Monday, May 21, 2012

Daumatul Jandal, Kota Tiga Peristiwa Bersejarah

Daumatul Jandal, Kota Tiga Peristiwa Bersejarah (1)
Sebuah benteng tua di Daumatul Jandal, kini disebut Al-Jouf, di Arab Saudi.
Suatu hari, Rasulullah SAW memanggil Abdul Rahman bin Auf RA. “Bersiaplah engkau, sesungguhnya aku akan mengirimmu kepada sebuah kabilah!” ujar beliau.

Lalu, Nabi SAW menugaskan Abdul Rahman ke sebuah tempat bernama Daumatul Jandal. Ketika tiba di sana, ia berdakwah kepada penduduk di wilayah itu.

Selama tiga hari, Abdul Rahman mengajak penduduk di Daumatul Jandal untuk memeluk Islam. Dan pada hari terakhir, Asbagh bin Amar Al-Kalbi mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia adalah seorang pemeluk Nasrani dan ketua kabilah setempat.

Kisah tersebut yang tercantum dalam kitab Risalah Ad-Dakwah itu mengutip hadis yang diriwayatkan Imam Daruqutni. Dalam kisah yang juga termuat dalam Hayatus Sahabah itu, tercantum sebuah nama Daumatul Jandal—sebuah tempat bersejarah bagi umat Islam.

Daumatul Jandal juga tercantum dalam hadis yang diriwayatkan Imam bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Nasa’i. “Daumatul Jandal terletak di antara Syam (Suriah) dan Madinah Al-Munawarah, dekat Gunung Thayyi,” ujar Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadith Al-Nabawi.

Menurut pakar hadis itu, Daumatul Jandal adalah sebuah tanah datar, yakni tanah datar As-Sarhan. “Letaknya di utara Kota Tayma sejauh 450 kilometer.”

Paling tidak, ada tiga peristiwa penting yang terjadi di Daumatul Jandal. Pertama, Perang Daumatul Jandal pada era Rasulullah. Kedua, pada masa era kepemimpinan Abu Bakar juga sempat terjadi pertempuran di wilayah itu. Ketiga, ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib bersengketa dengan Muawiyyah, Daumatul Jandal menjadi tempat kedua kelompok bertahkim.

Pada Rabiul Awal 5 H/Agustus 626 M, Rasulullah SAW sempat memimpin pasukan untuk memerangi kaum kafir yang mengganggu Islam di Daumatul Jandal. Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah SAW baru kembali ke Madinah selama beberapa bulan setelah berperang. Saat itu, adalah tahun keempat sejak kedatangan Rasulullah SAW di Madinah.

Rasulullah kemudian berangkat membawa pasukan. Sebelum meninggalkan Madinah, Rasulullah mengangkat Siba bin Urfuthah Al-Ghifari sebagai imam sementara Madinah selama kepergiannya. Namun, peperangan tak terjadi karena pasukan yang dipimpin Nabi SAW tak menjumpai musuh di Daumatul Jandal.

Nabi Muhammad pun tinggal di Madinah hingga akhir tahun itu. Menurut Dr Syauqi, Rasulullah juga pernah mengirimkan Khalid bin Walid ke Daumatul Jandal. Ketika itu, Nabi SAW sedang berada di Tabuk pada 9 H.

Tak lama setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Ketika itu, muncul fenomena orang-orang yang mengaku sebagai nabi.

Salah satunya adalah Musailamah Al-Kazzab. Selain murtad, ia juga mengaku sebagai nabi dan melakukan pemberontakan.

Khalifah Abu Bakar pun tak tinggal diam. Bersama pasukan Islam, Abu Bakar memerangi kaum murtad itu dalam sebuah pertempuran bernama Perang Yamamah pada Desember 632 M. Kemenangan diraih pasukan Islam.

Delapan bulan kemudian, tepatnya Agustus 633 M, terjadi lagi pemberontakan yang dilakukan Bani Kilab yang tinggal di Daumatul Jandal. Pemimpin Bani Kilab menyatakan diri sebagai nabi dan murtad dari Islam.

Pasukan tentara Islam pun berupaya untuk menangkap pemimpin murtad yang memimpin pemberontakan itu. Khalifah Abu Bakar mengirim komandan perang Islam, Iyadh bin Ghanam, bersama 4.000 pasukan ke Daumatul Jandal.

Upaya untuk menangkap nabi palsu yang murtad itu mendapat perlawanan dari 15 ribu pasukan yang dipimpin Judi bin Rabiah dan Ukaidar bin Abdul Malik. Kekuatan pasukan murtad itu sangat kuat karena memiliki sumber perbekalan yang melimpah.

Melihat kekuatan pasukan musuh yang begitu kuat, Iyadh bin Ghanam berkirim surat kepada Khalid bin Walid. Intinya, pasukan yang dipimpinnya tak mampu menembus basis pertahanan musuh karena jumlah pasukan amat kurang. Khalid yang ketika itu baru saja menguasai Ainul Tamar dalam Perang Ainul Tamar bersama 6.000 tentara bergegas menuju Daumatul Jandal.

Setibanya di Daumatul Jandal, Khalid membagi pasukannya menjadi dua bagian. Pasukan yang dipimpin Iyadh ditempatkan di timur, utara, dan barat Daumatul Jandal. Sedangkan, tentara yang dipimpin Khalid menempati bagian selatan yang berada di belakang Daumatul Jandal.

Dalam Perang Daumatul Jandal, pasukan tentara Islam menerapkan strategi yang berbeda dibanding perang-perang sebelumnya. Khalid kali itu menerapkan strategi bertahan. Strategi itu berhasil memancing emosi lawan. Lantaran bosan melihat tentara Islam tidak bergerak, pasukan kaum murtad yang dipimpin Judi bin Rabiah menyerang pasukan Khalid.

Sedangkan, pasukan yang dipimpin Ukaidar bin Abdul Malik menyerang tentara Islam di bawah komando Iyadh. Begitu musuh menyerang keluar, pasukan tentara Islam menyerang dari berbagai arah sehingga pasukan kaum murtad terdesak dan kembali ke Daumatul Jandal.

Pasukan yang dipimpin Iyadh berhasil menerobos gerbang Daumatul Jandal dan mampu mengalahkan musuh. Dalam pertempuran itu, sebanyak 10 ribu tentara kaum murtad tewas dan 2.000 tentara Muslim gugur sebagai syuhada. Iyadh juga gugur dalam pertempuran itu. Sejak itu, Daumatul Jandal dikuasai kaum Muslim.

Daumatul Jandal kembali menjadi saksi sejarah pada era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, dunia Islam mengalami ketegangan. Saat itu, kelompok yang dipimpin Muawiyah mendesak agar Khalifah Ali bin Abi Thalib menghukum pelaku pembunuhan Utsman.

Mereka tak akan berbaiat selama pembunuh khalifah ketiga itu belum dihukum. Masa ini dikenal sebagai zaman fitnah besar. Ada upaya mengadu domba umat Islam.

Hingga akhirnya, perseteruan antara kelompok Muawiyah dan Ali semakin meruncing dan memantik terjadinya Perang Siffin. Dalam perang itu, kelompok Muawiyah nyaris kalah.

Sebelum benar-benar kalah, mereka mengajak untuk bertahkim (arbitrase) guna menyelesaikan konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) itu dilaksanakan di Daumatul Jandal pada Ramadhan 37 H. Kelompok Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash (wafat tahun 43 H) dan kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari (wafat tahun 44 H).

Keduanya bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing. Dalam perundingan itu, Amr menyatakan kepada Abu Musa bahwa konflik itu terjadi karena Ali dan Muawiyah. Menurut Amr, untuk menciptakan perdamaian, kedua orang itu harus dipecat dan kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru.

Amr memberi kesempatan pertama kepada Abu Musa untuk naik mimbar. Abu Musa mengumumkan pemecatan Ali. Sesudah itu, Amr naik mimbar pula, ia menerima pemecatan Ali.

Karena Ali sudah dipecat, kata Amr, khalifah hanya tinggal Muawiyyah saja. Ia lalu menetapkan Muawiyah sebagai khalifah umat Islam. Keputusan tahkim itu memicu protes dari kubu Ali. Hasil perundingan itu tak berhasil menyelesaikan konflik. Yang ada justru melahirkan kelompok baru.

Kelompok Ali terpecah menjadi dua; kelompok pendukung yang disebut Syiah dan yang memberontak, yakni Khawarij. Setelah itu, di dunia Islam muncul Dinasti Umayyah yang berbasis di Damaskus.

Pada era modern ini, Daumatul Jandal terletak di Provinsi Al-Jouf, Arab Saudi. Inilah provinsi paling utara yang menghubungkan Suriah dan Irak dengan semenanjung Arab.

Wilayah itu merupakan tempat munculnya kebudayaan Nabatean dan Asyiria. Luas wilayah Al-Jouf sekitar 58.425 km persegi yang meliputi dataran tinggi, lembah, dan dataran yang subur.

Provinsi itu terbagi ke dalam tiga wilayah, yakni Sakaka, Qurayyat, dan Daumatul Jandal. Provinsi itu beribukota Sakaka.

Provinsi Al-Jouf masyhur sebagai wilayah di Kerajaan Arab Saudi yang kaya akan barang antik dan monumen arkeologinya.

Di Al-Jouf, terdapat Masjid Umar bin Khathab yang dibangun pada 17 Hijriyah di Daumatul Jandal. Masjid itu dibangun oleh khalifah Umar bin Khatthab saat perjalanannya ke Baitul Maqdis, Palestina.

Daumatul Jandal merupakan sebuah kota kuno dan muncul dalam catatan sejarah Asyiria. Di daerah itu, terdapat bangunan kuno bersejarah, seperti Qasr (benteng) Ma'farid dengan tinggi 2.000 kaki, dibangun sekitar 2000 SM, dan dibangun kembali oleh Nawwaf bin Nuri bin Shalan pada 1913.

Selain itu, juga terdapat Benteng Za'abal yang dibangun pada abad ke-7 SM. Sedangkan batu yang berdiri di Ar-Rajajil merupakan peninggalan bersejarah pada zaman megalitikum. Diperkirakan umurnya sekitar 5.000 tahun, dibangun sebagai alat untuk penunjuk waktu, semacam jam matahari.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Heri Ruslan


Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Heri Ruslan
Republika


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment