Oleh : DR. Ali Muhammad Ash-Sholabi[1]
Prolog
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad
bin Ahmad bin Rasyid At Tamimi, lahir pada tahun 1115 H./ 1703 M. di
sebuah tempat yang bernama Uyainah yang berada di sebelah Utara Riyadh.
Jarak antara Riyadh dan Uyainah sekitar 70 kilo meter jika ditempuh dari
sebelah barat.[2]
Dia sangat mencintai ilmu pengetahuan sejak masa kecilnya. Selama
masa kanak-kanaknya, telah tampak beberapa hal yang sangat istimewa dari
dirinya. Dia hafal Al-Quran, belajar fikih Hanbali, tafsir dan hadits.
Dia banyak mempelajari dan mengagumi buku-buku yang ditulis Ibnu
Taimiyah dalam bidang fikih, akidah dan logika. Selain itu juga, is pun
sangat terpengaruh dengan buku-buku Ibnu Qayyim, Ibnu `Urwah Al-Hanbali
dan yang lainnya. Maka jadilah dia seorang yang menganut paham salafi.[3]
Dia mengembara untuk menuntut ilmu ke Mekkah, Madinah, Bashrah dan
Ahsa’. Dia harus menghadapi tantangan yang demikian keras dan fitnah
yang bertubi-tubi di Irak tatkala dia menyatakan pandangan-pandangannya
di sana. Setelah itu dia kembali lagi ke Najd.
Saat dia pulang ke Huraimala’ di Najd. dia memulai dakwahnya untuk
melakukan amar makruf nahi mungkar, menyibukkan diri dengan ilmu dan
mengajar serta mengajak manusia pada akidah tauhid yang bersih. Dia
memperingatkan akan bahaya syirik, macam-macam dan berbagai bentuknya.
Bahkan dia harus sering mengalami ancaman pembunuhan dari orang-orang
yang bodoh di Huraimala’ akibat seruannya ini. Setelah itu, dia kembali
ke tempat kelahirannya di Huraimala’. Dia disambut hangat oleh penguasa
dan mendorongnya untuk melanjutkan dakwah yang sekarang dia tekuni. Di
Huraimala’, syariah ditegakkan dan hukum bagi pelaku kriminal -hududdiberlakukan.
Namun dia tidak tinggal lama di Huraimala’, karena adanya tekanan
penguasa Al-Ihsa’ terhadap penguasa Huraimala’ agar penguasa Huraimala’
membunuh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka Syaikh pun keluar dengan
berjalan kaki menuju Dir’ iyyah.
Kerjasama dengan Muhammad bin Sa’ud
Muhammad bin Abdul Wahhab mampu menjalin kerja sarna dengan Muhammad
bin Sa’ud yang mengorbankan harta dan anak buahnya untuk menegakkan
dakwah tauhid. Kerjasama ini terjalin dengan asas asas yang kokoh.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berhasil melanjutkan dakwahnya kepada
manusia melalui taklim, penulisan brosur dan buku-buku kecil juga
nasehat-nasehat. Dia terus melakukannyak mengajar dan menulis buku-buku
kecil yang dibarengi dengan hujjah-hujjah dan dalil yang menerangkan
kebenaran apa yang dia dakwahkan. Dia mengajak manusia untuk menumpas
kemungkaran dan menghancurkan kubah-kubah kuburan, serta mencegah semua
sarana yang mengantarkan pada kemusyrikan dan melakukan ibadah
sepenuhnya hanya pada Allah Yang Maha Esa.[4]
Dakwah yang dia lakukan berlangsung dengan cara yang damai,
pelan-pelan sambil mengetuk pintu hati dengan penuh lemah lembut dengan
penuh hikmah dan nasehat yang baik. Dia terus mengajar siapa saja yang
datang menghadiri majlisnya dan senantiasa menerapkan akidah yang
dianutnya. Dia menjelaskan prinsip-prinsip dakwahnya, baik pada orang
yang dekat maupun yang jauh. Namun dia ternyata dihadapkan pada
kenyataan, dimana dakwah dengan cara lembut ini dihadapkan pada
penerimaan yang sangat keras. Kebenaran diterima dengan pendustaan,
sedangkan nasehat yang baik ditanggapi dengan konspirasi. Maka tidak ada
cara lain kecuali memasuki fase jihad dan melakukan perubahan
kemungkaran dengan menggunakan kekuatan. Sebagaimana dikatakan oleh
seorang penyair,
Jika tak ada lagi kecuali kepada tombak yang harus menjadi tunggangan
Maka tak ada jalan bagi yang terpaksa kecuali menungganginya.[5]
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mulai didukung oleh pangeran
Muhammad bin Sa’ud dengan bantuan pengikutnya dan senjata untuk
mengumpulkan kaum mujahidin dari Dir’iyyah keluar batas negerinya,
dengan tujuan menebarkan dakwah dan pengokohan tiang-tiangnya di
Jazirah Arabia maupun di luar Jazirah Arabia. Syaikh sendiri yang
langsung memimpin pengumpulan pasukan itu, persiapan dan pemberangkatan
mereka. Walaupun demikian, dia terus mengajar, menulis surat pada
orang-orang yang dia anggap penting, menerima tamu, mengantar delegasi.
Allah telah menyatukan dalam dirinya ilmu dan kedudukan, kekuatan dan
kekokohan setelah melalui jihad yang panjang.[6] Dia memiliki pandangan politik yang tajam, pengalaman yang sangat luas dalam masalah perang dan politik.[7]
Peperangan antara pendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
dan musuh-musuhnya berlangsung dalam jangka waktu bertahun-tahun.
Kemenangan sering berpihak pada pendukung dakwah. Beberapa desa jatuh
satu demi satu. Pada tahun 1178 M./1773 M., Riyadh berhasil ditaklukkan
oleh Pangeran Abdul Aziz bin Muhammad bin Sa’ ud. Sementara itu,
penguasa lamanya Daham bin Dawud melarikan diri. Dia dikenal sebagai
seorang pemimpin yang zhalim, kejam dan selalu melakukan gangguan kepada
para dai. Dia telah mengingkari kesepakatan yang dia jalin dengan para
penyeru dakwah. Setelah ditaklukannya Riyadh, maka wilayah yang tunduk
dan berada di bawah pengaruh dakwah semakin luas. Banyak orang yang
masuk ke dalam dakwah ini dengan suka rela. Kini telah sirna
hambatan-hambatan yang sering menghadang mereka, masalah-masalah yang
dulu beku kini telah terbuka, kemudahan datang setelah lama dilanda
kesulitan. Harta melimpah, keadaan menjadi tenang dan stabil. Manusia
merasa aman hidup di sebuah negeri Islam yang baru lahir, dimana selama
masa waktu yang panjang manusia tidak bisa menikmati keamanan.3
Setelah meninggalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dakwah terus
bergerak maju yang mendapat dukungan dari Sultan dan dengan dukungan
kekuasan ini dakwah pindah ke Hijaz yang sebelumnya berada di bawah
kekuasan Syarif Ghalib bin Musa’id yang mulai melakukan serangan yang
sengit terhadap keturunan Sa’ud, baik melalui jalur agama ataupun
militer. Konflik antara keduanya terus berlangsung hingga tahun 1803 M,
tatkala keturunan Sa’ud memasuki Makkah tanpa ada halangan apapun dari
pihak Syarif Ghalib yang sebelumnya menekankan perang ke Jeddah. Dua
tahun setelah itu, keturunan Sa’ud berhasil memasukkan Mekkah dan
Madinah ke dalam kekuasaannya.[8]
Pengaruh gerakan Salafiyah ini terus merambah ke sebagian besar
wilayah Jazirah Arab. Inggris merasa terancam dengan adanya pengaruh
yang semakin besar ini pada kepentingan-kepentingannya. Pemerintahan
Saudi awal telah berhasil melebarkan kekuasaannya ke Teluk Arab dan Laut
Merah. Semua kawasan yang berada di Teluk Arab masuk dan berada di
bawah kontrolnya. Pengaruh ini juga sampai ke wilayah Selatan Irak dan
juga berpengaruh di jalan darat yang membentang antara Eropa dan kawasan
Timur. Lebih dari itu semua, sesungguhnya asas-asas keagamaan yang
menjadi fokus pemerintahan ini telah memutuskan ketidakmungkinan Inggris
untuk menjadikannya sebagai sebuah negeri yang taat atau menjalin kerja
samma dengannya. Sebab tujuan utama dari didirikannya negeri ini
adalah, untuk melawan kejahatan orang-orang asing yang ada di kawasan
itu.[9]
Orang-orang Qawasim (kawasan-kawasan) sekitar yang didukung oleh
kekuatan pemerintahan Bani Sa’ ud, mampu melakukan serangan telak pada
armada Inggris pada tahun 1806 M. sehingga perairan Teluk berada di
bawah kekuasaannya.[10]
Dari segi politik, pemerintahan Bani Saud mencapai puncaknya pada
masa Saud bin Abdul Aziz, mengingat pengaruhnya telah sampai ke Karbala
di Irak dan Huran di negeri Syam. Bahkan, seluruh kawasan Teluk, kecuali
Yaman, berada di dalam kekuasaannya.[11]
Konspirasi terhadap Gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Beberapa sosok syetan berwujud manusia dari orang-orang Eropa
berpikir tentang akibat yang akan menimpa mereka, jika pemerintahan
Saudi periode awal ini memperluas pengaruhnya. Mereka melihat bahwa apa
yang dilakukan oleh pemerintahan Sa’ud akan mengancam kepentingan mereka
di kawasan Timur secara umum. Oleh sebab itulah, tidak ada jalan lain
kecuali menghancurkan pemerintahan ini. Merekapun menempuh berbagai cara
untuk menghancurkan pengaruh dakwah Salafiyah ini. Di antaranya adalah;
Pertama: Penebaran publik opini di tengah negeri Islam
melawan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka bangkitlah
orang-orang yang berkeyakinan dengan bid’ah dan khurafat, bangkit
melawan dakwah yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Perlawanan ini bukan hanya datang dari satu sisi atau dari satu pihak
tertentu, melainkan dari semua sisi. Serangan ini datang dari para
Syaikh yang memegang pengaruh yang diberikan orang awam dan orang-orang
bodoh pada mereka, mereka menginginkan terus melanjutkan bid’ah-bid’ah
dan khurafat itu dengan sangkaan bahwa itu semua adalah bagian dari
agama. Serangan juga datang dari para pemuja kuburan, dari orang yang
banyak mengambil faedah dari kotak-kotak orang yang bernadzar, datang
dari orang yang menyandarkan hidupnya atas makanan dan harta yang
diberikan kepada mereka pada peringatan orang-orang yang meninggal dunia
dan dari ziarah-ziarah. Datang juga dari orang-orang yang meyakini,
bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebarkan agama baru yang
berttentangan dengan apa yang selama ini menjadi adat dan tradisi
mereka. Orang-orang seperti ini bertebaran di mana-mana di seluruh
pelosok pemerintahan Utsmani, bahkan di hampir semua belahan dunia
Islam.. Ini semua terjadi setelah Inggris dan Perancis -musuh Islam itu-
menyebarkan fatwa yang mereka ambil dari para ulama suu’ (ulama jahat)
yang memfatwakan bahwa yang didakwahkan oleh pengikut Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab adalah rusak.[12]
Kedua: Mereka menebarkan fitnah antara gerakan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab dan pemimpin pemerintahan Utsmani. Orang-orang
Inggris dan Peranciss menebarkan racun ke dalam pikiran Sultan Mahmud
II, bahwa gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertujuan untuk
memerdekakan Jazirah Arabia dan memisahkan diri dari Khilafahah
Utsmaniyah kemudian setelah itu menyatukan dunia Arab serta mencabut
panji khilafah daan kepemimpinannya dari pemerintahan Utsmani serta
membangun Khilafah Arabiyah. Sultan merespon fitnah yang disebarkan
musuh. Padahal tidak sepantasnya dia melakukan itu. Apa yang pantas
dilakukan adalah, hendaknya dia meragukan nasehat bohong ini dan
mengirimkan para pemuka pemerintahan untuk melakukan investigasi dan
meneliti masalah ini. Sultan tidak menyadari bahaya dari pembenaran
terhadap kabar keji yang diarahkan pada gerakan Islam yang murni. Sangat
disayangkan dengan menuruti usulan-usulan musuh yang mengharuskan agar
gerakan itu diberangus sebelum dia membesar. Pemerintahan Utsmani telah
mengeluarkan biaya yang besar dan mengerahkan demikian banyak orang
untuk memberangus gerakan ini.[13]
Pemerintahan Utsmani merencanakan langkah-langkahnya untuk memerangi
pemerintahan Saudi periode awal. Mereka mulai menugaskan penyelesaian
masalah ini pada beberapa gubernur yang bertetangga dengan pemerintahan
Saudi. Langkah ini diambil dengan dua tujuan; (1) membendung perluasan
wilayah Saudi di wilayah timur arab dan (2) untuk melemahkan
gubernur-gubernur itu dan untuk mengeruk sumber penghasilan mereka
hingga tetap menjadi gubernur yang lemah sehingga akan terus tunduk pada
pemerintahan Utsmani. Maka untuk pertama kalinya, perintah untuk
melawan pemerintahan Saudi diberikan kepada gubernur Baghdad sebab dia
adalah gubernur yang paling dekat ke wilayah Najd. Namun sang Gubernur
Baghdad sedang disibukkan dengan adanya guncangan yang terjadi di dalam
negerinya. Tentaranya sangat lemah dan sangat tidak mungkin untuk
melakukan serangan pada pemerintahan Saudi. Serangan mereka berkali-kali
mengalami kegagalan, saat harus membendung serangan di perbatasan Irak.
Maka pemerintah Utsmani segera mengarahkan pandangannya pada gubernur
Syam dengan harapan dia bisa berhasil dan tidak mengalami kegagalan
seperti apa yang dialami oleh gubernur Irak. Ternyata kegagalan yang
diderita gubernur Syam jauh lebih menyedihkan dari apa yang dialami oleh
rekannnya gubernur Irak. Tatkala pemerintahan Utsmani telah putus asa
terhadap kekuatan para gubernurnya yang berada di Baghdad dan Syam[14],
dia mengalihkan pandangannya ke Mesir. Pemerintahan Utsmani meminta
pada gubernurnya Muhammaad Ali pada tahun 1807 M., untuk melakukan
serangan ke negeri Arab dengan tujuan “membersihkan dan membebaskan
Haramain Syarifaian” dari tangan orang-orang Saudi serta mengembalikan
kekuasaan pemerintahan Utsmani yang hampir hilang di Jazirah Arabia.
Namun Muhammad Ali tidak memenuhi permintaan pemerintahan Utsmani ini
kecuali pada tahun 1811 M., setelah dia berhasil melepaskan diri dari
para Beik Mamluk pada pembantaian Qal’ah.[15]
Sesungguhnya para pengikut dakwah Salafiyah tidak pernah menuntut
khilafah dan sama sekali tidak pernah mengatakan penentangan bahwwa
dirinya tidak tunduk padanya. Namun sesungguhnya, perselisihan itu
hanya ada dalam dua hat yang asasi. Pertama. permintaan
para pengikut gerakan Salafi tentang adanya keharusan untuk komitmen
para jemaah haji dalam berpegang teguh dengan manhaj Islam dan mencabut
semua hat yang keluar dari manhaj Islam. Kedua, adanya
perasaan pemerintahan Utsmani yang tidak berdaya di depan kekuasaan
gerakan Wahhabi atas kota-kota Suci yang berada di Hijaz. Sebab mereka
tahu, bahwa ketidakmampuan mereka ini berarti penurunan wibawa dan
posisi mereka secara politik.[16]
Al-Jabarati menerangkan bahwa sikap gerakan Wahhabi terhadap jama’ah
haji yang datang dari Syam adalah, “Janganlah mereka datang kecuali
dengan syarat yang telah disyaratkan atas mereka. Janganlah mereka
datang dengan membawa usungan, gendang, suling dan senjata dan semua hat
yang dianggap bertentangan dengan syariah. Maka tatkala mendengar itu
semua, mereka kembali dan tidak jadi melaksanakan haji dan pada saat
yang sama tidak meninggalkan kemungkaran-kemungkaran yang mereka
lakukan.[17] Dia juga menyebutkan sikap yang sama yang dilakukan oleh jamaah haji yang datang dari Mesir.[18]
Sedangkan perintah Sultan Utsmani hanya terbatas pada Muhammad Ali
adalah tuntutan untuk memerangi pemerintahan Saudi dan dengan dorongan
dari surat-surat yang dikirim oleh Syarif di Jeddah serta dengan adanya
konspirasi dan dorongan yang demikian kuat dari Inggris untuk
membebaskan Haramain serta memberikan nasehat untuk rakyat dan para
pelaku bisnis.[19]
Permintaan itu berulang dan masih berkisar pada tuntutan agar Haramain
dibebaskan. Setelah kekuatan militer mampu menguasai negeri Hijaz, dan
setelah mengalami beberapa kali kekalahan saat berhadapan dengan
pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Sultan Mahmud II mengirimkan
sebuah edaran ke Mesir yang dibacakan di mesjid yang menyebutkan bahwa
Haramain telah bisa dikuasai kembali.[20]
Ini semua memberikan petunjuk bahwa Sultan Utsmani tidak memiliki
tujuan lain kecuali hanya untuk mengembalikan Hijaz ke dalam pangkuan
pemerintahan Utsmani.
Sangat mungkin peperangan terhenti hingga di sini, sebab kekuatan
Muhammad Ali telah menguasai kota-kota di Hijaz. Dan Muhammad Ali
setelah itu diangkat untuk menjadi penguasa baru di Hijaz yang
membuatnya harus pergi meninggalkan Mesir menuju Hijaz, dan tragisnya
lagi dia mengusir Syarif Ghalib yang telah membantu pasukannya dan telah
membantunyya untuk bisa memasuki Hijaz.[21]
Sementara itu, para pemimpin dakwah Salafiyah Saudi telah menawarkan
proses damai pada Muhammad Ali. Namun Muhammad Ali memberikan syarat
yang sangat sulit untuk direalisasikan. Dalam penolakannya itu juga
terkandung ancaman. Al-Jabarati meriwayatkan apa yang dikatakan oleh
Muhammad Ali dengan mengatakan; “Adapun perjanjian damai itu kami tidak segan menerimanya, namun dengan beberapa syarat. Yaitu hendaknya belanja perang yang kami gunakan sejak awal perang hingga
surat perjanjian itu ditandatangani, diganti. Semua yang diambil dari
mutiara-mutiara dan harta simpanan yang ada di dalam kamar yang mulia
juga harus dibawa. Demikian juga harga barang yang telah mereka
belanjakan harus dibawa. Barulah setelah itu datang menemui saya dan
melakukan perjanjian dengan saya. Dan selesailah perjanjian damai
setelah itu. Namun jika ini tidak dipenuhi dan tidak mau datang dengan
membawa apa yang kami minta…maka kami akan datang menemuinya.”[22]
Hakekat Ekspedisi Militer Muhammad Ali ke Hijaz dan Najd
Sesungguhnya peperangan antara Muhammad Ali dan pengikut Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah peperangan antara dua kekuatan Islam
yang sejajar, dan bukan pula perang Arab sebagaimana yang disebarkan
oleh sebagian orang. Sebaliknya perang ini adalah antara kekuatan Islam
yang tidak memiliki ambisi politik apa-apa, namun hanya menampakkan
ghirahnya dan keinginannya yang sangat tinggi untuk kembali ke
prinsip-prinsip asasi dalam agama Islam yang tak lain adalah kekuatan
pemerintahan Saudi periode awal. Sebagaimana kekuatan ini juga
menunjukkan semangat yang tinggi untuk membendung bahaya kolonialisme
kafir yang ada di negeri-negeri Islam. Sedangkan kekuatan yang
memeranginya dan yang dikirim oleh gubernur Mesir yang sebenarnya bukan
berasal dari penduduk Mesir, dimana sebagian besar dari mereka adalah
dari Arnauth, sebagian dari orang Turki, orang-orang Kristen dan
sebagian perwira Perancis.[23] Kebanyakan dari pemimpinnya tidaklah menyangdang Islam kecuali hanya sekedar nama.
Sejarawan Al-Jabarati yang menjadi saksi mata dari peristiwa
kekalahan pasukan Mesir ini di hadapan dakwah Salafiyah pada
awal-awalnya mensifati kesalehan dan kewara’an pengikut Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab, dia berkata; “DDimana kemenangan akan kita peroleh,
sedangkan kebanyakan dari pasukan kita tidak beragama! Di antara mereka
ada yang tidak peduli pada agama, dan tidak bermadzhab sebagaimana
madzhab kita. Kita dibarengi dengan kotak-kotak minuman haram dan
memabukkan. Di tengah kita tidak terdengar suara adzan tidak pula
ditegakkan kewajiban agama. Tidak pernah terlintas di dalam jiwa dan
pikiran mereka syiar-syiar agama, sedangkan kaum itu (maksudnya adalah
pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) tatkaala masuk waktu shalat
para juru adzan mereka mengumandangkan adzan dan mereka berbaris di
belakang seorang imam dengan khusyu’ dan khudhu’. Sedangkan jika waktu
shalat tiba dan perang sedaang berkecamuk, maka seorang di antara mereka
mengumandangkan adzan dan melakukan Shalat Khauf. Sebagian di antara
mereka maju dan sebagian yang lain mengakhirkan shalatnya. Sedangkan
pasukan kita kagum dengan apa yang mereka lakukan, sebab mereka belum
pernah mendengar apalagi melihat seperti apa yang mereka lakukan. Mereka
(pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) menyeru di tengah-tengah
pasukannya, datanglah kalian semua untuk memerangi orang kafir, yang
mencukur agama mereka, yang menghalalkan perzinahan dan homoseksual,
peminum khamar. Tatkala disingkapkan baju tentara yang terbunuh,
ternyata mereka banyak yang tidak dikhitan. Tatkala mereka (orang-orang
Muhammad Ali) sampai di Badar dan menguasainya dan menguasai desa-desa
dan pegunungan, sedangkan di sana ada beberapa orang yang baik memiliki
ilmu dan saleh, maka mereka pun merampas wanita-wanita mereka, anak-anak
dan gadisnya serta bbuku-buku mereka.[24]
Sedangkan Muhammad Ali, bukanlah sosok yang komitmen dengan syariah
Allah dalam perangnya, bahkan tindakan-tindakannya sama sekali
bertentangan dengan syariah dan melampaui batas-batas yang Allah
tentukan serta tidak peduli dengan hukum Islam. Maka tidak heran jika
pasukannya membunuh, menghancurkan dan mengambil harta benda serta
merusak hak-hak kaum muslimin yang menegakkan tauhid.
Inilah Ali bin Abi Thalib yang berkata pada para pengikutnya pada saat terjadi peristiwa Jamal (perang Unta); “Janganlah
kalian mengejar orang-orang yang telah melarikan diri, janganlah kalian
melakukan sesuatu pada orang yang sudah terluka, dan barangsiapa yang
melepaskan senjatanya maka dia telah aman.”[25]
Beliau juga berkata; “Hati-hatilah! Janganlah kalian bertindak
kasar pada wanita, walaupun mereka mencela kehormatan kalian dan
menghina para pemimpin kalian, sesungguhnya seorang laki-laki yang
memperlakukan seorang wanita dengan kasar dan sinis, maka dia akan
mendapatkan sangsinya.”[26]
Dari Abi Umamah Al-Bahili dia berkata : “Saya
menyaksikan peristiwa Shiffin dan mereka tidak melakukan tindakan kasar
terhadap orang-orang yang terluka dan tidak pernah membunuh orang yang
melarikan diri, tidak pula mencincang orang yang meninggal.”[27]
Sesungguhnya Sultan Utsmani telah merasa cukup dengan menjadikan
Hijaz tunduk di bawah pemerintahannya. Sedangkan serangan terhadap
Dir’iyyah, bukanlah tuntutan yang mendesak dan wajib dilakukan.
Sedangkan Muhammad Ali sangat keras dalam memberikan persyaratan damai,
satu hal yang menunjukkan ambisinya untuk terus melanjutkan perang.
Sebab tujuannya adalah untuk memenuhi ambisi pribadi dan untuuk
melakukan perluasan dalam lingkup yang diperkenankan oleh target-target
politik Inggris di kawasan itu, setelah Saudi dianggap menjadi batu
ganjalan yang menyulitkan bagi eksistensi Inggris di kawasan Arabia
secara keseluruhan, baik di Laut Merah ataupun di Teluk Arab atau
karena sampainya pemerintahan Saudi melalui jalur darat ke Irak. Maka
Inggris merasakan adanya ancaman yang serius terhadap kepentingannya di
Timur. Sangat tepat jika kita katakan, bahwa ekspedisi ini ekspedisi
Salibis yang dibungkus dengan mantel Islami.[28]
Tatkala Thusun bin Muhammad Ali kalah perang saat berhadapan dengan
pangeran Abdullah bin Saud dan separuh pasukannya hancur, maka Muhammad
Ali keluar langsung menuju Hijaz pada tahun 1813 M. Kemudian dia
menangkap penguasa Mekkah Ghalib bin Musa’id dengan tuduhan melakukan
konspirasi dengan penguasa Saudi. Setelah itu, dia mengambil semua
barang yang dimiliki Ghalib, apapun bentuknya. Dengan demikian, penguasa
Mekkah kini menjadi salah seorang pejabat Muhammad Ali di Hijaz. Tak
berapa lama, Muhammad Ali memenangkan peperangan terhadap kekuatan
pemerintahan Saudi pada bulan Januari 1815 M. dalam sebuah
peperanganyyang disebut dengan Basal.[29]
Peristiwa ini oleh sebagian orang dianggapp sebagai peristiwa terbesar
dalam perang yang dipimpin oleh gerakan Wahhabi, bahkan merupakan
peristiwa paling monumental dalam sejarah peperangan Mesir.[30]
Muhammad Ali tidak berdiam lama di Jazirah Arabia demi menorehkan
kemenangan-kemenangan yang lain. Sebaliknya dia kembali ke Mesir dan
membiarkan anaknya Thusun di Hijaz.[31]
Dengan cepat Thusun mampu mengalahkan pasukan Saudi untuk pertama
kalinya. Setelahh itu dia segera bergerak menuju arah utara Najd hingga
sampai ke kota Ras, setelah itu dia menguasai Syabiyah dan kini pintu
untuk menuju Dir’iyyah terbuka lebar di depan matanya. Maka Pangeran
Abdullah segera membuka pintu damai dengannya, untuk mencegah semakin
banyaknya tumpahan darah kaum muslimin serta untuk melindungi kota-kota
dan desa. Terjadilah perundingan damai itu antara dua pihak dengan
syarat-syarat sebagai berikut;
1. Pasukan Mesir menduduki Dir’iyyah.
2. Hendaknya Pangeran Abdullah mengikuti perintah Thusun Pasya, dan hendaknya berangkat ke tempat yang dikehendaki Thusun.
3. Hendaknya Pangeran Abdullah memberikan jaminan perjalanan haji
dan tunduk pada hukum sipil yang datang dari Muhammad Ali sejak
kesepakatan ini hingga saat ditandatanganinya kesepakatan.
4. Janganlah kesepakatan ini diberlakukan sebelum ditetapkan oleh Muhammad Ali.
Ternyata syarat-syarat ini tidak diterima oleh Pangeran Abdullah. Dia
pun mengambil keputusan untuk mengirim utusan langsung kepada Muhammad
Ali secara langsung untuk membicarakan syarat-syarat tersebut. Namun
delegasi yang dia utus gagal dalam usahanya, karena adanya sikap keras
kepala para Pasya. Maka pengikut Bani Saud kembali bersiap untuk
berperang dan bertempur. Maka Muhammad Ali kembali mengirim ekspedisi
militer pada tahun 1816 M. Yang dipimpin langsung oleh anaknya Ibrahim
Pasya.[32]
Pasukan Ibrahim Pasya bergerak dari Hijaz menuju Najd dan berhasil
menguasai kota-kota Unaizah, Buraidah dan Syaqra’, serta bisa
menaklukkan kawasan Alqashim. Ibrahim meneruskan gempuran dengan
menggunakan taktik lembut terhadap para kabilah. Yakni sebuah taktik
yang berusaha menjadikan orang-orang Najd senang padanya. Dimana dia
selalu mengadakan pertemuan dan memberikan hibah pada banyak orang,
terutama di awal kedatangannya dengan memakai metode yang membuat
kabilah-kabilah tertarik. Maka dia melarang pasukannya merampas dann
merampok harta rakyat. Dengan pasukannya yang sangat terlatih yang
terdiri dari orang-orang Perancis, dia mampu melanjutkan serangan hingga
ke Dir’iyah yang kemudian dikepung karena memiliki pertahanan yang
kokoh. Pengepungan ini berlangsung lama yang dimulai sejak bulan April
hingga Septernber 1818 M. dan berakhir dengan menyerahnya Pangeran
Abdullah bin Saud serta masuknya Ibrahim ke Dir’iyah. Dari Dir’iyah
Pangeran Abdullan dikirim ke Mesir dengan pengawalan yang sangat ketat.
Setelah dari Kairo, dia dikirim ke Istanbul.[33]
Pangeran Abdullah diarak di jalan-jalan Istanbul selama tiga hari
penuh, kemudian setelah itu diperintahkan agar dia dihukum pancung.
Semoga Allah memberikan rahmatnya pada orang yang dizhalimi ini[34]
dan nanti di Hari Kiamat akan tampak bagaimana hakikat pembunuhannya
itu. Sesungguhnya dia telah mengajak untuk berdamai, perdamaian yang
diinginkan oleh penduduk Jazirah Arabia, melalui sebuah surat yang
dikirimkan oleh Syaikh Ahmad Al-Hanbali kepada Thusun. Mereka telah
menjelaskan bahwa mereka mengakui kesultanan Utsmani dan tidak pernah
menyatakan pemberontakan terhadap pemerintahan Utsmani. Lalu kenapa ada
usaha yang terus menerus untuk melakukan penyerbuan ke Jazirah Arabia?
Demikian ruh kaum muslimin dibinasakan oleh tangan sebagian kaum
muslimin yang lain, akibat tipu daya musuh. Padahal orang-orang Jazirah
Arabia telah membantu kaum muslimin di Mesir tatkala mereka dijajah oleh
orangg-orang Perancis. Lalu kenapa harus ada permusuhan yang disengaja?
Sesungguhnya Muhammad Ali dengan bantuan para pemimpin yang menisbatkan
dirinya pada Islam mampu meyakinkan sebagian besar kaum awam, bahwa
mereka melakukan itu sebagai bukti ketaatan mereka kepada khalifah
Rasulullah yang harus mereka tunduk padanya dan taati. Dan bahwa yang
mereka lakukan kata Muhammad Ali-adalah dalam rangka mencegah pemisahan
Jazirah Arabia dari kekhilafahan Utsmani.[35]
Sesungguhnya masalah loyalitas dan disloyalitas terhadap agama Islam,
sama sekali tidak ada pada pribadi Muhammad Ali dengan dalil bahwa dia
memberikan sikap loyalitasnya kepada musuh-musuh Islam. Dia memberikan
kesempatan pada mereka untuk memimpinnya, memimpin dan menggiring umat
bersama-sama dengannya kepada kehancurannya. Ini merupakan akibat dari
adanya kelakuan pedagang tembakau yang tidak ketahuan nasabnya yang
menginginkan dirinya duduk menjadi penguasa di negeri kaum muslimin.[36]
Inggris demikian senang tatkala mengetahui jatuhnya Dir’iyyah, ibu kota Saudi yang pertama, di tangan kekuatan Ibrahim Pasya.[37]
Pemerintahan Saudi Salafiyah inilah yang telah membantu Qawasim dalarn
jihad mereka melawan orang-orang Inggris di Teluk Arab, sehingga
mengancam kepentingan Inggris d India sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelum ini.[38]
Di sini kita patut bertanya, khususnya dalam peristiwa-peristiwa ini
yang dialami oleh dunia Islam dalam sejarahnya di masa modern. Kita akan
katakana: Andaikata tentara Muhammad Ali dan pasukan pemerintah Utsmani
bekerjasama dengan pemerintahan Saudi periode awal dan bukan malah
memeranginya untuk menghadapi keserakahan orang-orang Eropa secara umum
dan Inggris secara khusus, jika ini yang terjadi pasti wajah sejarah
akan berubah. Khususnya bahwa pemerintahan Saudi itu adalah pemerintahan
Islam yang dibangun di alas prinsip dasar Salafiyah yang benar. Dunia
Islam saat itu demikian membutuhkan pemerintahan seperti ini. Apapun
yang terjadi, sesungguhnya Inggris menyadari apa yang bisa mereka ambil
manfaat dari kondisi yang terjadi saat ini. Maka mereka pun dengan
segera mengucapkan selamat kepada Ibrahim Pasya, dengan prinsip untuk
menjaga kepentingan mereka. Inggris mengutus kapten George Forester
Sadler[39]-
untuk memberikan ucapan selamat kepada Ibrahim Pasya atas
keberhasilannya dalam menguasai Dir’iyah serta adanya usaha untuk
membentuk kerja sama antara kekuatan darat Ibrahim Pasya dan kekuatan
laut Inggris dalam rangka menghadapi Qawasim, yang merupakan pengikut
pemerintahan Saudi periode awal.<[40]
Sesungguhnya hubungan antara Muhammad Ali dan orang-orang Inggris itu
adalah hubungan yang sudah terjalin demikian lama. Sejak awal masa
pemerintahannya, dia langsung melakukan perundingan dengan mereka selama
empat bulan. Dalam perundingan itu Muhammad Ali menekankan, tentang
keseriusannya dan keinginannya yang demikian tulus untuk membangun
hubungan dengan Inggris, bahkan lebih jauh dari itu dia rela menempatkan
dirinya berada di bawah perlindungan Inggris. Inilah yang disebutkan
oleh keterangan yang disampaikan oleh Freezer, delegasi yang menjadi
wakil dalam perundingan itu. Satu hal yang membuat -setelah puas dengan
itu- mereka meninggalkan sekutu-sekutu lamanya orang-orang Mamluk. Isi
dari kesepakatan yang disiapkan oleh pimpinan ekspedisi Freezer yang
melakukan perundingan dengan utusan Muhammad Ali yang dikirim pada
Jendral Moor tanggal 16 Oktober tahun 1807 M. mengandung bagian penting
dari isi perjanjian itu. Dalam ketetapan itu disebutkan; “Ijinkan saya
untuk membeberkan kepada tuan agar ini menjadi fokus perhatian tuan
tentang isi pembicaraan yang terjadi antara Pasya Mesir dengan Mayor
Jenderal Sharirouk dan kapten Feloz saat keduanya melakukan tugas
mereka. Satu hal yang membuat saya yakin bahwa pembicaraan ini, dan
komunikasi khusus yang lain yang saya lakukan bersamanya, menggambarkan
bahwa dia itu sangat serius dengan apa yang menjadi usulannya. Muhammad
Ali Pasya, gubernur Mesir telah mengutarakan keinginannya untuk
memposisikan dirinya di bawah perlindungan Inggris. Kami menjanjikan
padanya akan menyampaikan usulannya itu kepada pimpinan-pimpinan
kekuatan Inggris dengan harapan mereka menyampaikannya pada pemerintah
Inggris.
Sementara itu, Muhammad Ali Pasya menjanjikan untuk melarang
orang-orang Perancis, Turki atau kekuatan lain yang berada di bawah
sebuah pemerintahan tertentu untuk masuk ke Iskandariyah dari jalan laut
dan sebagai sekutu Inggris Raya di Iskandariyah. Namun tak ada pilihan
lain baginya untuk menunggu dan untuk tidak meminta bantuan Inggris
dengan kekuatan lautnya, tatkala ada serangan dari arah laut sebab dia
tidak memiliki kapai-kapal perang. Pada saat yang sama Muhammad All
Pasya sepakat untuk membekali kapal-kapal Inggris yang berada jauh dari
Iskandariyah dengan semua apa yang dibutuhkan, termasuk air sungai Nil
tatkala ada isyarat kesepakatan untuk itu.[41]
Konsul Perancis Drupati memberikan catatan atas apa yang sampai
padanya dari kabar tentang kesepakatan antara Muhammad Ali dan Inggris
yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari kesepakatan bahwa itu
adalah; “Perjanjian seperti ini tatkala sampai pada titik kesepakatan
akan menggolkan semua keinginan Inggris dengan cara mengirimkan
ekspedisi militer mereka ke Mesir, jika akibatnya tidak disadari dengan
dikirimkannya ekspedisi militer tersebut.“[42]
Inggris tidak ingin mengumumkan semua isi perjanjian setelah
ditandatanganinya dan mereka meninggalkan Iskandariyah serta diserahkan
kepada Pasya Mesir, ssebab Inggris melihat pentingnya melihat dengan
teliti akibat apa yang akan mereka terima jika harus menyatakan
permusuhan secara terang-terangan terhadap pemerintahan Utsmani sebagai
akibat bantuan yang diberikan Inggris pada seorang penguasa yang
menginginkan kemerdekaan dari pemerintahannya. Padahal saat itu,
diplomasi Inggris memiliki kepentingan yang demikiian besar dari
pemerintahan Utsmani. Di samping itu Inggris juga mengambil banyak
faedah dari anteknya yang baru untuk meluaskan pengaruhriya di kawasan
itu jika mungkin.[43]
[1] Dinukil dari “Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah”, Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2003, hal. 469-483.
[2] Lihat : Imam at-Tauhid Muhammad bin Abdil Wahhab, Ahmad al-Qaththan, hal. 35
[3] Ibid : hal. 36
[4] Ibid : hal. 45-46.
[5] Lihat : Istimrariyat ad-Da’wah, Muhammad Sayyid al-Wakil (III/293).
[6] Lihat : Imam at-Tauhid Muhammad bin Abdil Wahhab, Ahmad al-Qaththan, hal. 53
[7] Ibid : hal. 78
[8] Lihat : Al-A’lam al-‘Arobi fit Tarikh al-Hadits, hal. 17.
[9] Lihat : Qira’at Jadiidah fi Tarikhil Utsmaniyyin, hal. 156.
[10] Ibid : hal. 158.
[11] Lihat : Ad-Daulat al-Utsmaniyyah, DR. Jamal, hal. 94.
[12] Idem : hal. 94.
[13] Idem : hal. 95.
[14] Lihat : Al-‘Alam al-‘Arobi fit Tarikh al-Hadits, DR. Ismail Yagha, hal. 171.
[15] Ibid : hal. 172.
[16] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit tarikh al-‘Utsmani, hal. 183.
[17] Lihat : Min Akhbar an-najd wal Hijaz, Muhammad Adib Sholih, hal. 111.
[18] Idem : hal. 111-112.
[19] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit tarikh al-‘Utsmani, hal. 186.
[20] Lihat : Min Akhbar al-Hijaz wan Najd, Muhammad Adib Gholib, hal. 110.
[21] Ibid : hal. 100.
[22] Lihat : ‘Ajaib al-Atsar Akhbar Yaumi Akhir Dzilqo’dah Sanat 1328, Adib Gholib, 149.
[23] Lihat : Ad-Daulat al-‘Utsmaniyyah, Muhammad Anis, hal. 233.
[24] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal.188.
[25] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitabul Jamal (XV/263).
[26] Lihat : Nashbur Rooyah, Az-Zaila’i (III/463).
[27] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang shahih. Sedangkan Imam adz-Dzahabi menyatakan sebagai hadits mauquf di dalam Al-Mustadrak (II/155).
[28] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal. 189.
[29] Lihat : Ad-Daulah as-Su’udiyah al-‘Ula, DR. Abdul Halim Abdur Rahman,hal. 199-235.
[30] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal. 172.
[31] Ibid : hal. 172.
[32] Lihat : Ad-Daulah as-Su’udiyah al-‘Ula, hal. 339-345.
[33] Lihat : Al-‘Alam al-‘Arobi fit Tarikhil Hadits, hal. 174.
[34] Ibid : hal. 174.
[35] Lihat : Ad-Daulah al-Utsmaniyyah, DR. Jamal Abdul Hadi, hal. 96.
[36] Ibid : hal. 97.
[37] Lihat : Dirosat fi tarikh al-Khaliij al-‘Arobi al-hadits wal Mu’ashir (I/198).
[38] Lihat : Tarikh al-Ahsa’ as-Siyasi, DR. Muhammad ‘Arobi, hal. 42-43.
[39] Lihat : Dalil al-Khaliij at-Taarikhi, J.J. Lurimer (II/1009-1010).
[40] Lihat : Huruub Muhammad ‘Ali ‘ala asy-Syaam, DR. Ayidh ar-Ruuqi, hal.112.
[41] Lihat : Mishr fi Mathla’ al-Qornit Taasi’ ‘Asyar, DR. Muhammad Fu’ad Syukri (II/856-857).
[42] Ibid : hal. (II/826).
[43] Lihat : Daur al-Kanisah fi Hadmid Daulatil Utsmaniyyah, Tsuroyya Syahin, hal.56-57.
abunamira.wordpress.com
No comments:
Post a Comment