Usaha Palestina untuk menjadi
anggota penuh di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sekali lagi akan
menguji seberapa kuat hubungan Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi, yang
mengalami pasang surut.
Selain
reaksi Israel atas usaha Palestina, perlu dicermati juga bahwa upaya
Palestina untuk bisa mendapatkan pengakuan kenegaraan penuh di PBB akan
mencuatkan kembali pasang suruthubungan ASdan Arab Saudi yang sudah
mengalami kemunduran sejak sebelum peristiwa 11 September 2001 (9/11).
Selama
pekan ini AS dengan tegas menyatakan menolak usaha Palestina untuk
mendapatkan pengakuan kenegaraan secara resmi dari PBB,sementara Arab
Saudi menegaskan mendukung langkah Palestina.Perbedaan pandangan besar
inilah yang lantas membuat hubungan dua sekutu ini menjadi renggang.
Penentangan
Washington terhadap usaha Palestina untuk mendapatkan pengakuan
kenegaraan sekaligus menjadi anggota penuh P B B hanyalah satu dari
setumpuk ketidaksepakatan yang terjadi antara AS dan Arab Saudi, selain
reaksi ter-hadap revolusi Arab hingga harga minyak, yang mengancam salah
satu hubungan aliansi terlama dan paling efektif di dunia itu.
“Kita
melihat meningkatnya hubungan transaksional,” ujar mantan Duta Besar AS
untuk Arab Saudi Chas Freeman, dikutip Asia Times Online. Israel
memainkan peran penting dalam memburuknya hubungan AS dan Arab Saudi.
Menurut Freeman,yang berada di Riyadh selama Perang Teluk pada awal
1990-an,Washington kehilangan kredibilitasnya dengan Riyadh sejak Tel
Aviv mengabaikan permintaan Presiden AS saat itu George W Bush untuk
meredakan represinya terhadap gelombang intifada kedua di Palestina.
Pandangan
ini diamini Profesor Gregory Gause,pakar Saudi di Universitas Vermont.
“Hubungan keduanya sekarang lebih didasarkan pada kepentingan bersama
ketimbang berbagi pandangan yang sama,” ujar dia.“Apa yang menyebabkan
mereka tetap bersama adalah kurangnya alternatif.”
Memburuknya
hubungan itu terlihat dalam tulisan Pangeran Turki al-Faisal, mantan
direktur intelijen Arab Saudi yang juga pernah menjadi duta besar di
Washington dari 2005–2007, yang dipublikasikan di New York Times dengan
judul Memveto satu Negara, Kehilangan satu Sekutu.
Dari
judulnya saja sudah terlihat bahwa Pangeran Turki berusaha
memperingatkan AS, jika Washington tidak mendukung usaha Palestina untuk
menjadi anggota penuh PBB maka “Arab Saudi tidak akan lagi bisa bekerja
sama dengan Amerika dengan cara yang sama yang pernah ditempuhdalam
sejarahnya”.
Pangeran
Turki memperingatkan, satu veto tidak hanya akan mengakibatkan
konsekuensi negatif mendalam bagi hubungan ASArab Saudi, tapi juga akan
menyingkirkan hubungkan (AS) dengan dunia Muslim, memberikekuatanbagi
Iran, dan mengancam keamanan regional.
Kegagalan Kepemimpinan AS
Hubungan
AS-Arab Saudi telah terbina sejak 1930-an dan menjadi lebih kuat selama
Perang Dunia II, ketika Franklin Roosevelt mengumumkan pertahanan Saudi
penting bagi kepentingan AS dan awal Perang Dingin. Hubungan keduanya
utamanya berbasis pada keamanan minyak.
Meski
Riyadh pernah ikut serta dalam embargo minyak Arab pada perang Oktober
1973, kedua negara tetap bekerja sama secara dekat dalam berbagai isu.
Pada awal 1990-an, Arab Saudi menyediakan tempat luncur bagi kampanye
pimpinan AS untuk mengusir Irak dari Kuwait. Washington lantas tetap
mempertahankan militer mereka di kerajaan itu sampai setelah 9/11.
Tapi,
hubungan manis itu tertampar sejumlah masalah ketika Bush berkuasa.
Selain kekecewaan Abdullah–yang saat itu masih duduk sebagai putra
mahkota–terhadap ketidakmampuan Washington mengendalikan aksi Israel di
wilayah Palestina,fakta bahwa 15 dari 19 pelaku pembajakan pesawat
serangan 9/11 yang berkebangsaan Arab Saudi menyebabkan badai publikasi
negatif, terutama terhadap level dukungan swasta Saudi terhadap Al Qaeda
dan beberapa gerakan garis keras lainnya.
Selain
itu,kegagalan pemerintahan Bush merespons secara positif rencana
Abdullah untuk menggalang perdamaian dengan Israel yang diadopsi Liga
Arab pada KTT mereka di Beirut pada 2002 dan invasi AS ke Irak pada 2003
menyebabkan Saudi kian meradang. Invasi yang sangat ditentang Riyadh
yang mengkhawatirkan– dan ternyata benar– bahwa tersingkirnya Saddam
Hussein akan meningkatkan kekuatan dan pengaruh Iran.
Dari
tiga masalah pasca- 9/11, hanya satu–kerja sama terhadap
kontra-terorisme dan usaha terkait untuk mengalahkan Al Qaeda dan
kelompok ekstremis lain, yang membaik secara signifikan dalam hubungan
keduanya. “Mereka tidak hanya membunuh teroris, tapi juga menyerang
ideologi terorisme,” papar Freeman.
“Itu
adalah satu area kerja sama yang bersinar.” Ketika Barack Obama
terpilih sebagai presiden AS, harapan Saudi untuk hubungan yang lebih
baik pun timbul. Apalagi, Obama berulang kali memuji inisiatif
perdamaian Arab. Tapi, dia gagal membujuk Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu untuk menerimanya sebagai dasar negosiasi dengan
Palestina.
“Kami
sangat antusias dengan terpilihnya Obama dan pernyataan kebijakan
awalnya,” ujar Abdulaziz Sager,ketua dan pendiri Pusat Riset Teluk (GRC)
yang dikutip Inter Press Service.“Sayangnya, sekarang pernyataan bahwa
AS akan memveto Palestina (di PBB) telah menyebabkan banyak
kekecewaan.”
Pada
saat yang sama, rencana Obama untuk menarik pasukan AS dari Irak pada
akhir tahun ini dipandang Saudi seperti mengonsolidasikan pengaruh Iran.
“Tidak akan ada lagi negara buffer di Irak,” ujar Mustafa Alani,
Direktur Program Keamanan dan Terorisme GRC.
Pengaruh Revolusi Arab
Sebelum
masalah Palestina muncul,ketegangan hubungan AS-Arab Saudi sudah lebih
dulu dipicu oleh hasil Revolusi Arab. Raja Abdullah dikabarkan secara
pribadi kaget dengan tekanan Obama terhadap Husni Mubarak agar
mengundurkan diri sebagai Presiden Mesir.
Secara
terbuka,Washington dan Riyadh juga terlibat ketidaksepakatan terhadap
penanganan monarki Sunni Bahrain terhadap warganya yang mayoritas Syiah,
terutama setelah 2.000 pasukan Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dikirim
ke Manama untuk mendukung Raja Hamad.
Operasi
itu dipandang sebagai contoh paling dramatis atas apa yang disebut para
analis sebagai agenda “kontrarevolusioner” Saudi di Teluk, kalau tidak
di kawasan yang lebih lebar. “Amerika Serikat punya posisi yang sangat
ambigu (terhadap Revolusi Arab) dan hubungan dengan Arab Saudi sama
sekali tidak membantu,” papar Marina Ottaway,spesialis demokratisasi di
Carnegie Endowment for International Peace.
Di
sisi lain,Freeman mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak
meningkatnya Islamofobia di AS dan Barat atas hubungan mereka dengan
Riyadh. “Perbedaan (kedua negara) mengenai Revolusi politik di dunia
Arab sangat tajam,”ujar dia.
Apalagi,
kekeringan dana akibat paket bantuan multimiliar dolar dari Saudi untuk
kerajaan lain dan rezim konservatif lainnya di kawasan dan juga USD130
miliar dalam subsidi domestik tampaknya diterjemahkan sebagai
meningginya harga minyak global. “Minyak adalah sesuatu yang bisa
menyebabkan ketegangan lebih lanjut di masa depan,” tutur Gause.
Saudi Mulai Lirik Timur
Sebagian
besar pengamat mencatat bahwa ketergantungan Riyadh terhadap senjata AS
dan juga pembelian dolar menunjukkan bahwa sebagian fondasi hubungan
itu tetap sangat bijaksana. Tapi,Washington tak boleh terlalu percaya
diri. Menurut Freeman,Riyadh saat ini terus melirik ke Timur, terutama
untuk hubungan komersial.
Produk
buatan AS dan ekspor lain saat ini mengklaim separuh pasar Saudi,
berkurang dari yang mereka catatkan pada 10 tahun lalu dan Asia Timur
sekarang menghitung separuh dari seluruh penjualan Saudi. China
mengambil alih posisi AS sebagai konsumen minyak utama Saudi saat invasi
Irak yang juga bertepatan dengan penarikan seluruh pasukan AS dari
kerajaan itu. ● alvin
|
Sunday, September 18, 2011
Ujian Hubungan AS-Arab Saudi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment