A. Muqaddimah
Dalam panggung sejarah, Islam sudah lama dikenal oleh penduduk Melayu.
Bahkan menurut Ustadz ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah atau
yang lebih dikenal dengan Hamka, Islam sudah melebarkan sayapnya
di bumi Melayu sejak abad pertama hijriah. Namun sayang, meski
Islam sudah sekian abad di Melayu, ajaran-ajaran yang diamalkan kaum muslimin
di sana banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah.
Ajaran-ajaran tasawwuf ala shufi dan keyakinan-keyakinan bid’ah dan sesat
seperti takhayul, khurafat sampai ajaran martabat tujuh atau wihdatul
wujud banyak mewarnai amalan-amalan kaum muslimin di bumi Melayu.
Seiring bergulingnya waktu, kaum muslimin di Melayu mulai sadar akan
kekeliruan ajaran yang selama ini mereka anggap bagian dari Islam justru
bertentangan. Maka usaha-usaha dalam memurnikan ajaran Islam di Melayu pun
segera dimulai. ‘Episode’ pertama diawali oleh tiga jama’ah haji yang membawa
oleh-oleh dari Tanah Suci berupa ‘filter’ ajaran sesat di ranah Minangkabau.
Kemudian ‘episode’ berikutnya ditunjukkan oleh Syaikh Ahmad Al Khathib rahimahullah,
seorang ulama yang muqim di Makkah yang terkenal dengan kegigihannya dalam
menyerang kelompok-kelompok ahlul bida’ wal ahwa’ dan
adat-adat yang bertentangan dengan syariat Islam baik melalui tulisan-tulisan
maupun murid-muridnya yang kembali ke Melayu.
B. Nasab & Kelahiran Syaikh Ahmad Al Khathib
Beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif [bin
‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi [Al
Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Syaikh Ahmad Al Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang, Kec. Ampek
Angkek Angkat Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul
Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah keluarga bangsawan.
‘Abdullah, kakek Syaikh Ahmad atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang
ulama kenamaan. Oleh masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam
dan khathib. Sejak itulah gelar Khathib Nagari melekat dibelakang namanya dan
berlanjut ke keturunannya di kemudian hari.
Ada perbedaan mengenai siapa kakek Syaikh Ahmad. Menurut ‘Umar ‘Abdul
Jabbar, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Mu’allimi, dan Ibrahim bin ‘Abdullah Al
Hazimi, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdullah. Sedangkan menurut Dadang A.
Dahlan, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdurrahman yang bergelar Datuk Rangkayo
Basa. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas Syaikh Ahmad berasal dari
keluarga bangsawan, baik dari jalur ayah maupun ibu.
C. Perjalanan Syaikh Ahmad dalam Thalabul
‘Ilmi
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam
pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau
Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad
kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar) ilmu agama dari
Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad kecil menghafal Al
Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke
Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji
selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap
tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu
dari para ulama-ulama Makkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama
yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikh Ahmad di Makkah adalah:
- Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
- Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
- Sayyid Bakri bin Muhammad
Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H)
–penulis I’anatuth Thalibin.
Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikh Ahmad, yaitu: - Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’I di Makkah-
- Yahya Al Qalyubi
- Muhammad Shalih Al Kurdi
Mengenai bagaimana semangat Syaikh Ahmad dalam thalabul
‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan penuturan seorang ulama
yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar
wa Tarajim hal. 38-39, “…Beliau adalah santri teladan dalam semangat,
kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam
dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya
dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu
hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian
waris, ilmu miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam
disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu
keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk
membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
D. Syaikh Ahmad Menikah dan Menjadi Seorang Ayah
Di antara kebiasaan Syaikh Ahmad di Makkah adalah menyeringkan diri
mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat
Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca
buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikh Ahmad
mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh
simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian
dan penguasaannya terhadap ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad dibuktikan dengan
dijadikannya Syaikh Ahmad sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui
tentang prihal dan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun
menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar
bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikh Ahmad sempat ragu menerima tawaran dari Al
Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus
terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al
Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua
biaya pernikahan termasuk mahar dan kebutuhan hidup keluarga Syaikh
Ahmad. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikh
Ahmad yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah
terjadi.
Tentang pengambilan Syaikh Ahmad sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif
‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan
putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah
belajar di Makkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab
Shalih seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda,
‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian
ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikh Ahmad dikaruniai seorang
putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikh Ahmad dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena
Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan purinya yang
lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah
seorang seorang wanita teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran
yang baik. Oleh karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi
orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:
- ‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
- ‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudulSirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Kesuksesan Syaikh Ahmad dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi
tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal
dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia
terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul
Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikh Ahmad menanamkan ‘aqidah pada
anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku,
beliau akan berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang
kamu minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia
berada di langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak
melihat-Mu.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa
apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang
tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka
aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan
itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab,
‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya
mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat,
atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta
ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun
segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Lihatlah, bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikh Ahmad kepada
anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang
kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya
akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil
itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang
pertama kali mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan
rasa cinta yang tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta
hanya kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan
tauhid yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu
‘Abbas, yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta
pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikh Ahmad kepada keluarganya
adalah beliau selalu menegur dan memperingati bagi siapa saja yang
menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal yang dapat
melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikh
Ahmad karena bentuk rasa sayangnya terhadap keluarganya. Karena melarang tidak
selamanya bermakna benci. Tidak seperti anggapan sementara sebagian orang dalam
mengekspresikan rasa cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan
semua gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta.
Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa
Jalla. Akan tetapi berbeda dengan Syaikh Ahmad, ia menyadari
bahwa seorang ayah kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan
Rabbul ‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikh Ahmad menganjurkan
kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan
mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah
bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban
atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau, “Dan laki-laki adalah pemimpin atas
keluarganya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya.”
E. Karir Syaikh Ahmad di Makkah
Kealiman Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dilangkatnya beliau menjadi imam dan
khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan
khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan
orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikh Ahmad Al Khathib menjadi imam dan
khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama
dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar
wa Tarajim (hal. 39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam
dan khathib itu diperoleh Syaikh Ahmad berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang
mertua, kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikh Ahmad
menjadi imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku,
Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A.
Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib,
suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur
Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu
Syaikh Ahmad pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya
membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya
siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya
Syaikh Ahmad yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi,
yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur
Rafiq mengangkat Syaikh Ahmad sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk
madzhab Syafi’i.
F. Sekelumit Aktifitas Keseharian Syaikh Ahmad Al Khathib
Keseharian para ulama memang sangat menakjubkan. Di setiap aktifitasnya
selalu bernilai ibadah, sebagaimana kata pepatah Arab,‘adatul ‘abdid
‘ibadah wa ‘ibadatul ghafil ‘adah (kebiasaannya ahli ibadah itu
bernilai ibadah sementara ibadahnya orang lalai itu hanya bernilai kebiasaan
saja). Mereka sangat mahir dalam membagi waktu dan sangat berhati-hati dalam
menggunakan waktunya. Meski mereka memiliki aktifitas mengajar, akan tetapi
tidak lantas melupakan hak keluarganya. Mereka tahu kapan harus bercengkrama
dengan keluarga dan kapan harus pergi mengajar para muridnya. Demikianlah yang
terjadi pada diri seorang Syaikh Ahmad rahimahullah.
Berhubungan dengan aktifitas keseharian Syaikh Ahmad, sebaiknya kita dengar
langsung saja penuturan Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar yang memang hidup sezaman,
“(Setelah mengajar para santri di Masjid Al Haram), beliau pulang ke rumah
untuk sarapan pagi dan berbaring (tidur-tiduran atau dalam bahasa jawa klekaran)
sejenak, lalu kembali bermudzakarah sampai datang waktu zhuhur.
Pergilah beliau ke masjid untuk menunaikan shalat zhuhur secara berjama’ah.
(Usai shalat jama’ah), beliau pulang ke rumah untuk menyampaikan dua mata
pelajar an kepada murid-muridnya, lalu makan siang dan tidur siang sesaat. Lalu
beliau pergi ke masjid untuk menunaikan shalat ‘Ashar secara berjama’ah, pulang
ke rumah menyampaikan satu pelajaran kepada para santri, kemudian mengulangi (mudzakarah)
pelajaran-pelajarannya hingga datang maghrib. Beliau pun pergi ke masjid untuk
shalat berjama’ah dan menyampaikan satu pelajaran berupa nasehat dan arahan
sampai datang ‘Isya.
Setelah shalat, beliau pulang ke rumah untuk makan malam dan bercengkrama
dengan keluarganya lalu tidur sedini mungkin. Ia bangun tidur pada sepertiga
malam terakhir dan menyibukkan diri dengan menulis sampai dekat waktu fajar,
lalu pergi ke masjid. Ia pun memulai aktifitasnya seperti biasanya. Demikianlah
beliau menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah dan menyebarkan
agama-Nya.” [Siyar wa Tarajim (hal. 40)]
G. Akhlak Syaikh Ahmad Al Khathib
Syaikh Ahmad Al Khathib dikenal ditengah masyarakat dengan baik hatinya,
mulia akhlaknya, lurus niatnya, tidak suka menjilat (cari muka), dan amat
murka dengan orang-orang yang sombong, dan lapang dadfa.
Itulah akhlak seorang ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya. Meski
kedudukannya tinggi, namun beliau tidak sombong. Justru dengan kedudukannya
yang tinggi itu, beliau manfaatkan untuk mengajarkan kepada manusia nilai-nilai
positif. Maka tidak heran apabila nama beliau harum di kalangan manusia dan
bahkan berkat akhlak mulianya itu dapat mengundang ratusan santri dari berbagai
kalangan untuk belajar kepadanya.
H. Wafatnya Syaikh Ahmad
Pada tanggal 9 Jumadil Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikh Ahmad ke
hadhirat-Nya setelah sekian lama hidup di dunia yang fana ini. Ya, jatah beliau
tinggal di dunia ini telah habis setelah mencetak kader-kader yang hingga
detik ini masih disebut-sebut. Jasad beliau memang sudah tiada, namun
kehadirannya seakan-akan masih bisa dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya
berupa murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama
karya-karya ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini. Rahimahullah
wa askanahu fasiha jannatih.
I. Karya Tulis Syaikh Ahmad
Karya-karya tulis Syaikh Ahmad dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
karya-karya yang berbahasa Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan
tulisan Arab. Kebanyakan karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama
menjelaskan kemurnian Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah,
takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran &
Sunnah.
Karya-karya Syaikh Ahmad dalam bahasab ’Arab:
- Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
- Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
- Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
- Raudhatul Hussab
- Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
- As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
- Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
- An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal Qamariyyah
- Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil Habasyiyyah
- Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
- Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
- Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
- Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
- Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
- Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
- As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
- Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
- Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
- Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
- Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi Thariqah An Naqsyabandiyyah
- Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
- Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di Sarekat Islam (SI)
- Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
- Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
- Al Qaulul Hashif fi
Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
Adapun yang berbahasa Melayu adalah: - Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
- Ar Riyadh Al Wardiyyah fi [Ushulit Tauhid wa] Al Fiqh Asy Syafi’i
- Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
- Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
- Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
- Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
- Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
- Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
- Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
- Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
- Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
- Izhhar Zughalil Kadzibin
- Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
- Al Jawi fin Nahw
- Sulamun Nahw
- Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
- Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
- Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
- Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
- Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
- Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu
J. Murid-Murid Syaikh
Ahmad Rahimahullah
Mengenai murid-murid Syaikh Ahmad rahimahullah, Siradjuddin
‘Abbas berkata, “Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang
kemudian mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syeikh Sulaiman Ar
Rasuli, Syeikh Muhd. Jamil Jaho, Syeikh ‘Abbas Qadhli, Syeikh Musthafa Purba
Baru, Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia
pada tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau
ini.” [Thabaqatus Syafi’iyah (hal. 406)]
Ucapan senada juga dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak
tempat.Bahkan Dr. Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa
Aspek:Guru untuk Generasi Pertama Kau Muda. Namun demikian, tidak salah kiranya
kita sebutkan di sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara
keilmuan maupun dakwah yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:
- Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah –ayah Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani.
- Muhammad Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin Sulaiman rahimahullah –pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
- Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah –salah satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
- Ustadz ‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah dan Al Irsyad
- Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari rahimahullah –mufti Kerajaan Indragiri-.
- Muhammad Thaib ‘Umar
- Dan lain-lain.
K. Usaha (Juhud)
Syaikh Ahmad dalam Memurnikan Ajaran Islam di Nusantara Khususnya dan Dunia
Islam Umumnya
Usaha yang dilancarkan Syaikh Ahmad dalam memurnikan ajaran Islam dari
perkara-perkara bid’ah yang menyesatkan namun tidak disadari di Nusantara
diekspresikan melalui murid-murid dan karya-karyanya.
Adapun melalui karya-karyanya, Syaikh Ahmad sangat gigih dan keras tanpa
kompromi sediktpun dalam memberantas bid’ah, khurafat, tarikat, ajaran menyimpang
dan adat yang bertolak belakang dengan syariat. Dalam masalah tarekat,
misalnya, Syaikh Ahmad menulis minimal tiga kitab rudud (bantahan),
yaitu, Izhhar Zaughalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang
kemudian ditranslit ke dalam tulisan latin oleh A. Arief dengan judul Thariqat
Naqasyabandiyah, As Saiful Battar fi Mahq Kalimat Ba’dhil Aghrar
, dan Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat. Bahasan
dalam kitab-kitab ini mengacu kepada kitab Al Ba’its fi Inkaril Bida’
wal Hawadits karya Imam Abu Syamah rahimahullah. Menurut
Ustadz Hamka, sebagaimana yang dikutib Ustadz Armen Halim Narorahimahullah dalam
salah satu kajiannya, metode bantahan kitab ini –Al Izhhar- persis
dengan bantahan yang diberikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap
orang-orang menyimpang di zamannya. Melalui karya-karya ini pula Syaikh Ahmad
membantah pandangan Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka dan Syaikh Ali Khathib yang
gigih mempertahankan tharikat Naqsyabandiyyah.
Sebenarnya melalui judul-judul kitab-kitab Syaikh Ahmad saja kita sudah
faham kurang lebihnya bahasan yang disajikan dalam masing-masing kitab trsebut.
Misalnya kitab Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’ yang
berarti pembelaan yang baik tentang larangan melakukan bid’ah, dapat
diasumsikan bahasan dalam kitab ini banyak berbicara masalah bid’ah dan
khurafat di tengah masyarakat. Ini menunjukkan bahwa usaha Syaikh Ahmad
benar-benar sangat berarti dalam pemurniat Islam di negerinya.
Dalam masalah adat yang menyimpang terutama dalam masalah waris dan harta
pusaka, Syaikh Ahmad menulis Ad Da’il Mamu’dan Al
Manhajul Masyru’. Kedua buku ini dicetak dalam satu jilid
dengan Ad Da’il Masmu’ dicetak dipinggiran Al
Manhajul Masyru’.
Tidak hanya sapai di situ perjuangan Syaikh Ahmad dalam membersihkan
noda-noda keyakinan umat Islam, beliau juga membantah syubhat-syubhat yang
dihembuskan Belanda terutama mempertanyakan keabsahan terjadinya isra’ dan
mi’raj di tengah kaum muslimin di Indonesia. Beliau kemudian membantah syubhat-syubhat dalam
bukunya, Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang
terbit tahun 1312 H. Berikutnya, beliau juga menulis Irsyadul Hayara
fi Radd Syubahin Nashara.
Ada kitab Ar Riyadhul Wardiyyah fil Ushul wal Furu’ yang
beliau tulis dalam bahasa Melayu huruf ‘Arab, membicarakan masalah dasar-dasar
aqidah-tauhid dan fiqih syafi’I praktis supaya menjadi pegangan orang-orang
yang balu belajar dan ‘awwam dari kalangan kaum muslimin. Kitab ini sudah
dicetak berulang kali. Allahua’lam.[]
Refrensi:
- ‘Abduljabbar, ‘Umar. 1403 H. Siyar wa Tarajim Ba’dhi ‘Ulamaina fil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar lil Hijrah. KSA: Tihamah
- Al-Hazimi, Ibrahim bin ‘Abdullah. 1419 H. Mausu’ah A’lamil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar wal Khamis ‘Asyar Al Hijri fil ‘Alam Al ‘Arabi wal Al Islami min 1301-1417. KSA: Dar Asy Syarif lin Nasyr wat Tauzi’
- Al-Mu’allimi, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman. 1421 H. A’lamul Makkiyyin min Al Qarn At Tasi’ ilal Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar Al Hijri. KSA: Muassasah Al Furqan lit Turats Al Islami
- Steenbrink, Dr. Karel A. 1984 M. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang
- Dahlan, Dadang A. 2007. Cahaya dan Perajut Persatuan Waliullah Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
- Suprapto, Muhammad Bibit. 2009. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Jakarta: Glegar Media Indonesia
- Amrullah, ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
- Ad-Dahlawi, ‘Abdus Sattar bin ‘Abdul Wahhab. 1430 H. Faidhul Malikil Wahhabil Muta’ali bi Anba’ Awailil Qarn Ats Tsalits ‘Asyar wat Tawali. KSA: Maktabah Al Asadi
- ‘Abbas, Siradjuddin. 2011. Thabaqatus Syafi’iyah, Ulama Syafi’I dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru
—
Penulis: Ibnu Mawardi
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment