Jakarta - Ada ribuan anak Indonesia yang dilahirkan di Arab Saudi. Mereka adalah anak para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja dan bermukim di Arab Saudi.
Generasi TKI yang mengadu untung di negeri riyal pada tahun 1980-an telah beranak-pinak. Sebagian anak mereka bekerja di berbagai tempat seperti hotel, restoran dan sopir terutama di Mekkah, Jeddah, Madinah dan Riyadh.
Sejak lahir hingga dewasa, mereka kebanyakan menempuh pendidikan atau sekolah di Arab Saudi. Bila akan bersekolah yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain seperti bahasa Inggris hanya ada di Jeddah. Sedangkan di kota-kota lain seperti Mekkah dan Madinah tidak ada. Biayanya pun juga sangat mahal.
Arab Saudi bagi mereka adalah tanah tumpah darah pertamanya. Tanah air keduanya baru Indonesia yang juga merupakan tanah kelahiran orang tuanya.
Meski berstatus WNI, namun di antara mereka ada yang belum pernah menginjakkan tanah di Indonesia. Ada pula yang pernah menengok sanak saudara mereka di Indonesia. Adapula yang menyelesaikan pendidikan mulai SD/Madrasah Ibtidaiyah hingga SMA atau Aliyah di Indonesia. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Arab Saudi untuk bekerja.
Seperti Barakat Muhammad Asyari Hamid Banjar, seorang keturunan Banjar Kalimantan Selatan yang dilahirkan di Arab Saudi. Laki-laki umur 24 tahun itu baru 3 kali mengunjungi tanah kelahiran kedua orangtuanya di Banjarmasin.
Dia anak adalah anak nomor 4 dari 8 bersaudara yang semua lahir di Arab Saudi. Pada awalnya orangtua Barakat berdagang di Arab Saudi. Saat ini bersama anggota keluarga lainnya orangtuanya bekerja menjadi pembimbing ibadah haji dan umrah.
"Saya anak nomer 4 dari 8 saudara. Tiga perempuan dan lima laki-laki," kata Barakat mengawali cerita.
Dia mengatakan pendidikan madrasah baik dirinya maupun saudara-saudaranya ditempuh di Arab Saudi. Otomatis bahasa pengantar, percakapan ataupun bahasa pergaulan sehari-hari lebih banyak menggunakan Bahasa Arab.
Saat berbicara dengan anak-anak Indonesia yang seusianya lanjut Barakat, lebih banyak menggunakan bahasa Arab. Sebab ada beberapa temannya yang benar-benar tidak bisa berbahasa Indonesia.
"Kalau Bahasa Indonesia, saya sudah mulai lancar sekitar 5 tahunan terakhir ini. Kalau dengan keluarga bahasa yang dipakai campuran Arab, Indonesia dan Banjar," katanya.
Meski demikian ada beberapa kosa kata atau nama sesuatu jenis barang yang tidak diketahuinya. Dia mencontohkan jenis buah-buahan yang ternyata di Indonesia banyak sekali jenisnya. Sedangkan di Arab Saudi yang dia ketahui hanya buah jeruk sunkist, plum, anggur, pisang, semangka, melon, apel, peer dan nanas.
Akibat sakit batuk berdahak yang tidak kunjung sembuh itu, Barakat yang sehari-hari menjadi tenaga kebersihan di ruang makan Daker Madinah itu sempat menjadi bahan guyonan oleh para petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Madinah. Oleh Pengawas Katering Sartoyo, dia disarankan makan isi buah kedondong bila sakit batuknya ingin sembuh.
Barakat pun langsung menyimak serius apa yangh diomongkan oleh Sartoyo. Sartoyo menyarankan agar mencari isi buah kedondong untuk dimasukkan ke tenggorakan. Isi buah kedondong itu lalu ditarik pakai kawat berkali-kali. "Nanti sembuh batuknya," kata Sartoyo.
Saat itu orang-orang Indonesia yang mendengarkan omongan Sartoyo langsung tertawa. Namun Barakat masih tetap serius mendengarkannya. Oleh temannya itu dia kemudian dikasih tahu kalau itu hanya guyonan saja. Barakat kemudian baru sadar kalau dia baru saja dikerjai oleh Sartoyo.
"Saya tidak tahu buah kedondong itu kayak apa, makanya saya dengarkan terus," katanya.
Dia menambahkan semua anggota keluarganya saat ini bekerja di Arab Saudi. Ada yang tinggal di Mekkah, Jeddah maupun Riyadh. Saudaranya ada juga yang menikah dengan orang Arab. Karena itu untuk mengurus iqomah atau surat izin tinggal lebih mudah dibandingkan TKI yang baru saja datang.
Meski belum pernah tinggal lama di Indonesia terutama di Banjar, dia mengaku tidak belum mempunyai keinginan untuk tinggal menetap dan bekerja di Indonesia. Bersama anggota keluarga lainnya dia baru 3 kali mengunjungi Indonesia dan tidak lebih dari 2 minggu lamanya.
Saat ini dia ingin bekerja mencari uang di Arab Saudi. Sebab mencari uang di Arab lebih mudah dibandingkan di Indonesia. Beberapa pekerjaan yang bisa dijalani diantaranya jadi petugas cleaning service di hotel, pelayan restoran atau sopir.
"Kalau mau kerja di Indo susah. Di sini orang tidak punya uang masih bisa hidup. Kalau saya tinggal di Indo bisa tidak hidup dan saya belum tahu akan pulang ke Indonesia atau tidak," katanya.
Ketika ditanya mengenai sejarah Indonesia, dia mengaku tidak banyak mengetahui. Namun dia tahu kalau 17 Agustus itu hari kemerdekaan Indonesia. Ketika ada siaran langsung pertandingan Indonesia melawan Singapura dan Laos di Piala AFF beberapa waktu lalu, dia pun ikut menonton dan mendukung Indonesia.
Sementara itu, Lukmanul Hakim, seorang anak Indonesia kelahiran Arab Saudi menceritakan dirinya bersama kakaknya lahir di Arab Saudi. Namun saat menginjak usia sekolah Lukman bersama orangtua kembali ke Jember Jawa Timur.
"Setelah selesai sekolah, saya bingung tidak punya kerjaan. Saya kembali ke Saudi tahun 2002," ungkap Lukman.
Selain mahir berbahasa Arab, bekal ketrampilan seperti bidang mekanik dan mengemudikan kendaraan menjadi andalan untuk mengadu nasib di tanah kelahirannya.
Menurut dia, dengan bantuan pamannya, dia mendapatkan visa kerja TKI sebagai sopir. Setelah surat-surat dari PJTKI selesai diurus, Lukman siap berangkat ke Mekkah. Namun tanpa diduga pecah perang Irak sehingga keberangkatannya tertunda selama lebih kurang satu bulan.
"Untuk ngurus surat-surat waktu itu habis sekitar Rp 7 jutaan," katanya.
Di Mekkah, Lukman bekerja di tempat pamannya sendiri yang sudah menjadi mukimin. Gaji pertama yang diterima sebesar 600 riyal atau lebih kurang Rp 1,5 juta. Diapun sempat mencari tambahan penghasilan di sela-sela pekerjaan sehari-hari sebagai sopir.
"Saya kadang membantu jadi sopir lepas untuk travel, memperbaiki listrik, penjahit dan semua yang bisa saya kerjakan," katanya.
Gaji yang diterima terus dikumpulkan untuk membayar utang saat berangkat serta mengurus iqomah atau semacam KTP. Iqomah baru bisa dimiliki bila ada sponsor orang Saudi yang mau bertanggung jawab atau menjadi penjamin bekerja.
"Biayanya hingga 9 ribu riyal atau sekitar Rp 22,5 juta. Yang ngurus majikan, kita tinggal terima saja," katanya.
Meski sudah lebih dari 10 tahun mencari penghasilan di Arab Saudi sebagai sopir seorang keluarga di Makkah. Pekerjaan utamanya adalah mengantar jemput anggota keluarga. Majikannya juga sudah mempercayakan mobil kepadanya sehingga sering dipakai oleh keluarganya. .
"Selain mengantar majikan bepergian sore hingga malam hari, saya juga mendapat tugas tambahan menyirami tanaman. Gaji yang saya terima terus naik, saat ini sudah 1.700 riyal atau sekitar Rp 4,2 juta per bulan," katanya.
Gaji sebesar itu sudah cukup untuk menghidupi dia juga bisa menghidupi Lukman bersama istrinya warga Banjar Kalimantan Selatan dan telah dikaruniai 2 orang anak.
"Saya masih bisa mengirimkan uang ke Indonesia untuk orangtua. Namun saya belum tahu kapan akan pulang, terutama untuk menyekolahkan anak," katanya.
(bgs/try)
No comments:
Post a Comment