Salam
dalam agama Islam esensinya adalah saling mendoakan, momentum
silaturahmi, dan mencairkan hubungan antarsesama. Kekuatan salam ini,
jika dipraktikkan, akan mampu membawa dampak positif. Saya punya satu
cerita soal salam ini, bagaimana kemampuannya memecahkan kebekuan
suasana (break the ice).
Rekan
saya yang sudah lama bermukim di Madinah Al-Munawwarah, H. Rusdin bin
H. Usman, kerap berulah ketika bersua dengan rekan-rekannya dari Madinah
Al- Munawwarah Arab Saudi. Bahkan, rekan saya itu sengaja memancing
tensi emosi lawan bicaranya hingga nyaris berkelahi. Cara itu sengaja
dilakukan untuk mengetahui seberapa melekat tradisi ke-Islam-an pada
diri orang Arab, terutama masyarakat Madinah. Apalagi, Madinah paling
lama tempat bermukimnya Rasulullah.
Ketika tensi emosi orang Madinah memuncak, Rusdin dengan fasih mengucapkan “Assalamu Alaikum”. Rekannya yang nyaris saja ingin memukulnya menarik bogemnya agar tidak mendarat pada wajah Rusdin dan spontan menjawab “Waalaikum Salam” sebagai
kalimat damai. “Saya heran kamu ini, tadi berbuat kurang ngajar sama
saya, memancing emosi saya, tetapi saat saya ingin memukul, kamu
menyebut salam,” ujarnya yang dikutip Rusdin saat bercerita di Madinah
beberapa tahun lalu.
Mengapa
orang Arab tidak berani memukul orang yang jelas-jelas berulah kurang
ajar pada dirinya? Ternyata, kata Rusdin adalah kalimat damai dan tidak
boleh seseorang berlaku curang jika rekannya sudah berdamai. Apalagi,
kalimat itu mengandung doa saling menyelamatkan dan keberkahan.
Cerita
ini bukan mengada-ada, tetapi dilakukan sendiri oleh Rusdin dan
ternyata tradisi perdamaian yang ditanamkan Rasulullah 14 abad lalu
masih membekas di hati umatnya di Kota Madinah. Kebiasaan itu, berlaku
juga pada aparat Kepolisian di sana. Saat merazia warga Negara lain yang
berjualan di sekitar masjid Madinah, aparat Kepolisan Arab dengan akrab
menyampaikan salam, lalu bersalaman saling berpelukan cium pipi kiri
dan kanan. Saat itu juga menangkap siapa saja yang melanggar tanpa
ampun, meski pedagang merontak-rontak ingin melepaskan diri. Mereka
menciduk dan membawanya ke tempat penyekapan atau rumah tahanan hingga
menunggu proses hukum selanjutnya.
Tidak
ada istilah main-main atau diberi pelicin agar yang ditangkap bisa
dibebaskan. Tidak ada istilah negosiasi atau apapun namanya. Polisi Arab
Saudi melaksanakan tugas dan fungsi-nya (Tupoksi) dengan baik dan
jujur. Mereka tidak main-main saat menangkap orang, meski dengan gaya
yang sopan diawali salam dan peluk cium.
Mereka
bukan karena benci, tetapi supremasi hukum harus ditegakkan, tanpa
“pandang bulu”. Bahkan, jangan heran atasan mereka juga tetap diperiksa
dan jika melanggar aturan mereka tidak segan-segan menangkapnya. “Itulah
polisi Arab, fisiknya kurus-kurus dan tingkat pendidikan banyak yang
tidak sampai tamat SMA, tetapi mereka sigap, jujur dan amanah
melaksanakan tugas kenegaraan,”.
Tradisi damai itu, sangat kental terlihat saat beribadah
haji. Saling menyapa, salam antara jamaah, meski dengan bahasa isyarat.
Saling tukar pemberian, padahal baru kenal sekali sudah sok akrab.
SKSD, sok kenal sok dekat! Namun, ada jamaah Indonesia marah-marah pada
orang Afrika yang antrean panjang agar mendapatkan jatah pembagian
kurma.
Saya
melihat orang Indonesia yang kecil berani marah-marah pada orang Afrika
yang tingginya berbeda jauh. Bahkan, jika saja orang Afrika itu marah,
maka dengan menjambah rambutnya saja orang Indonesia itu tidak akan bisa
berbuat apa-apa. Orang Afrika itu dengan sabar membelai dan mengucapkan
salam. Mungkin karena tidak faham salam, orang Indonesia itu tetap
marah, tetapi sayang orang Afrika itu mengucapkan salam dan meninggalkan
saudaranya yang tidak mengerti juga tentang hakikat salam yang
sesungguhnya.
Memang
banyak jamaah haji Indonesia jengkel melihat ulah orang Afrika.
Bayangkan, saat duduk tawaddu di masjid, kepala kita dipegang dan
dilangkahinya. Itu barangkali tabiat mereka, tetapi hatinya cukup baik
dan bisa menahan emosi, meski fisiknya ditakuti siapa saja. Salam yang
mereka lafalkan bukan sekadar pemanis bibir (lips service), tetapi diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Mengapa
salam ini tidak kita jadikan simbol perdamaian jika terjadi tawuran
antar-pelajar, mahasiswa, antarkampung, dan lainnya. Apakah salam kita
baru sebatas lisan? Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing.
http://www.kompasiana.com/abaneso
No comments:
Post a Comment