Segala puji bagi Alloh, Tuhan alam semesta. Sholawat dan salam untuk
nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia. Semoga
sholawat dan salam juga terlimpahkan untuk keluarga dan para sahabatnya
serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka
sampai dengan hari kiamat.
Para pembaca yang dirahmati Alloh, pembahasan kita pada kesempatan
ini ialah seputar kaidah memahami tauhid asma’ wa shifat (nama-nama dan
sifat-sifat Alloh).
Salah satu tujuan diutusnya para rosul dan nabi adalah untuk
mengenalkan manusia kepada Alloh melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Sebab itu, tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Rosul
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama-nama Alloh yang indah dan
sifat-sifat Alloh yang mulia.
Memahami nama-nama dan sifat-sifat Alloh sangat penting untuk
meningkatkan keimanan kepada Alloh agar mencapai tingkat ihsan dalam
beribadah kepada Alloh.
Nama-nama dan sif at-sifat Alloh harus dipahami sesuai dengan
kaidah-kaidah yang dijelaskan para ulama Ahlus Sunnah yang berdasarkan
al-Qur’an dan hadits-hadits shohih serta selamat dari dua bahaya:
ta’thil (mengingkari sifat-sifat Alloh) dan tasybih (menyerupakan Alloh
dengan makhluk).
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Maka tidak diragukan
lagi bahwa berilmu tentang nama dan sifat-sifat Alloh serta
perbuatan-Nya adalah ilmu yang seagung-agung-nya dan semulia-mulianya.
Perbandingannya dengan ilmu-ilmu lain sebagaimana perbandingan antara
Alloh itu sendiri dengan yang lain-Nya.”[1]
Berikut ini akan kami jelaskan tentang kaidah-kaidah umum dalam
memahami tauhid asma’ wa shifat sebagaimana yang disebutkan para ulama
Ahlus Sunnah dalam kitab-kitab mereka[2]:
KAIDAH PERTAMA:
Beriman (mempercayai) segala nama dan sifat-sifat Alloh yang terdapat dalam al-Qur’an maupun dalam sunnah (hadits-hadits shohih).
Banyak sekali ayat maupun hadits Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan kita beriman secara mutlak dengan segala isi al-Qur’an baik
yang berbentuk hukum-hukum maupun kabar tentang hal yang telah berlalu
dan yang akan datang serta berita tentang nama-nama dan sifat-sifat
Alloh. Alloh menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
…. Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar
terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidnpan dunia, dan pada
hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Alloh
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. al-Baqoroh [2]: 85)
Kita tidak boleh memilah-milah dalam beriman kepada isi al-Qur’an.
Beriman dengan ayat-ayat menerangkan hukum saja, tidak mengimani
ayat-ayat yang menerangkan nama dan sifat-sifat Alloh, atau mengubah dan
menakwilkan maksud ayat-ayat tersebut. Semua isi al-Qur’an wajib kita
imani dan kita yakini secara utuh, tanpa memperbedakannya sedikit pun.
Tidak boleh membeda-bedakan isi al-Qur’an antara ayat-ayat hukum dengan
ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat Alloh. Jika hal itu kita lakukan
maka kita telah terjerumus ke dalam ancaman kenistaan dalam kehidupan
dunia dan pada hari kiamat akan dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat.
Demikian pula halnya, kita wajib beriman dengan segala apa yang disampaikan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits-hadits beliau baik yang berbentuk hukum-hukum maupun kabar
(berita) tentang hal yang telah berlalu dan yang akan datang serta
berita tentang nama dan sifat-sifat Alloh. Alloh berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Alloh dan
rosul-rosul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada)
Alloh dan rosul-rosul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang
sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)”, serta bermaksud
(dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian
(iman atau kafir), merekalah orang-orang ypng kafir sebenar-benarnya.
Kami telah menyediakan mtuk orang-orang ycmg kafir itu siksaan ycmg
menghinakan (QS. an-Nisa’ [4]: 150-151)
Dilarang memperbedakan al-Qur’an dan hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak boleh mempercayai nama-nama dan sifat-sifat Alloh yang terdapat
dalam al-Qur’an saja tetapi tidak mempercayai yang terdapat dalam
hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya, al-Qur’an dan hadits, adalah wahyu yang diturunkan Alloh kepada Rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Alloh tegaskan dalam firman-Nya:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (QS. an-Najm [53]: 3-4)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
…. Apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Alloh. Sesungguhnya Alloh amat keras hukumannya. (QS. al-Hasyr [59]: 7)
Demikian pula Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam sabda beliau:
Dari Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan yang
seumpama dengannya, jangan sampai salah seorang kalian berkata sambil
duduk di atas sofanya dalam keadaan kenyang: ‘Cukup kalian berpegang
dengan d-Qur’an ini saja.’” (HR. Abu Dawud dan dishohihkan Syaikh
al-Albani)
Dari Abu Rofi’, bahwasanya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Aku tidak ingin mendapati salah seorang kalian duduk
bersandar di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya tentang sebuah
urusan dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku
larang maka ia berkata: “Kami tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang
kami dapatkan dalam kitab Alloh. ” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi,
dishohihkan Syaikh al-Albani)
Begitu pula, tidak boleh membeda-bedakan hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh menerima hadits-hadits yang mutawatir[3] saja tetapi.tidak menerima hadits-hadits ahad[4]
atau menerima hadits ahad dalam persoalan hukum saja tidak dalam
masalah aqidah. Cara-cara seperti ini tidak pernah dilakukan generasi
teladan umat ini: para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in serta para
ulama terkemuka setelah mereka.[5]
Membeda-bedakan dalam menerima hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir dan ahad sama dengan tidak mempercayai apa yang disampaikan oleh Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara utuh dan sempurna. Para ulama ahli hadits terkemuka tidak pernah
membedakan antara hadits ahad dan hadits mutawati dalam segi penerimaan
dan pengamalan. Mereka hanya membedakan dalam hal pengkajian dari segi
kekuatan sanad. Tatkala terdapat dua hadits yang kontradiktif dalam
konteksnya maka hadits mutawatir lebih valid (sah) daripada hadits ahad
jika kandungan kedua hadits tersebut tidak bisa dicari titik temunya.
Namun, perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menerangkan sifat-sifat
Alloh hampir tidak termasuk dalam kategori tersebut. Kesimpulannya,
hadits-hadits sifat tidak ada yang kotradiktif jika dalam memahaminya
merujuk kepada pemahaman para ulama Ahlus Sunnah.
Termasuk dari penjabaran kaidah di atas, penegasan tentang sumber
yang menjadi pegangan kita dalam memahami dan mengimani nama-nama dan
sifat-sifat Alloh hanyalah perkataan Alloh (al-Qur’an) dan perkataan
Rosul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits-hadits yang
shohih). Yang lebih mengetahui tentang Alloh adalah Alloh sendiri.
Karenanya, segala nama dan sifat yang ditetapkan Alloh untuk diri-Nya
wajib kita percayai dan tidak boleh kita selewengkan pengertiannya.
Orang yang mengingkari atau menyelewengkan pengertian dari sifat-sif at
Alloh seolah-olah telah mengaku lebih tahu daripada Alloh. Oleh sebab
itu, Alloh sebutkan dalam firman-Nya:
قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللّهُ
…. Katakanlah: “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Alloh...?” (QS. al-Baqoroh [2]: 140)
Kemudian, di kalangan manusia, yang lebih mengetahui tentang Alloh
adalah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana beliau
sebutkan:
“Sesungguhnya yang paling bertakwa di antara kalian dan paling mengetahui tentang Alloh adalah aku.” (HR. al-Bukhori)
Karena itu, tidak boleh berpegang pada akal semata dalam menetapkan
dan memahami nama-nama dan sifat-sifat Alloh apalagi kalau menolak
dengan akal nama-nama dan sifat-sifat Alloh yang terdapat dalam
al-Qur’an dan sunnah. Akal manusia memiliki kemampuan yang terbatas
sebagaimana panca indra yang lainnya. Betapa banyak dalam kehidupan kita
sehari-hari yang tidak terjangkau oleh akal manusia, seperti hakikat
roh (nyawa) manusia itu sendiri padahal ia adalah bagian yang terdekat
dengan manusia.
Sebagian ulama memberikan perumpamaan akal dengan wahyu bagaikan mata
dengan cahaya. Sebagaimana mata tidak dapat melihat sesuatu kecuali
ketika ada cahaya baik cahaya matahari pada siang hari atau cahaya lampu
pada malam hari, akal tidak akan bisa menentukan sesuatu terutama dalam
hal yang ghaib kecuali jika ada penjelasan dari wahyu.
Oleh karenanya, akal kita wajib tunduk dan menerima terhadap segala
apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah baik berupa hukum-hukum
maupun tentang nama-nama dan sifat-sifat Alloh sebagaimana diwajibkannya
hati dan anggota badan kita untuk tunduk kepada segala hukum al-Qur’an
dan sunnah. Demikian pula, tidak boleh menjadikan teori-teori filsafat
sebagai dasar dalam memahami nama-nama dan sifat-sifat Alloh yang
terdapat al-Qur’an dan sunnah. Rujukan kita adalah pemahaman sahabat dan
para ulama salaf dalam memahami al-Qur’an dan sunnah secara umum dan
dalam memahami nama-nama dan sifat-sif at Alloh secara khusus.
KAIDAH KEDUA:
Menyucikan Alloh dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya
Dalam memahami nama dan sifat-sifat Alloh kita tidak boleh
menyerupakan sifat Alloh dengan sifat para makhluk. Sifat Alloh adalah
sifat yang mahasempurna sedangkan sifat makhluk adalah sifat yang
memiliki kekurangan.
Orang yang menyerupakan sifat Alloh dengan sifat makhluk berarti
telah menyerupakan Alloh dengan makhluk. Barang siapa yang menyerupakan
Alloh dengan makhluk berarti telah kafir kepada Alloh. Mana mungkin
Alloh bisa disamakan dengan makhluk. Sifat-sifat makhluk memiliki cacat
dan kekurangan dalam berbagai segi sedangkan Alloh Mahasuci dari segala
kekurangan. Alloh telah menegaskan dalam firman-Nya bahwa tiada suatu
makhluk pun yang menyerupai-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
…. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. asy-Syuro [42]: 11)
فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Alloh. Sesungguhnya Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. an-Nahl [16]: 74)
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ
Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia (Alloh). (QS. al-Ikhlas [112]: 4)
Dalam ayat-ayat di atas ditegaskan bahwa Alloh tidak serupa dengan
makhluk-Nya. Sebaliknya, tidak satu makhluk pun yang mirip atau
menyerupai Alloh baik dari segi zat dan nama maupun dari segi sifat dan
perbuatan.
Sebagaimana zat Alloh tidak sama dengan zat makhluk, sifat Alloh tidak sama dengan sifat makhluk
karena setiap sifat keadaannya sesuai dengan zat masing-masing.
Kesamaan dalam penyebutan (penamaan) sifat tidaklah mesti sama pula
dalam bentuk makna dan hakikat sifat tersebut.
Dalam kehidupan kita banyak sekali sifat yang sama namanya tetapi
berbeda hakikatnya sesuai dengan zat masing-masing. Sebagai contoh,
manusia memiliki sifat melihat, kucing juga. Akan tetapi, penglihatan
manusia tidak sama dengan kucing. Manusia tidak bisa melihat pada waktu
malam tanpa bantuan alat penerang (misalnya senter) sedangkan kucing
bisa berjalan pada malam hari meskipun tanpa alat penerang.
Jika sifat sesama makhluk saja tidak sama dalam hakikat kualitasnya
meski sama namanya— yaitu penglihatan— terlebih lagi perbedaan antara
sifat Alloh Yang Mahasempurna dengan sifat makhluk yang serba kurang.
Amat besar perbedaan antara sif at-Nya dengan sifat makhluk walau
penamaannya sama.
Sebab itu, ketika sifat Alloh disebut jangan dipahami dengan
menggambarkannya seperti sifat makhluk. Alloh memiliki sifat-sifat yang
sempurna sesuai dengan keagvmgan dan kebesaran Alloh, tidak seperti
sifat-sifat makhluk.
Alloh bersifat hidup (al-Hayyu) makhluk juga bersifat hidup,
tetapi hidup Alloh tidak sama dengan hidup makhluk. Hidup Alloh tidak
butuh makan dan minum sedang hidup rnakhluk butuh makan dan minum serta
memiliki berbagai kekurangan seperti sakit, capek, letih, haus, lapar,
dan seterusnya. Hidup Alloh tidak diawali dengan ketiadaan (‘adam) dan
tidak pula diakhiri dengan kematian (al-fana’) sedang hidup makhluk
diawali dengan ketiadaan dan diakhiri dengan kematian. Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Diriwayatkan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdo’a: “Aku berlindnng dengan keperkasaan Engkau yang tiada berhak
disembah kecuali Engkau, Zat yang tidak akan pernah mati. Sedangkan jin
dan manusia akan mati. ” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits yang lain beliau katakan:
“Ya Alloh Engkaulah yang pertama tiada sesuatu pun sebelum Engkau dan
Engkaulah yang terakhir tiada sesuatu pun setelah Engkau.” (HR. Muslim)
Hidup Alloh sangat sempurna dari segala segi sedang hidup makhluk
penuh dengan berbagai kekurangan. Alloh adalah Zat Yang Mahahidup
Sempurna sebagaimana Alloh katakan:
Alloh, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang
Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak pernah
ditimpa rasa kantuk dan tidak pula tidur…. (QS. al-Baqoroh [2]: 255)
Begitulah kita mengimani semua sifat Alloh. Tidak boleh menyerupakan
Alloh dengan makhluk. Juga, tidak boleh mengingkari nama-nama dan
sifat-sif at Alloh yang Alloh tetapkan untuk diri-Nya atau Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan dalam hadits-hadits beliau.
Landasannya ialah perkataan Alloh:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
…. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. asy-Syuro [42]: 11)
Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Alloh. Sebagian orang memahami ayat tersebut bahwa Alloh tidak
memiliki sifat-sifat karena ada kesamaan dalam penamaan
dengan sifat-sifat makhluk. Anggapan tersebut bertentangan dengan
penggalan akhir ayat tersebut, Alloh menyatakan: “Dia Maha Mendengar
lagi Maha Melihat”. Memang, manusia juga mendengar dan melihat
sebagaimana Alloh katakan:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعاً بَصِيراً
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani
yang bercampur ycmg Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. al-Insan [76]: 2)
Akan tetapi, penglihatan manusia amat terbatas, tidak sebanding dengan kemahasempurnaan penglihatan Alloh.
Dari sini dapat kita pahami bahwa Alloh memiliki sifat-sifat
sempurna. Sifat-sifat tersebut terdapat pada sebagian makhluk namun tidak sama kualitasnya
dengan sifat-sifat Alloh. Seandainya yang dimaksud dalam ayat yang lalu
(QS. asy-Syuro [42]: 11) menafikan sifat tentu konteks kalimatnya tidak
sebagaimana tersebut di atas, niscaya Alloh langsung nafikan bahwa Dia
tidak memiliki sifat. Jadi, yang dinafikan bukan sifat-Nya melainkan
kesamaan hakikat sifat meskipun penamaan sifat itu sama dengan sifat
makhluk.
KAIDAH KETIGA:
Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Alloh tersebut
Alloh subhanahu wa ta’ala memiliki sifat yang bermacam-macam. Itulah
yang Alloh sebutkan dalam kitab-Nya yang mulia. Namun, Alloh tidak
menyebutkan bentuk hakikat dari sifat-Nya. Sebab itu, harus kita yakini
bahwa Alloh memiliki sifat-sifat walaupun kita tidak mengetahui bentuk
hakikat sifat Alloh karena meyakini keberadaan sesuatu meskipun tidak
mengetahui bentuk hakikatnya tidak mengurangi nilai keyakinan kita,
sebagaimana kita meyakini adanya roh (nyawa) tetapi tidak mengetahui
tentang hakikat roh tersebut.
Kita tidak pernah ragu tentang adanya roh meskipun tidak mengetahui
hakikatnya. Demikian pula, kita yakin akan adanya surga serta segala
bentuk nikmat yang terdapat di dalamnya sekalipun kita belum pernah
melihatnya. Begitu pula, kita meyakini Alloh memiliki zat dan sifat
tetapi kita tidak mengetahui bentuk zat dan sifat-Nya itu. Alloh pun
tidak mewajibkan atas kita untuk mengetahui bentuk hakikat dari
sifat-Nya tersebut.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh berambisi untuk mengetahui hakikat
dari sifat-sifat Alloh tersebut. Bila hal itu kita lakukan berarti kita
melampaui batas dan ketentuan yang Alloh wajibkan atas kita. Rosul
‘alaihish sholaatu was salaam tidak pernah menyuruh kita untuk
mengetahui hakikat sifat-sifat Alloh. Selain itu, akal manusia tidak
akan bisa mengetahui hakikat dari sifat Alloh. Jangankan hakikat sifat
Alloh, sesuatu yang amat dekat dengan manusia itu sendiri —yaitu roh—,
akal tidak mampu mengetahui hakikatnya. Adapun untuk mengetahui bentuk
hakikat sebuah sifat dapat dilakukan dengan tiga hal:
1. Melihat zatnya
Alloh tidak dapat kita lihat di dunia ini. Karena itu, sifat Alloh
tidak dapat kita ketahui bentuknya. Dengan kata lain, Alloh itu ghaib
dan demikian pulalah sifat-Nya.
2. Ada sesuatu yang mirip dengannya
Tidak ada sesuatu pun yang mirip dengan Alloh sehingga tidak mungkin
Alloh (beserta segenap sifat-Nya) kita qiyas-kan (bandingkan) dengan
sifat makhluk.
3. Ada khobar shodiq (berita yang akurat)
Wahyu dari Alloh yaitu al-Qur’an maupun hadits-hadits hanya
menyebutkan bahwa Alloh memiliki sifat tetapi tidak menerangkan hakikat
bentuk sifat Alloh tersebut.
Alloh mengharamkan atas kita mengatakan sesuatu yang ilmunya tidak kita miliki. Firman-Nya:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. al-Isro’ [17]: 36)
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembu-nyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (menghammkan) mempersekutukan Alloh
dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Alloh apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’rof [7]: 33)
Haram menggambarkan bentuk hakikat sifat-sifat Alloh dalam bentuk
tulisan dan lisan atau mengkhayalkannya dalam hati kita. Bagaimana pun
rupa dan bentuk yang tergambar dalam benak kita tentang bentuk hakikat
sifat Alloh, sesungguhnya Alloh jauh lebih indah, lebih besar, dan lebih
sempurna dari gambaran tersebut. Sesungguhnya kesempurnaan Alloh dan
kesempurnaan sifat-Nya sama sekali tidak akan tergambarkan rupanya
dengan pemikiran kita.
Apakah ini berarti sifat-sifat Alloh itu tidak memiliki kaifiat
(bentuk)? Bukan begitu, sifat-sifat Alloh itu ada kaifiat (bentuk)nya
tetapi yang mengetahuinya hanyalah Alloh semata sedangkan makhluk tidak.
Jadi, bukan kaifiatnya yang dinafikan melainkan ilmu makhluk tentang
kaifiat tersebut.
Ketidaktahuan makhluk tentang bentuk hakikat sifat Alloh bukan
merupakan sebuah kekurangan dalam meyakini atau mempercayai sifat Alloh
karena banyak di antara makhluk yang hakikatnya tidak diketahui manusia
namun diyakini keberadaannya. Misalnya, keberadaan roh, malaikat, jin,
lauh mahfuzh, surga dan neraka, dan lain-lain.
Demikian bahasan kita kali ini. Semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta segenap kaum muslimin. Wallohu A’lam.[]
Sumber: majalah al Furqon, no. 89, hal.25-29, 55 rubrik Aqidah
[1] Miftah Darus Sa’adah: 1/86
[2]
Pembahasan ini bisa disimak dalam kitab at-Tadmuriyyah dan Fatawa
td-Hamawiyyah kar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Manhaj wa Dirosat li
Ayat Asma’ wa Shifat kar. Syaikh Muhammad Amin Syanqithi, Mu’taqod Ahlus
Sunnah wal Jama’ah Fi Tauhid Asma’ wa Shifat kar. Prof. Dr. Muhammad
bin Kholifah at-Tamimi.
[3]
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rowi hadits
yang amat banyak dan tidak mungkin mereka bersepakat untuk melakukan
kebohongan.
[4]
Hadits ahad adalah hadits yang tidak sampai jumlah rowinya pada tingkat
mutawatir. Menurut kesepakatan para ulama ahli hadits, hadits ahad yang
memenuhi kriteria (syarat-syarat) hadits shohih wajib diterima meskipun
diriwayatkan melalui jalan satu orang rowi saja.
[5] Pembahasan ini telah dikupas secara panjang lebar oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitab beliau, ar-Risalah.
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2013/05/19/memahami-tauhid-asma-wa-shifat/
http://maktabahabiyahya.wordpress.com/2013/05/19/memahami-tauhid-asma-wa-shifat/
No comments:
Post a Comment