Oleh: Musthafa Luthfi
SEBENARNYA setelah veto China dan Rusia (Sinorus) di Dewan Keamanan (DK) PBB atas rancangan resolusi terkait pergolakan di Suriah, sudah dapat dibaca kemana krisis itu mengarah. Intinya veto pada 4 Februari lalu telah menyebabkan eskalasi berdarah yang semakin mengerikan dikarenakan rezim tampaknya menjadikannya sebagai lampu hijau untuk mengedepankan penyelesaian militer menghadapi tuntutan perubahan (baca: pelengseran).
Sebagai catatan, sejak veto "Sinorus" itu, krisis Suriah menjadi perhatian atau fokus utama hampir seluruh negara Arab dan Barat tentunya yang memiliki kepentingan mengganti rezim dengan rezim yang bisa diajak "lunak" dengan anak emas mereka (Israel). Berbagai upaya terus digodok baik di DK PBB dan Liga Arab maupun lewat serangkaian pertemuan termasuk pertemuan negara-negara yang menamakan dirinya ashdiqa suriah (sahabat-sahabat Suriah).
Tapi kenyataannya hingga saat ini, semua upaya tersebut nihil lalu eskalasi berdarah terus menjadi pemandangan keseharian dengan korban puluhan hingga ratusan setiap hari yang sebagian besar adalah di kalangan sipil tak berdaya. Akibatnya, krisis di negeri Syam itu kembali ke titik semula yakni solusi keamanan dan kekerasan sehingga banyak analis memprediksikan krisis itu dapat menjurus seperti kehancuran di Libya.
Jalan tengah seperti penyelesaian di Yaman tampaknya hampir mustahil terwujud apalagi dengan terpecahnya oposisi dan tuntutan dunia yang semakin melunak terhadap rezim dalam beberapa hari belakangan ini. Posisi rezim yang merasa berada di atas angin tersebut dapat sebagai peluang untuk terus "menghabiskan" para pengunjukrasa anti pemerintah meskipun berapa pun warga yang akan menjadi korban.
Boleh dikatakan, dalam dua bulan belakangan ini sejak veto Sinorus itu, rezim berhasil membalikkan meja ke arah kelompok oposisi dan negara-negara pendukung mereka. Tuntutan pelengseran rezim dari pihak-pihak yang terlibat penyelesaian krisis negeri Syam itu pun menyusut menjadi sekedar penengah bagi tercapainya sebuah rekonsiliasi.
Setelah kasak-kusuk untuk melemahkan posisi rezim di DK PBB kembali gagal karena ditolak oleh Rusia, pukulan telak atas oposisi kembali terjadi di forum Liga Arab dalam sidang tingkat Menlu (KTM) yang dihadiri pula oleh Menlu Rusia, Sergey Lavrov di Kairo yang tidak lagi menyebutkan pelengseran cukup sebatas rekonsiliasi. Pada pernyataan akhir pada 10 Maret lalu, diputuskan hasil sidang KTM tersebut dilimpahkan ke DK PBB dan sekedar dukungan moral buat rakyat Suriah pernyataan itu dibumbui dengan kecaman Liga Arab atas serangan keamanan Suriah atas distrik Baba Amr dan menilainya sebagai kejahatan perang.
Posisi rezim yang semakin berada di atas angin pasca veto tersebut sebenarnya sudah dapat dilihat dengan kentara pada saat pertemuan negara-negara sahabat Suriah yang juga dihadiri Menlu AS, Hilary Clinton pada akhir Februari lalu di kota Tunis, Tunisia. Selain terjadi perpecahan di tubuh oposisi yang hadir, hasil pertemuan tersebut juga sangat mengecewakan berupa pernyataan akhir yang lemah.
Intinya oposisi dan negara-negara sahabat Suriah yang mendukung lengsernya rezim salah perhitungan dengan prediksi mereka akan segera berakhirnya rezim sehingga mereka melakukan serangkaian pertemuan dan melimpahkan masalah negeri Syam itu ke PBB. Mereka juga mengusulkan pengiriman pasukan multinasional yang akhirnya gagal total setelah veto Sinorus.
Ibarat pepatah populer Arab "tajri ar-riyah bimaa la tashtahi as-sufun" yang maksudnya arah angin tidak sesuai dengan keinginan para awak kapal alias harapan yang diusung oposisi dan negara-negara pendukungnya tidak sesuai harapan. Sementara korban jiwa dan kehancuran di negeri itu terus berlanjut dan meningkat sehingga lautan darah menjadi pemandangan setiap hari tanpa pilih bulu termasuk korban anak-anak dan wanita.
Salah perhitungan itu juga dilihat dari kurang cermatnya membedakan antara rezim Suriah dengan rezim Libya sebelumnya, yang dalam posisi terisolir di tingkat regional dan internasional. Suriah di tingkat regional memiliki sekutu strategis kuat yakni Iran dan Hizbullah di Libanon disamping para pemimpin Irak aliran Syiah, plus dua kekuatan besar dunia yakni Rusia dan China yang memiliki kepentingan strategis untuk tetap mendukung Damaskus agar tidak terulang skenario Libya yang telah menyusutkan peran mereka di kawasan.
Ronde kemenangan
Ibarat pertarungan tinju, ronde demi ronde pasca veto China Rusia terakhir, selalu dimenangkan oleh rezim Suriah. Tapi siapakah pemenang terakhir kelihatannya masih sulit diprediksi apalagi dengan jumlah korban jiwa yang sangat mengerikan tentunya rawa-rawa darah itu bukanlah untuk memperkuat posisi rezim namun sebaliknya.
Apabila pada enam bulan sebelumnya, singgasana rezim oleh banyak pengamat Arab sudah demikian oleng karena dicungkil oleh unjukrasa yang terus meningkat, namun dalam dua bulan belakangan ini berada dalam posisi lebih kuat baik di tingkat regional maupun internasional. "Tapi kemenangan diplomatis di tingkat internasional tidak otomatis mengindikasikan kemenangannya di dalam negeri," papar sejumlah analis Arab.
Analisis itu didasari atas kondisi dalam negeri yang semakin parah terutama korban jiwa yang kian melonjak akibat pengedepanan solusi militer tanpa ada tawaran politis bagi sebuah reformasi yang dapat diterima rakyat. Yang terus dipertontonkan kepada masyarakat dunia adalah perang kota yang kian mengganas dengan korban jiwa yang semakin memilukan.
Dalam beberapa hari belakangan ini sejumlah utusan badan dunia dan negara-negara sahabat Suriah terutama Rusia dan China telah melakukan diplomasi ulang-alik mencoba mencari solusi politis termasuk utusan PBB dan Liga Arab, Kofi Anan. Hasilnya seperti telah diduga masih jauh dari harapan dan hal ini diakui langsung oleh Anan selepas lawatannya pada Ahad (11/03/2012) lalu.
Secara diplomatis ia memang menyatakan optimis akan dapat dicapai solusi politis, namun pengakuan setelahnya membersitkan peliknya pergolakan di negeri Syam itu. Dalam konferensi pers di Damaskus, Anan mengakui bahwa "masalahnya (Suriah) sangat pelik dan sangat sulit tercapai persetujuan menghentikan pertumpahan darah."
Pengakuan Anan tersebut paling tidak mengindikasikan bahwa pergolakan di negeri bekas pusat pemerintahan Khilafah Omawiyah itu masih akan berlarut dan tentunya genangan darah rakyat masih akan membanjiri negeri tersebut. Namun masyarakat internasional sangat sulit untuk mentolerir pembantaian yang dilakukan oleh rezim terhadap rakyatnya sendiri.
Sementara intervensi militer asing (baca: Barat) ke negeri itu dengan dalih melindungi warga sipil hampir dipastikan tidak mungkin dilakukan sedikitnya dalam waktu dekat mendatang, apalagi Suriah tidak menyimpan minyak seperti Libya. Karena itu sebagian pejabat negara Teluk mewacanakan untuk mempersenjatai kelompok oposisi dan tentara pembelot yang menamakan dirinya al-jeish al-hurr (tentara kebebasan).
Sebagian analis Arab menyebutkan, mempersenjatai tentara kebebasan dan milisi anti rezim dengan senjata yang tidak terlalu canggih terutama untuk menghadapi serangan tank dan pesawat helikopter bukanlah perkara sulit. "Selain dukungan politis juga perlu dukungan senjata guna menghambat serangan tank-tank dan pesawat-pesawat tempur rezim Assad," papar Mashari al-Zaidi, analis Arab dalam artikelnya di harian al-Sharqul Awsat, Saudi.
Namun ide mempersenjatai oposisi dan tentara kebebasan Suriah sejauh ini belum bergaung tinggi hanya sebatas wacana sebab banyak pihak yang kurang menytujui solusi tersebut dengan alasan dapat menjurus kepada perang saudara berkepanjangan. Perang saudara tersebut bisa membuka peluang perang sektarian yang meluas ke seantero kawasan.
Kemungkinan terjadi perang sektarian di kawasan memang sangat beralasan bila mempersenjatai kelompok anti rezim sebab akan menimbulkan perang saudara yang bersifat proxy war (perang mewakili kepentingan luar). Karenanya, penyelesaian politis yang dapat diterima semua pihak dengan saling memberikan konsesi meskipun hingga saat ini belum ditemukan jalannya, tetap sebagai solusi ideal yang diharapkan rakyat negeri tersebut.
Menggelikan
Pada saat masyarakat internasional terutama Liga Arab dan PBB masih "kebingungan" mencari solusi politis muncul pula tawaran yang menggelikan dari zionis Israel. Kemlu negeri itu seperti dilaporkan kantor berita AS (UPI), dalam pernyataannya Ahad (4/3) mengusulkan kepada Palang Merah Internasional (IRC) untuk segera menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Suriah.
Bahkan lebih aneh lagi pernyataan Menlu Israel, Avigdor Lieberman yang menyatakan keprihatian mendalam atas situasi di Suriah. "Negeri bangsa Yahudi tidak mungkin akan terus berdiam diri tanpa melakukan sesuatu terhadap peristiwa yang terjadi di Suriah," paparnya. Ia mungkin pura-pura lupa atas pembantaian yang dilakukan negerinya atas rakyat Suriah, Libanon dan Palestina.
Rakyat Suriah dari faksi manapun tidak pernah sekedar berpikir untuk mendapatkan bantuan dari negeri penjajah Israel karena mereka sadar bahwa bantuan tersebut tak lebih sekedar untuk melecehkan rakyat Suriah dan dalam kesempatan yang sama untuk mendapat simpati dunia setelah beberapa tahun belakangan ini terisolir akibat pembantaian biadab di Gaza pada akhir 2008.
Dan memang terbukti, belum beberapa hari sejak tawaran tersebut tentara zionis telah melakukan pembantaian lagi di Gaza sejak Jum`at (09/03/2012). Hingga hari Senin (12/03/2012) dilaporkan bahwa sedikitnya 25 warga Gaza gugur akibat serangan udara Israel dan tidak menutup kemungkinan Gaza akan kembali menjadi ladang percobaan senjata baru termasuk senjata terlarang secara internasional.
Para pemimpin negeri itu termasuk PM Benjamin Netanyahu mengancam untuk memperluas serangan mancakup serangan darat. Sayang sekali, akibat terlalu fokus pada Suriah, aksi Israel di Gaza tersebut terabaikan oleh banyak pemeimpin Arab termasuk juga kalangan media massa, tak terkecuali media dikenal sebagai pendukung "musim semi Arab" dan hanya menjadikannya berita sampingan.
Sementara sekutu utama Israel (AS) lewat juru bicara Kemlu AS, Victoria Nuland segera mengeluarkan kutukan keras atas para pejuang Palestina di Gaza yang mereka sebut teroris. Tembakan roket usang dan buatan dalam negeri yang tidak mengenai sasaran dianggap membahayakan warga Israel sementara darah warga Gaza yang telah enam tahun lebih diembargo dianggap sampah tanpa harga.
Tidak ada beda pembantaian di belahan bumi manapun dan harus dikutuk oleh umat manusia tanpa membedakan agama dan ras. Apalagi selama ini ribuan warga Palestina dibantai dengan sadis oleh tentara zionis secara terang-terangan di hadapan ratusan juta mata masyarakat internasional, tapi kesalahan selalu dialamatkan kepada korban dengan berbagai dalih untuk membela si anak emas Israel.
Karena itu sebagian analis Arab menilai bahwa warga Gaza lebih pantas dipersenjatai karena pembantaian Israel pasti akan berlanjut sementara roket-roket usang yang dimiliki para pejuang hanya sebatas mengusik kekhawatiran warga negeri zionis tersebut sebab jarang menimbulkan korban jiwa. Yang dibutuhkan para pejuang tersebut adalah senjata yang dapat menjadi deterrent (alat pencegah) serangan Israel.
Sebab bila para pejuang Palestina memiliki persenjataan memadai apalagi seperti Hizbullah di Libanon, paling tidak negeri Zionis itu akan berpikir ribuan kali untuk melakukan aksi militer. Tapi harapan seperti ini mungkin masih sebatas harapan dalam kondisi dunia Arab yang baru saja mengalami "musim semi" dan memang telah terbukti, mereka masih terlalu fokus pada krisis Suriah sehingga nasib Gaza kembali terabaikan.*/Sana`a, 19 R.Thani 1433 H
SEBENARNYA setelah veto China dan Rusia (Sinorus) di Dewan Keamanan (DK) PBB atas rancangan resolusi terkait pergolakan di Suriah, sudah dapat dibaca kemana krisis itu mengarah. Intinya veto pada 4 Februari lalu telah menyebabkan eskalasi berdarah yang semakin mengerikan dikarenakan rezim tampaknya menjadikannya sebagai lampu hijau untuk mengedepankan penyelesaian militer menghadapi tuntutan perubahan (baca: pelengseran).
Sebagai catatan, sejak veto "Sinorus" itu, krisis Suriah menjadi perhatian atau fokus utama hampir seluruh negara Arab dan Barat tentunya yang memiliki kepentingan mengganti rezim dengan rezim yang bisa diajak "lunak" dengan anak emas mereka (Israel). Berbagai upaya terus digodok baik di DK PBB dan Liga Arab maupun lewat serangkaian pertemuan termasuk pertemuan negara-negara yang menamakan dirinya ashdiqa suriah (sahabat-sahabat Suriah).
Tapi kenyataannya hingga saat ini, semua upaya tersebut nihil lalu eskalasi berdarah terus menjadi pemandangan keseharian dengan korban puluhan hingga ratusan setiap hari yang sebagian besar adalah di kalangan sipil tak berdaya. Akibatnya, krisis di negeri Syam itu kembali ke titik semula yakni solusi keamanan dan kekerasan sehingga banyak analis memprediksikan krisis itu dapat menjurus seperti kehancuran di Libya.
Jalan tengah seperti penyelesaian di Yaman tampaknya hampir mustahil terwujud apalagi dengan terpecahnya oposisi dan tuntutan dunia yang semakin melunak terhadap rezim dalam beberapa hari belakangan ini. Posisi rezim yang merasa berada di atas angin tersebut dapat sebagai peluang untuk terus "menghabiskan" para pengunjukrasa anti pemerintah meskipun berapa pun warga yang akan menjadi korban.
Boleh dikatakan, dalam dua bulan belakangan ini sejak veto Sinorus itu, rezim berhasil membalikkan meja ke arah kelompok oposisi dan negara-negara pendukung mereka. Tuntutan pelengseran rezim dari pihak-pihak yang terlibat penyelesaian krisis negeri Syam itu pun menyusut menjadi sekedar penengah bagi tercapainya sebuah rekonsiliasi.
Setelah kasak-kusuk untuk melemahkan posisi rezim di DK PBB kembali gagal karena ditolak oleh Rusia, pukulan telak atas oposisi kembali terjadi di forum Liga Arab dalam sidang tingkat Menlu (KTM) yang dihadiri pula oleh Menlu Rusia, Sergey Lavrov di Kairo yang tidak lagi menyebutkan pelengseran cukup sebatas rekonsiliasi. Pada pernyataan akhir pada 10 Maret lalu, diputuskan hasil sidang KTM tersebut dilimpahkan ke DK PBB dan sekedar dukungan moral buat rakyat Suriah pernyataan itu dibumbui dengan kecaman Liga Arab atas serangan keamanan Suriah atas distrik Baba Amr dan menilainya sebagai kejahatan perang.
Posisi rezim yang semakin berada di atas angin pasca veto tersebut sebenarnya sudah dapat dilihat dengan kentara pada saat pertemuan negara-negara sahabat Suriah yang juga dihadiri Menlu AS, Hilary Clinton pada akhir Februari lalu di kota Tunis, Tunisia. Selain terjadi perpecahan di tubuh oposisi yang hadir, hasil pertemuan tersebut juga sangat mengecewakan berupa pernyataan akhir yang lemah.
Intinya oposisi dan negara-negara sahabat Suriah yang mendukung lengsernya rezim salah perhitungan dengan prediksi mereka akan segera berakhirnya rezim sehingga mereka melakukan serangkaian pertemuan dan melimpahkan masalah negeri Syam itu ke PBB. Mereka juga mengusulkan pengiriman pasukan multinasional yang akhirnya gagal total setelah veto Sinorus.
Ibarat pepatah populer Arab "tajri ar-riyah bimaa la tashtahi as-sufun" yang maksudnya arah angin tidak sesuai dengan keinginan para awak kapal alias harapan yang diusung oposisi dan negara-negara pendukungnya tidak sesuai harapan. Sementara korban jiwa dan kehancuran di negeri itu terus berlanjut dan meningkat sehingga lautan darah menjadi pemandangan setiap hari tanpa pilih bulu termasuk korban anak-anak dan wanita.
Salah perhitungan itu juga dilihat dari kurang cermatnya membedakan antara rezim Suriah dengan rezim Libya sebelumnya, yang dalam posisi terisolir di tingkat regional dan internasional. Suriah di tingkat regional memiliki sekutu strategis kuat yakni Iran dan Hizbullah di Libanon disamping para pemimpin Irak aliran Syiah, plus dua kekuatan besar dunia yakni Rusia dan China yang memiliki kepentingan strategis untuk tetap mendukung Damaskus agar tidak terulang skenario Libya yang telah menyusutkan peran mereka di kawasan.
Ronde kemenangan
Ibarat pertarungan tinju, ronde demi ronde pasca veto China Rusia terakhir, selalu dimenangkan oleh rezim Suriah. Tapi siapakah pemenang terakhir kelihatannya masih sulit diprediksi apalagi dengan jumlah korban jiwa yang sangat mengerikan tentunya rawa-rawa darah itu bukanlah untuk memperkuat posisi rezim namun sebaliknya.
Apabila pada enam bulan sebelumnya, singgasana rezim oleh banyak pengamat Arab sudah demikian oleng karena dicungkil oleh unjukrasa yang terus meningkat, namun dalam dua bulan belakangan ini berada dalam posisi lebih kuat baik di tingkat regional maupun internasional. "Tapi kemenangan diplomatis di tingkat internasional tidak otomatis mengindikasikan kemenangannya di dalam negeri," papar sejumlah analis Arab.
Analisis itu didasari atas kondisi dalam negeri yang semakin parah terutama korban jiwa yang kian melonjak akibat pengedepanan solusi militer tanpa ada tawaran politis bagi sebuah reformasi yang dapat diterima rakyat. Yang terus dipertontonkan kepada masyarakat dunia adalah perang kota yang kian mengganas dengan korban jiwa yang semakin memilukan.
Dalam beberapa hari belakangan ini sejumlah utusan badan dunia dan negara-negara sahabat Suriah terutama Rusia dan China telah melakukan diplomasi ulang-alik mencoba mencari solusi politis termasuk utusan PBB dan Liga Arab, Kofi Anan. Hasilnya seperti telah diduga masih jauh dari harapan dan hal ini diakui langsung oleh Anan selepas lawatannya pada Ahad (11/03/2012) lalu.
Secara diplomatis ia memang menyatakan optimis akan dapat dicapai solusi politis, namun pengakuan setelahnya membersitkan peliknya pergolakan di negeri Syam itu. Dalam konferensi pers di Damaskus, Anan mengakui bahwa "masalahnya (Suriah) sangat pelik dan sangat sulit tercapai persetujuan menghentikan pertumpahan darah."
Pengakuan Anan tersebut paling tidak mengindikasikan bahwa pergolakan di negeri bekas pusat pemerintahan Khilafah Omawiyah itu masih akan berlarut dan tentunya genangan darah rakyat masih akan membanjiri negeri tersebut. Namun masyarakat internasional sangat sulit untuk mentolerir pembantaian yang dilakukan oleh rezim terhadap rakyatnya sendiri.
Sementara intervensi militer asing (baca: Barat) ke negeri itu dengan dalih melindungi warga sipil hampir dipastikan tidak mungkin dilakukan sedikitnya dalam waktu dekat mendatang, apalagi Suriah tidak menyimpan minyak seperti Libya. Karena itu sebagian pejabat negara Teluk mewacanakan untuk mempersenjatai kelompok oposisi dan tentara pembelot yang menamakan dirinya al-jeish al-hurr (tentara kebebasan).
Sebagian analis Arab menyebutkan, mempersenjatai tentara kebebasan dan milisi anti rezim dengan senjata yang tidak terlalu canggih terutama untuk menghadapi serangan tank dan pesawat helikopter bukanlah perkara sulit. "Selain dukungan politis juga perlu dukungan senjata guna menghambat serangan tank-tank dan pesawat-pesawat tempur rezim Assad," papar Mashari al-Zaidi, analis Arab dalam artikelnya di harian al-Sharqul Awsat, Saudi.
Namun ide mempersenjatai oposisi dan tentara kebebasan Suriah sejauh ini belum bergaung tinggi hanya sebatas wacana sebab banyak pihak yang kurang menytujui solusi tersebut dengan alasan dapat menjurus kepada perang saudara berkepanjangan. Perang saudara tersebut bisa membuka peluang perang sektarian yang meluas ke seantero kawasan.
Kemungkinan terjadi perang sektarian di kawasan memang sangat beralasan bila mempersenjatai kelompok anti rezim sebab akan menimbulkan perang saudara yang bersifat proxy war (perang mewakili kepentingan luar). Karenanya, penyelesaian politis yang dapat diterima semua pihak dengan saling memberikan konsesi meskipun hingga saat ini belum ditemukan jalannya, tetap sebagai solusi ideal yang diharapkan rakyat negeri tersebut.
Menggelikan
Pada saat masyarakat internasional terutama Liga Arab dan PBB masih "kebingungan" mencari solusi politis muncul pula tawaran yang menggelikan dari zionis Israel. Kemlu negeri itu seperti dilaporkan kantor berita AS (UPI), dalam pernyataannya Ahad (4/3) mengusulkan kepada Palang Merah Internasional (IRC) untuk segera menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Suriah.
Bahkan lebih aneh lagi pernyataan Menlu Israel, Avigdor Lieberman yang menyatakan keprihatian mendalam atas situasi di Suriah. "Negeri bangsa Yahudi tidak mungkin akan terus berdiam diri tanpa melakukan sesuatu terhadap peristiwa yang terjadi di Suriah," paparnya. Ia mungkin pura-pura lupa atas pembantaian yang dilakukan negerinya atas rakyat Suriah, Libanon dan Palestina.
Rakyat Suriah dari faksi manapun tidak pernah sekedar berpikir untuk mendapatkan bantuan dari negeri penjajah Israel karena mereka sadar bahwa bantuan tersebut tak lebih sekedar untuk melecehkan rakyat Suriah dan dalam kesempatan yang sama untuk mendapat simpati dunia setelah beberapa tahun belakangan ini terisolir akibat pembantaian biadab di Gaza pada akhir 2008.
Dan memang terbukti, belum beberapa hari sejak tawaran tersebut tentara zionis telah melakukan pembantaian lagi di Gaza sejak Jum`at (09/03/2012). Hingga hari Senin (12/03/2012) dilaporkan bahwa sedikitnya 25 warga Gaza gugur akibat serangan udara Israel dan tidak menutup kemungkinan Gaza akan kembali menjadi ladang percobaan senjata baru termasuk senjata terlarang secara internasional.
Para pemimpin negeri itu termasuk PM Benjamin Netanyahu mengancam untuk memperluas serangan mancakup serangan darat. Sayang sekali, akibat terlalu fokus pada Suriah, aksi Israel di Gaza tersebut terabaikan oleh banyak pemeimpin Arab termasuk juga kalangan media massa, tak terkecuali media dikenal sebagai pendukung "musim semi Arab" dan hanya menjadikannya berita sampingan.
Sementara sekutu utama Israel (AS) lewat juru bicara Kemlu AS, Victoria Nuland segera mengeluarkan kutukan keras atas para pejuang Palestina di Gaza yang mereka sebut teroris. Tembakan roket usang dan buatan dalam negeri yang tidak mengenai sasaran dianggap membahayakan warga Israel sementara darah warga Gaza yang telah enam tahun lebih diembargo dianggap sampah tanpa harga.
Tidak ada beda pembantaian di belahan bumi manapun dan harus dikutuk oleh umat manusia tanpa membedakan agama dan ras. Apalagi selama ini ribuan warga Palestina dibantai dengan sadis oleh tentara zionis secara terang-terangan di hadapan ratusan juta mata masyarakat internasional, tapi kesalahan selalu dialamatkan kepada korban dengan berbagai dalih untuk membela si anak emas Israel.
Karena itu sebagian analis Arab menilai bahwa warga Gaza lebih pantas dipersenjatai karena pembantaian Israel pasti akan berlanjut sementara roket-roket usang yang dimiliki para pejuang hanya sebatas mengusik kekhawatiran warga negeri zionis tersebut sebab jarang menimbulkan korban jiwa. Yang dibutuhkan para pejuang tersebut adalah senjata yang dapat menjadi deterrent (alat pencegah) serangan Israel.
Sebab bila para pejuang Palestina memiliki persenjataan memadai apalagi seperti Hizbullah di Libanon, paling tidak negeri Zionis itu akan berpikir ribuan kali untuk melakukan aksi militer. Tapi harapan seperti ini mungkin masih sebatas harapan dalam kondisi dunia Arab yang baru saja mengalami "musim semi" dan memang telah terbukti, mereka masih terlalu fokus pada krisis Suriah sehingga nasib Gaza kembali terabaikan.*/Sana`a, 19 R.Thani 1433 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com tinggal di Yaman
No comments:
Post a Comment