Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah adalah inti ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Setiap nabi yang diutus Allah Subhanahu wata’ala mendapat perintah dari Allah Subhanahu wata’ala agar menyerukan dakwah tauhid kepada umatnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja)
dan jauhilah thaghut itu.” (an- Nahl: 36)
Firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul
pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada
Rabb (yang berhak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku.” (al-Anbiya: 25)
Tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana firman-Nya,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن
كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا
يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini hanya
seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa
sesungguhnya Rabbmu itu adalah Rabb Yang Esa.’ Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh
dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Rabbnya.” (al-Kahfi: 110)
Tauhid adalah fondasi keselamatan
hidup. Tidak akan selamat seorang yang menyekutukan Allah k dalam
beribadah kepada-Nya. Seorang hamba yang mati dalam keadaan tidak
bertobat dari perbuatan syirik yang dilakukannya, ia tidak akan mendapat
ampunan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ
أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (an-Nisa’: 48)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ
أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang
selain syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, sesungguhnya ia telah tersesat
sejauh-jauhnya.” (an-Nisa’: 116)
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ
“Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka.” (al-Maidah: 72)
Namun, berbeda halnya dengan agama Syiah. Ayat-ayat yang menjelaskan perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala
dan tidak menyekutukan dalam beribadah kepada-Nya, mereka palingkan
maknanya dan membawanya kepada makna ke-imamah-an. Menurut mereka,
meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai penerus kepemimpinan setelah Rasulullah n adalah prinsip utama yang harus diyakini. Sebagai contoh, firman Alah Subhanahu wata’ala,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ
وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu
mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)
Disebutkan dalam kitab paling sahih
menurut kalangan Syiah, al-Kafi, dan kitab mereka lainnya, menjelaskan
tafsir dari ayat ini sebagai berikut. “Jika engkau menyekutukan
selainnya (selain Ali, -pen.) dalam kepemimpinan”, pada lafadz yang
lain, ”Jika engkau memerintahkan kepemimpinan seseorang bersama
kepemimpinan Ali setelahmu, niscaya terhapus amalanmu.” (Ushul al-Kafi,
427/1, Tafsir al-Qummi, 251/2)
Penulis kitab al-Burhan fi Tafsir
al-Qur’an juga menyebutkan empat riwayat yang menafsirkan ayat tersebut
dengan yang semakna dengan tafsir ini. (al-Burhan, 4/83; Ushul Madzhab
Syiah, 427)
Contoh lain, firman Allah Subhanahu wata’ala,
أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (an-Naml: 61)
Ayat ini sangat jelas menunjukkan pengingkaran Allah Subhanahu wata’ala
terhadap kaum musyrikin yang berbuat syirik dalam beribadah kepada-Nya.
Namun, disebutkan dalam tafsir ayat ini, dari Abu Abdillah berkata,
“Yang dimaksud adalah Imam hidayah dan imam sesat pada satu masa.”
(Biharul Anwar, 23/391; Ushul Madzhab Syiah, 431)
Masih banyak lagi model penafsiran kaum
Syiah yang seperti ini. Jadi, adalah hal yang wajar jika agama Syiah
tidak bisa membedakan antara tauhid dan syirik, antara amalan yang saleh
dan amalan yang batil karena metode penafsiran kaum Syiah yang sangat
menyimpang dari kebenaran.
Para Imam sebagai Perantara Seorang Hamba dengan Rabbnya
Dalam agama Islam, ibadah dilakukan langsung kepada Allah Subhanahu wata’ala tanpa melalui perantara. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي
عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada- Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي
سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah- Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Barang siapa menjadikan sesuatu sebagai
perantara antara dia dan Allah k, dia memohon dan meminta kepada
mereka, sungguh dia telah kafir berdasarkan kesepakatan para ulama. Hal
itu seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sebagaimana yang disebut
dalam firman-Nya,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekatdekatnya.” (az-Zumar: 3)
Berbeda halnya dengan agama Syiah, berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala
melalui perantara para imam adalah sebuah kewajiban. Mereka berkata
tentang imam-imam mereka, “Barang siapa berdoa kepada Allah melalui kami
maka dia beruntung, dan siapa yang berdoa tanpa melalui kami maka dia
binasa.” (Biharul Anwar, 23/103, Wasail asy-Syiah, 4/1142)
Bahkan , mereka berkata , “Sesungguhnya
doa para nabi itu terkabulkan dengan cara bertawassul dan meminta
syafaat mereka (para imam,m -pen.).” (Ini adalah judul salah satu bab
dalam kitab Biharul Anwar, 26/319)
Mereka juga menyebutkan bahwa tatkala
Allah k menempatkan Nabi Adam ‘Alaihissalam di dalam surga, ditampakkan
di hadapannya permisalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali,
Hasan, dan Husain, maka Adam melihat mereka dengan pandangan hasad. Lalu
diperlihatkan kepadanya wilayah (kepemimpinan para imam Syiah, -pen.)
dan Adam ‘Alaihissalam mengingkarinya sehingga ia pun dilempar dari
surga dengan dedaunannya. Tatkala ia telah bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dari penyakit hasadnya dan mengakui wilayah para imam, serta berdoa dengan bertawassul dengan kedudukan lima hamba: Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain, maka Allah Subhanahu wata’ala pun mengampuninya. Itulah yang dimaksud dengan firman-Nya,
فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa
kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 37)
Beristighatsah Kepada Para Imam
Agama Syiah menjelaskan tentang
keutamaan dan tugas setiap imam mereka, “Adapun Ali bin al-Husain, itu
untuk keselamatan dari para penguasa dan bisikan setan. Adapun Muhammad
bin Ali dan Ja’far bin Muhammad, itu untuk akhirat dan apa yang dicari
berupa ketaatan kepada Allah k. Adapun Musa bin Ja’far, mintalah darinya
kesehatan dari Allah Subhanahu wata’ala. Adapun Ali bin
Musa mintalah darinya keselamatan, baik di darat maupun di lautan.
Adapun Muhammad bin Ali, mintalah rezeki dari Allah Subhanahu wata’ala
melalui dia. Adapun Ali bin Muhammad, untuk amalan-amalan sunnah,
berbuat baik kepada sesama saudara dan apa yang dituntut berupa ketaatan
kepada Allah Subhanahu wata’ala. Adapun Hasan bin Ali,
itu untuk akhirat. Adapun pemilik zaman (Imam Mahdi, -pen.), jika pedang
telah sampai ke sembelihannya maka mintalah tolong kepadanya, ia akan
segera menolongmu.” (Biharul Anwar, 33/94)
Padahal Islam mengajarkan kita untuk
meminta pertolongan untuk meraih sebuah manfaat atau menolak kemudaratan
hanyalah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang menguasai hari pembalasan.” (al-Fatihah: 4)
Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah Subhanahu wata’ala, dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. at-Tirmidzi no. 2516, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Ziarah Kubur Para Imam dan Keutamaannya Menurut Syiah Benar apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Orang-orang yang tepercaya telah memberitakan kepadaku, di antara kaum
Syiah ada yang berpandangan bahwa berhaji ke kuburan yang dimuliakan
itu lebih utama daripada berhaji ke Baitul ‘Atiq (Ka’bah). Mereka
memandang bahwa menyekutukan Allah k lebih mulia daripada beribadah
hanya kepada Allah k semata. Ini adalah perkara terbesar dalam beriman
kepada thagut.” (Minhajus Sunnah, 2/124)
Benar apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah,
“Hal ini dibuktikan oleh riwayat-riwayat yang disebutkan dalam
kitab-kitab kaum Syiah yang berlebihlebihan dalam hal memuliakan
kuburan. Disebutkan dalam kitab al-Kafi bahwa berziarah ke kuburan
Husain menyamai haji dua puluh kali dan lebih utama dari dua puluh kali
haji dan umrah.” (Furu’ al-Kafi, 1/324)
Tatkala salah seorang Syiah berkata
kepada imamnya, “Sesungguhnya aku telah berhaji sembilan belas kali dan
umrah sembilan belas kali.” Imamnya menjawab seakan-akan mengejek,
“Berhajilah sekali lagi dan umrahlah sekali lagi, dan itu semua akan
dicatat bagimu sama dengan berziarah ke kuburan al- Husain.” (Wasail
asy-Syiah, 10/348, Biharul Anwar, 38/101, Ushul Madzhab asy-Syiah, 454)
Bahkan, mereka juga meriwayatkan,
“Barang siapa mendatangi kuburan Husain dalam keadaan dia mengetahui
haknya, maka keutamaannya seperti orang yang berhaji bersama Rasulullah n
seratus kali.” (Tsawabul A’mal, 52, Wasail asy-Syiah, 10/350. Ushul
Madzhabi Syiah, 455)
Lebih dari itu, mereka menganggap bahwa
berziarah ke kuburan Husain pada hari Arafah lebih utama daripada
amalan haji berlipat-lipat kali. Mereka meriwayatkan, “Barang siapa
mendatanginya (kuburan Husain, -pen.) pada hari Arafah dalam keadaan dia
mengetahui haknya, maka Allah Subhanahu wata’ala mencatat
baginya seribu kali haji, seribu kali umrah mabrur yang diterima, dan
seribu kali berperang bersama nabi yang diutus atau imam yang adil.”
(Furu’ al-Kafi, al-Kulaini, 1/324, Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu
Babawaih al- Qummi, 1/182)
Mereka juga meriwayatkan dari Ja’far
ash-Shadiq bahwa ia berkata, “Seandainya aku beritakan kepada kalian
keutamaan ziarah ke kuburannya dan keutamaan kuburannya, niscaya kalian
meninggalkan amalan haji. Tidak seorang pun dari kalian yang akan
menunaikan haji. Celaka engkau, tidakkah engkau tahu bahwa Allah k telah
menjadikan tanah Karbala sebagai tanah haram yang aman dan penuh berkah
sebelum Makkah dijadikan sebagai tanah haram?!” (Biharul Anwar, 33/101)
Shalat di Kuburan
Bahkan, tingkat kesyirikan yang mereka
lakukan hingga menyebutkan keutamaan shalat di sisi kuburan imam mereka.
Di antara riwayat yang mereka sebutkan, “Shalat di tanah haram kuburan
Husain bagimu, pada setiap rakaat yang kamu lakukan mendapatkan pahala
di sisi-Nya seperti pahala seribu kali haji, seribu kali umrah,
membebaskan seribu budak, dan seakan-akan dia berwakaf di jalan Allah Subhanahu wata’ala sejuta kali bersama nabi yang diutus.” (al-Wafi, 8/234; Ushul Madzhab Syiah, hlm. 469)
Bagaimana mungkin Islam membenarkan hal ini padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya shalat di pekuburan dan shalat menghadapnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Jangan kalian shalat menghadap kuburan dan jangan kalian duduk di atasnya.” (HR. Muslim no. 972, dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Permukaan bumi seluruhnya adalah
tempat shalat kecuali pekuburan dan kamar mandi.” (HR. at-Tirmidzi no.
317, Ibnu Majah no. 745, dan yang lainnya, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu) Wallahul muwaffiq.
Sumber :asysyariah.com