Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam
hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi
dua:
- Syirik akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan oleh pembuat syari’at dan menyebabkan pelakunya keluar dari agama
- Syirik asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut sebagai syirik atau kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil diketahui bahwa hal itu tidak sampai mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)
Bahaya syirik [besar] banyak sekali, diantaranya adalah:
- Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (an-Nisaa’: 48)
- Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (at-Taubah: 5)
- Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (al-Furqan: 23)
- Pelakunya haram masuk surga (al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka beliau menjawab,
“Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah
menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu
benar-benar dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan;
Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Lalu, kamu
membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Abdullah
berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau
menjawab, “Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sungguh, aku
bersumpah dengan nama Allah tapi dusta itu lebih aku sukai daripada
bersumpah dengan selain nama Allah meskipun jujur.” Syaikh Abdurrahman
bin Hasan rahimahullah berkata, “Kalau sikap seperti itu yang
diterapkan terhadap syirik ashghar, lantas bagaimanakah lagi sikap
terhadap syirik akbar yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka?”
(lihat Fath al-Majid, hal. 402).
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata,
“Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau
pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan
tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah
disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak
disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam
melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah,
memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang
dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya,
maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami
tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di
dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang
beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa
yang dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu
yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan, “Apa yang dahulu
telah mereka amalkan” yaitu berupa amal-amal kebaikan. Adapun mengenai
makna “Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan” maka beliau
menjelaskan, “Karena sesungguhnya amalan tidak akan diterima jika
dibarengi dengan kesyirikan.” (lihat Zaa’dul Masir, hal. 1014)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang pertama kali diadili pada hari
kiamat adalah: [1] Seorang lelaki yang berjuang mencari mati syahid.
Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang
sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah
bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu
semua?”. Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku menemui
mati syahid.” Allah menimpali jawabannya, “Kamu dusta. Sebenarnya kamu
berperang agar disebut-sebut sebagai pemberani, dan sebutan itu telah
kamu peroleh di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya
dia dilemparkan ke dalam api neraka. [2] Seorang lelaki yang menimba
ilmu dan mengajarkannya serta pandai membaca/menghafal al-Qur’an. Lalu
dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sekiranya
akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa mengenalinya. Allah bertanya
kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan itu semua?”.
Dia menjawab, “Aku menimba ilmu dan mengajarkannya serta aku
membaca/menghafal al-Qur’an di jalan-Mu.” Allah menimpali jawabannya,
“Kamu dusta. Sebenarnya kamu menimba ilmu agar disebut-sebut sebagai
orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an agar disebut sebagai qari’. Dan
sebutan itu telah kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan
malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya
hingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam api neraka. [3] Seorang lelaki
yang diberi kelapangan oleh Allah serta mendapatkan karunia berupa
segala macam bentuk harta. Lalu dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya
nikmat-nikmat yang sekiranya akan diperolehnya, sehingga dia pun bisa
mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu lakukan
untuk mendapatkan itu semua?”. Dia menjawab, “Tidak ada satupun
kesempatan yang Engkau cintai agar hamba-Mu berinfak padanya melainkan
aku telah berinfak padanya untuk mencari ridha-Mu.” Allah menimpali
jawabannya, “Kamu dusta. Sesungguhnya kamu berinfak hanya demi
mendapatkan sebutan sebagai orang yang dermawan. Dan sebutan itu telah
kamu dapatkan di dunia.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya dalam keadaan tertelungkup di atas wajahnya hingga akhirnya
dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Khawatir Terjerumus Dalam Syirik
Sebagai seorang muslim, semestinya kita merasa takut terjatuh ke dalam syirik. Allah ta’ala berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya), “Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah
dan zuhud yang meninggal di dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H-
mengatakan, “Maka, siapakah yang bisa merasa aman [terbebas] dari
musibah [syirik] setelah Ibrahim -‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan alusy Syaikh, hal. 32)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam
bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah
kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu
bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah
kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari
kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang
munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang
mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam;
orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan
pujian sebagaimana yang telah disifatkan Allah tentangnya, bahkan beliau
pula yang telah menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya,
sedemikian merasa takut terhadap bencana (syirik) yang timbul karenanya
(berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau yang bisa merasa aman
dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata,
“Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada
seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa
amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak
ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata.
Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau
rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala.
Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam
bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal
yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya
tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab
itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang
lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)
Perusak Tauhid dan Keikhlasan
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya
keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang
ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang
menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya menjadi terhapus.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 584)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang
mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan
mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk
mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang
sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat
Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan
kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat
Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang
berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas
dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga
perkara yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang
selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya
sendiri.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)
Diriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu
pernah berkata, “Amal yang salih adalah amalan yang kamu tidak
menginginkan pujian dari siapapun atasnya kecuali dari Allah.” (lihat al-Ikhlas wa an-Niyyah, hal. 35)
Abu Ishaq al-Fazari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
diantara manusia ada orang yang sangat menggandrungi pujian kepada
dirinya, padahal di sisi Allah dia tidak lebih berharga daripada sayap
seekor nyamuk.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 573)
Syirik Kezaliman Terbesar
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu
berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan
manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu tetap melakukannya maka kamu
benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106). Imam
Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud doa di dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107] cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah
mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan
Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia
menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya
Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya
umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara
bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok
keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang
sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling
zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang
paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai
sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan
terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya.
Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya
yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa lain yang
berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa saja yang
dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala
berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan
membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan
tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan
mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi dan
dihasankan olehnya)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan
Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku
-Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak
mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk
surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian yang bisa kami himpun dalam kesempatan ini dengan taufik dari Allah, semoga bermanfaat bagi kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
sumber : http://abu0mushlih.wordpress.com/2013/09/10/hakikat-dan-bahaya-syirik/
No comments:
Post a Comment