Andai saja dakwah Islam lahir di tengah bangsa yang berperadaban tinggi
dan memiliki pemikiran filsafat yang sudah terbangun
pasti akan muncul banyak “setan” yang menyangkal kenabian Muhammad saw
Mereka akan menuduhnya sebagai upaya eksperimental-kebudayaan
atau sebagai salah satu pemikiran filsafat belaka.
Mungkin sebagian besar dari kita (umat Islam) belum pernah terbesit
pertanyaan tentang awal mula munculnya agama Islam. Tanpa perlu banyak
bertanya, begitu saja kita memeluk agama Islam. Entah karena memang kita
pasrah saja, atau memang kita malas untuk bertanya, atau memang kita
buta tentang pertanyaan itu.
Memang, selama ini kita memeluk agama Islam begitu saja kita
menerima, tanpa ada penasaran kenapa kita harus melaksanakan apa-apa
yang menjadi ajarannya. Hal itu terjadi, dimungkinkan karena kita
mengikuti keturunan atau lingkungan. Andai saja tidak karena keturunan
atau lingkungan, sangat dimungkinkan kita tidak berada dalam dekapan
agama Islam, sebagaimana anak-anak non Islam.
Atau, kemungkinan lain kenapa kita berada dalam dekapan agama Islam,
karena kita ditakdirkan untuk melangkah di jalan yang diridoi Allah.
Sehingga, kita tak pelu bertanya banyak hal tentang agama Islam,
terutama awal munculnya Islam dan kenapa Islam harus berangkat dari
tanah Arab. Meski demikian, sebagai umat Islam yang memiliki pemikiran
yang kuat dan dalam, tentu akan bertanya-tanya lalu mencari jawaban
tentang apa yang digelisahkan tentang agama Islam. Tujuan hal itu, bukan
mencari celah untuk lepas dari Islam, akan tetapi untuk menambah
keyakinan pada agama yang dipeluknya.
Salah satu yang mungkin harus dipertanyakan adalah kenapa Islam
berangkat dari tanah Arab? Bagi yang benar-benar ingin menambah
keyakinannya dalam memeluk agama Islam, dipersilakan melanjutkan
bacaannya hingga titik akhir.
Tanah Arab diapit dua peradan besar
Untuk mengetahui jawaban tentang dari pertanyaan di atas, pertama
kita mesti mengetahui karakter atau cirri khas, dan kondisi kehidupan
bangsa Arab sebelum Islam. Selain itu, kita harus mengetahui gambaran
geografis kawasan yang mereka diami. Bahkan, kita juga harus miliki
gambaran tentang berbagai bangsa lain yang ada pada saat itu, sperti
Persia, Romawi, Yunani dan India, termasuk tradisi yang berkembang dan
cirri khas peradaban masing-masing.
Pertama, kita mengkaji secara sepintas bangsa-bangsa yang hidup di
sekitar tanah Arab sebelum Islam. Saat itu, di dunia terdapat dua bangsa
besar yang menjadi pusat peradaban dunia, yaitu Persia dan Romawi.
Selain itu, ada pula Yunani dan India.
Kala itu, Persia menjadi tempat pertarungan berbagai pandangan agama
dan filsafat. Di wilayah ini terdapat aliran Zoroaster yang dianut para
penguasa. Salah satu ajarannya adalah menganjurkan setiap laki-laki
untuk menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara perempuannya. Bahkan
Raja Yazdajird II yang berkuasa pada pertengahan abad kelima Masehi
menikahi putrid kandungnya sendiri. Ajaran aneh ini hanya salah satu
dari sekian banyak ajaran agama Zoroaster yang benar-benar menyimpang
dari dari akal sehat. Akan tetapi, tentu bukan di sini tempatnya untuk
membeberkan semua ini.
Sementara itu, imperialisme Romawi mencekeram kuat. Kerajaan besar
ini terlibat konflik berkepanjangan dengan kaum Nasrani Syiria dan
Mesir. Berbekal kekuatan militer yang mereka miliki, Romawi mengobarkan
semangat imperialism ke penjuru dunia. Salah satu misinya adalah
menyebarkan ajaran Kristen yang telah dimodifikasi sesuai keinginan
mereka.
Sebagaimana Persia, Romawi juga pernah “sakit keras”. Pada saat itu,
hamper seluruh wilayah Romawi dilanda kesulitan. Ketimpangan ekonomi
muncul dalam bentuk penindasan dan pajak mencekik kebanyakan rakyat.
Adapun Yunani ketika itu masih tenggelam dalam kubangan takhayyul dan
metologi teologis yang menjebak penduduknya dalam debat kusir yang
tidak bermanfaat.
Sementara itu, tentang India dinyatakan Prof. Abu Hasan an-Nadwi
sebagai berikut. Semua penulis sejarah India sepakat menyatakan, sejak
paruh awal abad keenam Masehi India mengalami kemunduran luar biasa
dalam bidang agama, moral, dan sosial. Bersama Negara-negara
tetangganya, India terperosok ke dalam dekadensi moral dan patologi
sosial kemasyarakatan.
Jadi, jika harus mengerti, ternyata yang menjatuhkan banyak bangsa
dan Negara ke jurang kekacauan dan kesengsaraan tak lain adalah
peradaban dan tamadun yang hanya dibangun di atas nilai-nilai
matrealistik, tidak disertai model ideal-luhur yang bisa menuntun ke
jalan yang lurus dan benar. Hal ini terjadi karena peradaban mana pun di
dunia, dengan segala keragaman dan deferensiasinya, tidak lain hanyalah
“jalan” atau “sebab”. Jika sang pemilik tidak memiliki pemikiran yang
benar dan model ideal yang sahih, maka peradaban itu hanya akan menjadi
jalan menuju kesengsaraan dan kekacauan. Sebaliknya, jika sang pemilik
memiliki akal sehat yang lurus –yang biasanya didapat dari wahyu Ilahi-
semua peradaban dan tamadun yang dimiliki pasti akan menjadi jalan mulus
yang mengantarkan mereka pada kebahagiaan sempurna dalam semua sendi
kehidupan.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Semenanjung Arab pada masa itu adalah
kawasan yang tenang karena terhindar dari semua bentuk kekacauan yang
menyebar di sekitarnya.penduduk Arab ketika itu tidak mengenyam
kemewahan dan peradaban, seperti yang diraih Persia dan menjadikan
mereka terperosok ke dalam kehancuran. Selain itu, mereka juga tidak
disibukkan dengan berbagai bentuk paham amoral yang menghancurkan
akhlak. Bangsa Arab ketika itu tidak memilik kepongahan seperti militer
Romawi yang membuat mereka berhenti mencaplok wilayah-wilayah di
sekitarnya. Mereka juga tidak memiliki kekayaan filsafat-dialektika
seperti bangsa Yunani yang mengubah mereka menjadi bangsa dikuasai
takhayyul dan dan mitos.
Pada saat itu, Arab tak ubahnya “bahan baku” yang belum diolah dan
diubah bentuk. Di tengah masyarakat yang masih murni inilah, fitrah
kemanusiaan tetap terjaga. Nilai-nilai luhur, seperti kejujuran,
kehormatan, suka menolong, dan menjaga harga diri mewarnai
masyarakatnya. Namun sayang, mereka belum mendapatkan pelita yang dapat
menerangi jalan mencapai keluruhan. Mereka hidup di tengah kejahiliaan.
Karena ketidaktahuan itulah, mereka banyak yang tersesat. Mereka tega
membunuh anak-anak perempuan denga dalih menjaga kehormatan. Mereka rela
mengeluarkan harta secara berlebihan demi mengejar kemuliaan. Mereka
juga tidak segan saling membunuh satu sama lain demi menjaga harga diri.
Kondisi seperti inilah yang digambarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala di dalam Al—Qur’an:
وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ
“Dan sesungguhnya kamu sebelum hari ini adalah dari golongan orang-orang yang telah sesat”.(Surah A1-Baqarah Ayat 198)
Ayat ini lebih merupakan petunjuk bahwa kesesatan bangsa arab rupanya
lebih dapat “dimaafkan” dibandingkan bangsa lain kala itu, bukan untuk
menunjukkan kebodohan dan penghinaan kepada mereka. Alasannya, bangsa
lain tenggelam dalam kemerosotan moral, padahal mereka di tengah obor
peradaban dan tamadun yang terang menderang. Kelebihan yang mereka
miliki justru memerosokkan mereka dalam jurang kerusakan.
Melalui gambaran kondisi bangsa Arab dan bangsa lain di sekitarnya
sebelum Islam, kita dapat dengan mudah mengungkap alasan yang
tersembunyi di balik ketetapan Allah memilih tanah atau semenanjung Arab
sebagai bangsa pertama yang menerima dakwah agung ini. Dari kalangan
merekalah yang pertama dititahkan Allah untuk menebarkan dakwah Islam ke
seluruh penjuru bumi agar semua manusia menyembah Allah.
Banyak orang berpendapat, pemeluk agama sesat dan pemuja peradaban
yang rusak akan sulit diobati sebab mereka memandang baik kerusakan yang
menjangkiti diri mereka, bahkan memanggakannya. Adapun fase pencarian
akan lebih mudah menerima kebodohan karena tidak akan membanggakan
tamadun atau peradaban yang mereka sendiri belum mencapainya. Kelompok
yang kedua ini tentu lebih mudah untuk diobati dan diarahkan.
Alasan terpilihnya tanah atau semenanjung Arab ini sama halnya dengan alasan terpilihnya Rasulullah yang ummi alias
tidak bisa membaca dan menulis. Bagi Allah, demikian itu bisa jadi agar
manusia tidak meragukan misi kenabian yang diemban Muhammad saw. Selain
itu, Allah mengunci mati semua pintu keraguan terhadap keabsahan dakwah
Rasulullah saw.
Hal lain yang turut melengkapi alasan Allah yang sedang dibicarakan
ini, adalah lingkuang tempat tinggal rasul yang buta huruf itu memang
seharusnya di lingkungan yang juga “buta huruf”, berbeda dengan semua
bangsa yang ada di sekitarnya. Maksudnya, bangsa Arab kala itu adalah
bangsa yang belum “terkomentasi” peradaban yang ada di sekelilingnya.
Pikiran mereka belum dicemari berbagai berbagai macam filsafat yang
tidak jelas ujung-pangkalnya.
Alasan lain lagi, menepis keraguan dari dada semua manusia. Tidaklah
mudah untuk dipercaya, andakata nabi yang diutus Allah dari kalangan
terpelajar yang menguasai kitab-kitab kuno, sejarah bangsa purba dan
peradaban di sekitarnya. Di samping itu, Allah juga ingin menepis
keraguan manusia, seandainya dakwah Islam lahir di tengah bangsa
berperadaban tinggi dan memiliki pemikiran filsafat yang sudah
terbangun, seisal Persia, Yunani, atau Romawi. Jika itu terjadi, pasti
akan muncul banyak “setan” yang menyangkal kenabian Muhammad saw.
Mereka akan menuduhnya sebagai upaya eksperimental-kebudayaan atau
sebagai salah satu pemikiran filsafat belaka.
Berkenaan denga alasan tersebut, telah diterangkan dengan tegas dalam Al—Qur’an:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ
يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَآِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِن آَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah).
Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata, (Al-Jumu’ah 62: 2)
Alasan Lain yang cukup konkrit
Pertama
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, Allah menjadikan Baitullah
sebagai temapt berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Selain itu,
menjadikannya sebagai rumah pertama yang diabngun untuk manusia; sebagai
tempat pelaksanaan ibadah dan membangun syi’ar Islam. Di tempat itu
pulalah Allah jauh sebelumnya telah mengukuhkan dakwah bapak para nabi,
Ibrahim as. Dengan segala bentuk keistimewaan itu, kawasan yang penuh
berkah ini memang layak menjadi pijakan bagi dakwah Islam yang merupakan
lanjutan millah Ibrahim, menjadi tempat kelahiran dan diutusnya Nabi terakhir yang masih keturunan lagsung dari Nabi Ibrahim as.
Kedua
Jika ditinjau dari letak geografis Semenanjung Arab yang dipilih
Allah sebagai tempat kelahiran dakwah agung ini, seperti yang telah
disebutkan, kawasan ini memang terletak tepat di tengah-tengah berbagai
bangsa yang ada di sekitarnya.
Ketiga
Letak tana atau Semenanjung Arab yang strategis ini ikut mendukung
penyebaran dakwah Islam ke tengah bangs-bangsa itu menjadi jauh lebih
mudah dilakukan. Jika memperhatikan perjalanan dakwah Islam di tempat
kelahirannya dan pada masa kepemimpinan para Khulafa ar-Rasyidin, Anda
pasti dapat menlihat jelas kebenaran pendapat ini.
keempat
Allah telah berkehendak menjadikan bahasa Arab sebagai dakwah Islam.
Selain itu, Allah juga menjadikan bahasa Arab sebagai alat pertama untuk
“menerjemahkan” firman-Nya yang kemudian disampaikan pada kita.
Kelima
Kalau saja mau meneliti karakter berbagai macam bahasa yang ada di
dunia, kita dapat mengetahui bahwa bahasa Arab sedemikian istimewa
dibandingkan bahasa-bahasa yang lain. Oleh karena itu, pantaslah ia
dijadikan bahasa utama umat Islam yang tinggal di seluruh penjuru dunia.
Refrensi: Dr. Muhammad Ramdhan al-buthy, Fiqh as-Sirah, hlm. 19-23
Sumber gambar: static.canalblog.com
http://cyberdakwah.com/2013/03/menguak-akar-perpecahan-dalam-islam/
No comments:
Post a Comment