Tuesday, May 8, 2012

Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap Pemerintahan Utsmani

Oleh : DR. Ali Muhammad Ash-Sholabi[1]

Prolog
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid At Tamimi, lahir pada tahun 1115 H./ 1703 M. di sebuah tempat yang bernama Uyainah yang berada di sebelah Utara Riyadh. Jarak antara Riyadh dan Uyainah sekitar 70 kilo meter jika ditempuh dari sebelah barat.[2]

Dia sangat mencintai ilmu pengetahuan sejak masa kecilnya. Selama masa kanak-kanaknya, telah tampak beberapa hal yang sangat istimewa dari dirinya. Dia hafal Al-Quran, belajar fikih Hanbali, tafsir dan hadits. Dia banyak mempelajari dan mengagumi buku-buku yang ditulis Ibnu Taimiyah dalam bidang fikih, akidah dan logika. Selain itu juga, is pun sangat terpengaruh dengan buku-buku Ibnu Qayyim, Ibnu `Urwah Al-­Hanbali dan yang lainnya. Maka jadilah dia seorang yang menganut paham salafi.[3]

Dia mengembara untuk menuntut ilmu ke Mekkah, Madinah, Bashrah dan Ahsa’. Dia harus menghadapi tantangan yang demikian keras dan fitnah yang bertubi-tubi di Irak tatkala dia menyatakan pandangan-pandangannya di sana. Setelah itu dia kembali lagi ke Najd.

Saat dia pulang ke Huraimala’ di Najd. dia memulai dakwahnya untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, menyibukkan diri dengan ilmu dan mengajar serta mengajak manusia pada akidah tauhid yang bersih. Dia memperingatkan akan bahaya syirik, macam-macam dan berbagai bentuknya. Bahkan dia harus sering mengalami ancaman pembunuhan dari orang-orang yang bodoh di Huraimala’ akibat seruannya ini. Setelah itu, dia kembali ke tempat kelahirannya di Huraimala’. Dia disambut hangat oleh penguasa dan mendorongnya untuk melanjutkan dakwah yang sekarang dia tekuni. Di Huraimala’, syariah ditegakkan dan hukum bagi pelaku kriminal -hudud­diberlakukan. Namun dia tidak tinggal lama di Huraimala’, karena adanya tekanan penguasa Al-Ihsa’ terhadap penguasa Huraimala’ agar penguasa Huraimala’ membunuh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka Syaikh pun keluar dengan berjalan kaki menuju Dir’ iyyah.


Kerjasama dengan Muhammad bin Sa’ud
Muhammad bin Abdul Wahhab mampu menjalin kerja sarna dengan Muhammad bin Sa’ud yang mengorbankan harta dan anak buahnya untuk menegakkan dakwah tauhid. Kerjasama ini terjalin dengan asas asas yang kokoh. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berhasil melanjutkan dakwahnya kepada manusia melalui taklim, penulisan brosur dan buku-buku kecil juga nasehat-nasehat. Dia terus melakukannyak mengajar dan menulis buku-buku kecil yang dibarengi dengan hujjah-hujjah dan dalil yang menerangkan kebenaran apa yang dia dakwahkan. Dia mengajak manusia untuk menumpas kemungkaran dan menghancurkan kubah-kubah kuburan, serta mencegah semua sarana yang mengantarkan pada kemusyrikan dan melakukan ibadah sepenuhnya hanya pada Allah Yang Maha Esa.[4]

Dakwah yang dia lakukan berlangsung dengan cara yang damai, pelan-pelan sambil mengetuk pintu hati dengan penuh lemah lembut dengan penuh hikmah dan nasehat yang baik. Dia terus mengajar siapa saja yang datang menghadiri majlisnya dan senantiasa menerapkan akidah yang dianutnya. Dia menjelaskan prinsip-prinsip dakwahnya, baik pada orang yang dekat maupun yang jauh. Namun dia ternyata dihadapkan pada kenyataan, dimana dakwah dengan cara lembut ini dihadapkan pada penerimaan yang sangat keras. Kebenaran diterima dengan pendustaan, sedangkan nasehat yang baik ditanggapi dengan konspirasi. Maka tidak ada cara lain kecuali memasuki fase jihad dan melakukan perubahan kemungkaran dengan menggunakan kekuatan. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair,

Jika tak ada lagi kecuali kepada tombak yang harus menjadi tunggangan
Maka tak ada jalan bagi yang terpaksa kecuali menungganginya.[5]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mulai didukung oleh pangeran Muhammad bin Sa’ud dengan bantuan pengikutnya dan senjata untuk mengumpulkan kaum mujahidin dari Dir’iyyah keluar batas negerinya, dengan tujuan menebarkan dakwah dan pengokohan tiang-­tiangnya di Jazirah Arabia maupun di luar Jazirah Arabia. Syaikh sendiri yang langsung memimpin pengumpulan pasukan itu, persiapan dan pemberangkatan mereka. Walaupun demikian, dia terus mengajar, menulis surat pada orang-orang yang dia anggap penting, menerima tamu, mengantar delegasi. Allah telah menyatukan dalam dirinya ilmu dan kedudukan, kekuatan dan kekokohan setelah melalui jihad yang panjang.[6] Dia memiliki pandangan politik yang tajam, pengalaman yang sangat luas dalam masalah perang dan politik.[7]

Peperangan antara pendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan musuh-musuhnya berlangsung dalam jangka waktu bertahun-tahun. Kemenangan sering berpihak pada pendukung dakwah. Beberapa desa jatuh satu demi satu. Pada tahun 1178 M./1773 M., Riyadh berhasil ditaklukkan oleh Pangeran Abdul Aziz bin Muhammad bin Sa’ ud. Sementara itu, penguasa lamanya Daham bin Dawud melarikan diri. Dia dikenal sebagai seorang pemimpin yang zhalim, kejam dan selalu melakukan gangguan kepada para dai. Dia telah mengingkari kesepakat­an yang dia jalin dengan para penyeru dakwah. Setelah ditaklukannya Riyadh, maka wilayah yang tunduk dan berada di bawah pengaruh dakwah semakin luas. Banyak orang yang masuk ke dalam dakwah ini dengan suka rela. Kini telah sirna hambatan-hambatan yang sering menghadang mereka, masalah-masalah yang dulu beku kini telah terbuka, kemudahan datang setelah lama dilanda kesulitan. Harta melimpah, keadaan menjadi tenang dan stabil. Manusia merasa aman hidup di sebuah negeri Islam yang baru lahir, dimana selama masa waktu yang panjang manusia tidak bisa menikmati keamanan.3

Setelah meninggalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dakwah terus bergerak maju yang mendapat dukungan dari Sultan dan dengan dukungan kekuasan ini dakwah pindah ke Hijaz yang sebelumnya berada di bawah kekuasan Syarif Ghalib bin Musa’id yang mulai melakukan serangan yang sengit terhadap keturunan Sa’ud, baik melalui jalur agama ataupun militer. Konflik antara keduanya terus berlangsung hingga tahun 1803 M, tatkala keturunan Sa’ud memasuki Makkah tanpa ada halangan apapun dari pihak Syarif Ghalib yang sebelumnya menekankan perang ke Jeddah. Dua tahun setelah itu, keturunan Sa’ud berhasil memasukkan Mekkah dan Madinah ke dalam kekuasaannya.[8]

Pengaruh gerakan Salafiyah ini terus merambah ke sebagian besar wilayah Jazirah Arab. Inggris merasa terancam dengan adanya pengaruh yang semakin besar ini pada kepentingan-kepentingannya. Pemerintahan Saudi awal telah berhasil melebarkan kekuasaannya ke Teluk Arab dan Laut Merah. Semua kawasan yang berada di Teluk Arab masuk dan berada di bawah kontrolnya. Pengaruh ini juga sampai ke wilayah Selatan Irak dan juga berpengaruh di jalan darat yang membentang antara Eropa dan kawasan Timur. Lebih dari itu semua, sesungguhnya asas-asas keagamaan yang menjadi fokus pemerintahan ini telah memutuskan ketidakmungkinan Inggris untuk menjadikannya sebagai sebuah negeri yang taat atau menjalin kerja samma dengannya. Sebab tujuan utama dari didirikannya negeri ini adalah, untuk melawan kejahatan orang-orang asing yang ada di kawasan itu.[9] Orang-orang Qawasim (kawasan-­kawasan) sekitar yang didukung oleh kekuatan pemerintahan Bani Sa’ ud, mampu melakukan serangan telak pada armada Inggris pada tahun 1806 M. sehingga perairan Teluk berada di bawah kekuasaannya.[10]

Dari segi politik, pemerintahan Bani Saud mencapai puncaknya pada masa Saud bin Abdul Aziz, mengingat pengaruhnya telah sampai ke Karbala di Irak dan Huran di negeri Syam. Bahkan, seluruh kawasan Teluk, kecuali Yaman, berada di dalam kekuasaannya.[11]


Konspirasi terhadap Gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Beberapa sosok syetan berwujud manusia dari orang-orang Eropa berpikir tentang akibat yang akan menimpa mereka, jika pemerintahan Saudi periode awal ini memperluas pengaruhnya. Mereka melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintahan Sa’ud akan mengancam kepentingan mereka di kawasan Timur secara umum. Oleh sebab itulah, tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan pemerintahan ini. Merekapun menempuh berbagai cara untuk menghancurkan pengaruh dakwah Salafiyah ini. Di antaranya adalah;

Pertama: Penebaran publik opini di tengah negeri Islam melawan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka bangkitlah orang­-orang yang berkeyakinan dengan bid’ah dan khurafat, bangkit melawan dakwah yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Perlawanan ini bukan hanya datang dari satu sisi atau dari satu pihak tertentu, melainkan dari semua sisi. Serangan ini datang dari para Syaikh yang memegang pengaruh yang diberikan orang awam dan orang-orang bodoh pada mereka, mereka menginginkan terus melanjutkan bid’ah­-bid’ah dan khurafat itu dengan sangkaan bahwa itu semua adalah bagian dari agama. Serangan juga datang dari para pemuja kuburan, dari orang yang banyak mengambil faedah dari kotak-kotak orang yang bernadzar, datang dari orang yang menyandarkan hidupnya atas makanan dan harta yang diberikan kepada mereka pada peringatan orang-orang yang meninggal dunia dan dari ziarah-ziarah. Datang juga dari orang-orang yang meyakini, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebarkan agama baru yang berttentangan dengan apa yang selama ini menjadi adat dan tradisi mereka. Orang-orang seperti ini bertebaran di mana-mana di seluruh pelosok pemerintahan Utsmani, bahkan di hampir semua belahan dunia Islam.. Ini semua terjadi setelah Inggris dan Perancis -musuh Islam itu- menyebarkan fatwa yang mereka ambil dari para ulama suu’ (ulama jahat) yang memfatwakan bahwa yang didakwahkan oleh pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah rusak.[12]

Kedua: Mereka menebarkan fitnah antara gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pemimpin pemerintahan Utsmani. Orang-orang Inggris dan Peranciss menebarkan racun ke dalam pikiran Sultan Mahmud II, bahwa gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertujuan untuk memerdekakan Jazirah Arabia dan memisahkan diri dari Khilafahah Utsmaniyah kemudian setelah itu menyatukan dunia Arab serta mencabut panji khilafah daan kepemimpinannya dari pemerintahan Utsmani serta membangun Khilafah Arabiyah. Sultan merespon fitnah yang disebarkan musuh. Padahal tidak sepantasnya dia melakukan itu. Apa yang pantas dilakukan adalah, hendaknya dia meragukan nasehat bohong ini dan mengirimkan para pemuka pemerintahan untuk melakukan investigasi dan meneliti masalah ini. Sultan tidak menyadari bahaya dari pembenaran terhadap kabar keji yang diarahkan pada gerakan Islam yang murni. Sangat disayangkan dengan menuruti usulan-­usulan musuh yang mengharuskan agar gerakan itu diberangus sebelum dia membesar. Pemerintahan Utsmani telah mengeluarkan biaya yang besar dan mengerahkan demikian banyak orang untuk memberangus gerakan ini.[13]

Pemerintahan Utsmani merencanakan langkah-langkahnya untuk memerangi pemerintahan Saudi periode awal. Mereka mulai menugaskan penyelesaian masalah ini pada beberapa gubernur yang bertetangga dengan pemerintahan Saudi. Langkah ini diambil dengan dua tujuan; (1) membendung perluasan wilayah Saudi di wilayah timur arab dan (2) untuk melemahkan gubernur-gubernur itu dan untuk mengeruk sumber penghasilan mereka hingga tetap menjadi gubernur yang lemah sehingga akan terus tunduk pada pemerintahan Utsmani. Maka untuk pertama kalinya, perintah untuk melawan pemerintahan Saudi diberikan kepada gubernur Baghdad sebab dia adalah gubernur yang paling dekat ke wilayah Najd. Namun sang Gubernur Baghdad sedang disibukkan dengan adanya guncangan yang terjadi di dalam negerinya. Tentaranya sangat lemah dan sangat tidak mungkin untuk melakukan serangan pada pemerintahan Saudi. Serangan mereka berkali-kali mengalami kegagalan, saat harus membendung serangan di perbatasan Irak. Maka pemerintah Utsmani segera mengarahkan pandangannya pada gubernur Syam dengan harapan dia bisa berhasil dan tidak mengalami kegagalan seperti apa yang dialami oleh gubernur Irak. Ternyata kegagalan yang diderita gubernur Syam jauh lebih menyedihkan dari apa yang dialami oleh rekannnya gubernur Irak. Tatkala pemerintahan Utsmani telah putus asa terhadap kekuatan para gubernurnya yang berada di Baghdad dan Syam[14], dia mengalihkan pandangannya ke Mesir. Pemerintahan Utsmani meminta pada gubernurnya Muhammaad Ali pada tahun 1807 M., untuk melakukan serangan ke negeri Arab dengan tujuan “membersihkan dan membebaskan Haramain Syarifaian” dari tangan orang-orang Saudi serta mengembalikan kekuasaan pemerintahan Utsmani yang hampir hilang di Jazirah Arabia. Namun Muhammad Ali tidak memenuhi permintaan pemerintahan Utsmani ini kecuali pada tahun 1811 M., setelah dia berhasil melepaskan diri dari para Beik Mamluk pada pembantaian Qal’ah.[15]

Sesungguhnya para pengikut dakwah Salafiyah tidak pernah menuntut khilafah dan sama sekali tidak pernah mengatakan penentangan bahwwa dirinya tidak tunduk padanya. Namun sesungguh­nya, perselisihan itu hanya ada dalam dua hat yang asasi. Pertama. permintaan para pengikut gerakan Salafi tentang adanya keharusan untuk komitmen para jemaah haji dalam berpegang teguh dengan manhaj Islam dan mencabut semua hat yang keluar dari manhaj Islam. Kedua, adanya perasaan pemerintahan Utsmani yang tidak berdaya di depan kekuasaan gerakan Wahhabi atas kota-kota Suci yang berada di Hijaz. Sebab mereka tahu, bahwa ketidakmampuan mereka ini berarti penurunan wibawa dan posisi mereka secara politik.[16]
Al-Jabarati menerangkan bahwa sikap gerakan Wahhabi terhadap jama’ah haji yang datang dari Syam adalah, “Janganlah mereka datang kecuali dengan syarat yang telah disyaratkan atas mereka. Janganlah mereka datang dengan membawa usungan, gendang, suling dan senjata dan semua hat yang dianggap bertentangan dengan syariah. Maka tatkala mendengar itu semua, mereka kembali dan tidak jadi melaksanakan haji dan pada saat yang sama tidak meninggalkan kemungkaran-kemungkar­an yang mereka lakukan.[17] Dia juga menyebutkan sikap yang sama yang dilakukan oleh jamaah haji yang datang dari Mesir.[18]

Sedangkan perintah Sultan Utsmani hanya terbatas pada Muhammad Ali adalah tuntutan untuk memerangi pemerintahan Saudi dan dengan dorongan dari surat-surat yang dikirim oleh Syarif di Jeddah serta dengan adanya konspirasi dan dorongan yang demikian kuat dari Inggris untuk membebaskan Haramain serta memberikan nasehat untuk rakyat dan para pelaku bisnis.[19] Permintaan itu berulang dan masih berkisar pada tuntutan agar Haramain dibebaskan. Setelah kekuatan militer mampu menguasai negeri Hijaz, dan setelah mengalami beberapa kali kekalahan saat berhadapan dengan pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Sultan Mahmud II mengirimkan sebuah edaran ke Mesir yang dibacakan di mesjid yang menyebutkan bahwa Haramain telah bisa dikuasai kembali.[20] Ini semua memberikan petunjuk bahwa Sultan Utsmani tidak memiliki tujuan lain kecuali hanya untuk mengembalikan Hijaz ke dalam pangkuan pemerintahan Utsmani.

