Ujian Akhir Nasional (UAN) kali ini memang terasa sulit dibanding di masa
silam. Semakin sulitnya pun, hal-hal tidak logis dan berbau mistik yang dilakukan.
Entah kenapa bukan hanya Allah yang jadi tempat mengadu. Apa karena lemahnya
iman yang membuat mereka malah semakin jauh dari Allah. Padahal orang-orang
musyrik di masa silam saja ketika sulit, yang mereka jadikan tempat harapan
adalah Allah semata. Makanya ketika sempit, mereka meminta hanya pada Allah.
Namun ketika lapang, Allah diduakan dalam ibadah.
Berbagai Ritual Sesat
Coba kita lihat ada berbagi ritual sesat yang ditampilkan oleh berbagai
media menjelang UAN saat ini.
- Minta wangsit dari dukun
- Memakai jimat dan rajah berupa pensil dan lainnya
- Berdo’a melalui perantaraan kubur wali
- Mandi kembang
- Doakan keampuhan pada pensil yang digunakan untuk UAN
- Ritual dzikir dan do’a berjama’ah
Ritual di atas tidak lepas dari syirik, bid’ah dan sesuatu yang tidak logis.
Seseorang tentu saja tidak boleh meminta wangsit lewat para dukun yang biasa
menganjurkan amalan-amalan syirik entah mereka menyuruh mengenakan rajah dan
jimat, atau membaca wirid-wirid bid’ah lainnya.
Begitu pula tentang jimat dan rajah yang digunakan, ada yang menceritakan
bahwa kadang sampai pensil yang digunakan sebagai jimat supaya pensilnya bisa
ampuh dan cepat menjawab soal. Sampai pensilnya pundibaca-bacain do’a. Logisnya
tidak ada. Dan ini kebiasaan para siswa yang malas belajar. Mengenakan pensil
semacam ini termasuk jimat. Dan disebutkan dalam hadits,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat
syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).
Dan memakai jimat pun seperti itu tidak pernah menuai keberuntungan. Lihat
penggalan hadits berikut.
Dari ‘Imran bin Hushoin, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
pada lengan seseorang suatu gelang. Lalu si pengguna tersebut menampakkannya
pada beliau lantas ia berkata,
قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ».
قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً
انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً »
“Ini dari tembaga (yang bagus).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun berkata, “Celaka engkau, apa tujuan engkau mengenakan ini?”
Ia menjawab, “Ini untuk melindungiku dari sakit wahinah (suatu penyakit yang
ada di tangan).” Beliau pun bersabda, “Jimat tersebut hanyalah menambah
rasa sakit padamu. Lepaskanlah ia dari tanganmu. Karena jika engkau masih
mengenakannya, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad
dalam musnadnya 4: 445, Ibnu Majah 3531, Ibnu Hibban 1410 dan 1411. Hadits
tersebut hasan kata Syaikh ‘Abdul Qadir Al Arnauth. Lihat tahqiq
dan ta’liq beliau terhadap Kitab At Tauhid Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab, terbitan Darus Salam, hal. 36).
Begitu pula mandi kembang supaya mendapatkan kemudahan dalam ujian, juga
tidaklah dituntunkan dalam Islam. Karena seperti ini berarti ingin mendapatkan
berkah (kebaikan) sedangkan mendapatkan berkah mesti dengan dalil. Dan tidak
ada dalil satu pun yang mendukung mandi kembang, juga hal ini tidak pernah
diamalkan oleh generasi terbaik Islam. Sehingga amalan ini dapat kita katakan
termasuk dalam sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Dan mencari berkah dengan cara
yang tidak dituntunkan termasuk bid’ah dan dianggap ajaran sesat sebagaimana
disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud
no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Kata Al Hafizh Abu Thohir, sanad hadits ini shahih.
Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan
hadits ini shahih). Begitu pula yang termasuk bid’ah adalah melakukan
dzikir dan do’a bersama. Karena amalan semacam ini tidak pernah dipraktekkan
oleh Nabi dan para sahabat.
Begitu pula ritual mendoakan pensil supaya jadi ampuh ketika ujian, pun
tidak berfaedah jika tidak mau belajar. Bagaimana mungkin mengharap dari pensil
sedangkan si murid pun baru menjelang hari H ujian belajar semalam suntuk atau
menempuh SKS (sistem kebut semalam). Jika seperti itu, mustahil ia bisa
berharap ampuhnya pensil.
Yang lebih parah lagi jika sampai melakukan syirik dengan meminta pada kubur
sunan atau wali. Karena ketika menjelang hari H ujian, ada sebagian siswa
berseragam lengkap yang pergi ke salah satu kuburan sunan untuk berziarah. Ada
beberapa kemungkinan yang bisa terjadi:
- Ia bertawassul lewat perantaraan wali dengan menyerahkan tumbal dan syarat supaya terpenuhinya hajat atau berisi permintaan do’a pada wali, ini termasuk syirik besar.
- Ia bertawassul lewat perantaraan wali cuma tetapi maksud do’a adalah pada Allah, wali hanya sebagai perantara, ini termasuk bid’ah dan perantara menuju syirik.
- Ia menganggap lebih afdhol berdo’a di kuburan wali tersebut, ini juga termasuk bid’ah dan perantara menuju syirik.
Kalau yang ia lakukan syirik besar, maka seluruh amalan kebaikannya
terhapus, ia keluar dari Islam dan di akhirat kelak akan kekal di neraka.
Disebutkan dalam ayat Al Qur’an,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka
amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 88).
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ
أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah
ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah: 72).
Orang Musyrik di Masa Silam Masih Lebih Mending
Kalau kita mau melihat tingkah laku kesyirikan saat ini, ternyata sangat
parah dibanding kesyirikan di masa silam. Di masa silam, orang musyrik berbuat
syirik hanya ketika lapang. Sedangkan ketika mereka dalam keadaan terjepit,
mereka berdo’a dan meminta hanya pada Allah. Namun coba lihat keadaan manusia
saat ini, ketika susah, ketika lapang pun, mereka tetap berbuat syirik.
Termasuk pula ketika susah saat ujian, kok masih berharap pada selain Allah,
bahkan sampai melakukan syirik akbar yang dapat membatalkan keislamannya.
Bukti bahwa kesyirikan di masa silam masih lebih mending daripada kesyirikan
saat ini dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berikut,
أَنَّ مُشْرِكِيْ زَمَانِنَا أًغْلَظُ شِرْكـًا مِنَ
الأَوَّلِيْنَ، لأَنَّ الأَوَّلِيْنَ يُشْرِكُوْنَ في الرَّخَاءِ وَيُخْلِصُوْنَ
في الشِّدَّةِ، وَمُشْرِكُوْا زَمَانِنَا شِرْكُهُمْ دَائِمٌُ؛ في الرَّخَاءِ
وَالشِّدَّةِ. وَالدَّلِيْلُ قَوُلُهُ تَعَالَى: فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ
دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ
إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ [العنكبوت:65].
Kesyirikan di zaman kita
betul-betul lebih parah daripada kesyirikan pada zaman dulu. Karena orang-orang
musyrik dahulu berbuat syirik di saat lapang, sedangkan mereka mengikhlaskan
ibadah kepada Allah ketika dalam kondisi sempit. Namun, orang-orang musyrik
saat ini berbuat syirik di sepanjang waktu, baik ketika lapang maupun sempit.
Dalil hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka apabila
mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba
mereka (kembali) mempersekutukan-Nya.” (QS. Al ‘Ankabut [29] :65)
Kenapa Tidak Berusaha Keras untuk Belajar?
Kalau memang yang ditempuh sistem kebut semalam, mustahil bisa meraih hasil
maksimal. Beda hasilnya, jika yang ditempuh adalah belajar dari jauh-jauh hari.
Kalau cara terakhir yang dilakukan, tentu saja akan menuai hasil sesuai
harapan. Coba lihat perkataan ulama masa silam yang bernama Al Junaid, ia
berkata,
ما طلب أحد شيأ بجد وصدق إلا ناله فإن لم ينله كله نال
بعضه
“Tidaklah seseorang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh
kesungguhan, pasti ia akan memperolehnya. Kalau ia tidak memperoleh seluruhnya,
ia pasti mendapatkan sebagian.” (Dinukil dari Ta’zhimul ‘Ilmi, guru kami
Syaikh Sholih Al ‘Ushoimi)
Tawakkal Sudah Jadi Kunci Utama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3 kepada Abu Dzar Al Ghifariy yaitu ayatnya,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Lalu beliau
berkata padanya,
لَوْ أَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا
لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi
mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan
bertawakkal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka.
(Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 516).Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang menyandarkan diri pada Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat dan terlepas dari kemudhorotan, dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah yang akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang Maha Mencukupi (Al Ghoniy), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (Al ‘Aziiz) dan Maha Penyayang (Ar Rohiim), maka hasilnya pun akan baik dari cara-cara lain. Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun diakhirkan sesuai dengan waktu yang pas.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 870).
Tawakkal itu menyandarkan hati pada Allah agar dimudahkan urusan dan tetap menempuh usaha yang halal. Jadi biar mendapat hasil maksimal, sandarkan diri pada Allah dengan perbanyak do’a ditambah dengan usaha keras dalam belajar.
Bagaimana Jika Tidak Memperoleh Hasil Sesuai Harapan?
1- Yakinilah takdir Allah dan setiap takdir Allah pasti ada hikmahnya.Allah Ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا
وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ (115) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ
الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ (116)
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?
Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan
(Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al Mu’minun: 115-116)2- Ketahuilah, manusia memang akan selalu diuji, sesuai dengan tingkatan iman
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ
عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ
كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ
الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ
خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan
diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh),
maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji
sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan
hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR.
Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad 1: 185.
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402
mengatakan bahwa hadits ini shahih)3- Ingatlah, di balik kegagalan pasti ada kesuksesan.
Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy
Syarh: 5)Ayat ini pun diulang setelah itu,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy Syarh:
6). Qotadah mengatakan, “Diceritakan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memberi kabar gembira pada para sahabatnya dengan
ayat di atas, lalu beliau mengatakan,
لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ
“Satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”
(Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya. Lihat Tafsir
Ath Thobari, 24: 496, Dar Hijr)4- Hadapilah kegagalan dengan bersabar.
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
الصَّبْرُ مِنَ الإِيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ
الجَسَدِ، وَلَا إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَبْرَ لَهُ.
“Sabar dan iman adalah bagaikan kepala pada jasad manusia. Oleh
karenanya, tidak beriman (dengan iman yang sempurna), jika seseorang tidak
memiliki kesabaran.” (Bahjatul Majalis wa Ansul Majalis, Ibnu ‘Abdil
Barr, hal. 250, Mawqi’ Al Waroq)Yang dimaksud dengan bersabar adalah menahan hati dan lisan dari berkeluh kesah serta menahan anggota badan dari perilaku emosional seperti menampar pipi dan merobek baju. (Lihat ‘Uddatush Shobirin wa Zakhirotusy Syakirin, hal. 10)
5- Yakinlah pahala besar di balik kesabaran yaitu surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى
“Yang namanya sabar seharusnya dimulai ketika awal ditimpa musibah.”
(HR. Bukhari no. 1283, dari Anas bin Malik). Itulah sabar yang sebenarnya.
Sabar yang sebenarnya bukanlah ketika telah mengeluh lebih dulu di awal
musibah.6- Ucapkanlah “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa”, pasti ada ganti yang lebih baik
Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ
عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا
إِلاَّ أَجَرَهُ اللَّهُ فِى مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا ».
قَالَتْ فَلَمَّا تُوُفِّىَ أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِى رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِى خَيْرًا مِنْهُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna
lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii
khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali
pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah ang menimpaku dan berilah
ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam
musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah
(suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang lebih
baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Muslim no. 918)Semoga Allah beri hidayah.
—
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 4 Jumadal Akhiroh 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste
atau mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan muslim.or.id
sebagai sumber artikel
No comments:
Post a Comment