Pernyataan itu terutama ditujukan kepada mahasiswi sekolah seni dan desain, untuk alasan yang tidak disebutkan, lapor koran Al-Hayat sebagaimana dikutip Al-Arabiya (14/12/2012).
Mahasiswi Saudi juga dilarang memakai rok yang terbuat dari kain seperti jala, atau bahan yang tembus pandang dan warnanya harus hitam atau abu-abu. Mahasiswi dibebaskan untuk memilih warna kemejanya, tetapi tidak boleh terawang atau tembus pandang. Para pelanggar akan dikenai sanksi absen, meskipun mereka hadir di dalam kelas.
Dalam pernyataan sebelumnya, Universitas Raja Abdulaziz mengumumkan bahwa lembaganya menentang mahasiswi pengguna celana panjang. Kalaupun dipakai, celana panjang itu harus didesain dengan kesopanan yang sesuai dengan norma masyarakat.
Universitas Putri Nura binti Abdul Rahman didirikan di kota Riyadh pada tahun 1970. Kampusnya yang diperuntukkan hanya untuk wanita menjadi yang terbesar di dunia dengan jumlah mahasiswa lebih dari 50.000 orang.
Tahun 2008 universitas itu diganti namanya menjadi Universitas Putri Nurah binti Abdulrahman, saudara wanita Raja Abdulaziz.*(Hidayatullah.com)
Adapun persyaratan pakaian bagi wanita muslimah yang diatur dalam syariat Islam adalah sebagai berikut (dikutip dari annisaagamaisitb.tumblr.com )
1. Menutup Seluruh Tubuh Kecuali Wajah dan Kedua Telapak Tangan
Seluruh tubuh wanita, kecuali wajah
dan kedua telapak tangannya adalah aurat yang harus ditutupi dari
pandangan orang yang tidak berhak melihatnya. Nabi bersabda kepada
Asma’:
“Wahai Asma’ sesungguhnya wanita itu apabila telah dewasa tidak layak kelihatan darinya kecuali ini dan ini” sembari beliau berisyarat ke wajah da kedua telapak tangan beliau (Riwayat Abu Daud).
Asy Syaukani
mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan, “Di dalam hadits ini
terdapat dalil bagi orang yang berpendapat bolehnya melihat wanita yang
bukan mahram”. Ibnu Ruslan menambahkan, “Hal ini bila bila diyakini
tidak akan membawa syahwat perzinahan dan lainnya”.
Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak
padanya dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
Kalimat maa zhahara minha dalam
ayat di atas dijelaskan oleh Az Zamakhsyari, “Yang biasa tampak
misalnya cincin, celak dan inai. Semua itu tidak mengapa ditampakkan di
hadapan laki-laki yang bukan mahramnya”. Abu Ja’far ath Thahawi dalam
kitab Syarh Ma’ani Al Atsar menjekaskan,
“Dibolehkan bagi laki-laki bagian tubuh wanita yang tidak dilarang,
yaitu wajah dan kedua telapak tangan; tetapi terlarang kalau terhadap
isteri-isteroi Nabi saw. Hal ini menjadi pendapat Imama Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan Muhammad. Mudah-mudahan Allah merahmati mereka”.
Asy Syaukani
menjelaskan, “Kesimpulannya ialah, seorang wanita boleh menampakkan
sebagian tempat-tempat perhiasannya karena memang diperlukan, mislnya
untuk mengambil sesuatu, untuk jual beli, dan untuk persaksian. Oleh
karena itulah tempat-tempat perhiasan tersebut dikecualikan darin
larangan dalam ayat tersebut. Dan tempat-tempat perhiasan yang
dikecualikan itu tidak lain adalah wajah dan kedua telapak tangan”.
Dengan demikian pakaian
wanita harus menutup seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak
tangan. Pendapat ini merupakan kesepakatan ulama terdahulu, baik dari
kalangan para mufasir, ahli hadits, serta para ahli fikih dari berbagai
madzhab. Para ulama zaman terdahulu telah mensepakati bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat.
Keseluruhan kitab-kitan
fikih berbagai madzhab sebagaimana dicantumkan di atas, menyatakan bahwa
wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Hal ini dikuatkan
lagi dalam kitab Al Fiqh ala Madzahib Al Arba’ah (Fikih
Empat Madzhab) susunan Dewan Ulama Saudi yang menyimpulkan, “Adapun
bila di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau di hadapan wanita
non muslim, maka aurat wanita adalah keseluruhan badannya, kecuali wajah
dan kedua telapak tangannya. Keduanya bukan aurat sehingga boleh
ditampakkan bila aman dari gangguan”.
Di dalam kitab Al Muwatha’ diriwayatkan
dari Yahya bahwa Imam Malik pernah ditanya, “Apakah seorang wanita
(boleh) makan bersama laki-laki yang bukan mahramnya atau makan bersama
anak laki-lakinya (saja)?” Imam Malik menjawab, “Tidak mengapa (bersama
laki-lakin yang bukan mahramnya) asalkan laki-laki tersebut telah
dikenali”. Beliau menambahkan, “Biasa wanita (menemani) makan suaminya
dan bersama para tamunya”.
Al Baji di dalam kitab Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’ mengomentari
perkataan Imam Malik tersebur, “Dibolehkan laki-laki memandang wajah
dan kedua tangan perempuan itu, karena kedua bagian tubuh tersebut tentu
terlihat pada saat dia makan”.
Terhadap segolongan kaum
muslimin yang secara ketat mewajibkan para wanita muslimah menutup
wajah (dengan cadar) dan kedua telapak tangan mereka, Syaikh Nasiruddin
Al Albani dalam Kitabnya Ar Radd Al Mufhim mengatakan,
“Orang-orang yang mewajibkan para wanita menutup wajah dan kedua
telapak tangannya tidak berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunnah maupun
ijma’ ulama”. Di bagian lain, Albani mengatakan mereka yang mewajibkan
cadar bagi wanita muslimah sebagai “berdalil dengan hadits-hadits dhaif,
atsar-atsar lemah, serta atsar-atsar palsu yang mereka ketahui, atau
mungkin tidak mereka ketahui”.
Sikap mewajibkan cadar
bagi wanita muslimah karena menganggap ada nash-nash syariat yang
menunjukkan kewajiban, dianggap Albani sebagai hal yang berlebih-lebihan
di dalam agama. Perhatikan ungkapan Nashiruddin Al Albani, seorang
ulama tokoh Salafi berikut, “Saya berkeyakinan bahwa sikap
berlebih-lebihan terhadap urusan wajah wanita itu tidak mungkin bisa
mencetak generasi wanita di tiap-tiap negerinya yang mampu mengemban
tugas yang tergantung di leher mereka”.
“Wanita-wanita seperti
itu juga tidak akan mampu bertindak secara luwes dan tangkas di saat
keadaan membutuhkan. Dari hadits-hadits kita bisa mengetahui bahwa para
wanita di zaman Rasulullah ikut menyuguhkan makan dan minum para tamu,
ikut berperang dengan memberi minum mereka yang kehausan, memberi makan
mereka yang kelaparan, mengevakuasi mereka yang terbunuh; terkadang
wanita sendiri ikut berperang di saat kondisi mengharuskan”.
“Mungkinkah
wanita-pwanita yang memakai cadar dan kaus tangan mampu melakukan
kegiatan dan tugas-tugas semacam itu?” Lanjut Albani, “Ya Allah, tidak
mungkin. Kegiatan dan tugas-tugas semacam itu hanya akan bisa dilakukan
tatkala para wanita membuka wajah dan kedua tangan mereka”.
2. Pakaian Tidak Menampakkan Aurat
Agar bisa berfungsi menutup dalam artian
tidak menampakkan aurat, maka pakaian tersebut harus longgar dan tidak
sempit, serta dari bahan yang kuat tertutup dan tidak transparan. Inilah
syarat kedua dari pakaian wanita muslimah. Berbagai model pakaian yang
dikenakan masyarakat saat ini, khususnya para wanita, banyak yang
sengaja dibuat sangat ketat sehingga membentuk tubuh mereka dengan
jelas. Atau sebagian lagi ada yang mengenakan pakaian dari kain yang
tipis atau transparan sehingga bentuk serta kulit tubuh mereka bisa
terlihat dengan jelas.
Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya dan
hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
Ayat di atas dengan sangat tegas
memerintahkan agar “tidak menampakkan perhiasan”, sebagaimana
dijelaskan di depan yang dimaksud perhiasan adalah tubuh wanita itu
sendiri, dengan pengecualian “yang biasa tampak padanya” yaitu wajah dan
kedua telapak tangan.
Ayat tersebut tidak mengatakan
“hendaklah mereka menutup perhiasan mereka”, akan tetapi “janganlah
mereka menampakkan perhiasannya”. Ada perbedaan yang sangat
mendasar antara kata “jangan tampakkan” dengan “menutup”. Apabila yang
diperintahkan adalah menutup tubuh, para wanita yang saat ini berbusana
dengan pakaian yang sangat ketat membungkus tubuh mereka, sudah
melaksanakan perintah tersebut. Mereka telah menutup tubuh, yaitu dengan
kain yang sangat ketat.
Namun karena bunyi perintahnya
adalah “jangan tampakkan perhiasan”, maka mereka yang berbusana ketat
sehingga lekuk-lekuk tubuhnya masih terlihat dengan sangat jelas, belum
memenuhi perintah tersebut. Kaus ketat yang membungkus tubuh wanita,
celana panjang yang ketat melekat di bagian bawahnya, tetaplah
menampakkan perhiasan wanita, meskipun sudah ada kegiatan menutup.
Sebagaimana jika kita mengatakan
“Tutuplah makanan itu”, maka kita bisa menutupnya dengan plastik atau
dengan alat lain yang transparan. Sudah ditutup, tetapi bendanya masih
kelihatan, karena penutupnya transparan. Seperti halnya model penutup handphone yang
terbuat dari plastik transparan, masih menampakkan bentuk dan warna
aslinya. Akan tetapi jika dikatakan, “Jangan tampakkan makanan itu”,
maka perilaku kita adalah berusaha menyembunyikan sehingga aman dan
tidak kelihatan.
Apabila fungsi mengenakan
pakaian adalah untuk menghindarkan diri dari fitnah, maka dengan model
pakaian ketat dan transparan belum bisa memenuhi fungsi tersebut. Daya
tarik yang ditimbullkan oleh tubuh wanita, masih akan tertampakkan
dengan kuat apabila para wanita mengenakan pakaian semacam itu.
Rasulullah saw pernah menengarai umatnya bakal ada yang “berpakaian
tetapi telanjang” sebagai salah satu ciri-ciri datangnya kiamat. Bisa
jadi, pakaian ketat dan transparan itulah yang dimaksudkan, bahwa mereka
telah berpakaian akan tetapi hakikatnya masih telanjang.
3. Memperhatikan Keindahan dan Kepantasan Secara Wajar
Islam adalah ajaran yang memperhatikan keindahan
dalam segala hal, termasuk dalam berpakaian. Abdullah bin Mas’ud
menceritakan bahwa seorang laki-lakai berkata kepada nabi saw,
“seseungguhnya seseporang suka pakaiannya bagus dn sandalnya bagus”.
Maka Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan” (riwayat Muslim).
Di zaman kita hidup sekarang, berbagai model
pakaian dijumpai, sesuai dengan kultur masyarakat atau negara
masing-masing.Adamodel pakaian tertentu yang dianggap lazim di sebuah
daerah, akan tetapi dipandang aneh dan tidak pantas pada tempat yang
lain. Hal semacam ini merupakan khazanah budaya kemanusiaan yang tidak
diingkari begitu saja oleh Islam. Selera akan keindahan justru
ditumbuhkan dalam tradisi keislaman.
Syariat Islam menegaskan tentang esensi pakaian
yang harus bisa menutup aurat sehingga tidak tertampakkan kepada
orang-orang yang tidak berhak. Akan tetapi tidak mengatur mengenai
warna, mode, ataupun asesoris pakaian dengan detail dan renik. Setiap
tempat bisa memiliki warna dan mode yang berbeda, dengan tetap
mempertimbangkan faktor keindahan dan kepantasan yang wajar. Bahkan,
untuk satu momen bisa berbeda dengan momen yang lain di sebuah tempat
dan pada orang yang sama.
Sebagai comntoh, ketika menghadiri acara walimah
pernikahan, seseorang wanita muslimah mengenakan pakaian muslimah yang
mengandung unsur warna-warna dan motif tertentu yang cerah. Akan tetapi
ada nilai kepatutan yang berbeda saat menghadiri atau menengok seseorang
yang meninggal dunia. Dalam suasana berkabung warna pakaian dan
coraknya pun menyesuaikan dengan suasana tersebut, yang di berbagai
tempat lebih merasa tepoat menggunakan pakaian berwarna gelap atau
hitam.
Oleh karena itu, Imam Ath Thabari dalam Fathul Bari mengatakan,
“Sesungguhnya memelihara model zaman termasuk muru’ah (kepatutan)
selama tidak mengandung dosa; dan menyelahi model serupa dengan mencari
ketenaran”. Di sini yang harus lebih diperhatikan adalah esensi menutup
aurat, sedangkan masalah warna, corak, motif ataupun mode, bisa
menyesuaikan dengan berbagai kondisi selama tidak terlalu mencolok dan
mengundang perhatian, atau menyalahi kepatutan dan keindahan.
Yang tercela adalah apabila pakaian wanita muslimah
tersebut, dalam rangka mencari keindahan secara berlebihan, sampai
mengundang syahwat laki-laki yang berinteraksi dengannya. Pakaiannya
sedemikian mencolok perhatian, dan ditambah dengan beraneka ragam
asesoris yang semakin menguatkan gebyar penampilan, bisa menimbulkan
asosiasi tersendiri yang negatif. Selera keindahan harus dipenuhi secara
wajar, sebab berlebihan dalam segala sesuatu termasuk sifat tercela,
dan bahkan bisa jatuh ke dalam penampilan yang norak dan tidak memiliki
nilai kepatutan berdasarkan kebiasaan rata-rata muslimah di tempat itu.
Jangan sampai para wanita mengenakan busana
muslimah yang secara fungsi telah menutup aurat, akan tetapi aneh dan
asing karena tidak ada kebiasaan berpakaian seperti itu di kalangan kaum
muslimah, hanya karena ingin mencari popularitas. Rasulullah saw
bersabda:
“Barangsiapa yang memakai pakaian kemasyhuran di
dunia, maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari
kiamat, kemudian dinyalakan untuknya api neraka” (riwayat Abu Dawud).
Demikianlah beberapa persyaratan umum pakaian
wanita muslimah. Keseluruhannya menjadi satu bagian yang utuh dari
proses ibadah dan sekaligus dakwah ilallah, menjaga pelaksanaan syariat
akan tetapi tetap bisa memperhatikan dan mengikuti perkembangan mode
untuk memenuhi selera keindahan secara wajar.
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment