Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan akan mengampuni dosa
apa saja yang berada di bawah tingkatan syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Ampunan adalah perkara yang sangat dibutuhkan oleh setiap hamba.
Karena hidup di alam dunia dengan segala bentuk cobaan dan godaan yang
ada di dalamnya kerapkali membuat manusia terlena sehingga lebih
memperturutkan hawa nafsunya dan karenanya ia terjatuh ke dalam jurang
dan lembah dosa. Oleh sebab itu Allah dengan sifat pengampun dan kasih
sayang yang ada pada-Nya memberikan jalan keluar berupa taubat
kepada-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada dirinya; Janganlah kalian
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala
macam dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla
senantiasa membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima
taubat pelaku dosa di waktu siang dan membentangkan tangan-Nya di waktu
siang untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu malam, sampai matahari
terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang bertaubat sebelum terbitnya matahari dari
arah tenggelamnya niscaya Allah masih menerima taubatnya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Dahulu di kalangan Bani Isra’il ada seorang lelaki yang
telah membunuh 99 jiwa manusia. Kemudian dia pun keluar dan mendatangi
seorang rahib, lalu dia bertanya kepada rahib itu. Dia mengatakan,
“Apakah aku masih bisa bertaubat?”. Rahib itu menjawab, “Tidak.” Maka
lelaki itu pun membunuhnya. Setelah itu, ada seseorang yang memberikan
saran kepadanya, “Datanglah ke kota ini dan itu.” Kemudian di
tengah-tengah perjalanan tiba-tiba ajal menjemputnya. Dia meninggal
dalam keadaan dadanya condong ke arah kota tujuannya. Terjadilah
pertengkaran antara Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab. Allah pun
mewahyukan kepada kota yang satu, “Mendekatlah.” Dan Allah mewahyukan
kepada kota yang lainnya, “Menjauhlah.” Lalu Allah memerintahkan,
“Ukurlah berapa jarak antara keduanya.” Ternyata didapati bahwa lelaki
tersebut lebih dekat sejengkal dengan kota yang baik; maka diampunilah
dia.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafal Bukhari)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh, Allah jauh lebih bergembira terhadap taubat
hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang dari
kalian yang suatu saat mengendarai hewan tunggangannya di padang yang
luas namun tiba-tiba hewan itu lepas darinya. Padahal di atasnya
terdapat makanan dan minumannya. Dia pun berputus asa untuk bisa
mendapatkannya kembali. Lalu dia mendatangi sebuah pohon kemudian
berbaring di bawah naungannya dengan perasaan putus asa dari memperoleh
tunggangannya tadi. Ketika dia sedang larut dalam perasaan semacam itu,
tiba-tiba hewan tadi telah berdiri di sisinya. Lalu dia pun meraih tali
pengikat hewan tadi. Karena saking gembiranya dia berkata, ‘Ya Allah,
Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabbmu.’ Dia salah berucap
gara-gara terlampau gembira.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal milik Muslim)
Hal ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya rahmat dan ampunan
Allah kepada hamba-hamba-Nya yang terjerumus ke dalam dosa dan mau
bertaubat kepada-Nya. Dan yang lebih luar biasa adalah tatkala Allah
berkenan mengampuni dosa sebagian hamba-Nya yang belum bertaubat dari
kesalahan mereka dan meninggal di atasnya semata-mata karena tauhid yang
ada pada diri mereka. Itulah yang dimaksud oleh firman-Nya (yang
artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
kepada-Nya, dan akan mengampuni dosa apa saja yang berada di bawah
tingkatan syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’:
48) (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/331])
Bahkan, tauhid merupakan syarat utama untuk bisa mendapatkan ampunan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala
berfirman: Wahai anak Adam, selama engkau mau berdoa dan berharap
kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai
anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai setinggi langit kemudian
kamu meminta ampun kepada-Ku maka Aku pasti mengampunimu. Wahai anak
Adam, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh isi
bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan
sesuatu apapun niscaya Aku datang kepada-Mu dengan ampunan sepenuh itu
pula.” (HR. Tirmidzi dan beliau berkata hadits hasan sahih)
Barangsiapa yang menghadap Allah dengan membawa dosa hampir sepenuh
bumi sedangkan dia masih memiliki tauhid maka Allah akan menemuinya
dengan ampunan sepenuh itu pula. Akan tetapi ini tergantung kepada
kehendak Allah. Jika Allah berkenan maka Allah akan mengampuninya,
tetapi jika Allah berkehendak lain maka Allah akan menghukumnya karena
dosa-dosa itu namun dia tidak akan kekal di neraka. Bahkan dia akan
keluar darinya lalu masuk ke dalam surga (lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 563 oleh Syaikh Salim al-Hilali)
Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa tauhid bukanlah semata-mata
dengan mengucapkan kalimat laa ilallallah. Sebagian orang yang bodoh
berdalih dengan dalil-dalil semacam ini dan menyangka bahwa ucapan
kalimat tauhid saja sudah mencukupi meskipun orang itu meninggalkan
kewajiban-kewajiban dan melakukan berbagai kemaksiatan. Padahal, hal itu
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh salaful ummah
bahwasanya melakukan kewajiban, meninggalkan keharaman, dan mematuhi
aturan dan batasan Allah adalah suatu keharusan yang tidak bisa
diabaikan. Siapa saja yang meninggalkan kewajiban atau melakukan hal-hal
yang diharamkan maka dia harus siap menanggung resiko hukumam dari
Allah, meskipun dia telah mengucapkan kalimat tauhid dan meyakini
kandungannya. Dan apabila dia melakukan suatu perkara yang membatalkan
keislamannya maka dia berubah status menjadi murtad dan kafir, sehingga
ucapan syahadat itu tidak lagi bermanfaat baginya. Oleh sebab itu
kalimat tauhid ini harus direalisasikan di dalam kenyataan dan
menjalankan konsekuensinya. Sebab kalau tidak demikian maka orang
tersebut berada dalam ancaman bahaya yang sangat besar jika tidak
bertaubat dari kesalahannya, meskipun dia adalah pemilik tauhid. Allahul musta’aan (lihat Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 26)
dari http://terjemahkitabsalaf.wordpress.com/2013/02/14/tidak-ada-ampunan-tanpa-tauhid/
No comments:
Post a Comment