Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah
adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan
tidak henti-hentinya memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari
keikhlasan. Salah satunya adalah melalui pintu riya’ yang banyak tidak
disadari setiap hamba.
Yang dimaksud riya’ adalah seseorang melakukan suatu amalan agar
orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk dalam
definisi riya’ adalah sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang
lain mendengar apa yang dilakukan, sehingga pujian dan ketenaran pun
datang. Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan
merupakan sifat orang-orang munafik.
Hukum Riya’
Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal
ini terjadi jika seseorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat
manusia, dan tidak sedikit pun mengharap wajah Allah. Inilah riya’ yang
dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan
mereka (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu
Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’
(dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’ : 142). Dengan kata lain, riya’
yang tergolong syirik akbar adalah masuk Islam karena motivasi riya’.
Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang
beriman. Sikap riya’ ini terkadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang
beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis
seperti ini merupakan perbuatan syirik ashghar. (lihat I’aanatul
Mustafiid, Syaikh Shalih Fauzan)
Jadi, hukum asal riya’ yang ada pada orang beriman adalah syirik
ashghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah hukumnya menjadi
syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :
1. Jika seseorang riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya seseorang yang menampakkan dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang mukmin demi menjaga harta dan darahnya.
2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.
3. Jika seseorang dalam seluruh amalannya lebih dominan menginginkan
tujuan dunia, dan tidak mengharapkan wajah Allah. (Al Mufiid fii
Muhimmaati at Tauhid, Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi)
Ibadah yang Tercampur Riya’
Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampu riya’? Hukum
masalah ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang
beribadah dengan maksud pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut
batal dan tidak sah. Adapun jika riya’ atau sum’ah muncul di
tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Apabila amalan ibadah
tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah shalat,
maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha
dihilangkan dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah
amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, misalnya
sedekah. Apabila seseorang bersedekah seratus ribu, lima puluh ribu dari
yang dia sedekahkan tercampuri riya’, maka sedekah yang tercampuri
riya’ tersebut batal, sedangkan sedekah lima puluh ribu yang lain tidak.
(Lihat Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid)
Jika Demikian Keadaan Para Sahabat, Bagaimana dengan Kita?
Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengkhawatirkan riya’ menimpa mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik ashghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’” (HR. Ahmad, shahih)
Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih mengkhawatirkan riya’ menimpa mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik ashghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’” (HR. Ahmad, shahih)
Dalam hadits di atas terdapat pelajaran tentang takut terjerumus
dalam syirik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan
menimpa para sahabat muhajirin dan anshor, sementara mereka adalah
sebaik-baik umat. Maka bagaimana lagi dengan selain mereka? Jika yang
beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik ashghar yang tidak
mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal ‘iyadzu
billah !! (lihat I’aanatul Mustafiid)
Lebih Bahaya dari Fitnah Dajjal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kuberitahukan kepadamu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika seseorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “(HR. Ahmad, hasan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kuberitahukan kepadamu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika seseorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “(HR. Ahmad, hasan)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’
termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’
terkait dengan niat yang merupakan amalan hati yang hanya diketahui oleh
Allah Ta’ala. Tidak ada yang mengetahui niat dan maksud seseorang
kecuali Allah semata. Hadits di atas menunjukkan tentang bahaya riya’.
Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman
fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’
ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yang
hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh
manusia di setiap zaman dan setiap saat. (lihat I’aanatul Mustafiid)
Berlindung dari Bahaya Riya’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah : Allāhumma inni a’uudzubika an usyrika bika wa anaa a’lam wa astaghfiruka limaa laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)” (HR. Ahmad, shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah : Allāhumma inni a’uudzubika an usyrika bika wa anaa a’lam wa astaghfiruka limaa laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui)” (HR. Ahmad, shahih)
Tidak Tergolong Riya’
An Nawawi asy Syafi’i rahimahullah membuat suatu bab dalam kitab Riyadus Shalihin dengan judul, “Perkara yang dianggap manusia sebagai riya’ namun bukan termasuk riya’“. Beliau membawakan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian dia mendapat pujian dari manusia? Beliau menjawab, “Itu adalah kebaikan yang disegerakan bagi seorang mukmin “ (HR. Muslim).
An Nawawi asy Syafi’i rahimahullah membuat suatu bab dalam kitab Riyadus Shalihin dengan judul, “Perkara yang dianggap manusia sebagai riya’ namun bukan termasuk riya’“. Beliau membawakan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian dia mendapat pujian dari manusia? Beliau menjawab, “Itu adalah kebaikan yang disegerakan bagi seorang mukmin “ (HR. Muslim).
Di antara amalan-amalan yang tidak termasuk riya’ adalah :
1. Rajin beribadah ketika bersama orang shalih. Hal ini
terkadang menimpa ketika seseorang berkumpul dengan orang-orang shalih
sehingga lebih semangat dalam beribadah. Perbuatan ini tidak termasuk
riya’.
2. Menyembunyikan dosa. Kewajiban bagi setiap muslim apabila berbuat
dosa adalah menyembunyikan dan tidak menampakkan dosa tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan
diampuni kecuali orang yang menampakkan perbuatan dosanya. Di antara
bentuk menampakkan dosa adalah seseorang di malam hari melakukan
maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri
yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini
dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan,
namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah
Allah tutup.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Memakai pakaian yang bagus. Hal ini tidak termasuk riya’ karena
termasuk keindahan yang disukai oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya
terdapat sifat sombong walau sebesar dzarrah (semut kecil).” Lantas ada
seseorang yang berkata,“Sesungguhnya ada orang yang suka berpenampilan
indah (bagus) ketika berpakaian atau ketika menggunakan alas kaki.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah itu
Maha Indah dan menyukai keindahan. Yang dimaksud sombong adalah menolak
kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
4. Menampakkan syiar ajaran Islam. Sebagian syariat Islam tidak
mungkin dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti haji, umroh, shalat
jama’ah, dan shalat jum’at. Seorang hamba tidak berarti riya’ ketika
menampakkan ibadah tersebut, karena di antara kewajiban dalam Islam ada
yang harus ditampakkan dan diketahui manusia yang lain. Karena hal
tersebut merupakan bentuk menampakkan syiar-syiar islam. (Lihat Bahjatun
Nazhirin, Syaikh Salim al Hilali)
Ikhlas Memang Berat
Pembaca yang budiman, ikhlas adalah satu amalan yang sangat berat.
Cobalah kita renungkan setiap amalan kita, sudahkah terbebas dari maksud
duniawi? Sudahkah semuanya murni ikhlas karena Allah Ta’ala? Jangan
sampai ibadah yang kita lakukan siang dan malam menjadi sia-sia tanpa
pahala. Urusan niat dalam hati bukanlah hal yang mudah. Tidaklah salah
jika Sufyan ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “ Tidaklah aku berusaha
untuk membenahi sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku,
karena niat itu senantiasa berbolak balik” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
Ibnu Rajab). Hanya kepada Allah kita memohon taufik. Wallahu a’lam.
Penulis : Ustadz dr. Adika Mianoki
Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.Pi.
Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.Pi.
http://buletin.muslim.or.id/ibadah-2/riya-penghapus-amal?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+KumpulanSitusSunnah+%28Kumpulan+Situs+Sunnah%29
No comments:
Post a Comment