Assalaamu’alaikum,
Sebagian orang menuduh Syekh Muhamad bin Abdul Wahab melakukan gerakanya semata-mata untuk membantu keluarga Su’ud agar dapat menguasai tanah-tanah yang banyak dan keluar dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyah. Mereka juga mengatakan bahwasanya dia adalah agen inggris di Baghdad. Mohon penjelasanya, terima kasih.
Sebagian orang menuduh Syekh Muhamad bin Abdul Wahab melakukan gerakanya semata-mata untuk membantu keluarga Su’ud agar dapat menguasai tanah-tanah yang banyak dan keluar dari kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyah. Mereka juga mengatakan bahwasanya dia adalah agen inggris di Baghdad. Mohon penjelasanya, terima kasih.
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam warohmatullah wa barokatuh, dan terima kasih.
Barangsiapa yang mengetahui perjalanan hidup Syekh Muhamad bin Abdul Wahab –rahimahullah– dengan objektif, tidak mungkin akan mengatakan seperti itu.
Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab adalah Imam Mujadid (pembaharu) bagi pilar-pilar ketauhidan
yang telah redup, hal itu disaksikan oleh banyak ulama umat, baik dari
India, Mesir, Syam, atau dari negeri-negeri muslim yang lain.
Syaikh Muhamad Ridho –rahimahullah– berkata:
Anda melihat dalam kitab-kitab sejarah modern, bahwa lafadz “al-wahabiyah” digunakan untuk menyebut para pengikut Syekh Muhamad bin Abdul Wahab ulama sunni pembaharu kebangkitan agama di Nejed yang terkenal itu.
Dan penguasa al-Astanah ingin
mengotori citra gerakan pembaharuan itu, mereka menyebarluaskan berita
bahwa gerakan tersebut adalah gerakan menciptakan madzhab baru yang
diada-adakan dalam Islam yang menyelisihi madzhab ahli sunnah wal jama’ah,
dan mereka mempengaruhi para ulama dan mufti ahlussunah agar melakukan
penolakan terhadap madzhab ini dan menyatakan sesat dan kafir para
pengikutnya!
Dan mereka (para pengikut Syekh
Muhamad bin Abdul Wahab) mengingkari setiap madzhab dalam masalah usul
selain madzhab salafus soleh, dan mengikuti madzhab Imam Ahmad bin
Hambal dan para pengikutnya dalam masalah furu’.
Akan tetapi Daulah Utsmaniyah
dan pemerintahan Mesir ketika itu lebih kuat dari mereka dalam
menjelaskan kepada rakyat mereka bahwa mereka (kaum wahabi) menganut
madzhab baru.
Sekilas pengamatan terhadap pandangan orang-orang seputar Wahabiyah:
Banyak kaum muslimin di Hijaz,
Mesir, Suriyah, al-Astanah, al-Anadhul dan ar-Rumlali masih meyakini
bahwa penduduk Nejed memilki madzhab yang menyelisihi madzhab
ahlusunnah, karena sebagian yang menulis tentang mereka mengatakan: “Sesunggunnya
mereka adalah orang-orang yang mengkafirkan kaum muslimin yang selain
mereka, dan mengatakan tentang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
sesuatu yang sifatnya menghina, dan tatkalah mereka menguasai Madinah
Al-Munawwaroh, mereka mengambil bintang yang berkilauan dari kamar Nabi,
juga mengambil permata dan harta-harta yang berharga, dan mereka
mengikat tali kuda di dalam masjid yang mulia.”
Mereka yang melemparkan
tuduhan-tuduhan itu tidak melakukan klarifikasi, dan tidak pula
mempelajari dengan teliti mana hal yang dikategorikan kekufuran dan mana
yang tidak, tuduhan-tuduhan itu hanyalah bersifat politis, dan politik
itu selalu menghalalkan kebohongan, fitnah, membalikan fakta dan segala
bentuk kemungkaran yang dapat mengantarkan tujuan!, kemudian mereka itu
lupa terhadap apa yang terjadi dalam undang-undang mereka, undang-undang
mereka jelas-jelas telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
agama dan furu’nya yang qoth’i dan disepakati, perkara yang ma’lum
dalam agama yang setiap pengingkarnya adalah kafir dengan kesepakatan
para ulama, seperti melegalkan perzinaan, riba, pembunuhan karena alasan
politik maupun militer yang jelas melanggar syar’i, dan mereka juga lupa apa yang dikatakan ulama mereka: Bahwa ridho terhadap kekufuran adalah sebuah kekufuran, dan lupa dengan omongan-omongan yang mereka dengar dan prilaku-prilaku yang mereka lihat setiap hari yang dikategorikan para fuqoha’ mereka sebagai kekufuran dan kefasikan, dan kenapa mereka tidak mengatakan: “Barangkali apa yang dikatan terkait penduduk Nejd – jika itu benar
– semata-mata karena kebodohan sebagian mereka bukan karena doktrin
madzhab mereka, sebagaimana hukum undang-undang dan prilaku-prilaku
kebanyakan orang-orang fasik dan murtad di negeri kami semata-mata
karena kebodohan sebagian orang terhadap agama dan meninggalkan petunjuk
yang benar dan bukan sebagai bentuk madzhab Abu Hanifah yang menjadi
madzhab pemerintah dan kebanyakan wilayah di Turki, tidak pula bentuk
madzhab Malik dan Syafi’i yang dianut oleh kebanyakan penduduk
negeri-negeri arab ini.”
Hingga akhirnya Syekh Muhamad Rosyid Ridho mengatakan:
Dan pemerintah Nejed tidak
berhukum kecuali dengan fiqh Imam Ahmad, tidak ada undang-undang di sana
selainya, dan tidak seorang pun di sana mengamalkan dan berhukum dengan
perkataan hasil ijtihad Muhammad bin Abdul Wahhab, dan tidak pula ada
disana seseorang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan
besar.
Kemudian Syekh Muhamad Rosyid Ridho menyebut para fanatis madzhab, beliau mengatakan:
Mereka sesungguhnya ingin
mencabut dari penduduk Nejd sebutan Hanabilah (para pengikut madzhab
Ahmad bin Hambal), karena sebutan itu mendukung mereka, lalu mereka
memberi nama al-Wahabiyah ( para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab ),
atau jika tidak hendaklah mereka mendatangkan satu permasalahan saja
yang dijalankan oleh mayoritas penduduk Nejed yang tidak memilki dasar
dalam kitab maupun sunnah, tidak pula dalam kitab-kitab madzhab Imam
Ahmad bin Hambal, sebagaimana mereka mendatangkan kepada mereka banyak
permasalahan yang menyalahi aqidah islam, hukum-hukum ibadah dan
peradilan, yang merebak di negeri mereka yang tidak memilki dasar dalam
kitab maupun sunnah dan pendapat imam-imam.
Syaikh menutup pembicaraanya
itu dengan perkataanya: “Itu adalah hakekat orang-orang yang disebut
dengan al-Wahabiyah dan al-Mutadayinah, dan penisbatan mereka kepada
para pengikut madzhab-madzhab yang masyhur, kami rangkumkan dari apa
yang telah kami baca dalam kitab-kitab mereka, dan dari apa yang kami
amati dan kami klarifikasikan”, selesai.
Dan keluarnya Imam Muhammad bin
Abdul Wahhab serta munculnya beliau di Nejd bukanlah bentuk
pembangkangan terhadap Daulah Utsmaniyah, dengan beberapa argument:
Pertama:
Sesungguhnya Nejd tidak masuk dalam pemerintahan Daulah Utsmaniyah
ketika muncul dakwah Syekh Muhamad bin Abdul Wahab, tetapi
dipemerintahan oleh beberapa kabilah-kabilah, dan ia bukan pemerintahan
syar’iyah, bukan pula wilayah umum, setiap kampung di sana memliki amir
(pemimpin) yang tidak berkewajiban taat kepada seorang pun.
Di wilayah Huraimla’ ada amir, di wilayah Uyainah ada amir, di Jubailah ada amir, dan di Dir’iyah juga ada amir.
Dan hukum yang diterapkan juga bukan kitab dan sunnah, tetapi berhukum kepada adat istiadat dan lainya.
Kedua: Jika
demikian, maka yang merebak di Nejd ketika itu dan juga di negeri-negeri
islam yang lain, baik yang berupa kesyirikan, menyembah kubur,
menyembelih dan nazar untuk kuburan, bergantung kepada selain Allah -subhanahu wa ta’ala-; seperti kepada pohon dan batu, berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wa ta’ala
– sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Syekh Rosyid Ridho –
menjadikan orang yang membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah ketika itu
bukan termasuk pemberontak ataupun agen, tetapi ia dikategorekan keluar
dari ketaatan kepada Daulah berdasarkan sabda Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat adanya kekufuran yang nyata (kufrun bawwah).
Ubadah bin as-Shomit radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggil kami, lalu kami berbaiat kepadanya, maka yang Beliau wajibkan
atas kami adalah berbaiat untuk mendengar dan taat, baik dikala giat
maupun tidak, sulit maupun mudah, dan di kala keadaan tidak menyenangkan
kami, dan hendaklah kami tidak menentang perintah orang yang memiliki
otoritas untuk memerintah, kecuali jika kalian melihat kekufuran yang
nyata, yang kalian memiliki bukti dari Allah subhanahu wa ta’ala di dalamnya. (HR: Bukhari Muslim).
Ketiga: Kalau
saja Daulah Utsmaniyah kita anggap memiliki kekuasaan, dan kekuasaanya
adalah syar’i, lalu terjadilah apa yang terjadi, dan memberontaklah
orang yang memberontak, kemudian ia menguasai sisi-sisinya atau
menguasai Negara, maka kekuasaanya menjadi kekuasaan yang syar’i jika
pemimpinya berhukum dengan hukum Allah.
Tidakah anda melihat bahwa
Daulah Umawiyah berdiri berdasarkan kemenangan Abdul Malik bin Marwan
atas Ibnu Zubair, dan penentanganya terhadapnya hingga keadaan stabil?
Para ahli sejarah mengkatagorikan pemerintahan Ibnu Zubair sebagai pemerintahan khilafah.
Ibnu Katsir mengatakan:
Pemerintahan Abdullah bin Zubair, dan menurut Ibnu Hazm dan sekelompok
orang adalah amirul mukminin ketika itu.
Kemudian berkata:
Dan pemerintahan Ibnu Zubair
semakin besar di Hijaz dan sekitarnya, orang-orang membaitnya di sana
setelah Yazid, ia mengutus saudaranya Ubaidullah bin Zubair untuk
memerintah kota Madinah, kemudian penduduk Bashrah mengutus utusan
kepada Ibnu Zubair. Dan ia mengutus Abdurohman bin Yazid al-Anshori ke
Kufah , dan mengutus Tolhah bin Ubaidillah untuk memerintah Kharaj, dan
dua negeri itu tunduk semua kepadanya, dan mengutus utusan kepada
penduduk Mesir, lalu mereka membaitnya, dan mengangkat Abdurahman bin
Jahdar untuk memerintah di Mesir, dan seluruh jazirah taat kepadanya,
dam mengutus Harits bin Abdillah bin Robi’ah, dan mengutus utusan ke
Yaman lalu mereka membaiatnya, dan mengutus utusan ke Khurosan lalu
mereka membaiatnya, dan mengutus utusan kepada Dhohak bin Qais di Syam
lalu ia berbaiat.
Anda melihat bahwa pemerintahan
Ibnu Zubair bukan sebuah pembangkangan terhadap al-Hajjaj, akan tetapi
baiat umum dan khilafah yang mencakup Hijaz, Yaman, Mesir dan sebagian
besar negeri-negeri Syam, meski demikian menangnya Abdul Malik bin
Marwan atas pemerintahan telah menjadikanya sebagai khalifah.
Dan ijma’ telah menetapkan syahnya Daulah Umawiyah secara syar’i, dan bahwasanya ia adalah Daulah Islamiyah.
Karena itu, para ulama
mengkatagorikan di antara syarat-syarat syahnya kepemimpinan adalah
menangnya seseorang atas pemerintahan dengan kekuatan.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah
mengatakan: Para imam salaf mengatakan bahwa barang siapa memiliki
kemampuan dan kekuasaan yang dapat ia gunakan untuk mencapai
kepemimpinan, maka ia termasuk pemimipin-pemimpin yang Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan agar ditaati selama mereka tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Syekh Syinqiti mengatakan:
Ketahuilah bahwa imamah (kepemimpinan) itu syah dengan salah satu dari
perkara-perkara berikut – kemudian ia menyebutkan diantaranya – :
Keempat: Ketika ia mengalahkan manusia dengan pedangnya dan merebut kekhilafahan dengan kekuatan hingga kondisi stabil dengan orang-orang tunduk kepadanya, karena memberontak kepadanya ketika itu sama dengan menyalahi jamaah muslimin dan menumpahkan darah mereka. Sebagian ulama mengatakan: Dan termasuk ke dalam jenis inilah ketika Abdul Malik bin Marwan melakukan pemberontakan terhadap Abdullah bin Zubair dan membunuhnya dengan tangan Hajjaj bin Yusuf, lalu kondisi stabil, sama dengan yang dikatakan Ibnu Qudamah dalam kitab al-mughni.
Kemudian Muhamad bin Abdul Wahab –rahimahullah–
dalam melakukan dakwah tidak semata-mata untuk menolong seseorang
tertentu, namun ia berdakwah untuk menolong agama, kemudian ia diperangi
dan di lawan, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menundukan dan mengarahkan Imam Muhammad bin Su’ud –rahimahullah– untuk menolong membantu beliau dalam memperlancar tersebarnya dakwah.
Dan barang siapa mengetahui perjalanan hidup Syekh Muhamad bin Abdul Wahab –rahimahullah– dengan penuh objektifitas tidak akan mungkin mengatakan bahwa ia adalah seorang agen, dengan beberapa alasan:
Pertama: Bahwa
Syekh melakukan berbagai perjalanan untuk menuntut ilmu, ia pergi ke
Makah, kemudian ke Madinah, kemudian ke Irak, semua itu dalam rangka
menuntut ilmu, dan beliau ingin pergi ke Syam, akan tetapi bekalnya
tidak mencukupi untuk sampai ke Syam.
Kedua: Bahwa
Syekh sangat getol dalam menegakan tauhid dan menanamkanya, ia melakukan
amar ma’ruf dan nahi mungkar, prilaku seperti itu bukan prilaku para
agen, justru itu adalah prilaku para ulama pewaris Nabi.
Ketiga: Bahwa
Syekh sebelum ia berhubungan dengan Imam Muhamad bin Su’ud, dulunya ia
di negeri Huraimla’, kemudian keluar dari Huraimla’ ketika menerima
siksaan yang disebabkan ia mengingkari kemungkaran, kesyirikan dan
pelanggaran-pelanggaran yang gemar dilakukan masyarakat. Maka ia pergi
ke negeri Uyainah, kemudian keluar dan pergi ke Dir’iyah.
Keempat:
Beliau menghancurkan kubah di dekat negeri Jubailah, yang dianggap
masyarakat berada di atas kuburan Zaid bin Khottob, penduduk Jubailah
menentangnya, namun penguasa Uyainah Ibnu Mu’ammar mendukung dan
membantunya dalam menghancurkan kubah dan membersihkan wajah-wajah
kesyirikan. Para agen biasanya mendirikan kubah-kubah, mencari segala
yang dapat melalaikan manusia dan menyibukan mereka, sedang para ulama
tugasnya menghancurkan kubah-kubah dan mengembalikan manusia kepada
agama mereka.
Kelima: Bahwa
hubungan Imam Muhammad bin Abdul Wahab dengan Imam Muhamad bin Su’ud
adalah terjadi setelah gemparnya perkara dan tersebarnya berita dan
penyebutan tentang Syekh Muhamad bin Abdul Wahab, terutama setelah
beliau menghancurkan kubah dan tidak ada dampak apapun yang terjadi
seperti yang diyakini para pendiri kubah dan penyembah kubur!
Imam Muhammad bin Abdul Wahab
masuk negeri Dir’iyah dengan diam-diam, beliau tinggal di sisi salah
seorang ulama di sana, namanya Muhammad al-Uraini, Syekh Uraini takut
kepada Muhamad bin Su’ud dan mengkhawatirkan dirinya, kemudian istri
Imam Muhamad bin Su’ud yang bernama Mudhy mendengar berita tentang
Syekh, maka ia mendorong dan menganjurkan suaminya agar menolong Syekh,
dan menjelaskan kepadanya bahwa yang demikian itu adalah kemuliaan di
dunia dan akhirat, maka ia menerima saran istrinya, dan Allah subhanahu wa ta’ala
menolong Imam Muhamad bin Abdul Wahab melalui Imam Muhamad bin Su’ud,
dan Allah pun memberi kejayaan kepada Imam Muhamad bin Su’ud sebagai
balasan atas pertolongan yang ia berikan kepada Imam Muhammad bin Abdul
Wahab.
Anda sekarang melihat bahwa
Imam Muhamad bin Abdul Wahab tidak memilki hubungan apapun sebelumnya
dengan penguasa Dir’iyah Imam Muhamad bin Su’ud, dari sini nampak
kebohongan perkataan bahwa Syekh Muhamad bin Abdul wahab tidak melakukan
gerakan dakwanya kecuali untuk membantu keluarga Su’ud dalam menguasai
tanah yang banyak.
Keenam: Fakta
membuktikan kebohongan tuduhan itu, karena sesungguhnya telah terjadi
komitmen antara Ibnu Su’ud dan Syekh untuk menolong agama Allah dan
menegakan tauhid. Itulah fakta yang ada, dan itulah yang terjadi
sesungguhnya.
Dulu jazirah arab penuh dengan
kesyirikan, seperti menyembah kuburan, bertabaruk dengan pohon dan batu,
meminta kepada jin dan lain-lain, lalu semua itu hilang berkat karunia
Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian berkat dakwah Syekh Imam pembaharu dan pertolongan Imam Muhamad bin Su’ud.
Ketujuh: Kalau
sekiranya Syekh adalah seorang agen, tentu serangan-serangan Mesir yang
di pelopori Ibrahim Basya dan ayahnya Muhamad Ali Basya dan Ahmad Tusun
dan antek-anteknya tidak akan terjadi secara bertubi-tubi untuk
memadamkan cahaya dakwah Syekh yang telah menyinari kegelapan itu!, dan
serangan-serangan itu terjadi atas isyarat dari penjajah perancis yang
menduduki beberapa negeri muslim, karena mereka khawatir terhadap
bangkitnya gerakan dakwah yang benar yang mengajak kepada islam yang
benar yang bersih dari noda-noda kesyirikan, karena mereka sadar bahwa
hal itu akan menghancurkan aqidah salib mereka!
Akhirnya:
Timbul pertanya pada diri sendiri:
Kenapa kita tidak mendengar celaan seperti ini terjadi terhadap orang yang sebenarnya lebih berhak untuk itu?
Kenapa perkataan
seperti itu tidak dikatakan terhadap orang yang telah menghancurkan
Daulah Utsmaniyah lalu mendirikan negara sekuler di atas
puing-puingnya?!
Maksud saya adalah boneka barat yang bernama:
” Kamal At-taturk “!!!
Dia itu agen sesungguhnya !
Dialah penghancur Daulah Utsmaniyah, dia pula yang membangun Negara kafir sekuler di atas puing-puingnya!
Aneh, orang seperti dianggap pembaharu !
Penyusun : Abdurahman Muhamad bin Abdullah as-Suhaim
Penerbit : IslamHouse.com
Sumber:http://abangdani.wordpress.com
No comments:
Post a Comment