Terkejut, prihatin, dan rasa kasihan bercampur menjadi satu. Ketika mencari-cari
artikel di internet secara kebetulan saya menemukan sebuah artikel dalam sebuah
koran tanah air yang pernah muncul beberapa bulan silam (Jawa Pos. Senin 1
Oktober 2007). Artikel itu berjudul Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan
Ishlah. Risalah ini dikeluarkan oleh sebuah partai ternama yang konon
katanya partai dakwah dan sangat menginginkan ishlah (perbaikan) dan
kokohnya jalinan ukhuwah (persaudaraan). Begitulah idealisme mereka,
sebagaimana terkesan dari judul risalah yang mereka keluarkan di atas. Namun,
sayangnya risalah ini justru telah berubah menjadi batu sandungan yang
menghambat terjalinnya ukhuwah sesama kaum muslimin yang ingin berpegang teguh
dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marilah kita buktikan bersama…
Di dalam risalah itu telah disebutkan
kalimat-kalimat yang kurang bijak sebagai berikut, “Tidak seperti kelompok yang
disebut sebagai Wahabi, PKS adalah Partai politik yang beraktifitas di NKRI,
yang menjadikan partai sebagai sarana/wasilah untuk berdakwah dan menyebarkan yang
ma’ruf dengan tetap menghormati perbedaan furuiyah, mengedepankan ukhuwwah dan
memahami bahwa ikhtilaf ijtihad bisa menjadi rahmat. Karenanya melakukan tabdi’
(membid’ahkan) dan takfir (mengkafirkan) para ulama apalagi para Wali songo
yang sangat berjasa itu bukanlah Manhaj PKS yang menganut Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Karenanya PKS tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang berisi
hujatan maupun pengharaman terhadap peringatan Maulid, Tahlilan, Barzanji yang
dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jadi
foto kopi surat edaran yang mengatas namakan DPP tanpa ada yang menanda
tanganinya dan menggunakan kop yang berbeda itu adalah palsu dan merupakan
fitnah terhadap PKS. Maka tidak aneh bila kader PKS seperti DR Nur Mahmudi Ismail
yang juga adalah walikota Depok, menyelenggarakan peringatan Maulid dengan
penceramah K.H. Zainuddin MZ dan Habieb Rizieq Shihab.” (Risalah untuk
Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah).
Sebelum lebih dalam menanggapi isi risalah ini, maka izinkanlah kami untuk
terlebih dulu memaparkan hakikat persaudaraan dan ishlah yang menjadi
tujuan disebarkannya risalah tersebut dan juga menjadi tujuan ditulisnya
artikel ini, semoga Allah memberikan taufik kepada kita kepada kebenaran dan
keistiqamahan di atasnya.
Hakikat Persaudaraan
Allah Yang Maha Bijaksana berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah bersaudara. Maka
damaikanlah antara kedua saudaramu…” (QS. Al Hujurat: 10)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka
orang-orang mukmin adalah bersaudara dalam agama dan akidah. Meskipun garis
keturunan, negeri-negeri, dan masa hidup mereka saling berjauhan…” (Al
Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal. 349). Syaikh Abdullah bin Fauzan Al
Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka saudaramu seakidah itulah
saudaramu yang sejati. Dan musuhmu yang sebenarnya adalah musuhmu dalam hal
akidah…” (Hushulul Ma’mul, hal. 37).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
{ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا
تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا }
“Janganlah kalian saling membenci. Janganlah kalian mendengki. Dan
janganlah kalian saling membelakangi (memboikot). Jadilah kalian wahai
hamba-hamba Allah sebagai orang-orang yang bersaudara..” (HR. Muslim dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
{ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا
أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا
فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ }
“Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” Maka para
sahabat berkata, “Orang yang terzalimi jelas kami tolong, lalu bagaimanakah
cara menolong orang tersebut kalau dia yang melakukan kezaliman?” Beliau pun
mengatakan, “Yaitu dengan cara mencegahnya dari perbuatan zalim itu.”
(HR. Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dalil-dalil di atas dengan jelas menggambarkan kepada kita bahwa
persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan di atas keimanan. Persaudaraan
yang dibangun di atas kecintaan dan kebencian karena Allah, karena itulah
simpul iman yang paling kuat sebagaimana telah diungkapkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah ta’ala meniadakan keimanan pada
diri orang-orang yang masih menyimpan rasa sayang dan kecintaan yang dalam
kepada siapa saja yang secara terang-terangan menentang Allah dan Rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ
أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Tidak akan kamu temukan sebuah kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhir namun berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
meskipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara
mereka, ataupun sanak kerabat mereka…” (QS. Al Mujadilah: 22)
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maka tidaklah seorang
hamba menjadi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir secara hakiki
kecuali dia pasti menunaikan konsekuensi keimanan dan tuntutan-tuntutannya. Di
antara konsekuensi itu adalah mencintai dan membela orang-orang yang menegakkan
keimanan serta membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak menegakkan
nilai-nilai keimanan meskipun orang itu adalah orang terdekat dengannya.” (Taisir
Al Karim Ar Rahman, hal. 848).
Inilah akidah al wala’ wal bara’ yang menjadi salah satu pilar utama
tegaknya agama Islam. Sehingga ada di antara manusia yang harus kita berikan
kecintaan dan loyalitas secara penuh. Mereka itu adalah orang-orang mukmin yang
terpilih seperti para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan ada pula yang
harus kita benci dan kita kibarkan bendera permusuhan. Mereka itu adalah orang-orang
kafir, musyrik, murtad, mulhid (atheis, menyimpang dari prinsip Islam, dsb.)
dengan segala macam aliran mereka. Dan ada juga yang dari satu sisi mendapatkan
kecintaan dan loyalitas, namun dari sisi yang lain mereka juga berhak untuk
mendapatkan kebencian dan permusuhan. Mereka inilah yang disebut dengan ‘ushatul
mukminin (orang-orang beriman yang terjerumus dalam kemaksiatan). Mereka
dicintai sesuai kadar keimanannya dan mereka dibenci sesuai kadar kemaksiatan
yang telah mereka lakukan (lihat Al Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal.
359-360).
Sehingga dalam konteks ini -yaitu sikap kepada orang Islam yang berbuat
salah- kita tidak mengenal istilah tasamuh atau toleransi dalam artian
membiarkan sebagian umat Islam yang melakukan maksiat tanpa ada upaya untuk
melarang atau membendung kemungkaran yang mereka lakukan. Dan perlu kiranya
kita ingat bahwa kandungan istilah maksiat lebih luas daripada dosa-dosa yang
biasa dikenal masyarakat seperti berzina, mencuri, minum khamr, dsb. Sebab
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah kata maksiat digunakan untuk mewakili segala
macam penentangan kepada Allah atau Rasul-Nya. Sehingga maksiat itu meliputi
segala macam dosa, termasuk di antaranya adalah perbuatan bid’ah. Bukankah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang
siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (sudah masuk bulan Ramadhan atau
belum) maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad)
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan
disambungkan sanadnya oleh Abu Dawud serta dinyatakan hasan oleh penulis buku Shifat
Shaum Nabi hal. 28 karena banyaknya jalan periwayatan dan hadits-hadits
penguatnya).
Oleh sebab itulah, wahai pembaca yang budiman… adalah sebuah pengkhianatan
atas ukhuwah islamiyah apabila ada seorang muslim yang mengetahui saudaranya
berada di atas kemungkaran dan dia barang sedikitpun tidak tergerak untuk
berupaya menasihatinya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka
hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, dst…“ (HR. Muslim).
Beliau juga bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.”
Maka para sahabat berkata, “Orang yang terzalimi jelas kami tolong, lalu
bagaimanakah cara menolong orang tersebut kalau dia yang melakukan kezaliman?”
Beliau pun mengatakan, “Yaitu dengan cara mencegahnya dari perbuatan zalim
itu.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Inilah hak-hak ukhuwah imaniyah yang akan mempererat ikatan ukhuwah dan mewujudkan
ishlah yang hakiki. Bahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhu
pun berjanji setia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk selalu menasihati setiap muslim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir radhiyallahu
‘anhu, “Aku berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan bersikap nasihat
(mencintai kebaikan) kepada setiap muslim.” (Muttafaq ‘alaih)
Karena sikap nasihat dan menyukai kebaikan bagi saudaranya semacam inilah
para ulama yang terdahulu (as-sabiqun) dari kalangan sahabat dan
tabi’in memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar ibnu ‘Ayasy tentang Abu Bakar Ash
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Tidaklah Abu Bakar melebihi para sahabat
yang lain gara-gara banyaknya mengerjakan puasa atau shalat. Akan tetapi karena
sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Dan yang ada di dalam hati beliau
adalah “Kecintaan untuk Allah dan keinginan menasihati sesama makhluk.” (Faedah
ini kami dapatkan dari ceramah Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah
yang terdapat dalam CD kajian Untaian Nasihat dari Kitab Arba’in An Nawawiyah,
penerbit Pustaka Muslim). Dan bukankah kita ingat bahwa Abu Bakar adalah orang
yang pertama kali mengobarkan peperangan kepada kaum yang sepakat untuk tidak
mau membayar zakat, padahal mereka mengucapkan syahadat? Apakah akan kita
katakan bahwa manusia terbaik sesudah para nabi ini telah mencabik-cabik
ukhuwah dan memorak-porandakan bangunan Islam? Dan bukankah kita juga masih
ingat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot
(mendiamkan) Ka’ab bin Malik bersama dua orang temannya gara-gara tidak ikut
perang Tabuk tanpa alasan? Apakah akan kita katakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mencerai-beraikan jalinan ukhuwah dan menghambat
upaya ishlah?
Oleh sebab itulah, wahai pembaca yang budiman… tatkala para ulama kita
menuliskan berbagai kitab dan risalah untuk membantah ahli bid’ah dan membongkar
kesesatan dan penyimpangan mereka bukanlah itu artinya mereka sedang mengobral
aib tanpa hak dan merusak ukhuwah islamiyah apalagi menodai kehormatan
orang-orang yang berjasa kepada kaum muslimin. Dikisahkan oleh Abu Turab An
Nakhasyabi bahwa pada suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata
kepada beliau, “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad
menjawab, “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan gunjingan.” (Al Ba’its Al
Hatsits, hal. 228).
Bukankah kalau ada seorang oknum polisi yang membiarkan seorang pencuri
melakukan aksi pencurian di hadapannya dan mengatakan, “Jangan kalian sebut dia
maling, biarkan saja. Dia ‘kan saudara kita!” maka tentunya akan kita katakan
bahwa orang ini akalnya kurang waras atau bahkan pengkhianat. Lalu bagaimana
kita bisa diam terhadap para penyeru kebid’ahan dan penebar pemikiran sesat
yang telah ditokohkan oleh sebagian umat Islam, padahal kesesatan mereka telah meracuni
hati dan pikiran masyarakat sampai-sampai kebenaran dianggap sebagai kebatilan
dan kebatilan justru dianggap benar? Wahai orang-orang yang beriman, manakah
yang lebih kalian sukai harta kalian hilang ataukah akidah dan Sunnah Nabi
kalian yang hilang?
Hakikat Ishlah
Makna ishlah dapat kita tinjau dari dua sisi. Ishlah
dengan makna perbaikan secara umum yaitu dengan melakukan ketaatan apapun
bentuknya. Atau ishlah dengan makna mendamaikan antara dua golongan
yang sedang terlibat permusuhan atau persengketaan. Kedua makna ini bisa kita
temukan dalam ayat dan hadits berikut ini.
Di dalam sebuah ayat Allah ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا
تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ
الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Janganlah
kalian berbuat kerusakan di muka bumi’. Maka mereka justru mengatakan:
‘Sesungguhnya kami ini adalah orang yang berbuat perbaikan/ishlah.’ Ketahuilah
sesungguhnya mereka itulah perusak, akan tetapi mereka tidak menyadari.”
(QS. al-Baqarah: 11-12)
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya apabila orang-orang
munafik itu dilarang melakukan perusakan di atas muka bumi yaitu perbuatan
kufur dan maksiat, dan salah satu bentuknya ialah dengan membongkar
rahasia-rahasia kaum muslimin di hadapan musuh-musuh mereka serta membela
orang-orang kafir. Niscaya mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini adalah
orang-orang yang melakukan perbaikan.” Sehingga mereka telah menghimpun antara
perbuatan merusak di muka bumi dengan perbuatan menampakkan diri seolah-olah
mereka bukan orang yang melakukan perusakan bahkan berani mengklaim apa yang
mereka perbuat sebagai perbaikan. Mereka telah memutarbalikkan fakta. Dan
mereka juga menggabungkan antara perbuatan batil dengan keyakinan bahwasanya
hal itu adalah kebenaran. Ini adalah sebesar-besarnya tindak kejahatan yang
lebih mengerikan daripada tindakan orang yang berbuat maksiat sementara hatinya
masih meyakini bahwa apa yang dilakukannya memang perbuatan maksiat, sebab
kejahatan yang ini lebih mudah untuk meraih keselamatan dan lebih besar
harapannya untuk kembali taat.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya ishlah/upaya
perbaikan di muka bumi yang dapat anda lakukan adalah dengan cara taat kepada
Allah dan beriman kepada-Nya. Oleh sebab itulah Allah menciptakan semua makhluk
dan menempatkan mereka untuk tinggal di bumi dan Allah pun telah melimpahkan
rezeki untuk mereka. Itu semua Allah lakukan agar mereka menggunakannya dalam
rangka taat kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. Karena itulah, apabila ada
seseorang yang justru berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan ini maka
sesungguhnya hal itu merupakan suatu bentuk upaya untuk melakukan perusakan di
atasnya serta menyebabkan keruntuhan tatanannya hingga menyeleweng dari hikmah
penciptaannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 43).
Adapun di dalam hadits ialah seperti dalam hadits berikut ini yang berbicara
tentang persoalan muamalah. Dari Amr bin ‘Auf Al Muzani radhiyallahu ‘anhu
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perdamaian
antara kaum muslimin adalah diperbolehkan kecuali perdamaian yang berakibat
mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram…”
(HR. Ahlu Sunan kecuali An Nasa’i, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ 3862. Lihat Bahjatu Qulub Al Abrar, hal. 121). Oleh sebab
itu Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Apabila suatu perdamaian
mengandung unsur pengharaman sesuatu yang dihalalkan atau penghalalan sesuatu
yang diharamkan maka hukumnya tidak sah berdasarkan ketegasan teks hadits ini…”
(Bahjatu Qulub Al Abrar, hal. 122).
Ini menunjukkan kepada kita bahwa ishlah bukanlah demi mencari
kepuasan kelompok atau demi menjaga nama baik golongan di mata orang. Akan
tetapi ishlah ditegakkan di atas kebenaran. Ishlah yang
paling agung adalah dengan menyatukan manusia di atas kalimat tauhid dan
memerdekakan mereka dari penghambaan kepada sesembahan selain-Nya. Termasuk
dalam ishlah yang sangat agung adalah mengajak umat Islam dari
kelompok manapun untuk tunduk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan melepaskan diri dari berbagai tradisi dan keyakinan bid’ah yang
menodai kesucian syari’at Islam. Dan lebih luas lagi adalah melakukan perbaikan
di atas muka bumi ini dengan melakukan berbagai bentuk ketaatan. Dan di antara
bentuk ketaatan itu adalah mendamaikan sesama muslim yang bersengketa. Tentunya
dengan cara yang benar dan memperhatikan norma-norma syari’at.
Betapa Banyak Orang yang Menginginkan Kebaikan Tapi Tidak
Mendapatkannya
Itulah kesan yang muncul di benak saya ketika ingin lebih dalam menanggapi
risalah dengan judul yang sangat bagus ini. Apalagi mereka ini dikenal sebagai
kelompok orang-orang yang sangat giat menggerakkan dakwah dan begitu bersemangat
untuk membela Islam. Namun sayang seribu sayang. Maksud hati memeluk gunung,
apa daya tangan tak sampai. Itulah kata pepatah. Kalau saya boleh meminjam
istilah mereka, maka risalah yang mereka keluarkan itu pun boleh jadi termasuk
kategori ‘informasi yang tidak bertanggung jawab’ dan telah ‘mengganggu iklim
ukhuwah yang sedang dijalin…’
Bagaimana tidak? Di dalam risalah ini para pembaca bisa menyaksikan dengan
terang bagaimana sebuah kelompok berupaya menjaga ‘citra bersih’ dakwah mereka
dengan cara mendiskreditkan atau menjatuhkan nama baik sesama kaum muslimin
selain mereka yang disebut sebagai ‘Wahabi’. Marilah kita saksikan kembali
penuturan mereka, “Tidak seperti kelompok yang disebut sebagai Wahabi, PKS
adalah Partai politik yang beraktifitas di NKRI, yang menjadikan partai sebagai
sarana/wasilah untuk berdakwah dan menyebarkan yang ma’ruf dengan tetap
menghormati perbedaan furuiyah, mengedepankan ukhuwwah dan memahami bahwa
ikhtilaf ijtihad bisa menjadi rahmat. Karenanya melakukan tabdi’ (membid’ahkan)
dan takfir (mengkafirkan) para ulama apalagi para Wali songo yang sangat
berjasa itu bukanlah Manhaj PKS yang menganut Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Karenanya PKS tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang berisi hujatan maupun
pengharaman terhadap peringatan Maulid, Tahlilan, Barzanji yang dilakukan oleh
ummat Islam di Indonesia penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jadi foto kopi surat
edaran yang mengatas namakan DPP tanpa ada yang menanda tanganinya dan
menggunakan kop yang berbeda itu adalah palsu dan merupakan fitnah terhadap
PKS. Maka tidak aneh bila kader PKS seperti DR Nur Mahmudi Ismail yang juga
adalah walikota Depok, menyelenggarakan peringatan Maulid dengan penceramah
K.H. Zainuddin MZ dan Habieb Rizieq Shihab.” (Risalah untuk Mengokohkan
Ukhuwah dan Ishlah). Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan dan
fitnah yang sangat besar! Di dalamnya terjalin berbagai kedustaan. Kedustaan
atas nama Wahabi, kedustaan atas nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan kedustaan
dengan mengatas namakan dakwah, ukhuwah, dan ishlah…
Oleh sebab itu pada kesempatan yang sangat berharga ini kami ingin
menukilkan pengakuan yang tulus dari sebuah kelompok dakwah, “PKS menyadari
sepenuhnya bahwa dirinya, seperti juga organisasi yang lain, bukanlah kelompok
yang ma’shum, ia hanyalah sekumpulan manusia yang bisa melakukan kesalahan…”
Mereka juga mengatakan sebuah ucapan yang sangat indah, “PKS tetap berkomitmen
untuk mendengar serta menerima nasihat, agar terjadi ishlah, agar
ukhuwwah islamiyah dapat terjaga.” (Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah).
Semoga orang-orang yang mengucapkannya mendapatkan taufik dari Allah untuk
konsisten dengannya.
Berpijak dari kesadaran ini, maka perkenankanlah kami
memberikan nasihat dan tanggapan untuk mereka, karena kami menyukai kebenaran
dan kebaikan ada pada mereka sebagaimana kami menyukainya ada pada diri kami, wallahul
musta’an. In uridu illal ishlaha mastatho’tu wa ma taufiqi illa billah ‘alaihi
tawakkaltu wa ilaihi unibu.
Siapakah Wahabi?
Ustadz Abu Ubaidah hafizhahullah menuliskan, “Wahhabi bukanlah
sebuah gelar yang dicetuskan oleh pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,
namun dari musuh-musuh dakwah, baik karena politik saat itu seperti Turki atau
para pecinta kesyirikan dari kalangan kaum Sufi dan Rafidhah dengan
tujuan melarikan manusia dari dakwah yang beliau emban dan menggambarkan bahwa
beliau membawa ajaran baru atau mazhab yang kelima yang menyelisihi empat
mazhab.” (Meluruskan Sejarah Wahabi, hal. 76).
Beliau juga mengungkapkan, “Ditinjau secara kaidah
bahasa Arab, gelar Wahhabi nisbat kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
adalah keliru. Nisbat yang benar -kalau mau jujur- adalah “Muhammadiyah”,
karena nisbat kepada namanya yaitu Muhammad, bukan ayahnya yang tidak ada
sangkut pautnya yaitu Abdul Wahhab.” (Meluruskan Sejarah Wahabi, hal.
76).
Beliau melanjutkan, “Aneh bin ajaibnya, gelar ini diingkari oleh orang-orang
Nejed, hal yang menunjukkan kepada kita bahwa gelar ini hanyalah impor dari
luar negeri Nejed yang disebarkan oleh musuh-musuh dakwah, terutama Turki waktu
itu. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama Wahhabi sebagai nisbat
kepada al-Wahhab (Maha Pemberi), yang merupakan salah satu nama Allah.” (Meluruskan
Sejarah Wahabi, hal. 77). Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya faktor penyebab tuduhan miring kepada Wahhabi adalah
politik semata, untuk melarikan kaum muslimin dari mereka…” (al-Mukhtar min
Majalah Manar, hal. 16. Dinukil dari Meluruskan Sejarah Wahabi,
hal. 81).
Lihatlah pernyataan tulus salah seorang penguasa Saudi Arabia Raja Abdul
‘Aziz bin Abdur Rahman alu Su’ud rahimahullah tatkala menyampaikan
ceramah di Mina pada musim haji tahun 1365 H yaitu pada tanggal sepuluh
Dzulhijjah, “…sesungguhnya saya ini adalah seorang salafi (pengikut salaf/para
sahabat). Dan akidah saya adalah salafiyah yang saya berusaha untuk terus
berjalan di atas aturannya yang tegak di atas Al Kitab dan As Sunnah.” Beliau
pun mengatakan, “Mereka menjuluki kami dengan Wahabiyah. Padahal pada
hakikatnya kami ini adalah Salafi yang terus berusaha menjaga agama kami serta
mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya…” (lihat Tabshir Al Khalaf bi
syar’iyatil Intisab ila As Salaf karya Syaikh Dr. Milfi bin Na’im bin
‘Imran Ash Sha’idi).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah
generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa
petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in, red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas
manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk
penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil
‘Aqidah, hal. 5-6) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang
sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kata salaf itu sendiri sudah disebutkan oleh Nabi dalam haditsnya kepada
Fathimah, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim).
Artinya sebaik-baik pendahulu. Kata salaf juga sering digunakan oleh ahli
hadits di dalam kitab haditsnya. Bukhari rahimahullah mengatakan,
“Rasyid bin Sa’ad berkata ‘Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih
lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar menafsirkan kata salaf tersebut,
“Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” dan contoh lainnya
masih banyak. Maka ungkapan pengasuh website al-ikhwan.net yang mengatakan,
“istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun
As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.” (Dirasah fi Al Aqidah
Al Islamiyah) adalah sebuah ketidakpahaman atau berpura-pura bodoh. Dan
keduanya sama-sama pahit. Oleh sebab itu kiranya Ustadz perlu menyimak keterangan
berharga dari Ketua Dewan Syari’ah Pusat Partai Keadilan Sejahtera yang
menerangkan kepada kita bahwa, “Salafi adalah suatu manhaj yang berupaya
kembali pada rujukan asli, yaitu: al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang telah
difahami dan diamalkan oleh generasi salaf yang shalih.” (lihat Ittijah Fiqih
Dewan Syari’ah Partai Keadilan Sejahtera yang ditanda tangani DR. Surahman
Hidayat, MA –semoga Allah memberikan hidayahnya kepada kita dan beliau-
tertanggal 28 Juli 2005).
Maka orang-orang yang memberikan tuduhan miring kepada Wahabi, Salafi atau
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab perlu untuk mengintrospeksi dan berkaca
diri. Bukankah mereka yang mengajak kita untuk mengokohkan ukhuwah dan ishlah?
Lalu mengapa sedemikian teganya mereka mencemari nama baik beliau serta dakwah
yang beliau serukan, terlebih lagi tuduhan itu tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada? Hati siapakah yang menerima hal ini? Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
sendiri mengatakan, “Kami ini -dengan senantiasa memuji Allah- adalah orang
yang ittiba’ (mengikuti tuntunan Nabi), bukan mubtadi’ (orang yang membuat
perkara bid’ah) dan kami mengikuti Al Kitab dan As Sunnah serta para pendahulu
yang salih dari umat ini di atas madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (‘Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab As Salafiyah karya Syaikh Shalih Al ‘Abud hal. 220. Dinukil dari Tabshir
Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf).
Dengarkanlah penuturan seorang ulama besar di masa kini al-’Allamah Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, “Wahabiyah bukanlah mazhab kelima
sebagaimana yang disangka oleh orang-orang tidak mengerti dan orang-orang yang
sengaja berpaling dari kebenaran. Akan tetapi ia hanyalah dakwah kepada akidah
salafiyah serta memperbaharui ajaran-ajaran Islam dan Tauhid yang telah mulai
luntur.” (Fatawa beliau 3/1306. Lihat Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil
Intisab ila As Salaf). Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafiyah,
tidak ada bedanya. Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili hafizhahullah
mengatakan, “Bukan termasuk kategori perbuatan bid’ah barang sedikitpun apabila
Ahlus Sunnah menamai dirinya Salafi. Sebab pada hakikatnya istilah Salaf sama
persis artinya dengan isitlah Ahlus Sunnah wal Jama’ah…” (Mauqif Ahlis
Sunnah, 1/63. Dinukil dari Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab
ila As Salaf). Maka seorang salafi adalah setiap orang yang mengikuti Al
Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman salafush salih serta menjauhi pemikiran
yang menyimpang dan bid’ah-bid’ah dan tetap bersatu dengan jama’ah kaum
muslimin bersama pemimpin mereka. Itulah hakikat salafi, meskipun orangnya
tidak menamakan dirinya dengan istilah ini (lihat kalimat penutup risalah Tabshir
Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf).
Tidak Menghormati Perbedaan Furu’iyyah?
Setelah kita mengenal siapakah Wahabi yang tidak lain adalah Ahlus Sunnah
itu sendiri, maka kiranya pernyataan atau anggapan di atas yang mengesankan
bahwa mereka tidak menghormati perbedaan furu’iyyah adalah mengada-ada dan
‘informasi yang tidak bertanggung jawab’.
Tidak usah jauh-jauh. Tidakkah mereka melihat bagaimana Syaikh Al Albani rahimahullah
dan mayoritas para ulama Saudi berbeda pendapat dalam hal hukum mengenakan
cadar, sebagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab yang terdahulu? Tidakkah
mereka melihat bagaimana perbedaan pendapat Syaikh Al Albani dengan banyak
ulama Saudi tentang meletakkan tangan di atas dada ketika I’tidal? Tidakkah
mereka melihat perbedaan pendapat antara para ulama yang mewajibkan mandi
sebelum shalat Jumat dengan yang tidak mewajibkannya, atau perbedaan mereka
tentang wajib tidaknya mengqashar shalat bagi orang yang sedang bersafar, atau
perbedaan mereka tentang ‘mustauthin’ sebagai salah satu syarat sah untuk
mengadakan shalat Jumat, atau perbedaan mereka tentang hukum mencukur sisa
jenggot yang lebih dari satu genggaman tangan, dan sekian banyak perbedaan
furu’iyyah lainnya?
Apakah gara-gara perbedaan ini mereka berpecah belah, bergolong-golongan,
mendirikan berbagai macam kelompok, atau mengobarkan fanatisme mazhab? Bukankah
selama ini dakwah salafiyah hanya mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah as-Shahihah dengan pemahaman salaful ummah. Bukankah selama ini
dakwah salafiyah menyeru umat Islam untuk melepaskan diri dari belenggu
hizbiyah dan taklid buta. Bukankah selama ini dakwah salafiyah yang
menyemarakkan dunia penerbitan di tanah air dengan buku-buku ilmiah yang
bermutu dan dapat dipertanggung jawabkan. Bukankah selama ini para da’i dan
aktifis telah banyak menimba ilmu dari para pengasuh madrasah salafiyah yang
sangat mengenal seluk beluk perbedaan madzhab fiqhiyah semacam Ibnu Taimiyah,
Ibnu Katsir dan Ibnul Qayyim rahimahumullah. Ataukah mereka tidak
sempat membaca buku-buku fikih yang dikarang oleh para ulama seperti Syarh
Al Mumti’ karya pakar fikih masa kini Syaikh Ibnu ‘Utsaimin atau Tamamul
Minnah dan Shifat Shalat Nabi karya ahli hadits abad ini Syaikh
Al Albani rahimahumallah. Aduhai, di manakah fikih waqi’ yang selama
ini mereka dengung-dengungkan? Apakah ketika para ulama mengajak umat untuk
memilih pendapat yang lebih kuat berlandaskan dalil dan argumentasi yang kuat
adalah sebuah tindakan yang tidak menghormati perbedaan furu’iyyah? Sungguh hal
itu adalah cara berpikir yang sangat sempit. Wallahul musta’an…
Apabila saudara-saudara kami masih merasa ragu tentang hal ini, padahal
perkaranya sudah sangat jelas, silakan membaca dengan hati dan pikiran yang
jernih tentang bagaimanakah kebijakan sikap para ulama Salafi -atau yang mereka
juluki dengan nama Wahabi ini- di dalam Kitabul ‘Ilmi hal. 265-286
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam
pembahasan berjudul Al Khilaf baina Al ‘Ulama. Berikut ini kami
nukilkan sedikit penjelasan beliau agar jelas bagi kita bagaimanakah sikap kita
yang semestinya dalam mengatasi perselisihan yang ada di antara para ulama.
Syaikh menjelaskan, “Maka kewajiban bagi setiap orang yang memahami dalil untuk
setia mengikuti dalil tersebut meskipun dia harus menyelisihi sebagian imam
selama hal itu tidak bertentangan dengan ijma’ (konsensus umat Islam). Barang
siapa yang meyakini bahwa ada orang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang wajib diambil pendapatnya demi mengerjakan atau
meninggalkan sesuatu dalam semua keadaan dan waktu, sesungguhnya dia telah
bersyahadat kepada selain Rasul dan menyematkan pada orang tersebut
keistimewaan risalah. Sebab tidaklah memungkinkan bagi orang selain Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang pendapatnya dihukumi seperti ini. Kecuali hanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sajalah yang disifati
demikian. Tidak ada satu orang pun kecuali pendapatnya bisa diambil atau
ditinggalkan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitabul
‘Ilmi, hal. 282).
Syaikh juga menasihatkan kepada segenap penuntut ilmu untuk berlapang dada
dalam menyikapi perbedaan pendapat yang muncul dari hasil ijtihad yang
dibenarkan. Beliau rahimahullah memaparkan, “Hendaknya dia berlapang
dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil
ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi
dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka
perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorangpun yang menyelisihinya
dimaafkan. Bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad
di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran dimaafkan.
Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang
berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat
demikian niscaya kitapun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang
bisa menjatuhkan anda.”
Beliau melanjutkan, “Yang saya maksudkan di sini adalah perselisihan yang
terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di
dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi
jalan (manhaj) Salaf seperti dalam permasalahan akidah, maka dalam hal ini
tidak ada seorangpun yang diperbolehkan untuk menyelisihi Salafush shalih. Akan
tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas
menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau
menjadikannya sebagai pemicu permusuhan dan kebencian.” (Kitabul ‘Ilmi,
hal. 28-29).
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Maka menjadi kewajiban para penuntut
ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam
sebagian permasalahan furu’iyyah. Hendaknya yang satu mengajak
saudaranya untuk berdiskusi dengan cara yang santun dan didasari keinginan
untuk mencari wajah Allah serta untuk memperoleh ilmu. Dengan cara inilah akan
tercapai hubungan baik, dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang
akan bisa lenyap. Sebab terkadang perselisihan justru menyulut terjadinya
pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu
menggembirakan musuh-musuh Islam. Padahal persengketaan yang terjadi di antara
umat ini merupakan sebab datangnya bahaya yang sangat besar. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah
kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian
melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
(QS. Al Anfaal : 46).” (lihat Kitabul ‘Ilmi, hal. 31).
Mentabdi’ dan Mengkafirkan Para Ulama?
Kaum Wahabi suka mengkafirkan? Ini bukan tuduhan yang baru. Bahkan sejak
masa hidup Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tuduhan dan
fitnah semacam ini pun sudah muncul. Salah seorang cucu beliau Syaikh Abdul
Lathif rahimahullah mengatakan, “Setiap orang berakal yang mengetahui
perjalanan hidup Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,
niscaya akan mengetahui bahwa beliau adalah orang yang sangat mengagungkan ilmu
dan ulama, dan termasuk manusia yang paling keras melarang mengkafirkan mereka,
mencela, atau menyakiti mereka; bahkan beliau sangat menghormati dan membela
mereka. Beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan
Rasul-Nya serta disepakati umat tentang kekufurannya seperti orang yang
menjadikan tandingan dan tuhan selain Allah.” (Majmu’ah Rasa’il,
3/449. Dinukil dari Meluruskan Sejarah Wahabi, hal. 149).
Jangankan mengkafirkan ulama, bahkan merendahkan dan mendiskreditkan para
ulama merupakan pantangan yang harus dijauhi oleh seorang Salafi. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya
di dalam Jannah-Nya- menasihatkan kepada setiap penuntut ilmu, “Sudah menjadi
kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan
mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi
perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka. Dan hendaknya hal
itu dihadapinya dengan penuh toleransi bagi orang yang telah berusaha menempuh
jalan (kebenaran) namun di dalam keyakinan mereka dia telah berbuat kekeliruan.
Ini adalah poin yang sangat penting. Sebab ada sebagian orang yang sengaja
mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak
pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang lain dengan celaan
yang mereka dengar. Ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing
orang awam saja termasuk dosa besar, maka menggunjing orang yang berilmu jauh
lebih besar dan lebih berat dosanya. Karena dengan menggunjing orang yang
berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu
sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya…” (Kitabul
‘Ilmi, hal. 41).
Cukuplah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sendiri yang
menceritakan kepada anda tentang sikap beliau dalam hal ini. Ketika menanggapi
berbagai tuduhan pengkafiran yang diarahkan kepadanya, Syaikh mengatakan dengan
tenang, “Barang siapa yang menyaksikan keadaan kami dan menghadiri majelis ilmu
kami serta bergaul dengan kami, niscaya dia akan mengetahui secara pasti bahwa
semua itu adalah tuduhan palsu yang dicetuskan oleh musuh-musuh agama dan
saudara-saudara setan untuk melarikan manusia dari tunduk dan memurnikan tauhid
hanya kepada Allah saja dengan ibadah dan meninggalkan seluruh jenis
kesyirikan.” (al-Hadiyyah as-Saniyyah hal. 40. Dinukil dari Meluruskan
Sejarah Wahhabi hal. 150 karya Ustadz Abu ‘Ubaidah Yusuf As Sidawi jazaahullahu
khairal jazaa’).
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment