Thursday, May 31, 2012

Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah

Terkejut, prihatin, dan rasa kasihan bercampur menjadi satu. Ketika mencari-cari artikel di internet secara kebetulan saya menemukan sebuah artikel dalam sebuah koran tanah air yang pernah muncul beberapa bulan silam (Jawa Pos. Senin 1 Oktober 2007). Artikel itu berjudul Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah. Risalah ini dikeluarkan oleh sebuah partai ternama yang konon katanya partai dakwah dan sangat menginginkan ishlah (perbaikan) dan kokohnya jalinan ukhuwah (persaudaraan). Begitulah idealisme mereka, sebagaimana terkesan dari judul risalah yang mereka keluarkan di atas. Namun, sayangnya risalah ini justru telah berubah menjadi batu sandungan yang menghambat terjalinnya ukhuwah sesama kaum muslimin yang ingin berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marilah kita buktikan bersama…

Di dalam risalah itu telah disebutkan kalimat-kalimat yang kurang bijak sebagai berikut, “Tidak seperti kelompok yang disebut sebagai Wahabi, PKS adalah Partai politik yang beraktifitas di NKRI, yang menjadikan partai sebagai sarana/wasilah untuk berdakwah dan menyebarkan yang ma’ruf dengan tetap menghormati perbedaan furuiyah, mengedepankan ukhuwwah dan memahami bahwa ikhtilaf ijtihad bisa menjadi rahmat. Karenanya melakukan tabdi’ (membid’ahkan) dan takfir (mengkafirkan) para ulama apalagi para Wali songo yang sangat berjasa itu bukanlah Manhaj PKS yang menganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karenanya PKS tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang berisi hujatan maupun pengharaman terhadap peringatan Maulid, Tahlilan, Barzanji yang dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jadi foto kopi surat edaran yang mengatas namakan DPP tanpa ada yang menanda tanganinya dan menggunakan kop yang berbeda itu adalah palsu dan merupakan fitnah terhadap PKS. Maka tidak aneh bila kader PKS seperti DR Nur Mahmudi Ismail yang juga adalah walikota Depok, menyelenggarakan peringatan Maulid dengan penceramah K.H. Zainuddin MZ dan Habieb Rizieq Shihab.” (Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah).

Sebelum lebih dalam menanggapi isi risalah ini, maka izinkanlah kami untuk terlebih dulu memaparkan hakikat persaudaraan dan ishlah yang menjadi tujuan disebarkannya risalah tersebut dan juga menjadi tujuan ditulisnya artikel ini, semoga Allah memberikan taufik kepada kita kepada kebenaran dan keistiqamahan di atasnya.
Hakikat Persaudaraan
Allah Yang Maha Bijaksana berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu…” (QS. Al Hujurat: 10)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka orang-orang mukmin adalah bersaudara dalam agama dan akidah. Meskipun garis keturunan, negeri-negeri, dan masa hidup mereka saling berjauhan…” (Al Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal. 349). Syaikh Abdullah bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka saudaramu seakidah itulah saudaramu yang sejati. Dan musuhmu yang sebenarnya adalah musuhmu dalam hal akidah…” (Hushulul Ma’mul, hal. 37).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
{ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا }
“Janganlah kalian saling membenci. Janganlah kalian mendengki. Dan janganlah kalian saling membelakangi (memboikot). Jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah sebagai orang-orang yang bersaudara..” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
{ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ }
“Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” Maka para sahabat berkata, “Orang yang terzalimi jelas kami tolong, lalu bagaimanakah cara menolong orang tersebut kalau dia yang melakukan kezaliman?” Beliau pun mengatakan, “Yaitu dengan cara mencegahnya dari perbuatan zalim itu.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Dalil-dalil di atas dengan jelas menggambarkan kepada kita bahwa persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan di atas keimanan. Persaudaraan yang dibangun di atas kecintaan dan kebencian karena Allah, karena itulah simpul iman yang paling kuat sebagaimana telah diungkapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah ta’ala meniadakan keimanan pada diri orang-orang yang masih menyimpan rasa sayang dan kecintaan yang dalam kepada siapa saja yang secara terang-terangan menentang Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Tidak akan kamu temukan sebuah kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir namun berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, ataupun sanak kerabat mereka…” (QS. Al Mujadilah: 22)

Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maka tidaklah seorang hamba menjadi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir secara hakiki kecuali dia pasti menunaikan konsekuensi keimanan dan tuntutan-tuntutannya. Di antara konsekuensi itu adalah mencintai dan membela orang-orang yang menegakkan keimanan serta membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak menegakkan nilai-nilai keimanan meskipun orang itu adalah orang terdekat dengannya.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 848).

