Sunday, September 18, 2011

Ujian Hubungan AS-Arab Saudi




Usaha Palestina untuk menjadi anggota penuh di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekali lagi akan menguji seberapa kuat hubungan Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi, yang mengalami pasang surut. 


Selain reaksi Israel atas usaha Palestina, perlu dicermati juga bahwa upaya Palestina untuk bisa mendapatkan pengakuan kenegaraan penuh di PBB akan mencuatkan kembali pasang suruthubungan ASdan Arab Saudi yang sudah mengalami kemunduran sejak sebelum peristiwa 11 September 2001 (9/11). 

Selama pekan ini AS dengan tegas menyatakan menolak usaha Palestina untuk mendapatkan pengakuan kenegaraan secara resmi dari PBB,sementara Arab Saudi menegaskan mendukung langkah Palestina.Perbedaan pandangan besar inilah yang lantas membuat hubungan dua sekutu ini menjadi renggang. 

Penentangan Washington terhadap usaha Palestina untuk mendapatkan pengakuan kenegaraan sekaligus menjadi anggota penuh P B B hanyalah satu dari setumpuk ketidaksepakatan yang terjadi antara AS dan Arab Saudi, selain reaksi ter-hadap revolusi Arab hingga harga minyak, yang mengancam salah satu hubungan aliansi terlama dan paling efektif di dunia itu. 

“Kita melihat meningkatnya hubungan transaksional,” ujar mantan Duta Besar AS untuk Arab Saudi Chas Freeman, dikutip Asia Times Online. Israel memainkan peran penting dalam memburuknya hubungan AS dan Arab Saudi. Menurut Freeman,yang berada di Riyadh selama Perang Teluk pada awal 1990-an,Washington kehilangan kredibilitasnya dengan Riyadh sejak Tel Aviv mengabaikan permintaan Presiden AS saat itu George W Bush untuk meredakan represinya terhadap gelombang intifada kedua di Palestina. 

Pandangan ini diamini Profesor Gregory Gause,pakar Saudi di Universitas Vermont. “Hubungan keduanya sekarang lebih didasarkan pada kepentingan bersama ketimbang berbagi pandangan yang sama,” ujar dia.“Apa yang menyebabkan mereka tetap bersama adalah kurangnya alternatif.” 

Memburuknya hubungan itu terlihat dalam tulisan Pangeran Turki al-Faisal, mantan direktur intelijen Arab Saudi yang juga pernah menjadi duta besar di Washington dari 2005–2007, yang dipublikasikan di New York Times dengan judul Memveto satu Negara, Kehilangan satu Sekutu. 

Dari judulnya saja sudah terlihat bahwa Pangeran Turki berusaha memperingatkan AS, jika Washington tidak mendukung usaha Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB maka “Arab Saudi tidak akan lagi bisa bekerja sama dengan Amerika dengan cara yang sama yang pernah ditempuhdalam sejarahnya”. 

Pangeran Turki memperingatkan, satu veto tidak hanya akan mengakibatkan konsekuensi negatif mendalam bagi hubungan ASArab Saudi, tapi juga akan menyingkirkan hubungkan (AS) dengan dunia Muslim, memberikekuatanbagi Iran, dan mengancam keamanan regional. 

Kegagalan Kepemimpinan AS 

Hubungan AS-Arab Saudi telah terbina sejak 1930-an dan menjadi lebih kuat selama Perang Dunia II, ketika Franklin Roosevelt mengumumkan pertahanan Saudi penting bagi kepentingan AS dan awal Perang Dingin. Hubungan keduanya utamanya berbasis pada keamanan minyak. 

Meski Riyadh pernah ikut serta dalam embargo minyak Arab pada perang Oktober 1973, kedua negara tetap bekerja sama secara dekat dalam berbagai isu. Pada awal 1990-an, Arab Saudi menyediakan tempat luncur bagi kampanye pimpinan AS untuk mengusir Irak dari Kuwait. Washington lantas tetap mempertahankan militer mereka di kerajaan itu sampai setelah 9/11. 

Tapi, hubungan manis itu tertampar sejumlah masalah ketika Bush berkuasa. Selain kekecewaan Abdullah–yang saat itu masih duduk sebagai putra mahkota–terhadap ketidakmampuan Washington mengendalikan aksi Israel di wilayah Palestina,fakta bahwa 15 dari 19 pelaku pembajakan pesawat serangan 9/11 yang berkebangsaan Arab Saudi menyebabkan badai publikasi negatif, terutama terhadap level dukungan swasta Saudi terhadap Al Qaeda dan beberapa gerakan garis keras lainnya. 

Selain itu,kegagalan pemerintahan Bush merespons secara positif rencana Abdullah untuk menggalang perdamaian dengan Israel yang diadopsi Liga Arab pada KTT mereka di Beirut pada 2002 dan invasi AS ke Irak pada 2003 menyebabkan Saudi kian meradang. Invasi yang sangat ditentang Riyadh yang mengkhawatirkan– dan ternyata benar– bahwa tersingkirnya Saddam Hussein akan meningkatkan kekuatan dan pengaruh Iran. 

Dari tiga masalah pasca- 9/11, hanya satu–kerja sama terhadap kontra-terorisme dan usaha terkait untuk mengalahkan Al Qaeda dan kelompok ekstremis lain, yang membaik secara signifikan dalam hubungan keduanya. “Mereka tidak hanya membunuh teroris, tapi juga menyerang ideologi terorisme,” papar Freeman. 

“Itu adalah satu area kerja sama yang bersinar.” Ketika Barack Obama terpilih sebagai presiden AS, harapan Saudi untuk hubungan yang lebih baik pun timbul. Apalagi, Obama berulang kali memuji inisiatif perdamaian Arab. Tapi, dia gagal membujuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menerimanya sebagai dasar negosiasi dengan Palestina. 

“Kami sangat antusias dengan terpilihnya Obama dan pernyataan kebijakan awalnya,” ujar Abdulaziz Sager,ketua dan pendiri Pusat Riset Teluk (GRC) yang dikutip Inter Press Service.“Sayangnya, sekarang pernyataan bahwa AS akan memveto Palestina (di PBB) telah menyebabkan banyak kekecewaan.” 

Pada saat yang sama, rencana Obama untuk menarik pasukan AS dari Irak pada akhir tahun ini dipandang Saudi seperti mengonsolidasikan pengaruh Iran. “Tidak akan ada lagi negara buffer di Irak,” ujar Mustafa Alani, Direktur Program Keamanan dan Terorisme GRC. 

Pengaruh Revolusi Arab 

Sebelum masalah Palestina muncul,ketegangan hubungan AS-Arab Saudi sudah lebih dulu dipicu oleh hasil Revolusi Arab. Raja Abdullah dikabarkan secara pribadi kaget dengan tekanan Obama terhadap Husni Mubarak agar mengundurkan diri sebagai Presiden Mesir.

Secara terbuka,Washington dan Riyadh juga terlibat ketidaksepakatan terhadap penanganan monarki Sunni Bahrain terhadap warganya yang mayoritas Syiah, terutama setelah 2.000 pasukan Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dikirim ke Manama untuk mendukung Raja Hamad. 

Operasi itu dipandang sebagai contoh paling dramatis atas apa yang disebut para analis sebagai agenda “kontrarevolusioner” Saudi di Teluk, kalau tidak di kawasan yang lebih lebar. “Amerika Serikat punya posisi yang sangat ambigu (terhadap Revolusi Arab) dan hubungan dengan Arab Saudi sama sekali tidak membantu,” papar Marina Ottaway,spesialis demokratisasi di Carnegie Endowment for International Peace. 

Di sisi lain,Freeman mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak meningkatnya Islamofobia di AS dan Barat atas hubungan mereka dengan Riyadh. “Perbedaan (kedua negara) mengenai Revolusi politik di dunia Arab sangat tajam,”ujar dia. 

Apalagi, kekeringan dana akibat paket bantuan multimiliar dolar dari Saudi untuk kerajaan lain dan rezim konservatif lainnya di kawasan dan juga USD130 miliar dalam subsidi domestik tampaknya diterjemahkan sebagai meningginya harga minyak global. “Minyak adalah sesuatu yang bisa menyebabkan ketegangan lebih lanjut di masa depan,” tutur Gause. 

Saudi Mulai Lirik Timur 

Sebagian besar pengamat mencatat bahwa ketergantungan Riyadh terhadap senjata AS dan juga pembelian dolar menunjukkan bahwa sebagian fondasi hubungan itu tetap sangat bijaksana. Tapi,Washington tak boleh terlalu percaya diri. Menurut Freeman,Riyadh saat ini terus melirik ke Timur, terutama untuk hubungan komersial. 

Produk buatan AS dan ekspor lain saat ini mengklaim separuh pasar Saudi, berkurang dari yang mereka catatkan pada 10 tahun lalu dan Asia Timur sekarang menghitung separuh dari seluruh penjualan Saudi. China mengambil alih posisi AS sebagai konsumen minyak utama Saudi saat invasi Irak yang juga bertepatan dengan penarikan seluruh pasukan AS dari kerajaan itu. ● alvin 


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment