadits ini berbentuk berita namun mengandung perintah dan merupakan dalil tegas dalam masalah ini.
An Nawawi berkata, “(imam adalah
perisai) seakan-akan dirinya adalah tabir dikarenakan dirinya
menghalangi musuh untuk tidak menyakiti kaum muslimin dan mencegah kaum
muslimin agar tidak saling menyakiti dan melindungi negeri islam.
Manusia berlindung kepadanya dan takut dengan hukumannya. Dan makna
(berperang di belakangnya) adalah kaum muslimin ikut berperang bersama
mereka dalam menghadapi kaum kuffar, pemberontak, Khawarij dan seluruh
golongan yang berbuat kerusakan dan kezhaliman.” (Syarh Muslim 12/230).
Ibnu Hajar mengatakan, “Dikarenakan
seorang imam melindungi kaum muslimin dari gangguan musuh dan mencegah
terjadinya penganiayaan sesama kaum muslimin. Dan yang dimaksud dengan
imam adalah mereka yang menangani urusan kaum muslimin.” (Fathul Baari 6/136).
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Hudzaifah ibnul Yaman radliallahu ‘anhu
mengatakan, Aku bertanya pada rasulullah, “Wahai rasulullah, apa
saranmu jika aku menemui hal tersebut? Beliau menjawab, “Hendaknya
engkau mengikuti jama’ah kaum muslimin dan imam mereka” Maka aku
bertanya lagi, “Jika ternyata mereka tidak memiliki jama’ah dan imam,
apa yang harus aku lakukan?” Maka beliau menjawab, “Tinggalkan seluruh
kelompok itu, dan gigitlah akar pohon (ajaran agama yang hak) hingga
maut datang menjemputmu dalam keadaan demikian.”
Sisi pendalilan dari hadits ini adalah
Hudzaifah diperintahkan untuk mengikuti jama’ah kaum muslimin beserta
imam mereka dan tidak diperkenankan baginya untuk memisahkan diri dari
mereka.
Apabila dikatakan: “Seseorang
yang pergi berjihad-di saat ini- pada hakekatnya berpindah dari satu
jama’ah kaum muslimin dan imamnya kepada jama’ah kaum muslimin yang
lainnya. Maka dirinya tetap dianggap mengikuti jama’ah kaum muslimin
beserta imam mereka.
Jawaban untuk hal tersebut: Hal ini tidak boleh bahkan hal tersebut adalah bentuk pengkhianatan senyatanya yang telah dilarang oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullan ibn Umar, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْغَادِرَ يُنْصَبُ لَهُ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلَانِ
“Sesungguhnya seorang pengkhianat di
hari kiamat kelak akan membawa panji, kemudian akan ada pengumuman yang
berbunyi, “Inilah si pengkhianat fulan.” (HR. Bukahri 5710; Muslim nomor 3266).
Ibnu Umar berdalil dengan hadits ini
untuk menunjukkan haramnya melepas ikatan bai’at dari Yazid untuk
menjalin bai’at kepada Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzhalah.
Dan diantara dalil yang menerangkan akan
keharaman hal ini adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar
bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ
“Barangsiapa yang melepas ketaatan dari imam, maka dia akan bertemu dengan Allah tanpa memiliki hujjah.” (HR. Muslim nomor 3441).
Ketiga, kaidah: Suatu
kewajiban yang tidak tersempurnakan tanpa adanya sesuatu, maka hukum
sesuatu ini adalah wajib. Kaidah ini merupakan dalil bahwa jihad adalah
wewenang penguasa, jika tidak demikian maka akan terjadi kekacauan
dikarenakan perbedaan persepsi yang terjadi di antara manusia, bahkan
bisa jadi mereka akan saling membunuh.
Hal ini disebabkan golongan yang satu
memandang jihad tidak patut dilakukan sehingga golongan yang lain bisa
jadi memerangi kelompok yang pertama karena menganggap kelompok tersebut
telah mengingkari pensyari’atan jihad, sedangkan kelompok lain
memerangi kelompok islam lainnya karena beranggapan kelompok tersebut
telah kafir dan demikian seterusnya.
Inilah perkataan ulama yang patut engkau cermati dalam permasalahan ini:
Ibnu Qudamah mengatakan, “Perkara
jihad diserahkan kepada pendapat dan ijtihad penguasa. Sedangkan rakyat
wajib mentaati pendapat yang mereka pilih dalam permasalahan
tersebut.” (Al Mughni 13/16).
