Oleh : Al-Ustadz Jalâl Abŭ Alrŭb**
Editor :
Tim Riset Salafî Manhaj
Alih Bahasa :
Abŭ Salmâ bin Burhân Yŭsŭf
بسم الله الرحمن الرحيم
Editor :
Tim Riset Salafî Manhaj
Alih Bahasa :
Abŭ Salmâ bin Burhân Yŭsŭf
بسم الله الرحمن الرحيم
Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang
cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya
karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga,
yaitu India. Banyak ‘ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah
Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini
tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup
sekelompok ‘ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu,
Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti
mainstream ideologi Islam.1. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah
kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan
mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan
dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir
kolonial Inggris yang berdiam di India. Oleh karena itulah, ketika
dakwah Imâm Ibn ‘Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya
datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin
resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai
‘Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India
yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap
penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.2 Banyak ‘Ulamâ` yang
mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.3
Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan
yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan ‘Utsmâniyyah
(Ottomans), Ibrâhîm Basyâ (Pasha), anak angkat Muhammad ‘Alî Basyâ
(Pasha), juga menggunakan istilah ‘Wahhâbi, Khowârij dan Bid’ah
(Heretics)’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb dan
Negara Saudî4. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrâhîm Basyâ
memberontak dan menyerang khilâfah ‘Utsmâniyyah dan hampir saja
menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim
mengatakan : “Kaum Orientalis terdahulu, menggunakan istilah
‘Wahhâbiyyah, Wahhâbî, Wahhâbis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku
mereka untuk menyandarkan (menisbatkan) istilah ini kepada gerakan dan
pengikut Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb. Beberapa diantara mereka
bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku
mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul
artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer,
Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz. Mereka melakukan hal
ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa musuh-musuh dakwah ini
menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya, padahal para pengikut
Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb tidak menyandarkan diri mereka kepada
istilah ini. - Margoliouth5 sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah
‘Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup
‘pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa.
Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh
para pengikut dakwah ini di Jazîrah ‘Arab. Bahkan, mereka menyebut diri
mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. - Thomas Patrick Hughes6
menggambarkan “Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang
didirikan oleh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa
musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah”
(Muhammadans), malahan, mereka menyebutnya sebagai ‘Wahhâbî’, sebuah
nama setelah namanya ayahnya Syaikh…. - George Rentz7 mengatakan bahwa
istilah ‘Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa
Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya
ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan ‘Wahhâbî’ ini beranggapan
bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb hanyalah seorang pengikut
Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan
menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ‘ad-Da’wah ila’t Tauhîd’,
dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah
‘Muwahhidŭn’…. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika
menggunakan istilah ‘Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga
menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi.8 Biar
bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini , baik dari masa
lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya : -
Mereka menyebut dakwah Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb sebagai
‘Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh ‘Abdul Wahhâb,
namun oleh puteranya Muhammad. - Pada awalnya, ‘Abdul Wahhâb tidak
menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya.
Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya
menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya. Musuh-musuh
dakwah, tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama
semenjak Muhammad, bukan ayahnya, ‘Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini-
karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan
simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan. Istilah
“Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum
muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn
‘Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ (ahli
bid’ah) yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan
seruan (dakwah) untuk berpegang al-Qur`ân dan as-Sunnah dan suatu
indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang
berdakwah untuk mentauhîdkan Allôh semata serta memerintahkan untuk
mentaati semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Hal
ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah.9
Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn ‘Abdul
Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi
dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya.
Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan
terang, yang Alloh mengutus semua Nabi-Nya ‘alaihim`us Salâm untuknya
(untuk dakwah tauhîd ini). Menggunakan istilah ‘Wahhâbiyyah’ ini, tidak
akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan
pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak
kaum muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imâm
Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb secara antusias mendakwahkannya dan
menjadikannya sebagai misi dakwah beliau. Semua ini disebabkan karena
tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan al-Qur`ân dan as-Sunnah,
tidak peduli sekuat apapun seseorang itu. Perlu dicatat pula, bahwa
diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhîd adalah,
adanya penghormatan yang sangat besar terhadap al-Qur`ân dan sunnah
Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat
dengan hukum Islam, memurnikan (tashfiyah) dan mendidik (tarbiyah)
bahwa peribadatan hanya milik Allôh semata serta memberikan respek
terhadap para sahabat nabî dan para ‘ulamâ` Islâm. Mereka adalah kaum
yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu
Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah
menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafî
bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur.
Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para pengikut dakwah,
bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau
menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang,
menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”. Imâm Muhammad ibn
‘Abdul Wahhâb berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru
kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah
aliran/sekte baru, namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan
dakwah yang dimulai dari generasi pertama Islam dan mereka yang
mengikuti jalan mereka dengan lebih baik. CATATAN KAKI : * Dari Jalâl
Abŭ Alrub dan Alâ Mencke (ed.), Biography and Mission of Muhammad Ibn
‘Abdul Wahhâb (Orlando, Florida: Madinah Publisher, 1424/2003), hal.
677-81. Dengan tambahan ekstra catatan oleh Tim Salafimanhaj. Catatan
dari Salafi Manhaj diberi tanda “Catatan Editor”. Catatan Penterjemah :
Artikel ini dialihbahasakan dari “Who First Used The Term “Wahhabi”?
“(http://www.salafimanhaj.com/pdf/SalafiManhaj_TermWahhabi.pdf) **
Catatan Penterjemah : Jalâl Abŭ Alrub adalah seorang penulis Islam
salafî yang mumpuni. Beliau memiliki website bermanfaat, yaitu
http://islamlife.com. Beliau aktif menulis counter dan
tanggapan/bantahan terhadap syubuhat dan penyesatan opini para jurnalis
Barat. Beliau pernah terlibat debat beberapa kali dengan para jurnalis
dan penulis ’Neo-Con’. Terakhir kali, beliau menantang debat Robert
Spencer (seorang Katolik pro Neo-Con, yang mengangkat dirinya sebagai
’Islam Specialist’ dan banyak menulis tentang Islam secara ngawur dan
tendensius. Ia adalah orang dibalik website jihadwatch dan dhimmiwatch.)
Namun, Robert Spencer sepertinya tidak punya ’guts’ (nyali), sehingga
ia tidak pernah mau berhadapan langsung dengan Jalâl Abŭ Alrub. 1 Lihat
: Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l
Wahhâbiyyah, Riyâdh : Dârul Habîb : 2000; hal. 55 2 Catatan Editor :
W.W. Hunter dalam bukunya yang berjudul “The Indian Musalmans” mencatat
bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling
menakuti kebangkitan muslim ‘Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang
Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa : “There is no fear to
the British in India except from the Wahhabis, for they are causing
disturbances againts them, and agitating the people under the name of
jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British and their
authority.” “Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan
terhadap kaum Wahhâbi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam
rangka menentang Inggris dan mengagitasi (membangkitkan semangat) umat
dengan atas nama jihâd untuk memusnahkan penindasan akibat dari
ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.” Lihat: W.W.
Hunter, “The Indian Musalmans”, cet.1 di London: Trűbner and Co., 1871;
Calcuta: Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi: Rupa & Co.,
2002 Reprint 3 Catatan Ediotr : Di Bengal selama masa ini, banyak kaum
muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan
“Wahhâbi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris
kemudian digantung pada tahun 1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di
Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas Salafî-Ahlul
Hadîts, seperti Syaikh Ja’far Tsanisârî, Syaikh Yahyâ ‘Alî (1828-1868),
Syaikh Ahmad ‘Abdullâh (1808-1881), Syaikh Nadzîr Husain ad-Dihlawî dan
masih banyak lagi lainnya. Untuk bacaan lebih lanjut, silakan lihat :
Mu’înud-dîn Ahmad Khân, A History if The Fara’idi Movement in Bengal
(Karachi: Pakistan Historical Society, 1965). Barbara Daly Metrcalf,
Islamic Revival in British India: Deoband, 1860-1900 (Princeton, New
Jersey: Princeton University Press, 1982), hal. 26-77. Qiyâmud-dîn
Ahmad (Professor Sejarah di Universitas Patna), The Wahhabi Movement in
India (Ner Delhi: Manohar, 1994, 2nd edition). Terutama pada bab tujuh
“The British Campaigns Againts the Wahhabis on the North-Western
Frontier” dan bab kedelapan “State Trials of Wahhabi Leaders, 183-65.”
Muhammad Ja’far, Târikhul ‘Ajîb dan Târikhul ‘Ajîb – History of Port
Blair (Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition). 4 Lihat: ibid, hal. 70 5
D.S. Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108. Catatan Editor : Artikel
karya Margoliouth yang berjudul ‘Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di
dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 (New York: E.J. Brill,
1987 Reprint) vol.8 , hal.1087 karya M.T. Houtsma, T.W. Arnold, R.
Basset, R. Hartman, A.J. Wensinck, H.A.R. Gibb, W. Heffening dan E.
Lêvi-Provençal (ed) dan The Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden and
London: E.J. Brill and Luzac & Co., 1960), hal. 619 karya H.A.R
Gibb, J.H. Kramers dan E. Lêvi-Provençal (ed). Artikel ini juga dicetak
ulang dalam : Reading, UK: Ithaca Press, 1974 Leiden: Brill, 1997
Dan cetakan pertama, Leiden and London: E.J. Bril and Luzac & Co.,
dan New York: Cornel University Press, 1953. 6 Thomas Patrick Huges,
Dictionary of Islam, hal. 59 7 George Rentz dan AS.J. Arberry, The
Wahhabis in Religion in The Middle East: Three Religion in Concord and
Conflict, Vol.2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hal. 270 8
Lihat: Nâshir ibn Ibrâhîm ibn ‘Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh Muhammad ibn
‘Abd`ul Wahhâb: Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya:
Dirôsah Naqdîyyah (Riyadh: Kementerian Urusan Keislaman, Pusat
Penelitian dan Studi Islam, 1423/2003) hal. 86-7. Catatan Editor : Buku
ini juga dapat dilihat secara online di
http://islamport.com/d/3/amm/1/100/2213.html 9 Lihat: Qodhî Ahmad ibn
Hajar Alu Abŭthâmi (al-Bŭthâmi), Syaikh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhâb : His
Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66
Sumber : Maktabah Abu Salma http://dear.to/abusalma