Oleh: Nashih Nashrullah
Salah satu fenomena yang kerap muncul sehari- hari ialah keberadaan mushaf Alquran yang rusak. Lembaran-lembaran itu sebagiannya bahkan ada yang berserakan dan berada di tempat yang kurang laik. Kondisi ini sangat berseberangan dengan anjuran untuk meletakkan Alquran di tempat yang terhormat. Lantas, apa solusinya agar lembaranlembaran rusak yang tercecer itu tidak terinjak? Bolehkah membakar mushaf-mushaf tersebut?
Ketentuan awal yang mesti dipahami dalam masalah ini ialah pengertian mushaf itu sendiri. Apa batasan dan kriteria lembaran-lembaran atau tulisan-tulisan bertuliskan ayat Alquran itu dapat dikategorikan sebagai mushaf Alquran? Para ulama mazhab empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i ,dan Hanbali mengatakan bahwa definisi mushaf yang dimaksud me liputi segala bagian yang terdapat tu li san ayat Alquran pada cetakan ter sebut. Karena itu, tidak diperkenankan memegang mushaf kecuali dalam kondisi suci.
Dalam kitab al-Hidayah Syarah al-Bidayah, misalnya, disebutkan bahwa orang yang berhadas tidak diperkenankan memegang mushaf, kecuali dengan lapisan sampul atau lapisan lainnya. Pendapat yang sama dinukil dari kitab al-Bahr ar-Raiq. Ditegaskan larangan memegang mus haf tanpa bersuci, baik mushaf yang telah terbukukan maupun yang tercecer. Penegasan yang sama terdapat pula di kitab Hasyiyat Dasuqi ala Syarh al-Kabir. Selama terdapat tu lis an ayat Alquran, baik yang tercetak dalam satu kumpulan mushaf mau pun tidak, maka bisa dikategorikan sebagai mushaf.
Menyikapi mushaf yang rusak dan berserekan tersebut guna menghindari tindakan yang bisa mengurangi kehormatan dan kesucian mushaf, se perti terinjak, terkena kotoran, dan tercampur dengan barang-barang lain nya, maka ada dua solusi cara yang bisa dilakukan. Yaitu, pertama, dengan cara ditanam dalam tanah dan opsi kedua ialah dibakar.
Opsi yang pertama, dipopulerkan oleh Mazhab Hanafi dan Hanbali. Mushaf yang rusak dan sudah tak lagi terpakai bisa ditanam dalam tanah. Al-Hashkafi, salah seorang imam bermazhab Hanafi dalam kitab ad- Durr al-Mukhtar menjelaskan layak nya seorang Muslim, ketika tak lagi bernyawa maka ia akan dikubur di tanah. Perlakuan yang sama juga berlaku untuk mushaf Alquran. Bila sudah rusak dan sulit terbaca maka hendaknya dibenamkan di tanah. Lokasi penguburan mushaf tersebut bukan berada di jalan yang sering dilalui orang.
Imam Ahmad, seperti yang dinukil al-Bahwati dalam kitab Kasyf al-Qanna’, pernah berkisah, ketika itu Abu al-Jauza’ memiliki mus haf yang telah usang dan tak laik. Abu al-Jauza’ akhirnya mengubur mushaf tersebut di salah satu sudut masjid. Pandangan yang sama diutarakan juga oleh Syekh Ibnu Taimiyyah. Penguburan mushaf rusak adalah bentuk penghormatan. Sebagaimana manusia sewaktu meninggal dimakamkan di lokasi yang aman.
Sedangkan, alternatif cara yang kedua ialah dibakar. Opsi pembakar an mushaf Alquran yang rusak ini banyak diadopsi di kalangan Mazhab Maliki dan Syafi’i. Dasar pendapat mereka merujuk keputusan Khalifah Usman bin Affan yang membakar mus haf. Ketika itu, seperti yang dinu kil dari Bukhari dalam kitab hadis sahihnya, Usman meminta Hafshah menyerahkan mushaf yang ia simpan.
Khalifah ketiga itu pun lantas menginstruksikan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abudurrahman bin al- Harits bin Hisyam untuk mengopi mushaf itu. Setelah proses kodifikasi selesai, Usman memerintahkan mus haf-mushaf yang berada di tangan sejumlah sahabat untuk dibakar. Hal ini ditempuh guna mencari titik mufakat dan penyeragaman mushaf. Mush’ab bin Sa’ad, sebagaimana dinukil dari kitab al-Mashahif, menjelaskan, publik kala itu tidak setuju dengan opsi pembakaran dan mendukung gagasan Usman.
Peristiwa tersebut oleh Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulumul Qur’an dijadikan sebagai dasar diperbolehkannya membakar mushaf yang rusak. Ia berpandangan, bila lembar an-lembaran itu rusak maka tidak bo leh hanya diselamatkan dengan me le tak kan di tempat tertentu. Hal ini dikhawatirkan jatuh dan akan terinjak. Opsi menyobek juga kurang te pat. Pasalnya, sobekan masih me nyi sakan beberapa huruf atau kalimat. Ini bisa lebih fatal akibatnya. Diba kar? Solusi ini jauh lebih baik, menurutnya. Tindakan sama yang di la kukan oleh Usman.
Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah) dalam kompilasi fatwanya menyebutkan, mushaf yang tak lagi terpakai, kitab, dan kertas-kertas di ma na tertulis ayat-ayat Alquran ma ka hendaknya dikubur di tempat yang laik, jauh dari lalu lintas manusia atau lokasi yang menjijikkan. Opsi lain yang bisa ditempuh ialah dibakar. Hal ini sebagai bentuk penghormatan dan menghindari perendahan Alquran.
Dibakar:
Maliki dan Syafi’i
Dipendam:
Hanafi, Hanbali, dan Ibn Taimiyyah
Dibakar dan atau dipendam:
Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Salah satu fenomena yang kerap muncul sehari- hari ialah keberadaan mushaf Alquran yang rusak. Lembaran-lembaran itu sebagiannya bahkan ada yang berserakan dan berada di tempat yang kurang laik. Kondisi ini sangat berseberangan dengan anjuran untuk meletakkan Alquran di tempat yang terhormat. Lantas, apa solusinya agar lembaranlembaran rusak yang tercecer itu tidak terinjak? Bolehkah membakar mushaf-mushaf tersebut?
Ketentuan awal yang mesti dipahami dalam masalah ini ialah pengertian mushaf itu sendiri. Apa batasan dan kriteria lembaran-lembaran atau tulisan-tulisan bertuliskan ayat Alquran itu dapat dikategorikan sebagai mushaf Alquran? Para ulama mazhab empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i ,dan Hanbali mengatakan bahwa definisi mushaf yang dimaksud me liputi segala bagian yang terdapat tu li san ayat Alquran pada cetakan ter sebut. Karena itu, tidak diperkenankan memegang mushaf kecuali dalam kondisi suci.
Dalam kitab al-Hidayah Syarah al-Bidayah, misalnya, disebutkan bahwa orang yang berhadas tidak diperkenankan memegang mushaf, kecuali dengan lapisan sampul atau lapisan lainnya. Pendapat yang sama dinukil dari kitab al-Bahr ar-Raiq. Ditegaskan larangan memegang mus haf tanpa bersuci, baik mushaf yang telah terbukukan maupun yang tercecer. Penegasan yang sama terdapat pula di kitab Hasyiyat Dasuqi ala Syarh al-Kabir. Selama terdapat tu lis an ayat Alquran, baik yang tercetak dalam satu kumpulan mushaf mau pun tidak, maka bisa dikategorikan sebagai mushaf.
Menyikapi mushaf yang rusak dan berserekan tersebut guna menghindari tindakan yang bisa mengurangi kehormatan dan kesucian mushaf, se perti terinjak, terkena kotoran, dan tercampur dengan barang-barang lain nya, maka ada dua solusi cara yang bisa dilakukan. Yaitu, pertama, dengan cara ditanam dalam tanah dan opsi kedua ialah dibakar.
Opsi yang pertama, dipopulerkan oleh Mazhab Hanafi dan Hanbali. Mushaf yang rusak dan sudah tak lagi terpakai bisa ditanam dalam tanah. Al-Hashkafi, salah seorang imam bermazhab Hanafi dalam kitab ad- Durr al-Mukhtar menjelaskan layak nya seorang Muslim, ketika tak lagi bernyawa maka ia akan dikubur di tanah. Perlakuan yang sama juga berlaku untuk mushaf Alquran. Bila sudah rusak dan sulit terbaca maka hendaknya dibenamkan di tanah. Lokasi penguburan mushaf tersebut bukan berada di jalan yang sering dilalui orang.
Imam Ahmad, seperti yang dinukil al-Bahwati dalam kitab Kasyf al-Qanna’, pernah berkisah, ketika itu Abu al-Jauza’ memiliki mus haf yang telah usang dan tak laik. Abu al-Jauza’ akhirnya mengubur mushaf tersebut di salah satu sudut masjid. Pandangan yang sama diutarakan juga oleh Syekh Ibnu Taimiyyah. Penguburan mushaf rusak adalah bentuk penghormatan. Sebagaimana manusia sewaktu meninggal dimakamkan di lokasi yang aman.
Sedangkan, alternatif cara yang kedua ialah dibakar. Opsi pembakar an mushaf Alquran yang rusak ini banyak diadopsi di kalangan Mazhab Maliki dan Syafi’i. Dasar pendapat mereka merujuk keputusan Khalifah Usman bin Affan yang membakar mus haf. Ketika itu, seperti yang dinu kil dari Bukhari dalam kitab hadis sahihnya, Usman meminta Hafshah menyerahkan mushaf yang ia simpan.
Khalifah ketiga itu pun lantas menginstruksikan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abudurrahman bin al- Harits bin Hisyam untuk mengopi mushaf itu. Setelah proses kodifikasi selesai, Usman memerintahkan mus haf-mushaf yang berada di tangan sejumlah sahabat untuk dibakar. Hal ini ditempuh guna mencari titik mufakat dan penyeragaman mushaf. Mush’ab bin Sa’ad, sebagaimana dinukil dari kitab al-Mashahif, menjelaskan, publik kala itu tidak setuju dengan opsi pembakaran dan mendukung gagasan Usman.
Peristiwa tersebut oleh Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulumul Qur’an dijadikan sebagai dasar diperbolehkannya membakar mushaf yang rusak. Ia berpandangan, bila lembar an-lembaran itu rusak maka tidak bo leh hanya diselamatkan dengan me le tak kan di tempat tertentu. Hal ini dikhawatirkan jatuh dan akan terinjak. Opsi menyobek juga kurang te pat. Pasalnya, sobekan masih me nyi sakan beberapa huruf atau kalimat. Ini bisa lebih fatal akibatnya. Diba kar? Solusi ini jauh lebih baik, menurutnya. Tindakan sama yang di la kukan oleh Usman.
Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah) dalam kompilasi fatwanya menyebutkan, mushaf yang tak lagi terpakai, kitab, dan kertas-kertas di ma na tertulis ayat-ayat Alquran ma ka hendaknya dikubur di tempat yang laik, jauh dari lalu lintas manusia atau lokasi yang menjijikkan. Opsi lain yang bisa ditempuh ialah dibakar. Hal ini sebagai bentuk penghormatan dan menghindari perendahan Alquran.
Dibakar:
Maliki dan Syafi’i
Dipendam:
Hanafi, Hanbali, dan Ibn Taimiyyah
Dibakar dan atau dipendam:
Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Redaktur: Heri Ruslan,REPUBLIKA.CO.ID
No comments:
Post a Comment