Friday, September 23, 2011

Upaya Palestina Mendapat Keanggotaan Penuh PBB Jalan Terjal Menuju Merdeka


Oleh A. SAFRIL MUBAH*


UPAYA Palestina mendapat keanggotaan penuh di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bakal menemui jalan terjal. Amerika Serikat (AS) dan Israel hampir pasti menolak proposal Palestina yang rencananya dibahas dalam sidang Majelis Umum PBB pada Jumat besok (23/9). Bahkan, AS mengancam akan menggunakan hak vetonya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB jika ternyata mayoritas negara anggota PBB menyetujui usul Palestina.
AS menganggap langkah Palestina itu mengingkari peta jalan (road map) perdamaian yang telah digagas kuartet AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB pada 2002. Road map tersebut berisi tiga tahap yang harus ditempuh Palestina dan Israel untuk mencapai perdamaian abadi.
Pertama, pada Mei 2003, Palestina harus menghentikan semua bentuk kekerasan dan Israel menghentikan pembangunan permukiman. Kedua, Juni–Desember 2003, konferensi internasional pertama diadakan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan perumusan batas negara Palestina. Ketiga, pada 2004–2005, konferensi internasional kedua diselenggarakan untuk finalisasi batas antarnegara dan kesepakatan untuk mengakhiri konflik.
Namun, realitanya, road map tersebut tidak berjalan mulus. Jalan menuju perdamaian terhenti pada tahap pertama karena Israel hingga kini masih terus membangun dan memperluas permukiman dengan mencaplok wilayah Palestina. Kondisi itulah yang mendorong Presiden Mahmoud Abbas untuk mengajukan usul keanggotaan penuh Palestina di PBB. Harapannya, dengan menjadi anggota penuh PBB, negara Palestina merdeka dapat dengan mudah direalisasikan daripada mengikuti kemauan kuartet untuk melanjutkan negosiasi yang dirasa lebih menguntungkan Israel.

Posisi Tawar
Jika usul tersebut disetujui, bisa dipastikan posisi tawar Palestina akan meningkat. Selama ini, Palestina hanya diakui sebagai entitas dengan status pengamat tanpa hak suara di PBB. Dengan status itu, mereka tidak pernah dianggap sebagai negara seperti halnya 193 anggota PBB lainnya. Akibatnya, otoritas Palestina nyaris tak berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan internasional lain, terutama dengan Israel.
Berbagai macam perundingan yang diadakan menghasilkan kesepakatan timpang yang lebih mengakomodasi kepentingan Israel sebagai negara berdaulat daripada Palestina yang hanyalah entitas kecil tanpa kedaulatan. Ketika Israel melanggar perjanjian, misalnya dengan merebut tanah orang-orang Palestina untuk dimanfaatkan sebagai permukiman, Palestina tidak punya hak untuk mengadukan pelanggaran tersebut ke Mahkamah Internasional. Sebaliknya, Israel bisa bersuara lantang di berbagai forum dunia ketika orang-orang Palestina melawan militer Israel yang merebut hak-hak mereka.
Ketimpangan itulah yang tidak ingin diderita Palestina pada masa depan. Bagi Abbas, pengakuan PBB merupakan syarat mutlak untuk menempatkan Palestina sejajar dengan Israel dan negara-negara lain. Dengan berdiri sama tinggi, Palestina bakal memiliki kekuatan lebih besar untuk menuntut hak-hak yang direbut Israel. Kondisi itulah yang sesungguhnya dikhawatirkan AS dan Israel.
Dua negara tersebut tidak ingin daya tawar Palestina semakin kuat dalam proses negosiasi. Mereka berkepentingan untuk terus membuat Palestina tidak berdaya selama masih berunding dengan Israel. Mereka takut, jika Palestina semakin kuat, tuntutan-tuntutan yang diajukan terhadap Israel bakal sulit dihadang. Salah satu tuntutan itu adalah pengembalian wilayah Palestina sesuai dengan batas teritorial 1967.
Sampai kapan pun, Israel tidak akan mau mengembalikan wilayah seperti yang disepakati pada 1967 tersebut. Israel telah merasa sangat aman dan nyaman dengan wilayahnya sekarang yang banyak menganeksasi wilayah Palestina pasca-1967. Wilayah Israel tidak bakal terusik selama Palestina tetap berstatus bukan negara. Karena itu, Israel pasti menggunakan segala cara untuk menghadang jalan Palestina menjadi anggota penuh di PBB.

Dukungan Dunia
Di tengah ancaman veto AS, dukungan dunia tentu sangat diharapkan Palestina. Sekarang merupakan momentum bagi negara-negara di dunia untuk mendukung Palestina mencapai cita-cita sebagai negara merdeka. Israel kini sedang melemah setelah ditinggal Mesir dan Turki yang merupakan sekutu utamanya di Timur Tengah.
Peralihan kekuasaan di Mesir dari Hosni Mubarak ke Omar Sulaiman telah semakin menjauhkan hubungan Mesir dan Israel yang semula sangat dekat sejak perjanjian Camp David 1979. Keengganan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu untuk meminta maaf atas penyerangan terhadap misi kemanusiaan Mavi Marmara berdampak pada keputusan Turki untuk menarik mundur duta besarnya di Israel. Selain itu, Arab Saudi yang selama ini selalu mengikuti kemauan AS telah memberikan sinyal mendukung proposal Palestina.
Di luar negara-negara itu, masyarakat internasional sesungguhnya juga mendukung kemerdekaan Palestina. Hal tersebut terbaca dari jajak pendapat yang dilakukan BBC di 19 negara pada Juli–Agustus 2011. Survei via telepon itu mencatat adanya 49 persen warga dunia yang mendukung dan 21 persen yang menolak Palestina merdeka. Hanya, polling tersebut tidak akan ada artinya tanpa upaya serius dari negara-negara untuk meredam rencana AS menggunakan hak vetonya di DK PBB.
Karena itu, tindakan mendesak yang perlu dilakukan negara-negara pendukung Palestina saat ini adalah mengintensifkan lobi untuk meraup dukungan suara mayoritas di sidang Majelis Umum PBB. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara besar yang selama ini mendukung perjuangan Palestina harus berdiri di garda terdepan untuk merealisasikan misi tersebut. Tidak cukup hanya berkomentar, para diplomat Indonesia harus memanfaatkan posisi negara ini sebagai ketua ASEAN dan anggota G-20 untuk memengaruhi negara-negara lain agar menyetujui usul keanggotaan penuh Palestina di PBB.
www.radarjogja.co.id

Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment