Friday, January 11, 2013

Indahnya HUKUM QISHASH*

Oleh: Abu Ibrohim Muhammad Ali AM.
hafidzahullah
MUQODDIMAH
Kasus hukuman mati terhadap salah satu warga tanah air yang berada di Negara lain beberapa saat lalu  menjadi pelajaran berharga bagi kita khususnya umat islam, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan  dalam menyikapi hukuman mati terutama hukum qishosh,

Golongan pertama, berlebihan menyikapi hukum qishash, sehingga setiap pelaku kriminal berupa pembunuhan dan semisalnya harus dibunuh atau dibalas dan dihakimi tanpa menunggu keputusan dan persetujuan imam/pemimpin yang sah,

Ke dua, mereka cenderung mengabaikan hukum qishash, walaupun pelaku kriminal tersebut berhak dihukum qishash, baik dengan alasan hak asasi, solidaritas sesama warga Negara, atau alasan lainnya.

Dan ketiga, mereka menyikapi dengan bijaksana, dengan menetapkan adanya hukum qishash dengan syarat- syarat yang telah ditentukan Alloh dan Rosulnya, diantaranya; setelah ada persetujuan dari imam/pemimpin yang sah.

MAKNA QISHASH
القصاص Qishosh secara bahasa artinya mengintai atau mengikuti jejak dari arah yang tidak diketahui oleh yang diikuti, seperti dalam firman Alloh;

وَقَالَتْ لِأُخْتِهِ قُصِّيهِ ۖ فَبَصُرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ [٢٨:١١]

Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: Qishashlah (Ikutilah) dia” Maka terlihatlah Musa olehnya dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya, (Qs.al-Qoshoh 11)
Adapun secara istilah syari’at Qishosh maknanya, menghukum pelaku kriminal yang melakukannya dengan sengaja (seperti pembunuhan, melukai atau memotong anggota tubuh dan semisalnya) dengan hukuman yang sama dengan kriminalnya.[1]
DALIL HUKUM QISHASH
1. Dalil al-Qur’an
Alloh berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ [٢:١٧٨]

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih’’. (QS.Al-Baqoroh 178)
Alloh juga berfirman;

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [٥:٤٥]

‘’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’’ (QS.Al-Ma’idah 45)
2. Dalil dari sunnah Rosul
1.Dari Abu Huroiroh beliau berkata, Rosululloh bersabda;

مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا يُودَى وَإِمَّا يُقَادُ

‘’Barangsiapa mendapati keluarganya dibunuh maka dia berhak memilih dua perkara, antara diyat dan qishosh.’’ (HR.Bukhori 6372)
 2.Dari Anas bin Nadhor  beliau berkata;

أَنَّ الرُّبَيِّعَ عَمَّتَهُ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ فَطَلَبُوا إِلَيْهَا الْعَفْوَ فَأَبَوْا فَعَرَضُوا الْأَرْشَ فَأَبَوْا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَوْا إِلَّا الْقِصَاصَ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقِصَاصِ

‘’Bahwasanya Rubayyi’ (bibinya) pernah mematahkan gigi seorang wanita, lalu mereka (kelurganya Rubayyi’) memeinta ma’af, dan mereka (keluarga korban) enggan mema’afkan, kemudian ditawarkan kepada mereka ganti rugi, tetapi mereka tetap enggan menerimanya, lalu mereka datang kepada Rosululloh dan mereka tetap menuntut qishosh, maka Nabi memerintahkan untuk diqishosh.’’ (HR.Bukhori 4140)
3. Ijma/ kesepakatan ulama
Para ulama dari berbagai madzhabnya dari dahulu sampai sekarang, bahkan semua agama samawiyah (agama yang diturunkan Alloh dari langit), telah sepakat bahwa qishosh termasuk perintah agama yang disyari’atkan.[2]
HIKMAH QISHASH
Adapun hikmah ditegakkannya hukum qishosh, maka dengannya akan terjadi kelangsungan hidup yang aman dan kemaslahatan hidup manusia, karena bukanlah maksud qishosh itu sekedar membunuh dan membinasakan umat, tetapi demi menjaga manusia supaya tidak saling bunuh membunuh[3], Alloh berfirman;

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٢:١٧٩]

‘’Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS.Al-Baqoroh 179)
MACAM-MACAM QISHASH
Qishash terbagi menjadi dua macam;
1. Qishash jiwa/nyawa (yaitu, seorang yang menghilangkan nyawa dibalas dengan menghilangkan nyawa)
2. Qishash angota badan (yaitu, seorang yang melakukan aniaya terhadap orang lain  tetapi tidak sampai menghilangkan nyawa, dibalas dengan semisal perbuatannya
Qishash ini hanya diperlakukan terhadap orang yang membunuh dengan sengaja saja, adalah jika tidak sengaja atau keliru maka tidak ada qishash baginya.
Adapun membunuh dengan sengaja, yaitu seorang menyengaja  menyerang orang yang terpelihara nyawanya dengan sesuatu yang diduga kuat dapat membunuhnya[4].
SYARAT-SYARAT WAJIBNYA QISHASH JIWA
1. Pembunuh harus seorang yang baligh dan berakal, jika yang membunuh adalah anak yang belum baligh atau orang gila maka tidak ada qishosh, hal ini didasari oleh sabda Rosululloh, beliau bersabda;

رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق

‘’Pena diangkat dari tiga golongan, dari anak- anak sampai baligh, dari orang tidur sampai bangun dan dari orang yang gila sampai sadar.’’ [5]
2. Korban pembunuhan harus seorang yang maksum (harta dan darahnya haram untuk ditumpahkan), mereka adalah seorang muslim, dan orang kafir yang bukan harbi[6].
Adapun kafir harbi, orang islam yang murtad, pezina muhshon, atau selainnya, jika ada seorang muslim yang membunuh mereka tanpa ada perintah dari imam/ pemimpin yang sah, maka yang membunuh tidak boleh diqishosh tetapi merekadihukum sebab kelancangannya kepada imam/pemimpinnya yang sah[7].
3. Korban pembunuhan harus setara dengan pembunuhnya dalam agamanya dan status kemanusiannya (merdeka atau budaknya).
Suatu contoh, jika seorang majikan  (seorang merdeka) membunuh seorang budak, atau jika seorang muslim membunuh orang kafir yang bukan harbi, maka tidak qishosh bagi pembunuhnya karena yang dibunuh tidak setara dengan yang membunuh, hanyasaja, imam/pemimpin yang sah mengadakan hukuman yang layak buatnya pembunuh tanpa mengqishashnya.
Adapun pembunuhnya, maka tidak disyaratkan harus setara dengan yang dibunuh, karena kesetaraan yang dimaksud adalah untuk mencegah adanya orang yang lebih rendah kedudukannya mengqishosh orang yang lebih tinggi kedudukannya.
Suatu contoh, jika seorang budak membunuh seorang majikan (orang merdeka), atau orang kafir membunuh orang islam, maka qishosh tetap dilakukan bagi pembunuhnya walaupun antara pembunuh dan yang dibunuh tidak setara statusnya, sebab yang ada kekurangan disini adalah yang membunuh.[8]
4. Pembunuh bukan orang tua dari yang dibunuh.
Jika yang membunuh adalah orang tuanya sendiri, baik bapak, kakek dan terus keatasnya, atau ibu, nenek dan terus ke atasnya, maka tidak ada qishos bagi mereka, mereka (mayoritas ulama) mengatakan bahwa orang tua penyebab adanya sang anak,maka tidak selayaknya anak mengqishosh orang tuanya[9] hal ini didasari oleh sebuah hadits;

لا تقام الحدود في المساجد ولا يقتل الوالد بالولد

‘’Tidak boleh diadakan hukuman di masjid- masjid, dan tidak di qishosh orang tua sebab membunuh anaknya.’’ [10]

KAPAN HARUS DITEGAKKAN QISHASH
Qishosh harus ditegakkan ketika syarat- diatas terpenuhi ditambah dengan terpenuhinya perkara- perkara dibawah ini;
1. Para penuntut qishosh[11] harus sudah baligh dan berakal, jika ada diantara mereka belum baligh, maka harus ditunggu sampai baligh supaya diketahui dengan benar bahwa dia menuntut qishosh atau mema’afkan, sebagaimana Mu’awiyah menahan qishoshnya Hudbah bin Khosyrom sampai anak korban yang di bunuh menjadi baligh[12], demikian juga jika ada yang gila harus ditunggu sampai sembuh dari gilanya[13].
2. Semua penuntut qishosh sepakat atas tuntutannya dan tidak satu pun dari mereka yang mema’afkan, hal ini lantaran hak qishosh adalah hak yang dimiliki oleh para ahli waris dan mereka semua bersekutu dalam kepemilikan qishosh ini[14], jika ada seorang dari mereka mema’afkan, maka gugurlah kewajiban qishash tersebut, Alloh berfirman:

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ [٢:١٧٨]

‘’Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih’’. (QS.Al-Baqoroh 178)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata,’’kalimat  شَيْءٌ (suatu pema’afan) jenis kalimatnya adalah nakiroh dalam bentuk persyaratan, maka (dalam kaidah ushul) bermakna umum mencakup sedikit atau banyak, jadi jika yang ada dari ahli waris korbannya mema’afkan walaupun satu dari seratus orang, maka tidak boleh diqishosh.[15]
3. Qishash yang ditegakkan tidak menjalar mudhorotnya kepada jiwa lain yang tidak bersalah, seperti seorang wanita yang akan diqishash sedangkan ia sedang hamil, maka tidak boleh diqishosh karena akan menjalar mudhorotnya kepada janinnya, dan dalam kondisi seperti ini qishosh ditegakkan setelah melahirkan, hal ini didasari oleh firman Alloh;

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ  [٦:١٦٤]

‘’Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.’’ (QS.Al-An’am 164)
Para ulama bersepakat[16] bahwa setelah melahirkan, jika dijumpai ada yang menggantikannya untuk menyusui anaknya, maka wanita ini segera diqishash, karena ada yang menanggung kehidupan anaknya, tetapi jika tidak dijumpai wanita lain yang bisa menyusui anaknya, maka ditangguhkan qishashnya sampai selesai menyusui. Hal ini didasari oleh hadits khusus dalam masalah ini, sabda Rosululloh;

إذا قتلت المرأة عمدا لم تقتل حتى تضع ما في بطنها وحتى تكفل ولدها

‘’Apabila seorang wanita sengaja membunuh, maka tidak boleh diqishosh sehingga melahirkan janinnya, dan sehingga dia memelihara anaknya.’’ (HR.Muslim 2225)
4. Harus setelah adanya persetujuan dan keputusan imam/pemimpin yang sah atau wakilnya.
Qishash tidak ditegakkan kecuali setelah imam/pemimpin kaum muslimin atau wakilnya menetapkan ditegakkan hukum qishosh itu, hal ini lantaran;
a. Para ulama sepakat bahwa qishash ditegakkan dengan keputusan imam/pemimpin yang sah atau wakilnya.[17]
b. Hukum qishash adalah diikat dengan syarat- syarat tertentu yang harus dipenuhi, dan terpenuhi syarat- syarat tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan keputusan seorang imam atau wakilnya seperti hakim dan semisalnya.
c. Jika hal hukum qishash diserahkan langsung kepada manusia tanpa ada keputusan imam, maka hal itu akan menimbulkan kegoncangan masyarakat dan hilangnya rasa aman, masing- masing akan membunuh musuhnya dengan dalih hukum qishosh.[18]
5. Hukuman qishosh harus disaksikan oleh ahli waris yang menuntut qishash, hal ini karena dua sebab;
a. Kedatangan para penuntut qishash untuk melihat ditegakkannya hukum qishash ini bisa meluluhkan hati para penuntut qishash atau salah satunya karena merasa kasihan, lalu mereka mema’afkan, sehingga  hukum qishash menjadi batal,  dan memberi ma’af adalah satu sikap yang dianjurkan dalam Islam.[19]
c. Jika mereka tidak datang melihat hukuman qishash ini, maka ada kemungkinan mereka telah mema’afkan orang yang akan dihukum qishash, dan untuk mengetahui mereka tetap tidak mema’afkannya , maka mereka harus datang meyaksikan.[20]
6. Pelaksanaan hukuman qishash harus dihadiri oleh imam/pemimpin yang sah atau wakilnya, karena sangat memungkinkan terjadi kedholiman atau melampaui batas saat menegakkan qishash, hal itu sebab rasa benci, marah, atau sebab lain  pada penuntut qishosh.[21] Alloh berfirman;

فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

‘’Barangsiapa yang melampaui batas atas kamu, maka balaslah seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.’’ (QS.Al-Baqoroh 194)
CARA YANG DIGUNAKAN DALAM MENEGAKKAN QISHASH
Hukum asal dalam pelaksanaan qishosh adalah dengan cara yang sama yang telah dilakukan oleh pelaku krimanal tersebut[22], jika membunuh dengan pedang maka diqishosh dengan pedang, jika membunuh dengan memukulkan batu ke arah kepala sampai mati, maka demikianlah qishoshnya dengan batu sampai mati, dan seterusnya, hanyasaja para ulama mengatakan kecuali jika pelaku membunuh dengan sesuatu yang haram seperti sihir, khomer, liwath dan semisalnya,  atau jika dengan cara yang sama akan mengakibatkan terlalu lama tersiksa, maka qishosnya dengan pedang. Hal ini sebagaimana firman Alloh diatas (QS.Al-Baqoroh 194), dan firman-Nya;

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ [١٦:١٢٦]

‘’Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.’’ (QS.An-Nahl 126)
PEMBATAL-PEMBATAL QISHASH
Hukum qishosh yang telah terpenuhi syarat- syarat diatas bisa batal jika terdapat salah satu dari 3 (tiga) perkara, yaitu;
1.Mati sebelum diqishash
Jika orang yang hendak diqishosh meninggal dunia, maka batal-lah qishosh baginya sebab dialah yang harus diqishosh dan tidak diwariskan kepada siapapun.
Adapun masalah diyat, maka sebagian ulama mewajibkan keluarganya membayar diyat dan sebagian lain tidak mewajibkannya[23].
2. Salah satu ahli waris atau semuanya mema’afkan
Jika ada salah satu ahli waris korban mema’afkan orang yang telah ditetapkan hukum qishosh baginya, maka batal-lah qishosh tersebut, sebab qishosh merupakan hak ahli waris secara bersekutu, dan salah satu mereka telah menggugurkan haknya, sebagaimana keterangan di atas pada QS. .Al-Baqoroh 178.[24]
3. Apabila ahli waris korban dengan pelaku kriminal sepakat untuk damai
Para fuqoha sepakat bolehnya berdamai untuk membatalkan qishosh, baik dengan persyaratan membayar diyat atau tidak, baik sepakat atas diyat yang lebih besar dari yang disebutkan syari’at atau lebih sedikit dari yang disebutkan, baik dibayar tunai atau dengan tempo, karena diyat adalah hak mereka (manusia).
Allohu A’lam.
Sumber: majalah AL FURQON No. 117 Edisi 2 TH. ke-11 Syawal 1432 H

*Pembahasan ini banyak mengambil pelajaran dari kitab al-Maqashid asy-Syar’iyyah lil ‘Uqubaat fil Islam oleh DR. Rawiyah Ahmad Abdul Karim adh-Dhahar, cet. pertama, 1426 H
[1] . Lihat ‘’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.325.
[2] . Lihat al-Mughni 10/333, al-Jinayat wa Uqubatuha hlm.50, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan hlm.387.
[3] . Lihat perkataan semisal oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni’ 11/38.
[4] . Keharaman membunuh dengan sengaja dijelaskan oleh Alloh dalam beberapa firman-Nya, diantaranya QS.AN-Nisa 93, al-Isro’ 33, dan al-Ma’idah 32. Demikian diharamkan dalam hadits- hadits yang banyak seperti, HR.Bukhori 4/188, 4/28, 4/177, demikian juga para ulama kaum muslimin sepakat bahwa membunuh dengan sengaja merupakan dosa besar (Lihat al-Mughni 9/318, Manarus Sabil 2/314)
[5]. HR.Abu Dawud 3/55, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ ul Gholil 2/4
[6] . Kafir  harbi adalah orang kafir yang yang tidak memiliki jaminan keamanan dari kaum muslimin atau pemimpinnya, tidak dalam perjanjian damai, dan tidak membayar jizyah kepada kaum muslimin sebagai jaminan keamanan mereka, merekalah yang diperintahkan oleh Alloh untuk diperangi (Lihat QS.Al-Baqoroh 190-191)
Sedangkan kafir yang bukan harbi, maka mereka adalah kafir yang sedang dijamin keamanannya oleh salah satu kaum muslimin atau pemimpinnya (al-Musta’min), kafir yang terlibat pejanjian damai dengan kaum muslimin (al-Mu’ahad) atau kafir yang dilindungi keamanannya sebab membayar jizyah (adz Dzimmi), mereka semua haram bagi kaum muslimin untuk menumpahkan darah dan mengambil hartanya. Nabi bersabda,’’Barang siapa membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak dapat mencium bau surga, padahal bau (wanginya) dapat tercium dari jarak perjalanan selama 40 tahun.’’ (HRBukhori 3452). Lihat kembali pembahasan lebih lengkap tentang kafir harbi dan kafir bukan harbi dalam majalah al-Furqon edisi 5 Thn.8 dalam Tajuk,’’Hukuman Mati Dalam Islam”.
[7] . Lihat al-Jinayat wa Uqubatuha hlm.50, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan hlm.331.
[8] . Demikian pendapat jumhur ulama, adapun Imam Abu Hanifah, beliau tidak mensyari’atkan hal ini semua jiwa dianggap sama (Lihat al-Jinayat wa Uqubatuha hlm.50, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan hlm.332)
[9] . Inilah pendapat jumhur ulama kecuali Imam Malik berpendapat bahwa orang tua yang membunuh anaknya sendiri berlaku juga hukum qishash baginya jika semua syaratnya terpenuhi. (‘’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.332), Demikian Syaikh Ibnu Utsaimin menguatkan bahwa orang tua tetap diqishash sebab membunuh anaknya. (Lihat Asy-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni’ 11/41-42.
[10]. HR.Tirmidzi 1410, Ibnu Majah 2599, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 2214, dan dalam Shahhih wa Dho’if al-Jami’ 13707
[11] . Mereka biasa disebut mustahiqul qishash, menurut jumhur ulama, mereka adalah ahli waris korban baik laki- laki atau perempuan, sedangkan menurut Imam Malik, mereka adalah ahli waris yang laki- laki saja. (Lihat as-Syarhul Kabir lid Dardir 4/227, al-Khorsyi 8/3, Badai’ as-Sonai’, 7/242, al-Muhadzdzab 2/196, dan al-Iqna’ 4/182)
[12] . Lihat Fiqhus- Sunnah As-Sayyid Sabiq 3/29-30.
[13] . Ini adalah pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad, sedangkan madzhab Abu Hanifah terdapat dua fersi, salah satunya mengatakan seperti yang dikatakan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, sedangkan fersi ke dua mengatakan bahwa cukup hakim atau qodhi yang menentukan ditegakkan qishash tanpa menunggu ahli warisnya baligh dan sembuh dari gilanya, sedangkan Imam Malik berpendapat, bahwa walinya anak yang masih kecil dan orang gila mewakili mereka dan tidak perlu ditunggu sampai baligh atau sembuh dari gila jika ada diantara ahli waris korban yang masih kecil atau gila. (Lihat Nihayatul Muhtaj 7/284, Mughni Al-Muhtaj 4/40, Manarus Sabil 2/324, Badai’us Shonai’ 7/243, as-Syarhul Kabir lid Dardir 4/228, dan Mawahibul Jalil 6/251.
[14] . lihat ‘’al-Mulakhkhosh al-Fiqhy’’ 2/378 Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[15] . Asy-Syarhul Mumthi’ ala Zadil Mustaqni’ 11/51.
[16] . Lihat ‘’al-Mulakhkhosh al-Fiqhy’’ 2/380.
[17] . Sebagaimana dinukil kesepakatan ini oleh Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya 2/245.
[18] . Lihat al-Khorsyy 8/24, dan ‘Uqubatul I’dam hlm.256.
[19] . ‘’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.335.
[20] . Idem.
[21] . Lihat Manarus Sabil fi Syarhid Dalil 2/327.
[22] . Inilah pendapat yang lebih kuat dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu riwayat Imam Ahmad (lihat Bidayatul Mujtahid 2/404, Qowanin al-Ahkam asy-Syar’iyah hlm.375, Mughni al-Muhtaj 4/44, al-Muhadzdzab 2/186, al-Mubdi’ hlm.291, dan Manarus Sabil 2/327), sedangkan madzhab Abu Hanifah mengharuskan qishash hanya dengan pedang dengan dalil hadits,’’tidak ada qishash kecuali dengan pedang.’’ Tetapi hadits  [ini] lemah, sebab diantara perowi hadits ini ada Jabir al-Ju’fi dia adalah perowi lemah (lihat Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id 3/125)
[23] . Lihat perinciannya dalam ’al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’’ hlm.338-339.
[24] . Lihat Fiqhus Sunnah, as-Sayyid Sabiq 3/32, dan Al-Maqoshid asy-Syar’iyah lil Uqubat fil Islam’ hlm.339.

http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2012/06/05/indahnya-hukum-qishash/


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment