وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang yang datang sesudah mereka -sesudah Muhajirin dan
Anshar- berdoa; Robbanaghfirlanaa wa li ikhwaaninalladziina sabaquuna
bil iimaan, wa laa taj’al fii quluubinaa ghillal liliadziina aamanuu.
Robbanaa innaka ro’uufurr rahiim. “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah terlebih dahulu beriman, dan janganlah
Kau jadikan di dalam hati kami perasaan dengki terhadap orang-orang yang
beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Hasyr: 10)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Maka
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang di dalam hatinya terdapat
perasaan dengki terhadap kaum mukminin terbaik dan pemimpin para wali
Allah ta’ala setelah para Nabi? Bahkan Yahudi dan Nasrani memiliki satu
kelebihan di atas mereka. Orang Yahudi ditanya, “Siapakah orang-orang
terbaik diantara pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat
Musa.” Orang Nasrani ditanya, “Siapakah orang-orang terbaik diantara
pemeluk agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat ‘Isa.” Kaum
Rafidhah/Syi’ah ditanya, “Siapakah orang-orang terjelek diantara
pengikut agama kalian?”. Mereka menjawab, “Para Sahabat Muhammad!!!”
Mereka tidak mengecualikan kecuali sedikit sekali. Bahkan diantara orang
yang mereka cela itu terdapat orang yang jauh lebih baik daripada yang
mereka kecualikan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah takhrij Syaikh al-Albani, hal. 470)
Keserupaan Syi’ah dengan Yahudi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang-orang
Yahudi berkata bahwa tidak boleh kekuasaan itu dipegang oleh selain
keturunan Dawud. Demikian pula, kaum Rafidhah/Syi’ah. Mereka mengatakan
bahwa tidak boleh imamah/kepemimpinan umat ini dipegang oleh selain
keturunan Ali.
Orang Yahudi berkata bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali
setelah keluarnya al-Masih ad-Dajjal dan diturunkan pedang. Kaum
Rafidhah pun mengatakan bahwa tidak ada jihad fi sabilillah kecuali
setelah keluarnya Imam Mahdi dan terdengar seruan dari langit.
Orang-orang Yahudi mengakhirkan sholat hingga bintang-bintang
tampak. Maka begitu pula Rafidhah. Mereka mengakhirkan sholat Maghrib
hingga bintang-bintang tampak. Padahal di dalam hadits ditegaskan,
“Umatku akan senantiasa berada di atas fithrah selama mereka tidak
mengakhirkan sholat Maghrib hingga tampaknya bintang-bintang.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, di dalam Zawa’id disebutkan bahwa sanadnya
hasan).
Orang-orang Yahudi menyelewengkan ayat-ayat Taurat. Begitu pula
kaum Rafidhah menyelewengkan ayat-ayat al-Qur’an. Yahudi memandang tidak
dituntunkan mengusap khuf. Begitu pula Rafidhah memandang hal itu tidak
diajarkan.
Orang Yahudi membenci Jibril, mereka mengatakan, “Jibril adalah
musuh kami dari kalangan malaikat.” Begitu pula Rafidhah, mereka
mengatakan, “Jibril salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad.” (lihat Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, dikutip dari Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 23-24)
Keyakinan Syi’ah Tentang Imam-Imam Mereka
Mengenai kedudukan para imam Syi’ah, Khomeini mengatakan, “Sesungguhnya
kami ini -para imam dua belas- mengalami keadaan-keadaan bersama Allah
yang tidak dialami bahkan oleh malaikat yang dekat maupun nabi yang
diutus.” (lihat Tahrir al-Wasilah karya Khomeini, dikutip dari Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 27).
Bahkan para ulama Syi’ah menganggap imam-imam mereka -keturunan Ali-
adalah lebih utama daripada nabi-nabi. Salah seorang ulama Syi’ah yang
bernama al-Majlisi mengatakan di dalam kitabnya Mir’at al-’Uquul, “Sesungguhnya
mereka -para imam- itu lebih mulia dan lebih utama daripada seluruh
nabi selain Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 27)
Kaum Syi’ah juga Sangat membenci para Sahabat terutama yang menggantikan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat ini sesudah wafatnya beliau kecuali Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhum. Mereka menganggap para Sahabat itu adalah pengkhianat, bahkan kafir!
al-Qumi salah seorang ulama Syi’ah mengatakan di dalam tafsirnya tentang firman Allah (yang artinya), “Dan dia melarang dari fakhsya’, mungkar dan baghyu.” (QS. an-Nahl: 90). Dia mengatakan, “Yang dimaksud fakhsya’ adalah Abu Bakar, mungkar adalah ‘Umar, dan baghyu adalah ‘Utsman.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 21).
Di dalam Bihar al-Anwar al-Majlisi membuat pembahasan khusus yang berjudul, “Hadits-hadits
yang menunjukkan kekafiran Abu Bakar dan ‘Umar serta orang-orang yang
mendukung mereka berdua, pahala bagi orang yang melaknat mereka,
keharusan berlepas diri dari mereka, bahwa bid’ah yang mereka lakukan
terlalu banyak untuk disebutkan dalam satu jilid buku ini ataupun
berjilid-jilid buku yang lain…” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 21)
Siapakah yang meragukan keutamaan para Sahabat terbaik semacam Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman radhiyallahu’anhum?! Putra Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang bernama Muhammad bin al-Hanafiyah pernah bertanya kepada ayahnya, “Aku bertanya kepada ayahku: Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa?”. Beliau menjawab, “’Umar.” Dan aku khawatir jika beliau mengatakan bahwa ‘Utsman adalah sesudahnya, maka aku katakan, “Lalu anda?”. Beliau menjawab, “Aku ini hanyalah seorang lelaki biasa di antara kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu’anhuma berkata, “Dahulu
di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup kami
memilih-milih siapakah orang yang terbaik. Maka menurut kami yang
terbaik di antara mereka adalah Abu Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian
‘Utsman bin ‘Affan. Semoga Allah meridhai mereka semuanya.” (HR. Bukhari)
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian
ada yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu
tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu
mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang menginfakkan ‘sepasang hartanya’ di jalan Allah maka dia akan
dipanggil -oleh malaikat- dari pintu-pintu surga, ‘Wahai hamba Allah!
Inilah kebaikan -yang akan kamu peroleh-.’ Barangsiapa yang tergolong
ahli sholat, maka dia akan dipanggil dari pintu sholat. Barangsiapa yang
tergolong ahli jihad, maka dia akan dipanggil dari pintu jihad.
Barangsiapa yang tergolong ahli sedekah, maka dia akan dipanggil dari
pintu sedekah. Barangsiapa yang tergolong ahli puasa, maka dia akan
dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Wahai
Rasulullah, apa yang perlu dikhawatirkan oleh orang yang dipanggil
dari pintu-pintu itu. Adakah orang yang dipanggil dari kesemua pintu
itu?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ada. Dan aku berharap kamu termasuk diantara mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan keutamaan yang ada pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan tentang beliau, “Aku berharap semoga kamu termasuk di dalamnya.” Yaitu golongan
orang-orang yang dipanggil dari semua pintu surga. Hal itu karena
harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi, sebagaimana yang
diterangkan oleh para ulama (lihat Fath al-Bari [7/31] dan Syarh Shahih Muslim [4/353]).
Siapakah yang meragukan bahwa Abu Bakar masuk surga?! Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Siapakah di antara kalian yang hari ini berpuasa?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah memberi makan orang miskin?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu menjawab, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit?”. Abu Bakar radhiyallahu’anhu kembali menjawab, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah itu semua terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (as-Sunnah, sanadnya hasan, lihat as-Sunnah li Abdillah ibni Ahmad ibni Hanbal, Jilid 1 hal. 378)
Kalau seorang Sahabat saja sudah seperti ini kedudukannya, lantas
bagaimana menurut anda orang yang menganggap kafir semua para Sahabat
kecuali beberapa gelintir orang saja?! Salah seorang pembesar ulama
Syi’ah yang bernama al-Kulaini di dalam Furu’ al-Kafi membawakan riwayat dusta atas nama keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, bahwa Ja’far ‘alaihis salam mengatakan, “Seluruh manusia setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berubah menjadi murtad kecuali tiga orang.” Lalu ditanyakan kepada belliau, “Siapakah tiga orang itu?”. Beliau menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 20). Maha suci Allah.. Sungguh ini adalah kedustaan yang sangat besar!!
Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada
seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang
zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau
sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita
al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela
Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita
demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas
untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat Qathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk
Sunnah adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang
timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka
dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah.
Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah. Mendoakan kebaikan untuk
mereka adalah ibadah. Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan
mengambil atsar/riwayat mereka adalah sebuah keutamaan.” (lihat Qathful Jana ad-Daani, hal. 162)
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kita
mencintai para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita
tidak berlebih-lebihan dalam mencintai salah seorang diantara mereka.
Kita juga tidak berlepas diri dari siapapun diantara mereka. Kita
membenci orang yang membenci mereka, dan juga orang-orang yang
menjatuhkan kehormatan mereka. Kita tidak menyebutkan mereka kecuali
dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah termasuk bagian agama,
ajaran keimanan dan sikap ihsan. Adapun membenci mereka adalah
kekafiran, kemunafikan dan sikap yang melampaui batas.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 488. Ta’liq Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan)
—
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment