Oleh : Adlil Umarat
Lone Palm Tree is Irrigated in Desert of Saudi Arabia |
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman
Begitulah cuplikan lagu ‘Kolam Susu’ dari Koes Plus. Lagu sederhana, yang sangat gamblang menjelaskan kondisi suburnya Indonesia. Apakah lagu itu berlebihan? Tidak juga. Lirik lagu itu ada benarnya.
Saya punya pengalaman umroh tahun 2011. Karena saat
itu saya kali pertama ke tanah Arab, maka saya pun terheran-heran
melihat kondisi alam negara Arab Saudi. Suasananya gersang, panas, angin
gurun, minus tanaman seperti di Indonesia. Yang ada hanyalah kerikil,
lahan tandus, pasir terburai.
Kalau kemana-mana, kita harus pakai mobil yang
kalau bisa ber-AC. Kalau tanpa AC, dijamin kepanasan di perjalanan.
Warna yang melekat sepanjang perjalanan adalah warna pasir: cokelat
muda.
Setelah beberapa hari di Mekkah dan Madinah, saya
memberikan penilaian tersendiri pada Arab Saudi. Ternyata, alam
Indonesia jauh jauh jauuuuhhhh lebih menyenangkan daripada di Arab Saudi
yang gersang. Terlepas di sana ada hal istimewa seperti ka’bah, dan
tempat-tempat bersejarah lainnya.
Beda sekali rasanya dengan kondisi di Indonesia.
Saya merenung. Kalau dipikir-pikir mendalam, alam kita di Indonesia jauh
sangat nyaman. Hampir di seluruh pelosok Indonesia masih didominasi
warna hijau. Hijaunya dedaunan dan pepohonan. Meski di perkotaan, tetap
banyak tanaman hijau.
Orang Bejo vs Orang Pintar
Saya jadi ingat sebuah iklan produk tentang persaingan antara orang bejo
(baca: beruntung) vs orang pintar yang saling bersaing mewakili
produknya. Saya ingin mengupas masalah hutan Indonesia dengan pisau
analisis orang bejo vs orang pintar.
Dalam hal ini, saya menganggap orang Indonesia sebagai orang bejo. Kenapa bejo?
Orang Indonesia dikaruniai alam yang sangat kaya raya. Baik di atas
tanah, maupun di bawah tanah. Di atas tanah, kita masih punya banyak
aset hutan dan tumbuh-tumbuhan yang masih bisa dieksplorasi khasiat dan
manfaatnya yang beragam. Di bawah tanah, kekayaan alam kita tak
terbantahkan. Minyak mentah, batu bara, timah, dan lain sebagainya. Kita
kaya! Kita sebagai warga negara Indonesia harusnya merasa bersyukur
atas be-bejo-an kita.
Sekarang, kita bandingkan dengan negara yang
relatif menurut saya pintar. Pintar dalam arti, mereka tidak terlalu
dikaruniai alam yang gemilang, tapi mampu merekayasa alamnya hingga
menjadi lahan hijau. Contohnya Arab Saudi.
Meski Arab Saudi kaya minyak, namun alamnya kurang
menggiurkan. Suasana padang pasir tandus, mendominasi. Tidak ada yang
bisa digarap jika kita lihat sepintas lalu. Namun, ternyata mereka
gigih. Saya melihat sendiri, dengan alam yang kurang oke, mereka justru
ingin mengubahnya menjadi lebih bersahabat. Alam yang bersahabat
tentunya yang hijau. Dimana-mana dibuatlah penghijauan oleh
pemerintahnya. Caranya? Macam-macam. Salah satunya terlihat jelas, di
tengah kota, melalui pipa yang mengalirkan air, dibuatlah taman kota.
Pipa itu berfungsi untuk menyiram tanaman yang ditanam untuk penghias
mata. Hasilnya luar biasa. Arab Saudi jadi terlihat lebih hijau di
tengah kota. Tak hanya itu, mereka juga menyulap gurun-gurun di pinggir
jalan dengan modus yang sama. Ada aliran pipa, yang siap untuk
menyemprot tanaman secara berkala. Sehingga tanaman tumbuh subur.
Selain tanaman, mereka menyuling air laut menjadi
air yang dapat dikonsumsi. Ini bentuk dari kepintaran pemerintahnya.
Mereka tahu betul kekurangan mereka di dalam bentuk atau kondisi alam,
tapi tetap giat berusaha bagaimana caranya bersyukur dengan memanfaatkan
teknologi yang ada. Mereka terlihat mati-matian menciptakan kehijauan
di kawasan mukimnya. Ini bukti orang pintar (mengelola alam).
Mari lihat kondisinya di Indonesia. Hutan sudah
banyak. Namun belakangan, lebih sering dibabat habis, ditebangi secara
ilegal, digunduli secara serampangan. Akibatnya apa? Cadangan air di
pemukiman jadi menipis. Longsor di pemukiman penduduk, entah sudah
berapa sering kita dengar terjadi. Meskipun kita diberi anugerah alam
yang hijau, tapi tampaknya kita tidak mampu mensyukurinya dengan
melindungi alam yang sebenarnya adalah aset untuk masa depan anak-cucu
kita. Kita bejo, tapi tidak pintar (mengelola alam).
Sejauh ini, sebagian besar dari kita berpikir,
anugerah Allah dengan alam yang indah dan kaya ini adalah sesuatu yang
harus segera dinikmati (baca: dihabiskan). Berapa banyak hutan dibabat
habis untuk kepentingan bisnis kelapa sawit yang jumlahnya semakin masif
beberapa tahun belakangan ini.
Bagaimana misalnya terjadi konflik perebutan lahan hutan yang ingin dijadikan lahan sawit. Konflik seperti terjadi di Jambi (klik di sini),
bukan hal baru terjadi di Indonesia. Jumlah kasus sengketa lahan hutan
vs bisnis banyak. Ada tarik-menarik kepentingan ketika Instruksi
Presiden Nomor 10/2011– tentang kebijakan moratorium izin baru dan
penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut
hutan—segera berakhir 20 Mei 2013 mendatang.
Lagi-lagi saya merenung. Kesimpulan saya, negara
kita meski kaya alamnya, tapi tak mampu memanfaatkannya dengan optimal.
Kita seperti serakah ingin segera membabi-buta menghabiskan aset yang
kita punya. Alam kita, tidak kita rawat. Meski kita dianggap bejo (baca:
beruntung), tapi kita hanya sebatas beruntung. Tidak bisa memanfaatkan
keberuntungan kita dengan baik.
Sementara negara-negara lain seperti Arab Saudi,
Qatar, Bahrain, dan sejenisnya, meski kurang beruntung dari keindahan
alam, namun mereka mampu memanfaatkan kepintarannya, untuk memanfaatkan
teknologi, menciptakan alam yang lebih bersahabat. Mereka rela
mengais-ngais untuk bikin taman kota yang ukurannya kecil. Harus susah
payah tanam pipa di gurun pasir untuk ciptakan kehijauan. Ibarat kata,
negara Arab sana, kalau mau menikmati suasana rindang, hijau, harus
berkeringat dulu. Sedangkan kita di Indonesia? Penghijauan yang sudah
dihadiahkan Allah secara gratis dari sononya, malah dirusak, dienyahkan, dihilangkan. Sungguh ironi bukan?
Solusi
Permasalahan yang kita hadapi adalah tidak adanya
kesadaran dari masyarakat dalam memandang apa yang kita punyai di
Indonesia itu adalah anugerah, hadiah terindah, dan merupakan aset untuk
masa depan. Itu masalah mendasarnya.
Hal utama yang perlu dilakukan adalah membongkar
atau menggugah rasa bersyukur kita terhadap apa kekayaan alam yang kita
punyai, dan harus kita jaga. Hutan adalah salah satu yang krusial untuk
diselamatkan demi masa depan kita bersama.
Kita harus bikin doktrin untuk cinta lingkungan
mulai dari usia dini. Doktrin itu harus masuk ke dalam kurikulum belajar
anak di PAUD, TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah.
Doktrin kampanye cinta lingkungan harus hadir di
kelas-kelas belajar-mengajar. Tidak hanya hadir, tapi juga langsung
didorong untuk praktek cinta lingkungan. Jangan banyak berteori.
Langsung praktek cinta lingkungan. Contohnya? Masing-masing siswa bisa
diadu untuk bercocok tanam di rumahnya. Mulai dari sayur-sayuran,
buahan, sampai tanaman hias. Bagi mereka yang berhasil memanen
tanamannya, berarti ia telah membuktikan kecintaannya pada lingkungan.
Tak hanya hasil yang perlu dinilai. Tapi juga mereka harus ceritakan dan
disertakan bukti foto-foto, bagaimana mereka mulai menanam, merawat,
hingga panen terhadap tanaman tertentu.
Kalau doktrin praktek cinta lingkungan ini sudah
melekat di tiap generasi, maka kekayaan alam kita untuk masa depan bisa
dijaga keberlangsungannya, khususnya untuk Hutan indonesia.
Guru-guru di sekolah harus menekankan bahwa kondisi
alam Indonesia sebenarnya jauh lebih asri dan menyenangkan daripada
negara lain yang kurang beruntung. Guru bisa mengajak nonton bersama via
youtube, bagaimana gersangnya Afrika, negara-negara Arab. Intinya,
bagaimana kondisi kita yang bejo, dan harus bersyukur atas hal tersebut dengan cara mau merawat dan menjaga aset masa depan kita, khususnya hutan.
Kadang, untuk butuh kesadaran merasa harus
bersyukur itu datang manakala kita bisa melihat komparasi dari negara
lain. Kalau kita lihat orang lain seperti Arab Saudi yang harus
mengais-ngais untuk bikin taman kota yang ukurannya kecil, tentu kita
harus bersyukur dengan hadiah hutan lebat dari Allah. Apalagi, dunia
saat ini tergantung sekali dengan keberlangsungan hutan di Indonesia.
Kata istri saya yang hobi nonton tayangan National
Geographic dan Discovery Channel, sering sekali hutan Indonesia menjadi
objek liputan kedua channel ternama itu. Bukan hanya hutannya, tapi juga
habitat yang hidup di dalamnya. Ini bukti bahwa memang hutan Indonesia
adalah objek menarik, kaya, dan penting untuk dijaga dan diselamatkan.
Orang lain saja menganggap hutan kita penting. Masa kita sendiri sebagai
pemilik malah merusaknya?
Saya ingat betul, ada seorang bule yang sangat
tertarik melindungi orangutan di Kalimantan. Lalu dia pindah ke
Kalimantan dan terjun langsung dalam konservasi orangutan. Dia melakukan
konservasi dengan totalitas yang luar biasa. Sampai-sampai ia
mendapatkan banyak penghargaan dari banyak institusi di Indonesia.
Sesuatu yang mengejutkan, karena di Kalimantan, orang malah dibayar
untuk bunuh orangutan dan dapat bonus dari cukong, karena orangutan
dianggap sebagai hama bagi tanaman sawit.
Terakhir, saya ingin sampaikan begini. Jangan
sampai Indonesia hanya dicap negara yang bejo (baca: beruntung) dengan
dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa, termasuk hutan lebat, tapi
tak mampu bersyukur menjaga dan melestarikannya sebagai aset masa depan.
Kita juga harus berpikir secara kreatif, bagaimana bisa dianggap bejo, tapi juga sekaligus pintar. Bejo dan Pintar tak selamanya harus dipertentangkan, seperti yang terjadi di persaingan iklan sebuah produk minuman. Bejo
dan pintar bisa tergabung di dalam satu waktu sekaligus. Mari bertindak
dan berpartisipasi dalam melestarikan hutan Indonesia! Biar lebih
mudah, sila mulai dari lingkungan terkecilmu, yaitu keluarga!
sumber : http://www.kompasiana.com/umarat
No comments:
Post a Comment