Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Tidak Cukup Dengan Lisan
Dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang
mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah
Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah ‘azza wa jalla.
Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka
mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati
mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya).
Pokok Ajaran Agama
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu
ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau
akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka
jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa
ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka
mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia
merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun
memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai
dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Realita Yang Memprihatinkan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Diantara perkara yang mengherankan adalah kebanyakan para penulis dalam
bidang ilmu tauhid dari kalangan belakangan (muta’akhirin) lebih
memfokuskan pembahasan mengenai tauhid rububiyah. Seolah-olah mereka
sedang berbicara dengan kaum yang mengingkari keberadaan Rabb [Allah]
-walaupun mungkin ada orang yang mengingkari Rabb [Sang Pencipta dan
Penguasa alam semesta]- akan tetapi bukankah betapa banyak umat Islam
yang terjerumus ke dalam syirik ibadah!!” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/8])
Sumber Pertikaian Rasul Dengan Umat Mereka
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memaparkan, “Mengapa para
nabi tidak berkonsentrasi pada penetapan tauhid rububiyah dan dakwah
kepadanya? Sebab tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah mereka akui.
Mereka tidaklah mengingkarinya, dan tidak ada seorang pun yang berani
mengingkari tauhid rububiyah selamanya, kecuali karena kesombongan
semata. Karena pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang meyakini
-selamanya- bahwa alam semesta menciptakan dirinya sendiri. Bahkan, kaum
Majusi Tsanuwiyah sekalipun; yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini
memiliki dua pencipta. Meskipun demikian, mereka tetap meyakini bahwa
salah satu diantara keduanya lebih sempurna. Mereka meyakini bahwa tuhan
cahaya menciptakan kebaikan, sedangkan tuhan kegelapan menciptakan
keburukan. Sementara mereka mengatakan bahwa tuhan cahaya adalah tuhan
yang baik dan bermanfaat. Adapun tuhan kegelapan adalah tuhan yang
buruk…” “…Intinya, tidak akan anda temukan selamanya seorang pun yang
berkata bahwa alam semesta ini diciptakan tanpa adanya Sang pencipta,
kecuali orang yang sombong. Sedangkan orang yang sombong semacam ini
adalah termasuk golongan orang musyrik. Adapun masalah [tauhid]
uluhiyah, maka itulah permasalahan yang menjadi sumber pertikaian dan
pertentangan antara para rasul dengan umat mereka.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Hisan, hal. 21)
Pondasi Penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan.
Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan
sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi
dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu
mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu
mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)
Pokok Amal Ibadah
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua
amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan
amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa
keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila
dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk
mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya
makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya
mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas
kecintaan, bahkan ia merupakan hakikat/intisari ibadah. Sebab seandainya
kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu
akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Takut Terjerumus Syirik
Allah ta’ala berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya), “Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (QS. Ibrahim: 35)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam
bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah
kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu
bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah
kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari
kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang
munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang
mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Kedudukan Tawakal
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang
beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka
bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
maka bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada
Rabb mereka.” (QS. Al-Anfal: 2)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in
(hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta
pertolongan). Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan
hati kepada-Nya bahwasanya Dia akan membantu kita dalam beribadah
kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Dia
dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud: 123). Allah ta’ala juga
berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya
aku akan kembali.” (QS. Hud: 88). Tidak mungkin merealisasikan ibadah
tanpa tawakal. Karena apabila seorang insan diserahkan kepada dirinya
sendiri maka itu artinya dia diserahkan kepada kelemahan dan
ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup beribadah dengan baik.”
(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28])
Ketika Pendeta dan Rahib Dipertuhankan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka telah
menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah, dan
al-Masih putra Maryam pun mereka perlakukan demikian. Padahal, mereka
tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada sesembahan yang
satu saja. Tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Maha suci Dia
dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. at-Taubah: 31)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Maksud dari ‘menjadikan rabb selain Allah’ adalah menjadikan mereka [pendeta/rahib] sebagai sekutu bagi Allah ‘azza wa jalla
dalam hal pembuatan syari’at; sebab mereka berani menghalalkan apa yang
diharamkan Allah sehingga para pengikut itu pun menghalalkannya. Mereka
pun berani mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, sehingga membuat
para pengikutnya juga ikut mengharamkannya.” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/66])
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
No comments:
Post a Comment