Tuesday, December 13, 2011

Mengenang Dr HC H Mohammad Natsir Datuk Sinaro Panjang penerima anugrah Faisal Award

Negarawan sejati:  M Natsir saat memberikan ceramah dalam salah satu kesempatan
Mohammad Natsir
Nama Dr HC H Mohammad Natsir Datuk Sinaro Panjang, mantan Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 5 September 1950–26 April 1951, lebih mudah dikaitkan dengan upayanya melobi pemimpin negara-negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan mosi integral/kembali ke pangkuan NKRI yang monumental (1950). Ia menjadi PM-nya (perdana menteri kelima Repubik Indonesia).

Tanggal 5 April 1950, Natsir mengajukan mosi integral dalam sidang pleno parlemen, yang secara aklamasi diterima seluruh fraksi. Mosi ini memulihkan keutuhan/kesatuan bangsa Indonesia dalam NKRI yang sebelumnya berbentuk serikat (RIS). Karena prestasi ini Natsir diangkat menjadi PM. Presiden Soekarno menganggap Natsir mempunyai konsep menyelamatkan republik melalui konstitusi.

RIS adalah suatu negara federasi yang berdiri tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

RIS terdiri beberapa negara bagian. Yaitu, Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan—termasuk Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan.

Di samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom)—tak tergabung dalam federasi. Yaitu, Jawa Tengah, Kalimantan Barat (Daerah Istimewa), Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur—tak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir, Bangka, Belitung, dan Riau. RIS dibubarkan 17 Agustus 1950, setelah mosi integral Natsir diterima parlemen.

SEBELUM Indonesia Merdeka, nama Natsir dikenal luas karena selaku intelektual muda di Bandung, ia berpolemik dengan Soekarno. Melalui polemik itu, selain Soekarno mengenal figur seorang pemikir yang beraliran moderat Mohammad Natsir, pikiran bernas dalam beberapa aspek religiusitas (perspektif Islam) jadi menonjol. Polemik Natsir-Soekarno itu dapat dibaca dalam Capita Selecta.

Dalam rentang perjuangan kemerdekaan Indonesia, Mohammad Natsir masuk dalam jajaran elite pemimpin bangsa. Ia pernah menjadi Wakil Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), yang saat itu ketuanya dijabat Assaat Datuk Mudo. Setelah Indonesia merdeka, Natsir masuk dalam elite pemimpin Indonesia yang duduk dalam kabinet. Antara lain, jadi Menteri Penerangan (Menteri Komunikasi dan Informatika) Republik Indonesia ke-2 (12 Maret 1946–26 Juni 1947) kabinet Sjahrir dan setelah itu lima kali masih menjadi Menteri Penerangan (kabinet berbeda).

Di antara perannya yang luar biasa adalah jadi kader utama dan kemudian jadi ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan partai berasas Islam (Islamic Party) ini, antara lain, berjuang mengembalikan Piagam Jakarta menjadi dasar negara RI (mengganti Pancasila dengan Piagam Jakarta) secara konstitusional. Usaha tersebut kandas, karena hasil voting di parlemen yang dilakukan sampai dua kali, posisi suara mendukung tetap kalah dari suara menentang.

Hasil pemilihan umum pertama (1955), menghasilkan komposisi anggota parlemen PNI 57 kursi (22,3 persen), Masyumi 57 kursi (20,9 persen), Nahdlatul Ulama (NU) 45 kursi (18,4 peren), PKI 39 kursi (15,4 persen), PSII 8 kursi (2,9 persen), Parkindo 8 kursi (2,6 persen), Partai Katolik 6 kursi (2,0 persen), PSI 5 kursi (2,0 persen), IPKI 4 kursi (1,4 persen), dan Perti 4 kursi (1,3 persen). Di atas kertas, bilamana dijumlah kursi partai Islan (Masyumi, NU, PSII, Perti), perjuangan ”mengembalikan” Piagam Jakarta (Jakarta Charter) jadi dasar negara—antara lain mewajibkan kepada umat Islam Indonesia menjalankan syariat Islam—akan mudah diwujudkan, tapi kandas (kalah suara). Khusus NU, termasuk menentang, malah bergabung dengan PNI dan partai nasional/sekular lainnya.

SEBAGAI pemimpin fraksi besar di parlemen, Natsir mengkritik Pancasila sebagai dasar negara, dan memandang Islam sebagai lebih tepat menjadi dasar NKRI. Di antara pidato yang monumental di Konstituante (1957), Mohammad Natsir menyampaikan pemikiran dan gagasannya. Natsir juga menolak keberadaan idiologi komunis di Indonesia—sekaligus berhadapan dengan Presiden Soekarno yang mengakomodasi PKI dalam kabinet Kaki Empat (PNI, Masyumi, NU, PKI).

Pidato monumental yang berani dan menunjukkan prinsip/sikap dan kebersiteguhannya dengan prinsip/sikapnya, menginspirasi anggota parlemen asal daerah pemilihan Jawa Tengah, Hamka, untuk menulis satu sajak berjudul Masukkan Aku dalam Daftarmu.
Penentangan Natsir terhadap sikap Presiden Soekarno dalam Irian Barat, dan maraknya pemberontakan separatis daerah mengganggu kestabilan kabinet Natsir. Manjelang akhir masa jabatannya sebagai PM, Presiden Soekarno dan selaku ketua PNI meminta para menteri, serta anggota parlemen dari PNI tidak mendukung pemerintahan PM Natsir dan Wapres Hatta.
Tidak lama setelah itu, Kabinet Natsir mengalami berbagai gangguan dari PNI di parlemen. Menurut Hatta, Soekarno mendesak Manai Sophiaan dan teman-temannya menjatuhkan Kabinet Natsir. Dua kali anggota PNI di parlemen memboikot sidang, hingga tidak memenuhi kuorum. Natsir mengembalikan mandatnya sebagai PM ke parlemen.

Ketika Dewan Perjuangan di Sumatera Tengah memproklamirkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), 15 Januari 1958, Partai Masyumi dan sejumlah pentolannya, seperti Mohammad Natsir, mendukung PRRI. Mr Syafruddin Prawiranegara berhenti dari anggota parlemen dan ikut bergabung—kemudian jadi pimpinan/presiden PRRI.

Ketika Natsir berada di Sumpurkudus, Natsir mengikuti siaran langsung Radio Republik Indonesia (RRI), yang di antaranya memperdengarkan kritik anggota parlemen, Hamka, terhadap Presiden Soekarno dan sebaliknya ia membela PRRI dan perjuangan Natsir Dkk. Lalu, Hamka kemudian ditangkap dan dipenjarakan (1964-1966)—selama dalam penjara Hamka menyusun Tafsir al-Azhar dan menamatkan baca Al Quran lebih dari 150 kali.

Merespons kritik Hamka terhadap Soekarno, Natsir yang selama ini mengabaikan Hamka—sebagai ”orang yang kerjanya bersyair”, respek terhadap Hamka. Natsir teringat sajak pujian ditulis Hamka sebelumnya. Natsir menulis sajak buat Hamka. Sajak itu dibaca/disiarkan oleh stasiun radio gelap PRRI Sumpurkudus. Rupa-rupanya ada pendengar di Tanahabang, Jakarta, yang mendengar dan mencatatnya, dan memberikan sajak Natsir itu pada Hamka. Ketika Natsir kembali ke Jakarta—setelah amnesti, Natsir bertemu dengan Hamka di Masjid Agung Al-Azhar, dan menanyakan sajaknya itu. Hamka menjawab, ia sudah menerimanya.

Walau sudah mendapatkan amnesti, toh pemerintahan/Presiden Soekarno tetap memusuhi Partai Masyumi dan sejumlah tokohnya tidak dapat kembali berpolitik. Bahkan, ketika rezim Orde Baru menumbangkan rezim Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto mengambil sikap sama: tidak bersedia merehabilitasi Partai Masyumi dan ”mencekal” beberapa pentolan partai untuk kembali berpolitik.

Lalu, Natsir mengalihkan perjuangannya dengan mendirikan/memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), 26 Februari 1967. Pada forum dunia pula, Natsir yang terpandang di kalangan pemimpin dunia Islam, Natsir dan beberapa tokoh muslim dunia mendirikan Rabitah Alam Islami, dan Natsir jadi salah seorang pemimpinnya. Posisinya, membuat Natsir dapat berperan maksimal bagi kepentingan umat Islam di berbagai negara—termasuk Indonesia. Nama Natsir jadi sangat harum di dalam negeri melalui DDII, dan di dunia Islam melalui Rabitah Alam Islami.

TOKOH Mohammad Natsir dilahirkan di Jembatan Barukir, Alahanpanjang, Lembah Gumanti, Solok, 17 Juli 1908 dari pasangan Mohamad Idris Sutan Saripado dan Khadijah di rumah saudagar kopi Sutan Rajo Ameh (ia meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun). Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang, dikenal berbicara sopan-santun dan rendah hati. Suaranya lembut meskipun terhadap lawan-lawan politiknya. Ia sangat bersahaja, dan terkadang gemar bercanda dengan siapa saja yang jadi teman bicaranya. Sejak kecil ia dikenal lugu, jujur, dan punya sifat yang sejak kecil sudah kelihatan akan jadi pemimpin. Selain itu, Natsir suka dengan segala hal yang rapi, merapikan kamar tidurnya, dan suka membantu mencuci piring, misalnya.

Ayah Natsir, Idroes Saripado, bekerja jadi pegawai pemerintahan di Alahanpanjang, sedangkan kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat kaumnya, yang berasal dari Maninjau, Kecamatan Tanjungraya, Agam, dengan gelar Dt Sinaro Panjang. Natsir kecil belajar di HIS Solok dan sekolah agama Islam yang dipimpin pengikut Haji Rasul—ayahanda Hamka, dan HIS Adabiyah Padang. Tahun 1923-1927 Natsir dapat beasiswa sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onder­wijs (MULO) Bandung, dan melanjutkan ke AMS Bandung sampai tamat (1930).

Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan juga Sutan Sjahrir. Natsir berguru pada Ahmad Hassan (1932)—kelak jadi tokoh organisasi Islam Persis. Dengan keunggulan spiritualnya, Natsir banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan, dan pendidikan.

Natsir banyak berjasa dalam perkembangan dakwah Islam dalam arti luas, dan termasuk di antara sedikit tokoh Indonesia dengan reputasi internasional. Dia pernah menjabat presiden Liga Muslim Sedunia (World Moslem Congress), ketua Dewan Masjid Sedunia, anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islami, berkantor pusat di Mekkah. Sebagai dai dan mubaligh, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, yang mengirimkan mubaligh ke seluruh Indonesia.

Di bidang pendidikan—sebagaimana Partai Masyumi mendirikan Sekolah Tinggi Islam Jakarta, Natsir berperan dalam mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII, 8 Juli 1945)—bersamaan dengan mendirikan Universitas Islam Bandung dan Universitas Islam Sumatera Utara. Namanya diabadikan jadi nama Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STID) Jakarta. Raja Arab Saudi Fadh, akhir tahun 1979 memberi anugerah Faisal Award kepada Natsir lewat King Faisal Foundation di Riyadh. Sebelumnya Universitas Islam Libanon (1967) memberinya gelar Doctor Honoris Causa (HC) bidang politik Islam pada Natsir. Gelar kehormatan sama dianugerahkan Universitas Sains dan Teknologi Malaysia (1991) kepada Natsir.

ATAS jasanya yang luar biasa pada bangsa dan negara Indonesia, walau dipandang agak terlambat dan walaupun Natsir mungkin tidak mengharapkannya, Presiden Dr H Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan pada (alm) Dr HC Mohammad Natsir Dt Sinaro Panjang (Jumat, 7 November 2008). Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan pada tiga putra terbaik Indonesia, selain alm Dr HC H Mohammad Natsir Dt Sinaro Panjang, juga kepada alm KH Abdul Halim dan alm Soetomo (Bung Tomo). padangekspres.co.id


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment