Oleh: Abu Ibrohim Muhammad Ali AM.
hafidzahullah
hafidzahullah
MUQODDIMAH
Kasus
hukuman mati terhadap salah satu warga tanah air yang berada di Negara
lain beberapa saat lalu menjadi pelajaran berharga bagi kita khususnya
umat islam, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi kaum muslimin
terbagi menjadi 3 golongan dalam menyikapi hukuman mati terutama hukum
qishosh,
Golongan pertama,
berlebihan menyikapi hukum qishash, sehingga setiap pelaku kriminal
berupa pembunuhan dan semisalnya harus dibunuh atau dibalas dan dihakimi
tanpa menunggu keputusan dan persetujuan imam/pemimpin yang sah,
Ke dua, mereka
cenderung mengabaikan hukum qishash, walaupun pelaku kriminal tersebut
berhak dihukum qishash, baik dengan alasan hak asasi, solidaritas sesama
warga Negara, atau alasan lainnya.
Dan ketiga, mereka
menyikapi dengan bijaksana, dengan menetapkan adanya hukum qishash
dengan syarat- syarat yang telah ditentukan Alloh dan Rosulnya,
diantaranya; setelah ada persetujuan dari imam/pemimpin yang sah.
MAKNA QISHASH
القصاص Qishosh secara bahasa artinya mengintai atau mengikuti jejak dari arah yang tidak diketahui oleh yang diikuti, seperti dalam firman Alloh;
وَقَالَتْ لِأُخْتِهِ قُصِّيهِ ۖ فَبَصُرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ [٢٨:١١]
Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Qishashlah (Ikutilah) dia” Maka terlihatlah Musa olehnya dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya, (Qs.al-Qoshoh 11)
Adapun secara istilah syari’at Qishosh maknanya, menghukum pelaku
kriminal yang melakukannya dengan sengaja (seperti pembunuhan, melukai
atau memotong anggota tubuh dan semisalnya) dengan hukuman yang sama
dengan kriminalnya.[1]
DALIL HUKUM QISHASH
1. Dalil al-Qur’an
Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ [٢:١٧٨]
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang sangat pedih’’. (QS.Al-Baqoroh 178)
Alloh juga berfirman;
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [٥:٤٥]
‘’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun)
ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.’’ (QS.Al-Ma’idah 45)
2. Dalil dari sunnah Rosul
1.Dari Abu Huroiroh beliau berkata, Rosululloh bersabda;
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا يُودَى وَإِمَّا يُقَادُ
‘’Barangsiapa mendapati keluarganya dibunuh maka dia berhak memilih dua perkara, antara diyat dan qishosh.’’ (HR.Bukhori 6372)
2.Dari Anas bin Nadhor beliau berkata;
أَنَّ الرُّبَيِّعَ عَمَّتَهُ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ فَطَلَبُوا إِلَيْهَا الْعَفْوَ فَأَبَوْا فَعَرَضُوا الْأَرْشَ فَأَبَوْا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَوْا إِلَّا الْقِصَاصَ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقِصَاصِ
‘’Bahwasanya Rubayyi’ (bibinya) pernah mematahkan gigi seorang
wanita, lalu mereka (kelurganya Rubayyi’) memeinta ma’af, dan mereka
(keluarga korban) enggan mema’afkan, kemudian ditawarkan kepada mereka
ganti rugi, tetapi mereka tetap enggan menerimanya, lalu mereka datang
kepada Rosululloh dan mereka tetap menuntut qishosh, maka Nabi
memerintahkan untuk diqishosh.’’ (HR.Bukhori 4140)
3. Ijma/ kesepakatan ulama
Para ulama dari berbagai madzhabnya dari dahulu sampai sekarang,
bahkan semua agama samawiyah (agama yang diturunkan Alloh dari langit),
telah sepakat bahwa qishosh termasuk perintah agama yang disyari’atkan.[2]
HIKMAH QISHASH
Adapun hikmah ditegakkannya hukum qishosh, maka dengannya akan
terjadi kelangsungan hidup yang aman dan kemaslahatan hidup manusia,
karena bukanlah maksud qishosh itu sekedar membunuh dan membinasakan
umat, tetapi demi menjaga manusia supaya tidak saling bunuh membunuh[3], Alloh berfirman;
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٢:١٧٩]
‘’Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS.Al-Baqoroh 179)
MACAM-MACAM QISHASH
Qishash terbagi menjadi dua macam;
1. Qishash jiwa/nyawa (yaitu, seorang yang menghilangkan nyawa dibalas dengan menghilangkan nyawa)
2. Qishash angota badan (yaitu, seorang yang melakukan
aniaya terhadap orang lain tetapi tidak sampai menghilangkan nyawa,
dibalas dengan semisal perbuatannya
Qishash ini hanya diperlakukan terhadap orang yang membunuh dengan
sengaja saja, adalah jika tidak sengaja atau keliru maka tidak ada
qishash baginya.
Adapun membunuh dengan sengaja, yaitu seorang menyengaja menyerang
orang yang terpelihara nyawanya dengan sesuatu yang diduga kuat dapat
membunuhnya[4].
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA QISHASH JIWA
1. Pembunuh harus seorang yang baligh dan berakal, jika yang membunuh
adalah anak yang belum baligh atau orang gila maka tidak ada qishosh,
hal ini didasari oleh sabda Rosululloh, beliau bersabda;
رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق
‘’Pena diangkat dari tiga golongan, dari anak- anak sampai
baligh, dari orang tidur sampai bangun dan dari orang yang gila sampai
sadar.’’ [5]
2. Korban pembunuhan harus seorang yang maksum (harta dan darahnya
haram untuk ditumpahkan), mereka adalah seorang muslim, dan orang kafir
yang bukan harbi[6].
Adapun kafir harbi, orang islam yang murtad, pezina muhshon, atau
selainnya, jika ada seorang muslim yang membunuh mereka tanpa ada
perintah dari imam/ pemimpin yang sah, maka yang membunuh tidak boleh
diqishosh tetapi merekadihukum sebab kelancangannya kepada
imam/pemimpinnya yang sah[7].
3. Korban pembunuhan harus setara dengan pembunuhnya dalam agamanya dan status kemanusiannya (merdeka atau budaknya).
Suatu contoh, jika seorang majikan (seorang merdeka) membunuh
seorang budak, atau jika seorang muslim membunuh orang kafir yang bukan
harbi, maka tidak qishosh bagi pembunuhnya karena yang dibunuh tidak
setara dengan yang membunuh, hanyasaja, imam/pemimpin yang sah
mengadakan hukuman yang layak buatnya pembunuh tanpa mengqishashnya.
Adapun pembunuhnya, maka tidak disyaratkan harus setara dengan yang
dibunuh, karena kesetaraan yang dimaksud adalah untuk mencegah adanya
orang yang lebih rendah kedudukannya mengqishosh orang yang lebih tinggi
kedudukannya.
Suatu contoh, jika seorang budak membunuh seorang majikan (orang
merdeka), atau orang kafir membunuh orang islam, maka qishosh tetap
dilakukan bagi pembunuhnya walaupun antara pembunuh dan yang dibunuh
tidak setara statusnya, sebab yang ada kekurangan disini adalah yang
membunuh.[8]
4. Pembunuh bukan orang tua dari yang dibunuh.
Jika yang membunuh adalah orang tuanya sendiri, baik bapak, kakek dan
terus keatasnya, atau ibu, nenek dan terus ke atasnya, maka tidak ada
qishos bagi mereka, mereka (mayoritas ulama) mengatakan bahwa orang tua
penyebab adanya sang anak,maka tidak selayaknya anak mengqishosh orang
tuanya[9] hal ini didasari oleh sebuah hadits;
لا تقام الحدود في المساجد ولا يقتل الوالد بالولد
‘’Tidak boleh diadakan hukuman di masjid- masjid, dan tidak di qishosh orang tua sebab membunuh anaknya.’’ [10]
KAPAN HARUS DITEGAKKAN QISHASH
Qishosh harus ditegakkan ketika syarat- diatas terpenuhi ditambah dengan terpenuhinya perkara- perkara dibawah ini;
1. Para penuntut qishosh[11] harus sudah baligh dan berakal,
jika ada diantara mereka belum baligh, maka harus ditunggu sampai
baligh supaya diketahui dengan benar bahwa dia menuntut qishosh atau
mema’afkan, sebagaimana Mu’awiyah menahan qishoshnya Hudbah bin Khosyrom
sampai anak korban yang di bunuh menjadi baligh[12], demikian juga jika ada yang gila harus ditunggu sampai sembuh dari gilanya[13].
2. Semua penuntut qishosh sepakat atas tuntutannya dan tidak satu pun dari mereka yang mema’afkan,
hal ini lantaran hak qishosh adalah hak yang dimiliki oleh para ahli
waris dan mereka semua bersekutu dalam kepemilikan qishosh ini[14], jika ada seorang dari mereka mema’afkan, maka gugurlah kewajiban qishash tersebut, Alloh berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ [٢:١٧٨]
‘’Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih’’. (QS.Al-Baqoroh 178)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata,’’kalimat شَيْءٌ (suatu pema’afan) jenis kalimatnya adalah nakiroh dalam bentuk persyaratan, maka (dalam kaidah ushul) bermakna umum mencakup sedikit atau banyak, jadi jika yang ada dari ahli waris korbannya mema’afkan walaupun satu dari seratus orang, maka tidak boleh diqishosh.[15]
3. Qishash yang ditegakkan tidak menjalar mudhorotnya kepada jiwa lain yang tidak bersalah,
seperti seorang wanita yang akan diqishash sedangkan ia sedang hamil,
maka tidak boleh diqishosh karena akan menjalar mudhorotnya kepada
janinnya, dan dalam kondisi seperti ini qishosh ditegakkan setelah
melahirkan, hal ini didasari oleh firman Alloh;
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ [٦:١٦٤]
‘’Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.’’ (QS.Al-An’am 164)
Para ulama bersepakat[16]
bahwa setelah melahirkan, jika dijumpai ada yang menggantikannya untuk
menyusui anaknya, maka wanita ini segera diqishash, karena ada yang
menanggung kehidupan anaknya, tetapi jika tidak dijumpai wanita lain
yang bisa menyusui anaknya, maka ditangguhkan qishashnya sampai selesai
menyusui. Hal ini didasari oleh hadits khusus dalam masalah ini, sabda
Rosululloh;
إذا قتلت المرأة عمدا لم تقتل حتى تضع ما في بطنها وحتى تكفل ولدها
‘’Apabila seorang wanita
sengaja membunuh, maka tidak boleh diqishosh sehingga melahirkan
janinnya, dan sehingga dia memelihara anaknya.’’ (HR.Muslim 2225)
4. Harus setelah adanya persetujuan dan keputusan imam/pemimpin yang sah atau wakilnya.
Qishash tidak ditegakkan kecuali setelah imam/pemimpin kaum muslimin
atau wakilnya menetapkan ditegakkan hukum qishosh itu, hal ini lantaran;
a. Para ulama sepakat bahwa qishash ditegakkan dengan keputusan imam/pemimpin yang sah atau wakilnya.[17]
b. Hukum qishash adalah diikat dengan syarat- syarat tertentu yang
harus dipenuhi, dan terpenuhi syarat- syarat tersebut tidak akan
terwujud kecuali dengan keputusan seorang imam atau wakilnya seperti
hakim dan semisalnya.
c. Jika hal hukum qishash diserahkan langsung kepada manusia tanpa
ada keputusan imam, maka hal itu akan menimbulkan kegoncangan masyarakat
dan hilangnya rasa aman, masing- masing akan membunuh musuhnya dengan
dalih hukum qishosh.[18]
5. Hukuman qishosh harus disaksikan oleh ahli waris yang menuntut qishash, hal ini karena dua sebab;
a. Kedatangan para penuntut qishash untuk melihat ditegakkannya hukum
qishash ini bisa meluluhkan hati para penuntut qishash atau salah
satunya karena merasa kasihan, lalu mereka mema’afkan, sehingga hukum
qishash menjadi batal, dan memberi ma’af adalah satu sikap yang
dianjurkan dalam Islam.[19]
c. Jika mereka tidak datang melihat hukuman qishash ini, maka ada
kemungkinan mereka telah mema’afkan orang yang akan dihukum qishash, dan
untuk mengetahui mereka tetap tidak mema’afkannya , maka mereka harus
datang meyaksikan.[20]
6. Pelaksanaan hukuman qishash harus dihadiri oleh imam/pemimpin yang sah atau wakilnya,
karena sangat memungkinkan terjadi kedholiman atau melampaui batas saat
menegakkan qishash, hal itu sebab rasa benci, marah, atau sebab lain
pada penuntut qishosh.[21] Alloh berfirman;
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
‘’Barangsiapa yang melampaui batas atas kamu, maka balaslah seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.’’ (QS.Al-Baqoroh 194)
CARA YANG DIGUNAKAN DALAM MENEGAKKAN QISHASH
Hukum asal dalam pelaksanaan qishosh adalah dengan cara yang sama yang telah dilakukan oleh pelaku krimanal tersebut[22],
jika membunuh dengan pedang maka diqishosh dengan pedang, jika membunuh
dengan memukulkan batu ke arah kepala sampai mati, maka demikianlah
qishoshnya dengan batu sampai mati, dan seterusnya, hanyasaja para ulama
mengatakan kecuali jika pelaku membunuh dengan sesuatu yang haram
seperti sihir, khomer, liwath dan semisalnya, atau jika dengan cara
yang sama akan mengakibatkan terlalu lama tersiksa, maka qishosnya
dengan pedang. Hal ini sebagaimana firman Alloh diatas (QS.Al-Baqoroh
194), dan firman-Nya;
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ [١٦:١٢٦]
‘’Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi
jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang
yang sabar.’’ (QS.An-Nahl 126)
PEMBATAL-PEMBATAL QISHASH
Hukum qishosh yang telah terpenuhi syarat- syarat diatas bisa batal jika terdapat salah satu dari 3 (tiga) perkara, yaitu;
1.Mati sebelum diqishash
Jika orang yang hendak diqishosh meninggal dunia, maka batal-lah
qishosh baginya sebab dialah yang harus diqishosh dan tidak diwariskan
kepada siapapun.
Adapun masalah diyat, maka sebagian ulama mewajibkan keluarganya membayar diyat dan sebagian lain tidak mewajibkannya[23].
2. Salah satu ahli waris atau semuanya mema’afkan
Jika ada salah satu ahli waris korban mema’afkan orang yang telah
ditetapkan hukum qishosh baginya, maka batal-lah qishosh tersebut, sebab
qishosh merupakan hak ahli waris secara bersekutu, dan salah satu
mereka telah menggugurkan haknya, sebagaimana keterangan di atas pada
QS. .Al-Baqoroh 178.[24]
3. Apabila ahli waris korban dengan pelaku kriminal sepakat untuk damai
Para fuqoha sepakat bolehnya berdamai untuk membatalkan qishosh, baik
dengan persyaratan membayar diyat atau tidak, baik sepakat atas diyat
yang lebih besar dari yang disebutkan syari’at atau lebih sedikit dari
yang disebutkan, baik dibayar tunai atau dengan tempo, karena diyat
adalah hak mereka (manusia).
Allohu A’lam.
Sumber: majalah AL FURQON No. 117 Edisi 2 TH. ke-11 Syawal 1432 H
*Pembahasan ini banyak mengambil pelajaran dari kitab al-Maqashid asy-Syar’iyyah lil ‘Uqubaat fil Islam oleh DR. Rawiyah Ahmad Abdul Karim adh-Dhahar, cet. pertama, 1426 H
[1] . Lihat ‘’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.325.
[1] . Lihat ‘’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.325.
[2] . Lihat al-Mughni 10/333, al-Jinayat wa Uqubatuha hlm.50, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan hlm.387.
[3] . Lihat perkataan semisal oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni’ 11/38.
[4]
. Keharaman membunuh dengan sengaja dijelaskan oleh Alloh dalam
beberapa firman-Nya, diantaranya QS.AN-Nisa 93, al-Isro’ 33, dan
al-Ma’idah 32. Demikian diharamkan dalam hadits- hadits yang banyak
seperti, HR.Bukhori 4/188, 4/28, 4/177, demikian juga para ulama kaum
muslimin sepakat bahwa membunuh dengan sengaja merupakan dosa besar
(Lihat al-Mughni 9/318, Manarus Sabil 2/314)
[5]. HR.Abu Dawud 3/55, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ ul Gholil 2/4
[5]. HR.Abu Dawud 3/55, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ ul Gholil 2/4
[6] . Kafir harbi
adalah orang kafir yang yang tidak memiliki jaminan keamanan dari kaum
muslimin atau pemimpinnya, tidak dalam perjanjian damai, dan tidak
membayar jizyah kepada kaum muslimin sebagai jaminan keamanan mereka,
merekalah yang diperintahkan oleh Alloh untuk diperangi (Lihat
QS.Al-Baqoroh 190-191)
Sedangkan kafir yang bukan harbi, maka mereka adalah kafir yang sedang dijamin keamanannya oleh salah satu kaum muslimin atau pemimpinnya (al-Musta’min), kafir yang terlibat pejanjian damai dengan kaum muslimin (al-Mu’ahad) atau kafir yang dilindungi keamanannya sebab membayar jizyah (adz Dzimmi), mereka semua haram bagi kaum muslimin untuk menumpahkan darah dan mengambil hartanya. Nabi bersabda,’’Barang siapa membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak dapat mencium bau surga, padahal bau (wanginya) dapat tercium dari jarak perjalanan selama 40 tahun.’’ (HRBukhori 3452). Lihat kembali pembahasan lebih lengkap tentang kafir harbi dan kafir bukan harbi dalam majalah al-Furqon edisi 5 Thn.8 dalam Tajuk,’’Hukuman Mati Dalam Islam”.
Sedangkan kafir yang bukan harbi, maka mereka adalah kafir yang sedang dijamin keamanannya oleh salah satu kaum muslimin atau pemimpinnya (al-Musta’min), kafir yang terlibat pejanjian damai dengan kaum muslimin (al-Mu’ahad) atau kafir yang dilindungi keamanannya sebab membayar jizyah (adz Dzimmi), mereka semua haram bagi kaum muslimin untuk menumpahkan darah dan mengambil hartanya. Nabi bersabda,’’Barang siapa membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak dapat mencium bau surga, padahal bau (wanginya) dapat tercium dari jarak perjalanan selama 40 tahun.’’ (HRBukhori 3452). Lihat kembali pembahasan lebih lengkap tentang kafir harbi dan kafir bukan harbi dalam majalah al-Furqon edisi 5 Thn.8 dalam Tajuk,’’Hukuman Mati Dalam Islam”.
[7] . Lihat al-Jinayat wa Uqubatuha hlm.50, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan hlm.331.
[8] . Demikian pendapat jumhur ulama, adapun Imam Abu Hanifah, beliau tidak mensyari’atkan hal ini semua jiwa dianggap sama (Lihat al-Jinayat wa Uqubatuha hlm.50, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan hlm.332)
[9]
. Inilah pendapat jumhur ulama kecuali Imam Malik berpendapat bahwa
orang tua yang membunuh anaknya sendiri berlaku juga hukum qishash
baginya jika semua syaratnya terpenuhi. (‘’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.332), Demikian Syaikh Ibnu Utsaimin menguatkan bahwa orang tua tetap diqishash sebab membunuh anaknya. (Lihat Asy-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni’ 11/41-42.
[10]. HR.Tirmidzi 1410, Ibnu Majah 2599, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 2214, dan dalam Shahhih wa Dho’if al-Jami’ 13707
[10]. HR.Tirmidzi 1410, Ibnu Majah 2599, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 2214, dan dalam Shahhih wa Dho’if al-Jami’ 13707
[11] . Mereka biasa disebut mustahiqul qishash,
menurut jumhur ulama, mereka adalah ahli waris korban baik laki- laki
atau perempuan, sedangkan menurut Imam Malik, mereka adalah ahli waris
yang laki- laki saja. (Lihat as-Syarhul Kabir lid Dardir 4/227, al-Khorsyi 8/3, Badai’ as-Sonai’, 7/242, al-Muhadzdzab 2/196, dan al-Iqna’ 4/182)
[12] . Lihat Fiqhus- Sunnah As-Sayyid Sabiq 3/29-30.
[13]
. Ini adalah pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad, sedangkan madzhab Abu
Hanifah terdapat dua fersi, salah satunya mengatakan seperti yang
dikatakan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, sedangkan fersi ke dua mengatakan
bahwa cukup hakim atau qodhi yang menentukan ditegakkan qishash tanpa
menunggu ahli warisnya baligh dan sembuh dari gilanya, sedangkan Imam
Malik berpendapat, bahwa walinya anak yang masih kecil dan orang gila
mewakili mereka dan tidak perlu ditunggu sampai baligh atau sembuh dari
gila jika ada diantara ahli waris korban yang masih kecil atau gila.
(Lihat Nihayatul Muhtaj 7/284, Mughni Al-Muhtaj 4/40, Manarus Sabil 2/324, Badai’us Shonai’ 7/243, as-Syarhul Kabir lid Dardir 4/228, dan Mawahibul Jalil 6/251.
[14] . lihat ‘’al-Mulakhkhosh al-Fiqhy’’ 2/378 Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[15] . Asy-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni’ 11/51.
[16] . Lihat ‘’al-Mulakhkhosh al-Fiqhy’’ 2/380.
[17] . Sebagaimana dinukil kesepakatan ini oleh Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya 2/245.
[18] . Lihat al-Khorsyy 8/24, dan ‘Uqubatul I’dam hlm.256.
[19] . ‘’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.335.
[20] . Idem.
[21] . Lihat Manarus Sabil fi Syarhid Dalil 2/327.
[22]
. Inilah pendapat yang lebih kuat dan ini adalah pendapat mayoritas
ulama, diantaranya madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu riwayat
Imam Ahmad (lihat Bidayatul Mujtahid 2/404, Qowanin al-Ahkam asy-Syar’iyah hlm.375, Mughni al-Muhtaj 4/44, al-Muhadzdzab 2/186, al-Mubdi’ hlm.291, dan Manarus Sabil
2/327), sedangkan madzhab Abu Hanifah mengharuskan qishash hanya dengan
pedang dengan dalil hadits,’’tidak ada qishash kecuali dengan pedang.’’
Tetapi hadits [ini] lemah, sebab diantara perowi hadits ini ada Jabir
al-Ju’fi dia adalah perowi lemah (lihat Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id 3/125)
[23] . Lihat perinciannya dalam ’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.338-339.
[24] . Lihat Fiqhus Sunnah, as-Sayyid Sabiq 3/32, dan Al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’ hlm.339.
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/06/05/indahnya-hukum-qishash/
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/06/05/indahnya-hukum-qishash/
No comments:
Post a Comment