Acara Agustusan yang kita kenal di Indonesia di Arab
Saudi disebut yaum wathoni atau hari nasional. Mari kita simak
penjelasn Syaikh Dr Khalid Mushlih, murid dekat dan menanti Ibnu
Utsaimin tentang yaum wathoni [agustusan ala Saudi].
“Hukum asal perayaan atau menentukan hari tertentu dalam satu tahun
untuk mengenang terjadinya penyatuan beberapa wilayah dalam satu
kekuasaan atau mengenang kemerdekaan negara tersebut ada dua pendapat
ulama dalam hal ini.
Ada yang berpendapat bahwa hal ini adalah kegiatan non ritual ibadah yang pada dasarnya diperbolehkan. Menimbang bahwa hal ini tradisi dan budaya masyarakat yang tidak ada di dalamnya melainkan sekedar ekspresi gembira dan menyebut-nyebut nikmat Allah dengan adanya peristiwa yang melatarbelakangi diselenggarakannya kegiatan di hari tersebut. Mereka berargumen dengan hukum asal segala sesuatu adalah halal dan mubah.
Pendapat yang kedua melarang dengan alasan bahwa ini adalah ied
sedangkan hukum asal ied adalah haram. Hal itu karena saat Nabi tiba di
kota Madinah penduduknya baik Aus ataupun Khajraj merayakan dua hari.
Saat ditanyakan kepada mereka mengenai dua hari tersebut. Mereka
mengatakan bahwa dua hari tersebut adalah dua hari yang mereka isi
dengan ‘main-main’ semenjak masa jahiliah. Nabi lantas bersabda bahwa
Allah telah ganti dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik
yaitu Iedul Adha dan Iedul Fitri.
Dari hadits ini sejumlah ulama membuat kesimpulan bahwa tidak boleh menentukan hari tertentu dalam satu tahun untuk diisi dengan acara senang-senang dan main-main karena hari semacam itu telah diganti dengan dua hari yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Iedul Fitri.
Sesuatu yang telah diganti itu semestinya ditinggalkan dan tidak
boleh diambil. Ini dua pendapat ulama dalam masalah ini. Masing masing
pendapat ini memiliki ulama ulama yang membela dan mendukungnya.
Yang paling dekat dengan kebenaran dari dua pendapat ini dari alasan
dan kaedah adalah pendapat yang mengatakan bahwa peringatan semacam ini
tergolong masalah tradisi, bukan ibadah yang manusia punya hak untuk
menentukan hari tertentu yang mereka inginkan karena tidak ada unsur
ritual keagamaan di dalamnya sedangkan yang namanya bid’ah itu terkait
dengan unsur ibadah.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa HP itu bid’ah maka itu tidak benar karena HP itu tidak memiliki kaitan dengan ritual ibadah. Adanya penggunaan HP untuk mengetahui waktu ibadah, menuntut ilmu dan menambah wawasan itu tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah. Itu sekedar sarana yang dalam masalah saranan kebaikan terdapat aturan yang longgar.
Sesuatu yang disebut ied sacara syariat itu harus memuat dua unsur, disamping ada unsur ritual ibadah ada juga unsur non ibadah.
Menimbang bahwa unsur ritual ibadah itu tidak ada dalam acara peringatan semacam ini, tidak ada orang yang membuat ritual ibadah semisal shalat pada hari kemerdekaan maka acara ini tergolong non ibadah sehingga hukum asalnya adalah mubah.
Longgar dalam memberikan label bid’ah pada kegiatan semisal ini menyebabkan banyak hal-hal yang tergolong budaya akan dilabeli bid’ah.
Misalnya saat pagi orang terbiasa mengucapkan ‘selamat pagi’ dan ini
bisa kita katakan dilakukan setiap hari. Demikian pula ‘selamat sore’ di
sore hari, ‘selamat tidur’ saat malam. Apakah rutinitas semisal ini
tergolong bid’ah? Jawabannya tentu saja ‘tidak’ karena ini tergolong non
ritual keagamaan. Tidak ada orang merasa beribadah kepada Allah dengan
melakukan hal-hal di atas.
Oleh karena itu unsur ibadah itu tidak terlihat dalam acara peringatan ini.
Memang ada yang menganut kaedah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Sebenarnya saya pribadi berusaha untukmenemukan landasan
kaedah ini dari perkataan para ulama terdahulu namun saya belum
mendapatkannya. Saya memang belum maksimal mencarinya namun saya sudah
cukup bersusah payah untuk mendapatkannya dari perkataan para ulama
sebelum Ibnu Taimiyah. Kaedah Ibnu Taimiyah tersebut mengatakan bahwa
ied itu tergolong bab ibadah bukan bab non ibadah.
Dampak jika kita terima kaedah ini banyak hal yang berputar secara periodik tergolong bid’ah.
Intinya mengenai hukum peringatan semisal ini ada ulama yang
berpendapat hukumnya mubah, ada yang berpendapat hukumnya makruh dan ada
juga yang mengharamkannya. Ini tiga pendapat ulama mengenai membuat
hari tertentu yang diperingati secara periodik.
Perbedaan pendapat ini tentu harus dipertimbangkan supaya tidak ada
yang beranggapan hanya ada satu pendapat dalam masalah ini baik mubah
atau pun haram.
Initinya ada kelonggaran dalam masalah ini. Hal ini bukanlah
permasalahan ushuliyyah [hal-hal mendasar] yang tidak ada perselisihan
di dalamnya.
sumber : http://ustadzaris.com/hukum-agustusan
No comments:
Post a Comment