Al Qurthubi mengatakan, “Tidak
boleh pasukan berangkat ke medan perang tanpa izin dari imam, meskipun
dia bertujuan memata-matai musuh untuk menyelidiki kekuatan mereka
sehingga hal ini dapat membantu pasukan (muslimin). Terkadang mereka
membutuhkan pelarangan jihad dari imam.” (Al Jami’ li Ahkamil Qur-an 5/275)
Al Hathab mengatakan, ““Ibnu
Arafah Asy Syaikh bertanya pada Al Muwaziyah yaitu, “Apakah
diperbolehkan berperang tanpa izin imam?” Maka dia menjawab, “Pasukan
dan sekelompok manusia tidak diperbolehkan berperang melainkan dengan
seizin imam dan adanya pemimpin yang memimpin mereka.” Kemudian dia
berkata, “Ibnu Habib mengatakan, “Aku mendengar para ulama mengatakan,
“Apabila imam melarang untuk berperang dikarenakan adanya suatu
maslahat, maka tidak boleh untuk menyelisihi perintahnya tersebut
melainkan musuh menyerang dengan tiba-tiba, maka pada saat itu
diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk berperang membela diri tanpa
menunggu izin imam.” (Mawahibul Jalil 3/349).
Pengarang Al Muharrar mengatakan,
“Tidak boleh berperang melainkan dengan izin imam, kecuali musuh
menyergap dengan tiba-tiba dan dikhawatirkan apabila harus meminta izin
terlebih dahulu akan menimbulkan kerusakan yang berat.” (Al Muharrar fil
Fiqh 2/170).
Al Buhuti mengatakan,
“Apabila kaum kuffar berniat untuk memerangi kaum muslimin, maka kaum
muslimin diperkenankan untuk berperang sebagai bentuk pembelaan diri
atas jiwa dan kehormatan mereka. Sedangkan perkara jihad diserahkan
pada imam dan ijtihadnya, karena dialah sosok yang paling mengenal
kondisi rakyat dan musuhnya, serta strategi untuk mengalahkannya dan
jarak mereka dari negeri kaum muslimin. Dan rakyat wajib untuk mentaati
segala pendapatnya terkait hal itu.” (Kisyaful Qina’ 3/14).
Dia juga mengatakan, “Tidak boleh
berperang melainkan dengan izin penguasa, karena dirinya lebih tahu akan
seni berperang dan urusan tersebut diserahkan kepadanya. Hal ini
dikarenakan apabila duel sebelum perang dimulai tidak diperbolehkan
melainkan dengan izinnya, maka tentu peperangan lebih layak untuk
dikedepankan daripada hal tersebut (duel).” (Kisyaful Qina’ 3/72).
Syaikh Sa’ad bin Hamd bin Atiq rahimahullah
mengirim sebuah risalah kepada beberapa ikhwan di Arthawiyah,
Ghathghat, Utaibah, Mathir, Qahthan dan selainnya yang bertuliskan,
“Diantara kepercayaan yang dianut oleh sebagian orang yang bodoh dan
tertipu ini adalah memandang remeh pemerintahan kaum muslimin,
menyelisihi dan membangkang terhadap imam kaum muslimin terkait masalah
peperangan dan selainnya. Hal ini salah satu bentuk kedunguan dan
perusakan di muka bumi.
Hal itu diketahui oleh mereka yang
memiliki akal dan iman. Telah menjadi suatu aksioma dalam agama ini
bahwa tidak ada agama melainkan dengan tegaknya jama’ah, serta tidak ada
jama’ah melainkan dengan terwujudnya kepemimpinan, dan tidak ada
kepemimpinan melainkan dengan ketundukan dan ketaatan. Sesungguhnya
pembangkangan terhadap penguasa kaum muslimin merupakan sebab terbesar
kerusakan pada suatu negeri dan rakyat, serta hal tersebut merupakan
bentuk penyimpangan dari jalan petunjuk.” (Ad Durarus Saniyah, kitab Al Jihad, cetakan kedua 7/302, cetakan kelima 9/139).
Syaikh Umar bin Muhammad bin Salim berkata
dalam risalah yang beliau tulis bagi penduduk Arthawiyah, “Tidak boleh
menentang penguasa dalam masalah mengadakan peperangan dan mengadakan
perjanjian dzimmah dan mu’ahad tanpa seizinnya. Karena tidak ada agama
melainkan dengan tegaknya jama’ah, serta tidak ada jama’ah melainkan
dengan terwujudnya kepemimpinan, dan kepemimpinan tidaklah berfungsi
melainkan dengan ketundukan dan ketaatan, sesungguhnya pembangkangan
terhadap penguasa kaum muslimin merupakan sebab terbesar kerusakan pada
suatu negeri dan rakyat (Ad Durarus Saniyah, cetakan kedua 7/313, cetakan kelima 9/166).
http://salafiyunpad.wordpress.com/2011/07/05/jihad-dan-penguasa/
No comments:
Post a Comment