Inilah akidah al wala’ wal bara’ yang menjadi salah satu pilar utama tegaknya agama Islam. Sehingga ada di antara manusia yang harus kita berikan kecintaan dan loyalitas secara penuh. Mereka itu adalah orang-orang mukmin yang terpilih seperti para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan ada pula yang harus kita benci dan kita kibarkan bendera permusuhan. Mereka itu adalah orang-orang kafir, musyrik, murtad, mulhid (atheis, menyimpang dari prinsip Islam, dsb.) dengan segala macam aliran mereka. Dan ada juga yang dari satu sisi mendapatkan kecintaan dan loyalitas, namun dari sisi yang lain mereka juga berhak untuk mendapatkan kebencian dan permusuhan. Mereka inilah yang disebut dengan ‘ushatul mukminin (orang-orang beriman yang terjerumus dalam kemaksiatan). Mereka dicintai sesuai kadar keimanannya dan mereka dibenci sesuai kadar kemaksiatan yang telah mereka lakukan (lihat Al Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal. 359-360).

Sehingga dalam konteks ini -yaitu sikap kepada orang Islam yang berbuat salah- kita tidak mengenal istilah tasamuh atau toleransi dalam artian membiarkan sebagian umat Islam yang melakukan maksiat tanpa ada upaya untuk melarang atau membendung kemungkaran yang mereka lakukan. Dan perlu kiranya kita ingat bahwa kandungan istilah maksiat lebih luas daripada dosa-dosa yang biasa dikenal masyarakat seperti berzina, mencuri, minum khamr, dsb. Sebab dalam al-Qur’an dan as-Sunnah kata maksiat digunakan untuk mewakili segala macam penentangan kepada Allah atau Rasul-Nya. Sehingga maksiat itu meliputi segala macam dosa, termasuk di antaranya adalah perbuatan bid’ah. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (sudah masuk bulan Ramadhan atau belum) maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abu Dawud serta dinyatakan hasan oleh penulis buku Shifat Shaum Nabi hal. 28 karena banyaknya jalan periwayatan dan hadits-hadits penguatnya).

Oleh sebab itulah, wahai pembaca yang budiman… adalah sebuah pengkhianatan atas ukhuwah islamiyah apabila ada seorang muslim yang mengetahui saudaranya berada di atas kemungkaran dan dia barang sedikitpun tidak tergerak untuk berupaya menasihatinya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, dst… (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” Maka para sahabat berkata, “Orang yang terzalimi jelas kami tolong, lalu bagaimanakah cara menolong orang tersebut kalau dia yang melakukan kezaliman?” Beliau pun mengatakan, “Yaitu dengan cara mencegahnya dari perbuatan zalim itu.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Inilah hak-hak ukhuwah imaniyah yang akan mempererat ikatan ukhuwah dan mewujudkan ishlah yang hakiki. Bahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhu pun berjanji setia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu menasihati setiap muslim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu, “Aku berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan bersikap nasihat (mencintai kebaikan) kepada setiap muslim.” (Muttafaq ‘alaih)

Karena sikap nasihat dan menyukai kebaikan bagi saudaranya semacam inilah para ulama yang terdahulu (as-sabiqun) dari kalangan sahabat dan tabi’in memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar ibnu ‘Ayasy tentang Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Tidaklah Abu Bakar melebihi para sahabat yang lain gara-gara banyaknya mengerjakan puasa atau shalat. Akan tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Dan yang ada di dalam hati beliau adalah “Kecintaan untuk Allah dan keinginan menasihati sesama makhluk.” (Faedah ini kami dapatkan dari ceramah Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah yang terdapat dalam CD kajian Untaian Nasihat dari Kitab Arba’in An Nawawiyah, penerbit Pustaka Muslim). Dan bukankah kita ingat bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama kali mengobarkan peperangan kepada kaum yang sepakat untuk tidak mau membayar zakat, padahal mereka mengucapkan syahadat? Apakah akan kita katakan bahwa manusia terbaik sesudah para nabi ini telah mencabik-cabik ukhuwah dan memorak-porandakan bangunan Islam? Dan bukankah kita juga masih ingat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot (mendiamkan) Ka’ab bin Malik bersama dua orang temannya gara-gara tidak ikut perang Tabuk tanpa alasan? Apakah akan kita katakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencerai-beraikan jalinan ukhuwah dan menghambat upaya ishlah?

Oleh sebab itulah, wahai pembaca yang budiman… tatkala para ulama kita menuliskan berbagai kitab dan risalah untuk membantah ahli bid’ah dan membongkar kesesatan dan penyimpangan mereka bukanlah itu artinya mereka sedang mengobral aib tanpa hak dan merusak ukhuwah islamiyah apalagi menodai kehormatan orang-orang yang berjasa kepada kaum muslimin. Dikisahkan oleh Abu Turab An Nakhasyabi bahwa pada suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau, “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab, “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan gunjingan.” (Al Ba’its Al Hatsits, hal. 228).

Bukankah kalau ada seorang oknum polisi yang membiarkan seorang pencuri melakukan aksi pencurian di hadapannya dan mengatakan, “Jangan kalian sebut dia maling, biarkan saja. Dia ‘kan saudara kita!” maka tentunya akan kita katakan bahwa orang ini akalnya kurang waras atau bahkan pengkhianat. Lalu bagaimana kita bisa diam terhadap para penyeru kebid’ahan dan penebar pemikiran sesat yang telah ditokohkan oleh sebagian umat Islam, padahal kesesatan mereka telah meracuni hati dan pikiran masyarakat sampai-sampai kebenaran dianggap sebagai kebatilan dan kebatilan justru dianggap benar? Wahai orang-orang yang beriman, manakah yang lebih kalian sukai harta kalian hilang ataukah akidah dan Sunnah Nabi kalian yang hilang?

Hakikat Ishlah
Makna ishlah dapat kita tinjau dari dua sisi. Ishlah dengan makna perbaikan secara umum yaitu dengan melakukan ketaatan apapun bentuknya. Atau ishlah dengan makna mendamaikan antara dua golongan yang sedang terlibat permusuhan atau persengketaan. Kedua makna ini bisa kita temukan dalam ayat dan hadits berikut ini.
Di dalam sebuah ayat Allah ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi’. Maka mereka justru mengatakan: ‘Sesungguhnya kami ini adalah orang yang berbuat perbaikan/ishlah.’ Ketahuilah sesungguhnya mereka itulah perusak, akan tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. al-Baqarah: 11-12)

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya apabila orang-orang munafik itu dilarang melakukan perusakan di atas muka bumi yaitu perbuatan kufur dan maksiat, dan salah satu bentuknya ialah dengan membongkar rahasia-rahasia kaum muslimin di hadapan musuh-musuh mereka serta membela orang-orang kafir. Niscaya mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Sehingga mereka telah menghimpun antara perbuatan merusak di muka bumi dengan perbuatan menampakkan diri seolah-olah mereka bukan orang yang melakukan perusakan bahkan berani mengklaim apa yang mereka perbuat sebagai perbaikan. Mereka telah memutarbalikkan fakta. Dan mereka juga menggabungkan antara perbuatan batil dengan keyakinan bahwasanya hal itu adalah kebenaran. Ini adalah sebesar-besarnya tindak kejahatan yang lebih mengerikan daripada tindakan orang yang berbuat maksiat sementara hatinya masih meyakini bahwa apa yang dilakukannya memang perbuatan maksiat, sebab kejahatan yang ini lebih mudah untuk meraih keselamatan dan lebih besar harapannya untuk kembali taat.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya ishlah/upaya perbaikan di muka bumi yang dapat anda lakukan adalah dengan cara taat kepada Allah dan beriman kepada-Nya. Oleh sebab itulah Allah menciptakan semua makhluk dan menempatkan mereka untuk tinggal di bumi dan Allah pun telah melimpahkan rezeki untuk mereka. Itu semua Allah lakukan agar mereka menggunakannya dalam rangka taat kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. Karena itulah, apabila ada seseorang yang justru berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan ini maka sesungguhnya hal itu merupakan suatu bentuk upaya untuk melakukan perusakan di atasnya serta menyebabkan keruntuhan tatanannya hingga menyeleweng dari hikmah penciptaannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 43).

Adapun di dalam hadits ialah seperti dalam hadits berikut ini yang berbicara tentang persoalan muamalah. Dari Amr bin ‘Auf Al Muzani radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perdamaian antara kaum muslimin adalah diperbolehkan kecuali perdamaian yang berakibat mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram…” (HR. Ahlu Sunan kecuali An Nasa’i, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 3862. Lihat Bahjatu Qulub Al Abrar, hal. 121). Oleh sebab itu Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Apabila suatu perdamaian mengandung unsur pengharaman sesuatu yang dihalalkan atau penghalalan sesuatu yang diharamkan maka hukumnya tidak sah berdasarkan ketegasan teks hadits ini…” (Bahjatu Qulub Al Abrar, hal. 122).

Ini menunjukkan kepada kita bahwa ishlah bukanlah demi mencari kepuasan kelompok atau demi menjaga nama baik golongan di mata orang. Akan tetapi ishlah ditegakkan di atas kebenaran. Ishlah yang paling agung adalah dengan menyatukan manusia di atas kalimat tauhid dan memerdekakan mereka dari penghambaan kepada sesembahan selain-Nya. Termasuk dalam ishlah yang sangat agung adalah mengajak umat Islam dari kelompok manapun untuk tunduk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melepaskan diri dari berbagai tradisi dan keyakinan bid’ah yang menodai kesucian syari’at Islam. Dan lebih luas lagi adalah melakukan perbaikan di atas muka bumi ini dengan melakukan berbagai bentuk ketaatan. Dan di antara bentuk ketaatan itu adalah mendamaikan sesama muslim yang bersengketa. Tentunya dengan cara yang benar dan memperhatikan norma-norma syari’at.

Betapa Banyak Orang yang Menginginkan Kebaikan Tapi Tidak Mendapatkannya
Itulah kesan yang muncul di benak saya ketika ingin lebih dalam menanggapi risalah dengan judul yang sangat bagus ini. Apalagi mereka ini dikenal sebagai kelompok orang-orang yang sangat giat menggerakkan dakwah dan begitu bersemangat untuk membela Islam. Namun sayang seribu sayang. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Itulah kata pepatah. Kalau saya boleh meminjam istilah mereka, maka risalah yang mereka keluarkan itu pun boleh jadi termasuk kategori ‘informasi yang tidak bertanggung jawab’ dan telah ‘mengganggu iklim ukhuwah yang sedang dijalin…’
Bagaimana tidak? Di dalam risalah ini para pembaca bisa menyaksikan dengan terang bagaimana sebuah kelompok berupaya menjaga ‘citra bersih’ dakwah mereka dengan cara mendiskreditkan atau menjatuhkan nama baik sesama kaum muslimin selain mereka yang disebut sebagai ‘Wahabi’. Marilah kita saksikan kembali penuturan mereka, “Tidak seperti kelompok yang disebut sebagai Wahabi, PKS adalah Partai politik yang beraktifitas di NKRI, yang menjadikan partai sebagai sarana/wasilah untuk berdakwah dan menyebarkan yang ma’ruf dengan tetap menghormati perbedaan furuiyah, mengedepankan ukhuwwah dan memahami bahwa ikhtilaf ijtihad bisa menjadi rahmat. Karenanya melakukan tabdi’ (membid’ahkan) dan takfir (mengkafirkan) para ulama apalagi para Wali songo yang sangat berjasa itu bukanlah Manhaj PKS yang menganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karenanya PKS tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang berisi hujatan maupun pengharaman terhadap peringatan Maulid, Tahlilan, Barzanji yang dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jadi foto kopi surat edaran yang mengatas namakan DPP tanpa ada yang menanda tanganinya dan menggunakan kop yang berbeda itu adalah palsu dan merupakan fitnah terhadap PKS. Maka tidak aneh bila kader PKS seperti DR Nur Mahmudi Ismail yang juga adalah walikota Depok, menyelenggarakan peringatan Maulid dengan penceramah K.H. Zainuddin MZ dan Habieb Rizieq Shihab.” (Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah). Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan dan fitnah yang sangat besar! Di dalamnya terjalin berbagai kedustaan. Kedustaan atas nama Wahabi, kedustaan atas nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan kedustaan dengan mengatas namakan dakwah, ukhuwah, dan ishlah
Oleh sebab itu pada kesempatan yang sangat berharga ini kami ingin menukilkan pengakuan yang tulus dari sebuah kelompok dakwah, “PKS menyadari sepenuhnya bahwa dirinya, seperti juga organisasi yang lain, bukanlah kelompok yang ma’shum, ia hanyalah sekumpulan manusia yang bisa melakukan kesalahan…” Mereka juga mengatakan sebuah ucapan yang sangat indah, “PKS tetap berkomitmen untuk mendengar serta menerima nasihat, agar terjadi ishlah, agar ukhuwwah islamiyah dapat terjaga.” (Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah). Semoga orang-orang yang mengucapkannya mendapatkan taufik dari Allah untuk konsisten dengannya.
Berpijak dari kesadaran ini, maka perkenankanlah kami memberikan nasihat dan tanggapan untuk mereka, karena kami menyukai kebenaran dan kebaikan ada pada mereka sebagaimana kami menyukainya ada pada diri kami, wallahul musta’an. In uridu illal ishlaha mastatho’tu wa ma taufiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unibu.

Siapakah Wahabi?
Ustadz Abu Ubaidah hafizhahullah menuliskan, “Wahhabi bukanlah sebuah gelar yang dicetuskan oleh pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, namun dari musuh-musuh dakwah, baik karena politik saat itu seperti Turki atau para pecinta kesyirikan dari kalangan kaum Sufi dan Rafidhah dengan tujuan melarikan manusia dari dakwah yang beliau emban dan menggambarkan bahwa beliau membawa ajaran baru atau mazhab yang kelima yang menyelisihi empat mazhab.” (Meluruskan Sejarah Wahabi, hal. 76).

Beliau juga mengungkapkan, “Ditinjau secara kaidah bahasa Arab, gelar Wahhabi nisbat kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah adalah keliru. Nisbat yang benar -kalau mau jujur- adalah “Muhammadiyah”, karena nisbat kepada namanya yaitu Muhammad, bukan ayahnya yang tidak ada sangkut pautnya yaitu Abdul Wahhab.” (Meluruskan Sejarah Wahabi, hal. 76).

Beliau melanjutkan, “Aneh bin ajaibnya, gelar ini diingkari oleh orang-orang Nejed, hal yang menunjukkan kepada kita bahwa gelar ini hanyalah impor dari luar negeri Nejed yang disebarkan oleh musuh-musuh dakwah, terutama Turki waktu itu. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama Wahhabi sebagai nisbat kepada al-Wahhab (Maha Pemberi), yang merupakan salah satu nama Allah.” (Meluruskan Sejarah Wahabi, hal. 77). Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya faktor penyebab tuduhan miring kepada Wahhabi adalah politik semata, untuk melarikan kaum muslimin dari mereka…” (al-Mukhtar min Majalah Manar, hal. 16. Dinukil dari Meluruskan Sejarah Wahabi, hal. 81).
Lihatlah pernyataan tulus salah seorang penguasa Saudi Arabia Raja Abdul ‘Aziz bin Abdur Rahman alu Su’ud rahimahullah tatkala menyampaikan ceramah di Mina pada musim haji tahun 1365 H yaitu pada tanggal sepuluh Dzulhijjah, “…sesungguhnya saya ini adalah seorang salafi (pengikut salaf/para sahabat). Dan akidah saya adalah salafiyah yang saya berusaha untuk terus berjalan di atas aturannya yang tegak di atas Al Kitab dan As Sunnah.” Beliau pun mengatakan, “Mereka menjuluki kami dengan Wahabiyah. Padahal pada hakikatnya kami ini adalah Salafi yang terus berusaha menjaga agama kami serta mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya…” (lihat Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf karya Syaikh Dr. Milfi bin Na’im bin ‘Imran Ash Sha’idi).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kata salaf itu sendiri sudah disebutkan oleh Nabi dalam haditsnya kepada Fathimah, “Sesungguhnya sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. Kata salaf juga sering digunakan oleh ahli hadits di dalam kitab haditsnya. Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata ‘Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” dan contoh lainnya masih banyak. Maka ungkapan pengasuh website al-ikhwan.net yang mengatakan, “istilah Salaf ataupun Salafi, maka itu tidak aku temukan dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka tidak perlu dihiraukan sedikitpun.” (Dirasah fi Al Aqidah Al Islamiyah) adalah sebuah ketidakpahaman atau berpura-pura bodoh. Dan keduanya sama-sama pahit. Oleh sebab itu kiranya Ustadz perlu menyimak keterangan berharga dari Ketua Dewan Syari’ah Pusat Partai Keadilan Sejahtera yang menerangkan kepada kita bahwa, “Salafi adalah suatu manhaj yang berupaya kembali pada rujukan asli, yaitu: al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang telah difahami dan diamalkan oleh generasi salaf yang shalih.” (lihat Ittijah Fiqih Dewan Syari’ah Partai Keadilan Sejahtera yang ditanda tangani DR. Surahman Hidayat, MA –semoga Allah memberikan hidayahnya kepada kita dan beliau- tertanggal 28 Juli 2005).

Maka orang-orang yang memberikan tuduhan miring kepada Wahabi, Salafi atau dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab perlu untuk mengintrospeksi dan berkaca diri. Bukankah mereka yang mengajak kita untuk mengokohkan ukhuwah dan ishlah? Lalu mengapa sedemikian teganya mereka mencemari nama baik beliau serta dakwah yang beliau serukan, terlebih lagi tuduhan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang ada? Hati siapakah yang menerima hal ini? Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri mengatakan, “Kami ini -dengan senantiasa memuji Allah- adalah orang yang ittiba’ (mengikuti tuntunan Nabi), bukan mubtadi’ (orang yang membuat perkara bid’ah) dan kami mengikuti Al Kitab dan As Sunnah serta para pendahulu yang salih dari umat ini di atas madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (‘Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyah karya Syaikh Shalih Al ‘Abud hal. 220. Dinukil dari Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf).
Dengarkanlah penuturan seorang ulama besar di masa kini al-’Allamah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, “Wahabiyah bukanlah mazhab kelima sebagaimana yang disangka oleh orang-orang tidak mengerti dan orang-orang yang sengaja berpaling dari kebenaran. Akan tetapi ia hanyalah dakwah kepada akidah salafiyah serta memperbaharui ajaran-ajaran Islam dan Tauhid yang telah mulai luntur.” (Fatawa beliau 3/1306. Lihat Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf). Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafiyah, tidak ada bedanya. Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Bukan termasuk kategori perbuatan bid’ah barang sedikitpun apabila Ahlus Sunnah menamai dirinya Salafi. Sebab pada hakikatnya istilah Salaf sama persis artinya dengan isitlah Ahlus Sunnah wal Jama’ah…” (Mauqif Ahlis Sunnah, 1/63. Dinukil dari Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf). Maka seorang salafi adalah setiap orang yang mengikuti Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman salafush salih serta menjauhi pemikiran yang menyimpang dan bid’ah-bid’ah dan tetap bersatu dengan jama’ah kaum muslimin bersama pemimpin mereka. Itulah hakikat salafi, meskipun orangnya tidak menamakan dirinya dengan istilah ini (lihat kalimat penutup risalah Tabshir Al Khalaf bi syar’iyatil Intisab ila As Salaf).

Tidak Menghormati Perbedaan Furu’iyyah?
Setelah kita mengenal siapakah Wahabi yang tidak lain adalah Ahlus Sunnah itu sendiri, maka kiranya pernyataan atau anggapan di atas yang mengesankan bahwa mereka tidak menghormati perbedaan furu’iyyah adalah mengada-ada dan ‘informasi yang tidak bertanggung jawab’.

Tidak usah jauh-jauh. Tidakkah mereka melihat bagaimana Syaikh Al Albani rahimahullah dan mayoritas para ulama Saudi berbeda pendapat dalam hal hukum mengenakan cadar, sebagaimana perbedaan pendapat ulama mazhab yang terdahulu? Tidakkah mereka melihat bagaimana perbedaan pendapat Syaikh Al Albani dengan banyak ulama Saudi tentang meletakkan tangan di atas dada ketika I’tidal? Tidakkah mereka melihat perbedaan pendapat antara para ulama yang mewajibkan mandi sebelum shalat Jumat dengan yang tidak mewajibkannya, atau perbedaan mereka tentang wajib tidaknya mengqashar shalat bagi orang yang sedang bersafar, atau perbedaan mereka tentang ‘mustauthin’ sebagai salah satu syarat sah untuk mengadakan shalat Jumat, atau perbedaan mereka tentang hukum mencukur sisa jenggot yang lebih dari satu genggaman tangan, dan sekian banyak perbedaan furu’iyyah lainnya?

Apakah gara-gara perbedaan ini mereka berpecah belah, bergolong-golongan, mendirikan berbagai macam kelompok, atau mengobarkan fanatisme mazhab? Bukankah selama ini dakwah salafiyah hanya mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah dengan pemahaman salaful ummah. Bukankah selama ini dakwah salafiyah menyeru umat Islam untuk melepaskan diri dari belenggu hizbiyah dan taklid buta. Bukankah selama ini dakwah salafiyah yang menyemarakkan dunia penerbitan di tanah air dengan buku-buku ilmiah yang bermutu dan dapat dipertanggung jawabkan. Bukankah selama ini para da’i dan aktifis telah banyak menimba ilmu dari para pengasuh madrasah salafiyah yang sangat mengenal seluk beluk perbedaan madzhab fiqhiyah semacam Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir dan Ibnul Qayyim rahimahumullah. Ataukah mereka tidak sempat membaca buku-buku fikih yang dikarang oleh para ulama seperti Syarh Al Mumti’ karya pakar fikih masa kini Syaikh Ibnu ‘Utsaimin atau Tamamul Minnah dan Shifat Shalat Nabi karya ahli hadits abad ini Syaikh Al Albani rahimahumallah. Aduhai, di manakah fikih waqi’ yang selama ini mereka dengung-dengungkan? Apakah ketika para ulama mengajak umat untuk memilih pendapat yang lebih kuat berlandaskan dalil dan argumentasi yang kuat adalah sebuah tindakan yang tidak menghormati perbedaan furu’iyyah? Sungguh hal itu adalah cara berpikir yang sangat sempit. Wallahul musta’an

Apabila saudara-saudara kami masih merasa ragu tentang hal ini, padahal perkaranya sudah sangat jelas, silakan membaca dengan hati dan pikiran yang jernih tentang bagaimanakah kebijakan sikap para ulama Salafi -atau yang mereka juluki dengan nama Wahabi ini- di dalam Kitabul ‘Ilmi hal. 265-286 karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam pembahasan berjudul Al Khilaf baina Al ‘Ulama. Berikut ini kami nukilkan sedikit penjelasan beliau agar jelas bagi kita bagaimanakah sikap kita yang semestinya dalam mengatasi perselisihan yang ada di antara para ulama. Syaikh menjelaskan, “Maka kewajiban bagi setiap orang yang memahami dalil untuk setia mengikuti dalil tersebut meskipun dia harus menyelisihi sebagian imam selama hal itu tidak bertentangan dengan ijma’ (konsensus umat Islam). Barang siapa yang meyakini bahwa ada orang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib diambil pendapatnya demi mengerjakan atau meninggalkan sesuatu dalam semua keadaan dan waktu, sesungguhnya dia telah bersyahadat kepada selain Rasul dan menyematkan pada orang tersebut keistimewaan risalah. Sebab tidaklah memungkinkan bagi orang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pendapatnya dihukumi seperti ini. Kecuali hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sajalah yang disifati demikian. Tidak ada satu orang pun kecuali pendapatnya bisa diambil atau ditinggalkan selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 282).

Syaikh juga menasihatkan kepada segenap penuntut ilmu untuk berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang muncul dari hasil ijtihad yang dibenarkan. Beliau rahimahullah memaparkan, “Hendaknya dia berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorangpun yang menyelisihinya dimaafkan. Bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran dimaafkan. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat demikian niscaya kitapun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang bisa menjatuhkan anda.”

Beliau melanjutkan, “Yang saya maksudkan di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan (manhaj) Salaf seperti dalam permasalahan akidah, maka dalam hal ini tidak ada seorangpun yang diperbolehkan untuk menyelisihi Salafush shalih. Akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai pemicu permusuhan dan kebencian.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 28-29).

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah. Hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan cara yang santun dan didasari keinginan untuk mencari wajah Allah serta untuk memperoleh ilmu. Dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik, dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap. Sebab terkadang perselisihan justru menyulut terjadinya pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu menggembirakan musuh-musuh Islam. Padahal persengketaan yang terjadi di antara umat ini merupakan sebab datangnya bahaya yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfaal : 46).” (lihat Kitabul ‘Ilmi, hal. 31).

Mentabdi’ dan Mengkafirkan Para Ulama?
Kaum Wahabi suka mengkafirkan? Ini bukan tuduhan yang baru. Bahkan sejak masa hidup Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tuduhan dan fitnah semacam ini pun sudah muncul. Salah seorang cucu beliau Syaikh Abdul Lathif rahimahullah mengatakan, “Setiap orang berakal yang mengetahui perjalanan hidup Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, niscaya akan mengetahui bahwa beliau adalah orang yang sangat mengagungkan ilmu dan ulama, dan termasuk manusia yang paling keras melarang mengkafirkan mereka, mencela, atau menyakiti mereka; bahkan beliau sangat menghormati dan membela mereka. Beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta disepakati umat tentang kekufurannya seperti orang yang menjadikan tandingan dan tuhan selain Allah.” (Majmu’ah Rasa’il, 3/449. Dinukil dari Meluruskan Sejarah Wahabi, hal. 149).

Jangankan mengkafirkan ulama, bahkan merendahkan dan mendiskreditkan para ulama merupakan pantangan yang harus dijauhi oleh seorang Salafi. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin -semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di dalam Jannah-Nya- menasihatkan kepada setiap penuntut ilmu, “Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka. Dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) namun di dalam keyakinan mereka dia telah berbuat kekeliruan. Ini adalah poin yang sangat penting. Sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang lain dengan celaan yang mereka dengar. Ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar, maka menggunjing orang yang berilmu jauh lebih besar dan lebih berat dosanya. Karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya…” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 41).

Cukuplah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sendiri yang menceritakan kepada anda tentang sikap beliau dalam hal ini. Ketika menanggapi berbagai tuduhan pengkafiran yang diarahkan kepadanya, Syaikh mengatakan dengan tenang, “Barang siapa yang menyaksikan keadaan kami dan menghadiri majelis ilmu kami serta bergaul dengan kami, niscaya dia akan mengetahui secara pasti bahwa semua itu adalah tuduhan palsu yang dicetuskan oleh musuh-musuh agama dan saudara-saudara setan untuk melarikan manusia dari tunduk dan memurnikan tauhid hanya kepada Allah saja dengan ibadah dan meninggalkan seluruh jenis kesyirikan.” (al-Hadiyyah as-Saniyyah hal. 40. Dinukil dari Meluruskan Sejarah Wahhabi hal. 150 karya Ustadz Abu ‘Ubaidah Yusuf As Sidawi jazaahullahu khairal jazaa’).
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id



Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment