Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka
itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah
orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
Hidayah adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia.
Tidak akan baik dan benar hidup mereka tanpanya. Hidayah adalah cahaya
yang akan menerangi kegelapan dan mengentaskan manusia dari berbagai
kehinaan. Hidayah merupakan petunjuk yang akan mengeluarkan manusia dari
kebingungan dan kekacauan. Hidayah itu pula yang akan menuntun mereka
kepada kebahagiaan dan keselamatan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang
mengikuti hidayah-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.”
(QS. Thaha: 123)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang
menentang rasul setelah tampak jelas baginya hidayah, dan dia mengikuti
selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia
terombang-ambing dalam kesesatannya, dan Kami akan memasukkannya ke
dalam Jahannam. Dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. An-Nisaa’: 115)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah
pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya
dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang
mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan
benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang
dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang
lurus setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu yang kita lakukan.
Karena sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal
kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin.
Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan sosok yang
memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga
kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga
masih membutuhkan sosok yang membuatnya mampu melakukan hal itu.
Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak
diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak
daripada apa yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua
kebenaran yang diketahuinya itu secara otomatis dikehendaki oleh
jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk
mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26])
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan tidak akan berjalan
di atas dengan benar tanpa curahan hidayah dari-Nya. Seorang hamba tidak
akan bisa membedakan kebenaran dan kebatilan tanpanya. Seorang hamba
tidak bisa membedakan antara iman dan kekafiran tanpanya. Seorang hamba
pun tidak sanggup membedakan jalan menuju surga -dan menempuhnya- dengan
jalan menuju neraka -dan menjauhinya- tanpanya. Maka kebutuhan kepada
hidayah adalah kebutuhan terhadap ilmu sekaligus bantuan dan taufik
dari-Nya.
Semata-mata ilmu tidaklah mencukupi jika tidak disertai dengan amal
dan perealisasiannya. Sementara hidayah ini -sebagaimana telah
disebutkan dalam ayat al-An’am: 82 di atas- hanya diberikan kepada
orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan
kezaliman. Mereka itu adalah orang yang bertauhid dan membersihkan
dirinya dari segala bentuk kemusyrikan.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: Ketika turun
ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka
dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang
akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan
hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Maka, hal itu terasa berat bagi para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud
adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku,
janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman
yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syirik adalah kezaliman. Bahkan ia merupakan kezaliman yang paling besar. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah,
sesuatu yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu.
Kalau kamu tetap melakukannya kamu benar-benar termasuk orang yang
berbuat zalim.” (QS. Yunus: 106).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah
mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan
Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia
menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya
Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya
umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara
bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok
keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang
sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling
zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang
paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai
sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan
terhadap-Nya, sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya.
Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya
yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa syirik adalah sebab yang
menghalangi turunnya hidayah kepada manusia. Tatkala mereka tidak
mendapatkan hidayah yang sempurna, maka mereka pun terjerumus ke dalam
berbagai penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan itulah -dan syirik
termasuk penyimpangan yang terbesar- yang menjerumuskan manusia ke dalam
cekaman ketakutan -kepada selain Allah- di dunia dan ketakutan yang
senantiasa menyelimuti di akhirat nanti, yaitu alam kubur dan di neraka.
Wal ‘iyadzu billah.
Hal ini juga menunjukkan kepada kita bahwa tauhid yang ada pada diri
seorang hamba bisa tercampuri berbagai bentuk kezaliman, dan kezaliman
terbesar yang akan menghapuskan tauhid dari dirinya adalah syirik.
Dengan terhapusnya tauhid itu lenyaplah hidayah dan keamanan yang sangat
dibutuhkan olehnya. Adapun apabila kezaliman yang dia lakukan tidak
mencapai derajat syirik maka tauhidnya akan mengalami kerusakan sekadar
dengan besar dosa atau kemaksiatan yang dia lakukan
http://abu0mushlih.wordpress.com/2013/02/14/tidak-ada-hidayah-dan-keamanan-tanpa-tauhid/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+KumpulanSitusSunnah+%28Kumpulan+Situs+Sunnah%29
No comments:
Post a Comment