Oleh Muhamad Karyono
Lebih satu dekade terakhir ini dakwah
salafiyah berkembang pesat di tanah air. Esensi dari dakwah tersebut
adalah sebuah seruan kepada segenap kaum muslimin untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Al-Sunnah berdasarkan pemahaman generasi awal umat
(salafus saleh). Ditinjau dari sisi historis, gerakan salafiyah bukan
hal baru dalam dinamika dakwah di tanah air. Awal abad XIX, di tanah
Minang berkembang gerakan pemurnian Islam oleh kaum Paderi sebagai
pengaruh langsung dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tamimi
rahimahullâh di Semenanjung Arabia.
Gerakan Paderi sebagai
perlawanan militer memang berhasil dipatahkan oleh pemerintah colonial
Belanda. Namun gerakan Paderi sebagai satu upaya pembaharuan Islam
justru makin berkembang ke seantero negeri. Sepeninggal Tuanku Imam
Bonjol, gerakan pembaharuan Islam dilanjutkan oleh satu kelompok yang
disebut sebagai Sumatera Thawalib. Salah satu tokoh terkenal dari
Sumatera Thawalib adalah Haji Abdul Karim yang merupakan ayahanda Prof.
Dr. HAMKA.
Awal abad XX, bebarengan dengan lahirnya
kebangkitan nasional, gerakan pembaharuan Islam turut pula
bertransformasi ke dalam berbagai wadah organisasi modern seperti
Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Dengan memanfaatkan satu pola
pengorganisasian modern, dakwah pemurnian Islam pun meluas hingga skala
nasional. Akan tetapi dalam perjalanannya sebagian dari
organisasi-organisasi Islam tersebut justru melupakan khittahnya sebagai
gerakan dakwah yang memprioritaskan penegakan tauhid. Muhammadiyah
misalnya. Bila di masa KH. Ahmad Dahlan organisasi tersebut sangat
identik dengan slogan ‘pemberantasan TBC (takhayul, Bid’ah, dan
Khurafat)’ maka saat ini sebagian tokoh Muhammadiyah telah terhinggapi
penyakit ‘sepilis’ (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme). Amien
Rais, mantan ketua umum Muhammadiyah pernah mengatakan bahwa ‘baju Islam
terlalu sempit baginya’. Sedangkan tokoh-tokoh Muhammadiyah lain
semacam Dawam Raharjo dan Moeslim Abdurrachman malah terang-terangan
mendukuang Islam liberal. Jika kita cermati, gejala demikian muncul
sebagai akibat beralihnya kendali nakhoda organisasi dari golongan ulama
ke golongan cendekiawan. Maka tak mengherankan, makna pembaharuan yang
semula ditafsirkan sebagai upaya mengembalikan Islam kepada pemahaman
Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang murni, dibelokkan oleh para cendekiawan
tersebut menjadi upaya ‘rekonstruksi ajaran Islam untuk disesuaikan
dengan tuntutan zaman’. Celakanya, ‘mazhab’ Islam liberal buah dari
rekonstruksi para cendekiawan itu tak jua mampu menjawab tantangan zaman
sebagaimana yang mereka cita-citakan. Umat Islam tetap saja tertinggal
dalam segala bidang.
Sementara itu, sejumlah organisasi Islam
lainnya yang semula berorientasi dakwah justru berubah haluan menjadi
gerakan politik. Dakwah tauhid pun pelan-pelan ditinggalkan dan diganti
dengan dakwah politik. Kajian tafsir Al-Quran semisal tafsir Ibnu Katsir
diganti dengan kajian kitab-kita karangan Sayid Qutub dan Hasan al-Bana
yang membahas tentang fiqhul waqi’. Alhasil, para aktivis
dakwah lebih disibukkan dengan persoalan ‘konspirasi Yahudi’ ketimbang
persoalan ‘kemusyrikan umat’. Bila di kalangan liberal, pembaharuan
Islam dimaknai sebagai ‘rekonstruksi Islam sesuai tuntutan zaman’ maka
di kalangan aktivis pergerakan (harakah), pembaharuan Islam dimaknai
sebagai upaya mengembalikan kekuasaan ke tangan umat Islam.
Pada saat pergulatan pemikiran antargolongan
dalam Islam mencapai puncaknya, dakwah salafiyah tampil sebagai pelurus
makna pembaharuan. Dalam kaca mata salafi, kejayaan umat Islam hanya
dapat diraih bilamana kaum muslimin kembali pada pemahaman generasi awal
umat ini yang merupakan generasi terbaik. Hal itu sebagaimana bunyi
sebuah ungkapan, ‘tidaklah umat ini menggapai kejayaan, melainkan dengan
apa-apa yang membuat pendahulu mereka meraih kejayaan’. Sejarah
mencatat bahwa Rasulullah memulai dakwahnya dengan memurnikan tauhid,
bukan dengan merebut kekuasaan dari tangan Abu Jahal dan Abu Lahab. Buah
dari dakwah tauhid tersebut adalah tegaknya pemerintahan Islam yang
wilayahnya terbentang dari Jazirah Arab hingga Andalusia dalam rentang
kurang dari satu abad. Terkait persoalan kemunduran umat Islam dalam
berbagai bidang dewasa ini, kaum salafi berpandangan bahwa untuk
mengobati ‘penyakit umat’ yang sudah sedemikian kronis tersebut
hendaklah dimulai dari akidahnya. Bila dengan kekuatan tauhid bangsa
Arab sukses bertransformasi dari bangsa yang terlupakan menjadi pusat
peradaban dunia, maka hanya dengan resep yang sama pula umat Islam di
era modern ini bakal bangkit dari ketertinggalan mereka.
Konsep dakwah salafi yang begitu simpel
tersebut telah menyadarkan kesadaran keberagamaan kaum muda secara
kolektif untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam waktu yang
relatif singkat, dakwah salafiyah mendapat sambutan luas dari segenap
lapisan masyarakat. Di kampus-kampus hingga instansi pemerintah dan
swasta, kajian salafi marak digalakkan. Hasilnya, kita melihat banyak
saudara-saudara kita dari kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta,
pedagang dan kalangan lainnya yang dengan bangga menampakkan syiar
keislamannya, seperti berjenggot dan bercelana ngatung bagi kaum pria
atau berjilbab besar bagi kaum Hawa.
Berjenggot dan Bercelana Ngatung Belum Tentu Salafi
Pesatnya perkembangan dakwah salafiyah di Indonesia
membuka mata para aktivis pergerakan Islam soal pentingnya sepirit
‘kembali kepada sunnah’. Dengan kata lain, dakwah salafiyah sudah
dianggap sebagai satu tren yang terus mendapatkan tempat di hati
masyarakat. Alhasil, banyak ormas-ormas Islam yang menyadari pentingnya
‘corak salafi’ dalam warna dakwah mereka untuk menarik simpati kalangan
luas. Akibatnya, muncullah sejumlah ormas yang sebetulnya metode dan
visi dakwah mereka bertentangan dengan manhaj salaf, akan tetapi dalam
ranah akidah mereka mengklaim menerapkan pemahaman salafus saleh.
Contohnya, saat ini terdapat organisasi pergerakan Islam yang menyerukan
pemberantasan kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan khurafat serta
berpenampilan fisik sebagaimana ikhwan salafi (berjenggot, bercelana
ngatung, dsb) tetapi di sisi lain mereka membolehkan demonstrasi,
anarkistis, dan tindakan provokatif menebar kebencian terhadap
pemerintah. Padahal, manhaj salaf sendiri mengajarkan bahwa ketaatan
terhadap waliyul amri (pemerintah) adalah termasuk bagian dari
akidah. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh para ulama salaf seperti
Imam mazhab yang empat. Imam Ahmad misalnya, pernah diburu oleh pasukan
khalifah Al-Makmun yang bepaham Muktazilah lantaran beliau sangat gigih
membela akidah Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah
kalamullah, bukan makhluk (sebaliknya paham Muktazilah yang dianut
Khalifah Al-Makmun mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk). Meski Imam
Ahmad meyakini tentang kebenaran pendiriannya, serta memiliki banyak
pengikut tapi beliau tidak menghasut rakyat untuk melawan penguasa yang
sesat. Beliau tetap berpegang teguh pada akidah Ahli Sunnah tentang
wajibnya taat kepada penguasa muslim, demi kemaslahatan yang jauh lebih
besar. Nah, bila Imam Ahmad saja tidak memberontak dan tidak menghasut
rakyat untuk melawan penguasa yang jelas-jelas menyimpang akidahnya,
adakah layak mereka yang mengklaim sebagai aktivis dakwah menebarkan
kebencian terhadap pemerintah yang sangat mungkin bertindak menyimpang
semata-mata karena jahil atau bodoh? Adakah maslahat yang dipetik oleh
umat Islam ketika sebagian ‘aktivis dakwah’ berteriak-teriak di jalanan,
bertindak anarkis dengan melempari bar dengan batu dan merazia diskotik
dengan gaya preman? Sama sekali tidak ada. Yang ada justru timbul
kesalahpahaman dari orang-orang nonmuslim, seakan-akan Islam identik
dengan anarkis, Islam lebih mengutamakan dakwah dengan otot ketimbang
dengan kelembutan, dan sederet stigma negatif lain yang timbul lantaran
salah persepsi gara-gara ulah segelintir oknum. Parahnya lagi,
seringkali muncul kesan dari orang-orang di luar kelompok tersebut (baik
muslim atau nonmuslim) bahwa mereka yang tergabung dalam organisasi
anarkis berkedok Islam tersebut hanyalah gerombolan para penganggur yang
frustasi, yang menumpahkan kefrustasiannya lewat anarkisme berkedok
agama.
Mungkin, banyak dari saudara-saudara kita
yang tergabung dalam ‘organisasi preman berkedok agama’ tersebut
beranggapan bila apa yang mereka lakukan (berupa razia diskotik, tempat
hiburan, dsb) merupakan aplikasi dari hadis Nabi SAW yang memerintahkan
umat Islam untuk memberantas kemungkaran dengan tangan, bila tidak mampu
hendaklah dengan lisan, dan bila tidak mampu juga hendaklah dengan
mengingkarinya dalam hati. Benarkah demikian? Sekali-kali tidak. Maksud
dari mengubah kemungkaran dengan tangan adalah memberantas segala bentuk
kemaksiatan dan penyimpangan dengan power (kekuasaan). Yang punya
kekuasaan hanyalah pemerintah, bukan ormas tertentu. Sebagai
perbandingan, dalam sebuah hadis Rasulullah SAW tidak memarahi seorang
Arab Badui yang kencing di dalam masjid karena kebodohannya. Rasulullah
SAW hanya memerintahkan para sahabatnya untuk menyiram bekas kencing itu
dengan air. Bila Nabi SAW lebih mengutamakan dakwah dengan kelembutan,
adakah layak kita sebagai umatnya lebih mengutamakan dakwah dengan
cara-cara kasar?
Kemudian terkait dengan demonstrasi yang oleh
sebagian ‘aktivis dakwah’ sering dimaknai sebagai bagian dari ‘mengubah
kemungkaran dengan lisan’, maka sungguh, apa yang mereka lakukan adalah
justru salah satu bentuk kemungkaran. Dan tidak syak lagi, kelompok
yang pertama kali melakukan demonstrasi dalam Islam adalah kaum khawarij
(sekte sesat dalam Islam yang gemar mengkafirkan kelompok di luar
mereka). Dalam sejarah, kelompok khawarij ini melakukan demonstrasi
dengan mengepung rumah Khalifah Usman bin Affan yang berujung pada
pembunuhan amirul mukiminin. Dengan demikian, para ‘aktivis
dakwah’ yang hobi demonstrasi di jalanan, hakikatnya mereka itu
melestarikan sunnah kaum khawarij yang sesat.
Oleh karena itulah, kita harus membedakan
aktivis ormas yang penampilan fisiknya menunjukkan kesalehan (bergamis,
berjenggot, bercelana ngatung, dsb) namun perilakunya barbar dengan
mereka yang memang benar-benar salafi. Seorang yang benar-benar salafi,
tak hanya meneladani Nabi SAW dan sahabatnya dalam hal berpakaian
belaka. Terpenting, mereka juga meneladani Rasulullah SAW dalam hal
akidahnya, akhlaknya, dan metode dakwahnya. Munculnya fenomena
kelompok-kelompok tertentu yang secara penampilan fisik sama persis
dengan ikhwan salafi namun akhlak dan metode dakwahnya bertentangan
dengan manhaj salafus salih, justru membuka pintu lebar-lebar bagi
mereka yang alergi dengan dakwah sunnah tersebut (terutama kaum liberal
dan para ‘kyai’ yang hobi menyiarkan bid’ah bahkan kemusyrikan dan gemar
dikultuskan, karena ‘sang kyai’ khawatir kedudukan serta posisinya yang
‘terhormat’ bakal jatuh manakala umat benar-benar menjalankan sunnah
Nabi SAW secara benar) untuk melempar opini publik yang mendiskreditkan
dakwah tauhid. Mereka bakal santer berkoar-koar dengan berteriak,
“lihatlah! Mereka yang mengklaim diri sebagai pendakwah sunnah ternyata
gemar berbuat anarkis. Sedangkan kami, yang menjunjung tinggi Islam
multikultural selalu tampil adhem ayem!” Teriakan semacam itu muncul
akibat adanya kelompok-keompok yang ‘membajak salafi’. Mereka
berpenampilan fisik seperti salafi, tapi kelakuannya dan metode
dakwahnya bertentangan 1800 dengan manhaj salaf. Dengan demikian dapat disimpulkan:
· Bila
ada kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung
tetapi mendukung terorisme maka mereka bukan salafi kerena salafus saleh
(Sahabat Nabi tabi’in, dan tabiut tabi’in) tidak pernah melakukan
terror di tengah-tengah masyarakat.
· Bila ada
kelompok yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung
tetapi melakukan perusakan gereja dan menghalalkan darah orang-orang
kafir di Indonesia maka mereka bukan salafi karena Rasulullah dan para
sahabatnya tidak pernah menyakiti orang-orang kafir dzimmi (orang
nonmuslim minoritas yang hidup dalam perlindungan pemerintah Islam).
Rasulullah dan para sahabatnya juga melarang pasukan Islam merusak
gereja, membunuh pendeta dan rahib, serta merusak lahan pertanian ketika
menyerang tentara kafir di wilayah mereka. Nah, bila dalam kondisi
perang dan di negara kafir saja Nabi SAW melarang menhancurkan gereja
serta melarang membunuh rahib dan pendeta, apalagi di Indonesia yang
negara muslim dan dalam kondisi damai pula.
· Bila ada kelompok
yang meskipun bergamis, berjenggot, dan bercelana ngatung tetapi hobi
berdemonstrasi, hobi merazia diskotik dan tempat hiburan dengan
kekerasan maka mereka bukan salafi karena Rasulullah dan sahabatnya
tidak pernah menyampaikan dakwah dengan jalan demonstrasi. Di samping
itu manhaj salaf senantiasa memegang prinsip menghindari mudharat yang
lebih besar. Terkait soal diskotik dan tempat hiburan, ketika para
‘aktivis dakwah’ tersebut melakukan razia dengan gaya
preman maka kita lihat, setelah itu tempat hiburan hanya tutup sebentar
dan buka lagi. Sebaliknya aksi razia mereka yang penuh nuansa kekerasan
diliput media sehingga tersebar secara luas. Dengan begitu, aksi para
‘aktivis dakwah’ itu justru tidak bisa menghentikan kemungkaran.
Sebaliknya, metode razia mereka yang mirip preman itulah yang malah
tersebar luas lewat layar kaca dan ditonton banyak orang sehingga
menimbulkan kesan negatif terhadap Islam. Jadi, dakwah gituan bukanlah
metode salaf karena menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar dari
maslahatnya.
Salafiyah Adalah Islam yang Diamalkan Rasulullah SAW dan Sahabatnya
Lantas siapa sih salafi itu? Salafi sendiri
berasal dari kata ‘salaf’ yang artinya adalah pendahulu (maksudnya
pendahulu umat Islam, yakni golongan Sahabat Nabi, tabi’in, dan tabiut
tabi’in). Dengan demikian, salafi adalah orang-orang yang memahami dan
mengamalkan ajaran Islam sebagaimana pemahaman salafus saleh. Kenapa
mengikuti salafus saleh? Karena mereka adalah generasi terbaik
sebagaimana sabda Nabi SAW, “Generasi terbaik adalah mereka yang hidup di zamanku, kemudian sesudahnya lagi, kemudian sesudahnya lagi.”
Jadi, gampangnya salafi adalah mereka yang memahami Islam sebagaimana
pemahaman generasi awal umat ini. Aplikasinya, dalam hal akidah dan
ibadah mereka senantiasa berpatokan pada apa yang diyakini dan diamalkan
oleh salafus saleh. Contoh, jika para Sahabat Nabi dulu tidak melakukan
perayaan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari, maka kaum
salafi sekarang pun tidak melakukannya. Bila para Sahabat Nabi dulu
tidak melakukan ruwatan maka kaum salafi sekarang pun tidak
menjalankannya. Bila para sahabat Nabi dulu waktu melakukan pernikahan
tidak melakukan perhitungan njlimet demi mencari hari baik,
maka kaum salafi sekarang pun tidak melakukan yang demikian. Bila para
Sahabat Nabi dulu tidak melakukan salawatan dengan berteriak-teriak
keras di antara waktu azan dan iqamah, maka kaum salafi sekarang pun
tidak melakukannya. Tapi dalam masalah keduniaan (muamalah), kaum salafi
boleh-boleh saja mengikuti perkembangan zaman sebagaimana sabda Nabi
SAW bahwa kita (umat Nabi SAW) lebih memahami masalah-masalah keduniaan
kita. Contohnya, bila para Sahabat Nabi dulu pergi haji dengan naik
unta, maka tidak masalah bila kaum salafi sekarang pergi haji naik
pesawat. Bila dulu para Sahabat Nabi berdakwah dengan lisan tanpa
bantuan pengeras suara, maka tidak masalah bila kaum salafi sekarang
berdakwah dengan pengeras suara atau laptop.
Lantas apa bedanya salafi dengan ahli sunah
wal jama’ah? Sebetulnya, salafiyah adalah nama lain dari ahli sunah wal
jamaah. Bila istilah ahli sunnah wal jamaah merujuk pada hadis Nabi SAW
yang menyebutkan tentang golongan yang selamat di antara 73 golongan,
maka istilah salafi merujuk pada para pendahulu umat ini yang senantiasa
menjaga akidah dan ibadahnya sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Bila kita
runut ke belakang, pemunculan istilah ahli sunnah (orangnya disebut
sunni) sendiri terjadi setelah di dunia Islam muncul berbagai macam
sekte menyimpang semisal Khawarij, Muktazilah, Qadariyah, Syi’ah,
Murjiah, dan lain sebagainya. Nah, istilah Ahli sunnah dimunculkan untuk
membedakan kaum muslimin yang tetap berpegang teguh dengan Al-Quran dan
Al-Sunnah dengan kelompok-kelompok sempalan tersebut. Namun seiring
waktu, ternyata mereka yang mengklaim sebagai Ahli sunnah wal jamaah
tersebut banyak pula yang gemar menyebarkan beraneka bid’ah. Oleh karena
itu, buat membedakan antara golongan Ahli sunnah yang tetap berpegang
teguh dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagaimana pemahaman salafus saleh
dengan mereka yang hanya mengklaim diri sebagai Ahli Sunnah tapi
nyatanya justru ahli bid’ah, maka muncullah istilah salafi. Seorang
salafi sejatinya adalah seorang Ahli sunnah wal jamaah yang istiqomah.
Sebaliknya mereka yang mengaku Ahli Sunnah (bahkan mencantumkannya dalam
AD/ART organisasi) tapi hobi berziarah ke makan wali untuk minta berkah
serta gemar melakukan bid’ah, maka ketahuilah bahwa mereka sama sekali
bukan Ahli Sunnah. Jadi, sejatinya salafi adalah Ahli Sunnah, atau
golongan yang selamat. Jadi, orang yang menisbatkan diri sebagai salafi
maka maksudnya ia telah mengikrarkan diri untuk mengamalkan ajaran Islam
berdasarkan manhaj salaf. Sama halnya ketika kita dengan bangga
mengatakan,”saya seorang Muslim”, maka hakikatnya adalah kita berikrar
bahwa kita akan berusaha menjalankan ajaran Islam dengan
sebaiknya-baiknya. Dengan demikian, siapapun yang berusaha untuk
menjalankan ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagaimana
pemahaman salafus saleh dalam segenap lini kehidupan, sesungguhnya ia
adalah seorang salafi.
Lantas kenapa kok saat ini salafi seperti sebuah kelompok yang
berbeda dengan kaum muslimin kebanyakan? Ya, karena kaum muslimin
kebanyakan di era sekarang ini tak lagi mengamalkan ajaran Islam yang
benar. Contohnya, ketika saat ini sebagian besar kaum muslimah di tanah
air tidak berjilbab (kalaupun berjilbab biasanya hanya berupa jilbab
gaul yang melilit di leher dan dipadukan dengan kaos dan celana jeans
ketat), maka tatkala ada segelintir kaum Hawa yang berjilbab gedhe, hal
itu dirasa aneh. Ketika mayoritas kaum muslimin menjalankan shalat
fardhu di rumah dan tidak tepat waktu, manakala ada segelintir orang
yang menjalankan shalat wajib dengan berjamaah dan on time di
masjid, itu pun dianggap aneh. Ketika mayoritas pemuda dan pemudi Islam
hobi pacaran, maka tatkala adalah pemuda dan pemudi yang tidak pacaran,
tahu-tahu lamaran dan menikah, itu juga dianggap aneh. Dan lain
sebagainya. Fenomena tersebut telah jauh-jauh diungkap dalam sabda Nabi
SAW,”Islam itu pertama kali dianggap asing dan suatu saat pun akan
kembali dianggap asing. Maka beruntunglah orang-orang yang dianggap
asing itu.” Begitu saja kok!!!
No comments:
Post a Comment