(Buletin Dakwah Jumat AS-SUNNAH Ed.8)
Tauhid adalah pembahasan penting dalam perkara akidah karena ia
menyangkut keimanan kepada Allah. Dengan meneliti dan mengamati
keterangan dari al-Quran dan as-Sunnah, para ulama mengambil kesimpulan,
bahwa tauhid terbagi menjadi tiga; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wa Shifat. Tauhid Rububiyah selalu diletakkan pada awal pembagian tauhid. Ini menunjukkan pentingnya perkara tersebut.
Salah satu sebab yang menjadikan pembahasan Tauhid Rububiyah begitu
penting, ialah bahwa seseorang yang telah memiliki ilmu tentangnya, akan
mengagungkan Allah, menggantungkan harapan kepada-Nya, takut atas
siksaan-Nya dan mencintai-Nya.
Maka tidak sepantasnya seseorang meremehkan dan meninggalkan pembahasan ini. Namun tidak sepantasnya pula ia menjadikan Tauhid Rububiyah sebagai puncak pembahasan tentang tauhid, seperti yang dilakukan oleh ahli kalam, karena Tauhid Rububiyah bukanlah puncak ketauhidan yang menjadi sebab diutusnya para Rasul.
Pengertian Tauhid Rububiyah
Secara bahasa Tauhid Rububiyah berasal dari dua kata; ‘Tauhid’ dan ‘Rububiyah’. Dalam bahasa arab ‘Tauhid’, adalah masdar ‘wahhada’ ‘yuwahhidu’ yang berarti mengesakan sesuatu. Sedangkan Rububiyah adalah masdar ‘Rabba’ ‘Yurabbi’ yang berarti adalah memimpin, mengatur, memelihara, memiliki dan memperbaiki. Dan Rububiyah adalah salah satu sifat Allah yang diambil dari nama-Nya, yaitu ar-Rabb, yang maknanya adalah Yang Mencipta, Mengatur dan Menguasai alam semesta ini.
Adapun secara istilah Tauhid Rububiyah maknanya adalah meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa hanya Allah yang menciptakan, menguasai, dan mengatur alam semesta ini.
Dalil-dalil Tauhid Rububiyah
Dalil tentang Tauhid Rububiyah banyak sekali dan beraneka
ragam, baik dari al-Quran, as-Sunnah, fitrah maupun akal. Semuanya
menunjukkan bahwa hanya Allah yang memiliki sifat rububiyah. Dan
sungguh, Allah telah menjadikan banyak perkara pada makhluk-Nya yang
seandainya direnungkan, niscaya akan menunjukkan bahwa ada Allah yang
menciptakan dan mengatur alam raya ini. Dan berikut ini beberapa contoh
dari dalil-dalil tersebut:
Dalil dari al-Quran di antaranya adalah firman Allah yang artinya: “Allah lah yang menciptakan dan memelihara segala sesuatu.” (QS. az-Zumar: 62) “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Huud: 6) “Katakanlah:
“Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan
malam ke dalam siang dan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang
hidup dari yang mati, dan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau memberi
rezeki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. al-‘Imran: 26-27)
Dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah doa sebelum tidur yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Allah, Rabb yang memiliki tujuh lapis langit, Pemilik ‘Arsy yang agung; Rabb segala sesuatu; Yang menciptakan biji-bijian dan benih tanaman;
Yang menurunkan Taurat, Injil dan al-Furqan (al-Quran); Aku berlindung
kepada-Mu dari kejahatan makhluk yang Engkau pegang ubun-ubunnya. Engkau
adalah al-Awwal; tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu. Engkau adalah al-Akhir; tidak ada sesuatu pun setelah-Mu. Engkau adalah azh-Zhahir; tidak ada sesuatu pun di atas-Mu. Engkau adalah al-Bathin; tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu. Berikanlah kami kemampuan untuk melunasi hutang dan bebaskanlah kami dari kefakiran.” (HR. Muslim 7064)
Dalil dari fitrah, Allah telah menciptakan makhluk-Nya dengan keyakinan terhadap kerububiyahan-Nya.
Tidak ada satu makhluk pun yang mampu menolak keyakinan ini, karena ia
adalah perkara yang sudah tertanam di dalam diri setiap manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, kemudian orang tuanya lah yang menjadikannya yahudi, nashrani, atau pun majusi.” (HR. Bukhari 1319)
Dalil dari akal, yaitu dengan memperhatikan dan memikirkan
tanda-tanda kekuasaan Allah. Metode dalam perkara ini bermacam-macam,
yang paling terkenal ada dua:
- Metode yang dikenal dengan istilah ‘dalalatul anfus’; yaitu dengan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada penciptaan manusia. Maka padanya terdapat tanda yang menunjukkan keesaan Allah dalam sifat rububiyah. Allah berfirman: “Dan (juga) pada dirimu sendiri (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah). Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. adz-Dzariyaat: 20) Jika seseorang memperhatikan ciptaan Allah yang terdapat pada dirinya, niscaya itu akan membimbingnya kepada satu keyakinan bahwa ia diciptakan oleh Dzat Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana. Karena seseorang mengetahui bahwa ia tidak mampu menciptakan nuthfah yang merupakan asal dirinya, atau mengubah nuthfah itu menjadi gumpalan darah, kemudian mengubah gumpalan darah itu menjadi gumpalan daging dan seterusnya dari proses penciptaan manusia.
- Metode yang dikenal dengan ‘dalalatul afaaq’; yaitu dengan memperhatikan dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam penciptaan alam semesta ini. Allah berfirman yang artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushilat: 53)
Orang-orang Musyrik di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Meyakini Tauhid Rububiyah
Banyak sekali ayat-ayat di dalam al-Quran yang menunjukan bahwa orang-orang musyrik yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikrarkan Tauhid Rububiyah;
meyakini bahwa Allah adalah Sang Pencipta, Pengatur, Pemberi rezeki dan
Pemelihara alam semesta ini. Allah berfirman yang artinya: “Dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan
menjawab: “Allah”…” (QS. al-‘Ankabut: 61) “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”…” (QS. az-Zukhruf: 87) “Katakanlah: “Siapakah Pemilik langit yang tujuh dan ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah”…” (QS. al-Mu’minuun: 86-87)
Dan kaum musyrikin Arab zaman dahulu mengerti bahwa berhala-berhala
itu adalah makhluk ciptaan Allah, dan bukan pencipta, pengatur, pemberi
rezeki atau pemelihara alam ini. Mereka yakin bahwa yang memiliki
sifat-sifat ini hanyalah Allah. Namun mereka menjadikan berhala-berhala
itu sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah
berfirman yang artinya: “Dan orang-orang yang mengambil pelindung
selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. az-Zumar: 3)
Jadi jelas bahwa kaum musyrikin Arab meyakini Tauhid Rububiyah.
Namun hal tersebut tidak memasukkan mereka ke dalam Islam. Allah tetap
menghukumi mereka sebagai orang-orang musyrik dan kafir, serta mengancam
akan memasukkan mereka ke dalam neraka selama-lamanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa sekedar mentauhidkan Allah dalam kerububiyahan-Nya,
namun tidak mentauhidkan Allah dalam peribadatan, tidaklah memasukkan
seseorang ke dalam Islam dan menyelamatkannya dari azab Allah.
Tauhid Rububiyah bukanlah puncak ketauhidan seseorang
Tauhid Rububiyah adalah kebenaran dan perkaranya amat penting.
Tidak sah keimanan seseorang kepada Allah jika ia tidak mengimani
kerububiyahan-Nya. Namun perlu diketahui bahwa Tauhid Rububiyah
bukanlah alasan diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Ia
bukanlah puncak ketauhidan yang dengannya ketauhidan seseorang menjadi
sempurna. Hal ini karena beberapa alasan:
- Allah memerintahkan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya, bukan sekedar mengikrarkan bahwa Allah Sang Pencipta, Pemberi rezeki, Pengatur dan Pemelihara alam ini.
- Orang-orang musyrik di zaman Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meyakini Tauhid Rububiyah, namun hal ini tidak serta merta memasukkan mereka ke dalam Islam, dan tetap diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
- Tauhid Rububiyah adalah perkara yang sudah tertanam pada diri manusia.
Bentuk-Bentuk Penyimpangan Yang Berkaitan Dengan Tauhid Rububiyah
Meskipun Tauhid Rububiyah adalah perkara yang sudah tertanam
pada fitrah manusia dan memiliki begitu banyak dalil, tetap saja terjadi
penyimpangan pada sebagian orang dalam masalah ini. Bentuk-bentuk
penyimpangan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Mengingkari keberadaan Allah dan menentang secara total sifat kerububiyahan-Nya. Seperti yang diyakini oleh orang-orang ateis atau komunis, dan yang semisal dengan mereka.
- Mengingkari dan menentang sebagian sifat kerububiyahan Allah dan makna yang terkandung di dalamnya. Seperti orang yang mengingkari kemampuan Allah untuk mematikan dan menghidupkan kembali orang yang sudah mati; atau mengingkari kemampuan Allah memberi manfaat atau menolak mudarat dari seseorang, atau yang semisal dengan itu.
- Memberikan sedikit saja dari sifat rububiyah itu kepada selain Allah. Seperti meyakini bahwa seorang ‘pawang hujan’ bisa mencegah atau menurunkan hujan di satu tempat.
Penutup
Demikianlah pembahasan yang bisa kami paparkan tentang Tauhid Rububiyah
dan tentu saja masih banyak perkara-perkara yang berkaitan dengannya
yang belum dijelaskan di sini. Namun kami berharap tulisan ini bisa
menambah kualitas iman kita kepada Allah dan pengetahuan kita tentang
Allah yang merupakan salah satu dari tiga masalah pokok yang akan
ditanyakan dalam kubur. Semoga bermanfaat dan mudah-mudahan Allah selalu
membimbing kita untuk beriman kepada-Nya dengan keimanan yang benar.
Sumber
Tauhid Rububiyah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Ushul Iman
fii Dhau al-Kitab wa as-Sunnah, Nukhbatun minal ‘Ulama, ‘Aqidah Tauhid,
Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Silahkan Download File Pdf: Download
dinukil dari http://sunnah.or.id/informasi-pengumuman/tauhid-rububiyah.html
No comments:
Post a Comment