Al Aghwaat dengan bentuk tunggalnya Agha adalah istilah untuk
sekumpulan orang yang mengabdi di dua tanah suci (Makkah dan Madinah).
Akan tetapi mereka dikebiri dan tidak memiliki syahwat. Asal usul mereka
dari Afrika. Dahulu, beberapa kabilah dari Habasyah mengebiri anak cucu
mereka dan menjadikan mereka sebagai hadiah untuk dua tanah suci agar
mengabdi di sana. Walaupun mereka bersalah dalam masalah ini, akan
tetapi mereka memiliki andil dalam mengabdi di dua tanah suci. Siapakah
mereka dan bagaimana kisah mereka? Akan kami ceritakan kepada para
pembaca Majalah Qiblati yang budiman.
Asal Muasal Kata Agha
Istilah Agha pertama kali digunakan pada masa-masa
pemerintahan Ustmaniyyah oleh para pembesar, tuan tanah dan pemimpin
pelayan di rumah atau istana. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
melakukan tugas-tugas kemiliteran, sehingga mereka dijuluki dengan agha.
Istilah ini juga digunakan kepada para pelayan istana yang telah
dikebiri. Setelah itu, istilah ini digunakan secara khusus bagi para
pelayan di dua tanah suci.
Sejarah Aghawaat
Sejarah aghawaat tidak terlepas dari masa Muawiyyah bin
Abi Sufyan t. Dialah yang pertama kali mengangkat seorang pelayan untuk
ka’bah yang mulia dari kalangan hamba. Adapun yang pertama kali
mengangkat pelayan ka’bah dari kalangan orang yang dikebiri adalah Yazid
bin Muawiyah walaupun ada ahli sejarah lain yang menyebutkan bahwa yang
pertama kali mengangkat aghwaat di Masjidil Haram adalah Khalifah
‘Abbasiyyah Abu Ja’far al Manshur. Dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Adapun aghwaat untuk Masjid Nabawiy, maka sejarahnya
tidak lepas dari masa Raja Yang Suka Menolong, Sholahuddin Yusuf bin
Ayyub (yang biasa dikenal dengan sebutan Shalahuddin al-Ayyubi) 568 H/
1172 M. Dialah yang pertama kali menetapkan orang yang dikebiri untuk
mengabdi di Masjid Nabawiy.
Tugas Mereka di Masjidil Haram
Di antara tugas mereka adalah menjaga keamanan,
mendampingi orang-orang yang tawaf dengan memisahkan antara yang
laki-laki dan perempuan, menemani imam masjid, mencuci ka’bah dan
Masjidil Haram, membersihkan tempat tawaf, membersihkan Masjidil Haram
dan sisa mandi. Dahulu kala ketika Masjidil Haram belum menggunakan
listrik, mereka bertanggung jawab menurunkan pelita (lampu), mengisinya
dengan minyak dan menggantungkannya kembali. Mereka juga bertanggung
jawab mencuci dan mengusap, serta menyalakannya ketika waktu sahur.
Tugas Mereka di Masjid Nabawiy
Menjaga masjid ketika siang hari dan langsung menutup
pintu-pintunya, bermalam di sana untuk menjaganya, berkeliling setelah
mendirikan shalat isya dengan membawa pelita (lampu) untuk mencari
orang-orang yang dianggap mencurigakan dan mengusirnya, membukakan
pintu-pintu bagi para muadzin, menjauhkan para wanita ketika menutup
pintu-pintu masjid, menyapu masjid, raudhoh dan hujroh (kamar Nabi)
setiap hari Jum’at, membersihkan dinding setiap tahun dan menyiapkan
karpet Amir Madinah (Gubernur Madinah).
Adapun pada saat ini, tugas pokok mereka ada empat, yaitu :
- Turut serta menerima kedatangan raja dan para utusan yang menemaninya.
- Melayani para tamu kerajaan, seperti para pemimpin negara, para menteri dan yang mengikuti mereka, di mana mereka menyiapkan tempat sujud para tamu tersebut dan menghidangkan air zam zam bagi mereka.
- Memisahkan wanita dari laki-laki ketika tawaf dan melarang para wanita tawaf sesudah adzan dikumandangkan.
- Di masjid Nabawiy, aghwaat bertugas mengharumkan roudhoh, membersihkan kamar Nabi, membukakan kamar untuk para tamu ketika ada keperluan, menerima tamu kerajaan di pintu salam, menemani mereka hingga mereka meninggalkan Masjid Nabawy.
Pakaian Para Aghwaat
Para aghwaat menggunakan pakaian tertentu yang membedakan
mereka dengan yang lain. Ibnu Bathutah pernah menggambarkan mereka
dalam perjalanannya : “Mereka (aghwaat) berpenampilan sangat baik, rupa
yang bersih, pakaian yang rapih, pemimpin mereka dikenal dengan sebutan
Syaikhul Haram, dia berpenampilan layaknya para pembesar.” (Rihlah Ibnu
Bathutah, Tuhfah an Nadhor, hal 121)
Pada masa-masa pemerintahan Utsmaniyyah, para aghwaat
menggunakan mantel dari Istanbul, pakaian yang besar dan diikat dengan
sabuk, mereka membawa tongkat panjang dan menggunakan penutup kepala.
Hal ini masih berlaku hingga sekarang. Dahulu, para aghwaat sangat tegas
dalam berpakaian, dan jika ada seorang di antara mereka yang
menggunakan pakaian tetapi kancing lengan bajunya terbuka, niscaya
mereka akan dihukum. Mereka juga menggunakan jam dan cincin, dan tidak
memegang payung.
Para aghwaat berbeda-beda antara satu dengan yang lain
sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing. Perbedaan ini nampak pada
pakaian yang mereka gunakan. Mungkin bisa membedakan tingkatan para
aghwaat melalui penggunaan syal (sabuk dari kain wol) dengan ketentuan
tertentu. Orang yang tingkatannya tinggi akan meletakkan syal di
pundaknya. Adapun yang lain, maka akan mengikat syal-nya di tengahnya.
Adapun di rumah mereka, mereka akan menggunakan pakaian pada umumnya.
Tingkatan Para Aghwaat
Tingkatan aghwaat ada sembilan, dan yang terpenting adalah :
- Pemimpin mereka yang dikenal dengan Syaikhul Aghwaat, ia bertanggung jawab terhadap semua tugas para aghwaat.
- Kemudian sesudahnya ada Naqiibul Aghwaat (wakil aghwaat), ia adalah pengganti syaikhul aghwaat sepeninggalnya.
- Kemudian sesudahnya ada Amiinul Aghwaat
Syarat Menjadi Aghwaat
Disyaratkan bagi siapa saja yang ingin bergabung menjadi
aghwaat, antara lain ; dikebiri, menerima aturan yang diberlakukan
kepada para aghwaat, tinggal di tanah haram selama 7 tahun
berturur-turut sesuai dengan jadwal/ giliran yang telah ditentukan,
melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya, menaati perintah pimpinannya,
dan menikmati pekerjaannya dengan baik.
Dahulu kala, pencarian terhadap orang yang dapat memenuhi
syarat yang telah disebutkan di atas dilakukan sendiri oleh para
aghwaat yang melakukan perjalanan dengan tujuan khusus untuk mencari
seorang agha. Jika mereka mendapati seseorang yang memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan, maka mereka akan memberitahukan hal
ini kepada Syaikhul Aghwaat. Kemudian Syaikhul Aghwaat
merekomendasikannya kepada kedudukan yang lebih tinggi, sampai akhirnya
Menteri Haji dan Wakaf memutuskannya, dan memberikan kewarganegaraan
Saudi kepadanya. Maka selesailah rekruitmen seorang agha melalui cara
tour/ perjalanan mengelilingi Saudi. Dan setelah kedatangannya,
dilakukan tes kesehatan dan memberitahukan aturan yang harus diikuti
para aghwaat, kemudian hasilnya disampaikan kepada Kementerian Haji dan
Wakaf.
Oleh karena itu, pencarian para Aghwaat dilakukan sendiri
oleh para pelayan dua tanah suci. Ketika mereka melakukan pencarian ke
daerah Habasyah, mereka ditugaskan untuk mencari orang-orang dengan
karakteristik seorang agha.
Adapun pada saat ini, maka rekruitmen aghwaat baru tidak
diperkenankan, hal ini didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Rekruitmen Agha terakhir dengan cara seperti ini terjadi pada tahun 1978
M/ 1399 H. Dan pada saat ini aghwaat yang tersisa adalah 12 orang di
Masjidil Haram dan 9 orang di Masjid Nabawi, di mana yang termuda di
antara mereka berusia 60 tahun. Kebanyakan mereka telah berhenti dari
aktifitas mereka karena usia mereka yang telah lanjut dan kesehatan
mereka tidak mendukung lagi untuk bekerja ataupun pergi ke Masjidil
Haram atau Masjid Nabawi.
Aghwaat Pada Masa Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi
Pada masa pemerintahan Kerajaan Arab Saudi, aghwaat
memiliki kedudukan yang terhormat. Mereka dimuliakan mengingat jasa
pengabdian mereka yang teramat agung terhadap dua tanah suci. Perhatian
Kerajaan terhadap para aghwaat muncul seiring dengan kemunculan Kerajaan
Arab Saudi pada tahun 1346 H. Hal ini berasal dari kebijakan Yang Mulia
Raja Abdul Aziz –semoga Allah merahmatinya- dalam sebuah tulisannya :
“Lebih khusus lagi adalah para aghwaat di Masjidil Haram, mereka dengan
pengabdian yang telah mereka lakukan kepada tanah haram, maka tidak
sepantasnya seseorang memprotes apa yang mereka lakukan dan mencampuri
urusan mereka”.
Adapun sepeninggal Yang Mulia Raja Abdul Aziz –semoga
Allah merahmatinya-, Raja Su’ud menetapkan kebijakan orang tuanya dengan
mengeluarkan surat keputusan raja nomor 35 tanggal 4 Rabi’ulawwal 1374 H
dengan kutipan sebagai berikut : “Bahwa kami menetapkan para aghwaat
Masjidil Haram untuk tetap seperti biasanya dan teratur melakukan apa
yang selama ini telah mereka lakukan dalam urusan-urusan tertentu, dan
tidak boleh seorangpun memprotes mereka dalam tugas mereka atau
mencampuri urusan mereka”.
Diceritakan pula oleh para aghwaat, bahwa Pelayan Dua
Tanah Suci Raja Fahd –semoga Allah merahmatinya- setiap tahunnya
mengirimkan penghormatan kerajaan kepada mereka dan baju mantel yang
disampaikan melalui pemimpin umum Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Oleh karena itu, kerajaan memberikan kepada mereka gaji
yang cukup disesuaikan dengan jumlah harta wakaf yang dibagikan kepada
mereka secara merata. Harta-harta wakaf mereka tersebar di Makkah
al-Mukarramah, Madinah al-Munawwarah, Jeddah, Thoif, dan Ahsaa. Mereka
juga memiliki harta wakaf di Iraq, Maroko, dan Yaman, di mana ini semua
adalah pemasukan yang melimpah bagi mereka dan menjadikan mereka hidup
bahagia.
Hal-Hal Yang Perlu Untuk Diketahui
- Menyusutnya jumlah aghwaat pada saat ini dikarenakan para pelayan dua tanah suci menghentikan penerimaan aghwaat baru agar orang-orang tidak berani mengebiri anak mereka.
- Para aghwaat dikenal karena amalan mereka yang baik, dan ada pula di antara mereka yang dikenal karena ilmu dan pemahaman mereka dalam hal agama.
- Di antara mereka ada yang dikenal karena kebaikan mereka, ada yang suka membantu orang-orang yang membutuhkan, di antara mereka ada yang membangun masjid-masjid, yayasan-yayasan, dan sekolah-sekolah. Dan ada sebuah Masjid Agha di perkampungan Quba yang masih baik dan ada hingga sekarang sebagai saksi kebaikan mereka, sebagaimana pula mereka mewakafkan tempat untuk fakir miskin dan masih menggunakan nama aghwaat.
- Mereka dikenal dengan kekayaan materi, akan tetapi mereka tidak mewariskan dan mereka juga tidak berhak menghibahkan dan menggunakan harta mereka. Maka dengan kematian mereka, harta mereka beralih menjadi harta wakaf.
- Mereka tidak memiliki keturunan, sehingga silsilah mereka berhenti dengan wafatnya mereka. Sebabnya adalah karena keluarga mereka telah menghadiahkan mereka untuk dua tanah suci setelah mereka mengebirinya.
Adakah Hak Bagi Mereka Untuk Menikah?
Seorang agha mempunyai hak untuk menikah, akan tetapi pernikahannya bukan untuk bersenang-senang, namun untuk mendapatkan seorang wanita yang akan merawatnya ketika ia sakit atau sudah lanjut usia, dan juga untuk mengurus seluruh urusan hidupnya. Pada umumnya, mereka menikah dengan orang luar dan menghadirkan istrinya bersamanya untuk mengabdi ke kerajaan. Ia merawat istri dan anak-anak istrinya serta mendidik mereka.
Seorang agha mempunyai hak untuk menikah, akan tetapi pernikahannya bukan untuk bersenang-senang, namun untuk mendapatkan seorang wanita yang akan merawatnya ketika ia sakit atau sudah lanjut usia, dan juga untuk mengurus seluruh urusan hidupnya. Pada umumnya, mereka menikah dengan orang luar dan menghadirkan istrinya bersamanya untuk mengabdi ke kerajaan. Ia merawat istri dan anak-anak istrinya serta mendidik mereka.
Pada saat ini tugas mereka hanya sebatas mengharumkan
raudhoh dan menemani para tamu agung. Pada saat ini setiap pengunjung
Masjid Nabawi dapat melihat mereka duduk dekat ruangan aghwaat, sisi
kanan bagian dalam dari pintu Jibril. Adapun di Makkah, maka para
peziarah akan dapat melihat mereka di tempat thawaf sebelum shalat
maghrib, dan ketika shalat maghrib dan isya mereka berada di shaf
pertama. Demikian pula ketika hari Jumat maka mereka dekat dengan mimbar
Masjidil Haram. (AZ)[*]
Sumber: Majalah Qiblati Edisi 1 th.IV
Artikel: www.kisahislam.net
Silahkan di Share, Copas, Dan Lain-Lain, Dengan Tetap Mencantumkan Sumbernya.
No comments:
Post a Comment