oleh : Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Setiap muslim sampai yang awwam sekali pun, insya Allah
mengerti bahwa membunuh merupakan salah satu perbuatan dosa besar yang
dilarang dalam agama Islam. Namun, bagaimana halnya jika ada orang ahli
ibadah yang meyakini bahwa membunuh kaum muslimin, merampok harta mereka
dan menodai kehormatan wanita muslimah, termasuk satu bentuk ibadah
yang paling agung? Di bawah ini, kami membawakan dua contoh nyata yang
terjadi di zaman dahulu kala dan di zaman ini, yang menggambarkan adanya
jenis tipe manusia di atas:
- Suatu hari Imran bin Hithan, ulama sekte Khawarij, bersyair memuji Ibnu Muljam1, pembunuh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a~:
يَا ضَرْبَةً مِنْ تَقِيِّ مَا أَرَادَ بِهَا
إِلاَّ لِيْبْلُغَ مِنْ ذِيْ الْعَرْشِ رِضْوَاناَ
إِنِّيْ لأَذْكُرُهُ يَوْمًا فَأَحْسِبُهُ
أَوْفَى الْبَرِيَّةِ عِنْدَ اللهِ مِيْزَانَا
Alangkah mulianya sabetan pedang orang yang bertakwa (Ibnu Muljam).
Dia tidak memiliki tujuan, selain menggapai ridho Allah Ta’ala.
Setiap aku teringat dirinya, aku selalu berharap
Bahwa dialah yang paling berat timbangan amal kebaikan di sisi Allah Ta’ala.2
- Para pelaku pengeboman yang belakangan ini cukup marak di berbagai
penjuru dunia, dan banyak kaum muslimin yang menjadi korban tindak
pengeboman tersebut. Apakah ketika mereka menjalankan tindak kriminal
itu, mereka menganggapnya sebagai perbuatan dosa? Atau justru sebuah
ibadah mulia yang diyakini akan mengantar pelakunya ke derajat paling
tinggi di surga bersama para syuhada?!
Mengapa mereka meyakini tindak kejahatan itu sebagai amal shalih?
Apakah seluruhnya itu dilakukan tanpa adanya latar belakang ideologi
tertentu? Ideologi rusak yang mendalangi tindak kejahatan di atas
itulah, yang sedang kita soroti pada pembahasan kali ini. Ya, ideologi
itu adalah: “ideologi asal vonis kafir”! Dalang utama di balik kejahatan
yang marak belakangan ini.
Tidak diragukan lagi bahwa takfir (penjatuhan vonis kafir)
merupakan istilah syar’i, namun amat disayangkan, tidak sedikit oknum
yang memanfaatkannya untuk mewujudkan niat-niat buruk mereka. Maka
istilah tersebut harus dijelaskan dengan gamblang, beserta
kaidah-kaidahnya. Selain itu, ideologi yang keliru tentangnya harus
diluruskan juga.
Api hura-hura yang diakibatkan ideologi ini harus segera dipadamkan.
Caranya: dengan menemukan sumber api tersebut, yaitu: “ideologi asal
vonis kafir”, lalu memadamkannya terlebih dahulu sebelum menyibukkan
diri dengan solusi-solusi lain.
Namun, meluruskan sebuah ideologi atau pemikiran yang menyimpang,
bukan suatu pekerjaan yang mudah! Karena para pengusungnya telah
menganggapnya sebagai ruh jiwa dan jalan hidup. Kita harus bisa membuat
pengusungnya sadar dan bisa menerima dengan legowo bahwa
ideologi yang sedang dia anut adalah keliru. Dan hal itu, dengan izin
Allah Ta’ala, hanya bisa dihadapi dengan menggunakan ilmu yang murni dan
benar, yang disampaikan dengan cara yang santun.3
Maka sepantasnya bagi kita untuk mempelajari norma-norma takfir agar
kita tidak gegabah menvonis saudara kita kafir padahal akan menjadi
boomerang bagi kita sendiri, sebab tidak sepantasnya seorang
berkecimpung dalam masalah takfir sebelum dia memahami kaidah-kaidahnya.
Jika bila tidak memahaminya, maka dia akan terjatuh dalam kehancuran
dan dosa serta mendapatkan kemurkaan Allah. Hal itu karena pengkafiran
adalah masalah besar dalam agama dan masalah yang sangat jeli, tidak
mampu menerapkannya kecuali orang yang memiliki ilmu luas dan pemahaman
yang tajam. Berikut ini beberapa kaidah-kaidah penting dalam masalah
takfir:
A.Pengkafiran Adalah Hukum Syar’i dan Hak Allah
Takfir adalah hukum syar’i dan hak Allah, bukan hak suatu lembaga
atau kelompok, bukan berdasar pada akal, perasaan, emosi, atau
permusuhan, maka tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang dikafirkan
oleh Allah dan rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v~ berkata:
Hal ini berbeda dengan ucapan sebagian manusia seperti Abu Ishaq
al-Isfirayini dan pengikutnya yang mengatakan: “Kita tidak mengkafirkan
kecuali orang yang mengkafirkan kita.” Sebab, pengkafiran bukanlah hak
mereka, melainkan hak Allah. Tidak boleh bagi manusia untuk membalas
berdusta kepada orang yang pernah berdusta padanya, atau melakukan zina
kepada istri orang yang berzina dengan istrinya, bahkan seandainya ada
seorang yang memaksanya untuk homoseks maka tidak boleh baginya untuk
membalasnya dengan paksaan untuk homoseks, karena semua itu adalah haram
disebabkan hak Allah. Demikian juga seandainya orang-orang Nasrani
mencela Nabi kita n~ maka tidak boleh bagi kita untuk mencela Isa
al-Masih p~, dan kaum Rafidhah apabila mengkafirkan sahabat Abu Bakar
dan Umar, maka tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan Ali.1
Al-Qarrafi berkata: “Sesuatu itu disebut kufur bukanlah berdasarkan
logika melainkan berdasarkan syari’at, kalau syari’at mengatakan bahwa
hal itu adalah kekufuran maka itu adalah kekufuran.” 2
Ibnul Wazir v~ berkata: “Sesungguhnya takfir itu berdasarkan dalil
saja, tidak ada ruang untuk akal, dan dalilnya pun harus dalil yang
pasti dan tidak ada perselisihan di dalamnya.” 3
Ibnul Qayyim v~ berkata dalam Nuniyah-nya:
الْكُفْرُ حَقُّ اللهِ ثُمَّ رَسُوْلِهُ
بِالشَّرْعِ يَثْبُتُ لَا بِقَوْلِ فُلَانِ
مَنْ كَانَ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ وَعَبْدُهُ
قَدْ كَفَّرَاهُ فَذَاكَ ذُوْ الْكُفْرَانِ
Pengkafiran itu adalah hak Allah kemudian rasul-Nya
Yang ditetapkan dengan nash bukan dengan ucapan fulan
Siapakah yang dikafirkan oleh Rabb semesta alam dan rasul-Nya
Maka dialah orang yang kafir.4
B.Pada Asalnya Seorang Muslim Tetap Dalam Keislamannya
Ini kaidah penting yang harus dipahami, yaitu hukum asal seorang
muslim adalah tetap dalam keislamannya sehingga ada dalil kuat yang
mengeluarkannya dari keislaman. Tidak boleh bagi kita untuk gegabah
dalam mengkafirkannya karena hal itu membawa dua dampak negatif yang
sangat berbahaya:
- Pertama: Membuat kedustaan atas Allah dalam hukum kafir kepada orang yang dia kafirkan.
- Kedua: Terjatuh dalam ancaman kafir kalau ternyata
yang dia kafirkan tidak kafir, sebagaimana dalam hadits: “Apabila
seorang mengkafirkan saudaranya maka akan kembali kepada salah
satunya.”
Oleh karena itu, seharusnya sebelum menghukumi seorang muslim dengan kekafiran hendaknya memperhatikan dua hal penting:
- Pertama: Adanya dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menetapkan bahwa ucapan dan perbuatan tersebut merupakan kekufuran.
- Kedua: Hukum tersebut betul-betul terpenuhi pada
pelontar atau pelaku tersebut, dalam artian telah terpenuhi
syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang-penghalangnya.5
Sesungguhnya kita hanya menghukumi secara zhahir saja baik dalam
hukum atau keyakinan orang lain. Nabi Muhammad n~ yang mendapatkan
wahyu, beliau menerapkan hukum zhahir pada orang-orang munafik.6
Orang-orang munafik secara zhahir shalat, puasa, haji, perang, nikah,
dan saling mewarisi dengan kaum muslimin pada zaman Nabi n~, sekalipun
demikian beliau tidak menghukumi orang-orang munafik dengan hukum orang
kafir, bahkan tatkala Abdullah bin Ubai—tokoh munafik yang paling
terkenal—meninggal dunia, Rasulullah n~ memberikan hak waris kepada
anaknya yang notabene termasuk seorang sahabat sejati. Maka
hukum Nabi n~ dalam masalah darah dan harta mereka sama seperti muslimin
lainnya, beliau tidak menghalalkan harta dan darah mereka kecuali
dengan perkara yang zhahir (tampak), padahal beliau mengetahui kemunafikan kebanyakan orang-orang munafik tersebut.7
Dalil yang sangat jelas tentang hal ini adalah hadits Usamah a~sebagai berikut:
بَعَثَنَا رَسُولُ اللهِ n فِي سَرِيَّةٍ فَصَبَّحْنَا
الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا فَقَالَ لَا إِلٰهَ
إِلاَّ اللهُ. فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِى مِنْ ذٰلِكَ فَذَكَرْتُهُ
لِلنَّبِىِّ n فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: « أَقَالَ لَا إِلٰهَ إِلَّا
اللهُ وَقَتَلْتَهُ ». قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا قَالَهَا
خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ. قَالَ: « أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى
تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا ». فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى
تَمَنَّيْتُ أَنِّى أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
Pernah Rasulullah n~ mengutus kami dalam peperangan kecil, lalu pagi-pagi kami mendatangi huruqat sebuah tempat kaum Juhainah, dan saya mengejar seorang lelaki, tapi dia mengatakan: “La Ilaha illa Allah.”
Aku membunuhnya, hati tidak enak dengan hal itu maka aku tanyakan
kepada Rasulullah n~, beliau bersabda: “Apakah setelah dia mengatakan La Ilaha illa Allah
kamu membunuhnya?!” Saya berkata: “Ya Rasulullah, dia mengatakannya
karena takut pedang.” Beliau menjawab: “Kenapa engkau tidak membelah
hatinya saja agar kamu tahu apakah benar dia mengatakannya karena takut
ataukah tidak.” Beliau terus-menerus mengulang ucapan tersebut sehingga
saya berangan-angan seandainya baru masuk Islam saat itu.8
Imam Nawawi v~ berkata:
Makna hadits ini kamu hanya dibebani dengan amalan yang tampak saja
dan apa yang diucapkan oleh lisan. Adapun apa yang di dalam hati, maka
kamu tidak mungkin mengetahuinya. Nabi n~ mengingkari Usamah tatkala dia
tidak menerapkan hukum zhahir ini …. Dalam hadits ini terdapat kaidah
yang terkenal dalam fiqih dan ushul bahwa “Hukum itu berdasarkan yang
tampak saja, Allah yang mengurusi urusan hati”.9
C.Tidak Dikafirkan Kecuali yang Disepakati Ahlu Sunnah Kekafirannya
Berkata Imam Ibnu Abdil Barr v~:
Setiap orang yang telah tetap keislamannya dengan kesepakatan kaum
muslimin, lalu dia melakukan suatu dosa sehingga mereka diperselisihkan
tentang kekafiran mereka, perselisihan ini (tentang kafirnya) setelah
kesepakatan mereka (tentang keislaman mereka) tidak memiliki arti yang
bisa menjadikannya hujjah. Seorang tidak keluar dari keislaman yang
disepakati kecuali dengan kesepakatan juga atau sunnah shahihah yang
tidak ada penentangnya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah—ahli fiqih dan ahli hadits—telah bersepakat
bahwa seorang yang melakukan dosa—sekalipun dosa besar—tidak keluar dari
agama Islam, sekalipun ahli bid’ah menyelisihi mereka dalam hal ini.
Maka sewajibnya untuk tidak mengkafirkan kecuali yang disepakati oleh
semuanya tentang kekafiran mereka atau adanya dalil paten dari al-Qur’an
dan sunnah tentang kekafirannya.10
Ibnu Bathal v~ berkata:
Kalau ada perselisihan dalam hal itu—kafirnya Khawarij—maka tidak
bisa dipastikan keluarnya mereka dari Islam, karena orang yang sudah
jelas keislamannya dengan yakin maka tidak keluar dari Islam kecuali
dengan yakin juga.11
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab v~ berkata: “Kita tidak mengkafirkan kecuali apa yang disepakati oleh ulama semuanya.” 12
D.Wajibnya Menegakkan Hujjah Kepada yang Dikafirkan
Banyak sekali dalil yang mendasari hal ini yaitu bahwa seorang muslim
tidaklah kafir dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan kecuali
setelah tegaknya hujjah padanya dan dihilangkannya segala kerancuan yang
melekat pada dirinya. Allah q~ berfirman:
… وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًۭا ﴿١٥﴾
Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Isra’: 15)
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا
تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا ﴿١١٥﴾
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali. (QS. an-Nisa’: 115)
Dan masih banyak lagi ayat dan hadits lainnya yang menunjukkan secara
jelas bahwa Allah q~ tidak menyiksa seorang pun kecuali setelah
ditegakkan hujjah dan dihilangkan kerancuannya, sehingga jelas baginya
jalan petunjuk dan jalan kesesatan.
Imam Bukhari v~ berkata: “Bab memerangi khawarij dan para penyeleweng setelah ditegakkan hujjah atas mereka.” Firman Allah q~:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًۢا بَعْدَ إِذْ
هَدَىٰهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ
بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ ﴿١١٥﴾
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah
Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu. (QS. at-Taubah: 115)
Al-’Aini v~ berkata:
Imam Bukhari mengisyaratkan dengan ayat yang mulia ini bahwa
memerangi khawarij dan penyeleweng tidak wajib kecuali setelah tegaknya
hujjah pada mereka dan menampakkan kebatilan dalil-dalil mereka.
Dalilnya adalah ayat ini, di mana ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak
menyiksa hamba-Nya sehingga menjelaskan kepada mereka apa yang harus
mereka kerjakan dan apa yang harus mereka tinggalkan.13
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v~ berkata:
Adapun takfir (menganggap kafir), ini termasuk ancaman yang
keras. Memang barangkali seseorang melakukan perbuatan kufur, tetapi
pelakunya bisa jadi baru masuk Islam, atau hidup di perkampungan yang
jauh dari agama, maka orang seperti ini tidak dapat dikafirkan sehingga
tegak hujjah atasnya, atau bisa jadi orang tersebut belum mendengar
nash-nash, atau mendengarnya tetapi masih rancu, maka orang seperti ini
sama seperti yang di atas, sekalipun dia salah.
Dan seringkali aku mengingatkan saudara-saudaraku dengan hadits
Bukhari-Muslim tentang seorang yang mengatakan: “Jika aku telah
meninggal maka bakarlah aku, kemudian tumbuklah halus-halus, lalu
buanglah ke lautan. Kalau memang Allah q~ membangkitkanku, maka Dia akan
menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah ada di alam ini.” Akhirnya
mereka pun melaksanakan wasiat tersebut. Tatkala Allah q~
membangkitkannya, Allah q~ bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu
melakukan ini?” Jawabnya: “Aku takut kepada-Mu.” Lantas Allah
mengampuninya.14
Lihatlah orang ini, yang ragu akan kemampuan Allah dan kebangkitan
manusia setelah mati bahkan ia meyakini bahwa dia tidak akan
dibangkitkan, jelas ini merupakan kekufuran dengan kesepakatan kaum
muslimin, tapi dia jahil atau bodoh, tidak mengetahui hal itu dan dia
takut siksaan Allah q~, maka Allah pun mengampuninya.15
E.Harus Dibedakan Antara Pengkafiran Secara Umum dan Secara Individu
Pengkafiran secara umum adalah menghukumi suatu perkataan atau
perbuatan dengan kekufuran dan menghukumi pelakunya dengan kufur secara
umum tanpa vonis individu orang, seperti mengatakan: “Barang siapa
mengatakan al-Qur’an makhluk maka kafir.”
Adapun pengkafiran secara khusus adalah menghukumi seseorang yang
mengatakan atau melakukan kekufuran dengan kafir, seperti mengatakan:
“Si fulan (nama orang tertentu, Edt.) yang mengatakan al-Qur’an makhluk adalah kafir.”
Termasuk kaidah dalam takfir adalah membedakan antara takfir secara
umum dan takfir secara khusus karena tidak semua orang yang mengatakan
atau melakukan kafir pasti dia kafir disebabkan adanya beberapa
penghalang atau tidak terpenuhinya beberapa syarat pada dirinya, seperti
kalau dia baru masuk Islam atau tidak mengerti hukumnya dan lain
sebagainya.16
Di antara dalil yang membuktikan kaidah ini adalah kisah Muadz bin
Jabal a~ tatkala ada beberapa gadis kecil yang menabuh rebana dan
mengingat ayah-ayah mereka yang meninggal pada Perang Badar, tiba-tiba
ada seorang di antara mereka mengatakan: “Di tengah-tengah kita ada
seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.” Mendengar
hal itu, maka Nabi n~ bersabda: “Tinggalkanlah ini, katakanlah yang lain saja seperti tadi.” 17
Perhatikanlah hadits ini, Nabi n~ tidak mengkafirkan gadis tersebut
karena kejahilannya, beliau hanya melarangnya saja, padahal kita tahu
semua bahwa mengatakan akan adanya selain Allah yang mengetahui ilmu
ghaib adalah suatu kekufuran.18
Sungguh, ini kaidah yang amat sangat penting, banyak orang tidak
memahaminya, sehingga tak aneh kalau mereka terjatuh dalam kesalahan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v~ berkata:
Barang siapa yang tidak memperhatikan perbedaan antara mengkafirkan secara umum dan ta’yin
(vonis perorangan) niscaya dia akan jatuh dalam banyak ketimpangan, dia
menyangka bahwa ucapan salaf: “Barang siapa yang mengatakan seperti ini
kafir” atau “Barang siapa yang melakukan ini maka kafir” mencakup semua
orang yang mengatakannya tanpa dia renungi terlebih dahulu, sebab
mengkafirkan itu memiliki syarat-syarat dan penghalang pada hukum
perorangan, jadi mengkafirkan secara umum tidak mengharuskan
mengkafirkan secara individu orang kecuali apabila terpenuhi
persyaratannya dan hilang segala penghalangnya.19
Barang siapa yang memperhatikan sirah ulama salaf, niscaya
dia akan mengetahui kebenaran kaidah ini dan mengetahui bahwa mereka di
atas kebenaran. Dan sungguh menakjubkanku ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah v~:
Saya sering mengatakan kepada kaum Jahmiyyah dari Hululiyyah yang
mengingkari ketinggian Allah q~ di atas langit: “Saya kalau menyetujui
kalian, maka saya kafir karena saya mengetahui bahwa pendapat kalian ini
adalah kekufuran, sedangkan kalian menurutku tidak kafir karena kalian
adalah orang-orang bodoh.” 20
3 Al-Awashim wal Qawashim 4/178
4 Syarh Qashidah Nuniyah 2/412 oleh Syaikh Dr. Muhammad Khalil Harras
5 Al-Qawa’id al-Mutsla fi Shifatillah wa Asmaihi Husna hlm. 87–89 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin
6 Al-Muwafaqat 2/271 oleh asy-Syathibi
7 Al-Iman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hlm. 198–201
8 HR. Bukhari: 4269 dan Muslim: 159
12 Ad-Durar Saniyyah 1/70
14 HR. Bukhari: 6481 dan Muslim: 2756
15 Majmu’ Fatawa 3/229–231
16 Lihat secara luas dalam Dhawabith Takfir al-Mu’ayyan oleh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin.
18 Lihat Ahkamul Qur’an 2/259 oleh Ibnul Arabi
20 Ar-Radd ’ala al-Bakri hlm. 47
21 Lihat al-Qawa’id wal Ushul Jami’ah karya as-Sa’di hlm. 33–35, Syarh Qawa’id as-Sa’diyyah karya Syaikh Abdul Muhsin az-Zamil hlm. 85–89, Syarh Mandhumah Qawa’id Fiqhiyyah karya Dr. Abdul Aziz al-’Uwaid hlm. 235–237.
sumber : http://abiubaidah.com/norma-norma-penting-sebelum-menjatuhkan-vonis-kafir.html/