Sangat mungkin peperangan terhenti hingga di sini, sebab kekuatan Muhammad Ali telah menguasai kota-kota di Hijaz. Dan Muhammad Ali setelah itu diangkat untuk menjadi penguasa baru di Hijaz yang membuatnya harus pergi meninggalkan Mesir menuju Hijaz, dan tragisnya lagi dia mengusir Syarif Ghalib yang telah membantu pasukannya dan telah membantunyya untuk bisa memasuki Hijaz.[21] Sementara itu, para pemimpin dakwah Salafiyah Saudi telah menawarkan proses damai pada Muhammad Ali. Namun Muhammad Ali memberikan syarat yang sangat sulit untuk direalisasikan. Dalam penolakannya itu juga terkandung ancaman. Al-Jabarati meriwayatkan apa yang dikatakan oleh Muhammad Ali dengan mengatakan; “Adapun perjanjian damai itu kami tidak segan menerimanya, namun dengan beberapa syarat. Yaitu hendaknya belanja perang yang kami gunakan sejak awal perang hingga surat perjanjian itu ditandatangani, diganti. Semua yang diambil dari mutiara-mutiara dan harta simpanan yang ada di dalam kamar yang mulia juga harus dibawa. Demikian juga harga barang yang telah mereka belanjakan harus dibawa. Barulah setelah itu datang menemui saya dan melakukan perjanjian dengan saya. Dan selesailah perjanjian damai setelah itu. Namun jika ini tidak dipenuhi dan tidak mau datang dengan membawa apa yang kami minta…maka kami akan datang menemuinya.”[22]


Hakekat Ekspedisi Militer Muhammad Ali ke Hijaz dan Najd
Sesungguhnya peperangan antara Muhammad Ali dan pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah peperangan antara dua kekuatan Islam yang sejajar, dan bukan pula perang Arab sebagaimana yang disebarkan oleh sebagian orang. Sebaliknya perang ini adalah antara kekuatan Islam yang tidak memiliki ambisi politik apa-apa, namun hanya menampakkan ghirahnya dan keinginannya yang sangat tinggi untuk kembali ke prinsip-prinsip asasi dalam agama Islam yang tak lain adalah kekuatan pemerintahan Saudi periode awal. Sebagaimana kekuatan ini juga menunjukkan semangat yang tinggi untuk membendung bahaya kolonialisme kafir yang ada di negeri-negeri Islam. Sedangkan kekuatan yang memeranginya dan yang dikirim oleh gubernur Mesir yang sebenarnya bukan berasal dari penduduk Mesir, dimana sebagian besar dari mereka adalah dari Arnauth, sebagian dari orang Turki, orang-orang Kristen dan sebagian perwira Perancis.[23] Kebanyakan dari pemimpinnya tidaklah menyangdang Islam kecuali hanya sekedar nama.

Sejarawan Al-­Jabarati yang menjadi saksi mata dari peristiwa kekalahan pasukan Mesir ini di hadapan dakwah Salafiyah pada awal-awalnya mensifati kesalehan dan kewara’an pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dia berkata; “DDimana kemenangan akan kita peroleh, sedangkan kebanyakan dari pasukan kita tidak beragama! Di antara mereka ada yang tidak peduli pada agama, dan tidak bermadzhab sebagaimana madzhab kita. Kita dibarengi dengan kotak-kotak minuman haram dan memabukkan. Di tengah kita tidak terdengar suara adzan tidak pula ditegakkan kewajiban agama. Tidak pernah terlintas di dalam jiwa dan pikiran mereka syiar-syiar agama, sedangkan kaum itu (maksudnya adalah pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) tatkaala masuk waktu shalat para juru adzan mereka mengumandangkan adzan dan mereka berbaris di belakang seorang imam dengan khusyu’ dan khudhu’. Sedangkan jika waktu shalat tiba dan perang sedaang berkecamuk, maka seorang di antara mereka mengumandangkan adzan dan melakukan Shalat Khauf. ­Sebagian di antara mereka maju dan sebagian yang lain mengakhirkan shalatnya. Sedangkan pasukan kita kagum dengan apa yang mereka lakukan, sebab mereka belum pernah mendengar apalagi melihat seperti apa yang mereka lakukan. Mereka (pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) menyeru di tengah-tengah pasukannya, datanglah kalian semua untuk memerangi orang kafir, yang mencukur agama mereka, yang menghalalkan perzinahan dan homoseksual, peminum khamar. Tatkala disingkapkan baju tentara yang terbunuh, ternyata mereka banyak yang tidak dikhitan. Tatkala mereka (orang-orang Muhammad Ali) sampai di Badar dan menguasainya dan menguasai desa-desa dan pegunungan, sedangkan di sana ada beberapa orang yang baik memiliki ilmu dan saleh, maka mereka pun merampas wanita-wanita mereka, anak-anak dan gadisnya serta bbuku-buku mereka.[24]

Sedangkan Muhammad Ali, bukanlah sosok yang komitmen dengan syariah Allah dalam perangnya, bahkan tindakan-tindakannya sama sekali bertentangan dengan syariah dan melampaui batas-batas yang Allah tentukan serta tidak peduli dengan hukum Islam. Maka tidak heran jika pasukannya membunuh, menghancurkan dan mengambil harta benda serta merusak hak-hak kaum muslimin yang menegakkan tauhid.

Inilah Ali bin Abi Thalib yang berkata pada para pengikutnya pada saat terjadi peristiwa Jamal (perang Unta); “Janganlah kalian mengejar orang-orang yang telah melarikan diri, janganlah kalian melakukan sesuatu pada orang yang sudah terluka, dan barangsiapa yang melepaskan senjatanya maka dia telah aman.”[25]

Beliau juga berkata; “Hati-hatilah! Janganlah kalian bertindak kasar pada wanita, walaupun mereka mencela kehormatan kalian dan menghina para pemimpin kalian, sesungguhnya seorang laki-laki yang memperlakukan seorang wanita dengan kasar dan sinis, maka dia akan mendapatkan sangsinya.”[26]
Dari Abi Umamah Al-Bahili dia berkata : “Saya menyaksikan peristiwa Shiffin dan mereka tidak melakukan tindakan kasar terhadap orang-orang yang terluka dan tidak pernah membunuh orang yang melarikan diri, tidak pula mencincang orang yang meninggal.”[27]

Sesungguhnya Sultan Utsmani telah merasa cukup dengan menjadikan Hijaz tunduk di bawah pemerintahannya. Sedangkan serangan terhadap Dir’iyyah, bukanlah tuntutan yang mendesak dan wajib dilakukan. Sedangkan Muhammad Ali sangat keras dalam memberikan persyaratan damai, satu hal yang menunjukkan ambisinya untuk terus melanjutkan perang. Sebab tujuannya adalah untuk memenuhi ambisi pribadi dan untuuk melakukan perluasan dalam lingkup yang diperkenankan oleh target-target politik Inggris di kawasan itu, setelah Saudi dianggap menjadi batu ganjalan yang menyulitkan bagi eksistensi Inggris di kawasan Arabia secara keseluruhan, baik di Laut Merah ataupun di Teluk Arab atau karena sampainya pemerintahan Saudi melalui jalur darat ke Irak. Maka Inggris merasakan adanya ancaman yang serius terhadap kepentingannya di Timur. Sangat tepat jika kita katakan, bahwa ekspedisi ini ekspedisi Salibis yang dibungkus dengan mantel Islami.[28]

Tatkala Thusun bin Muhammad Ali kalah perang saat berhadapan dengan pangeran Abdullah bin Saud dan separuh pasukannya hancur, maka Muhammad Ali keluar langsung menuju Hijaz pada tahun 1813 M. Kemudian dia menangkap penguasa Mekkah Ghalib bin Musa’id dengan tuduhan melakukan konspirasi dengan penguasa Saudi. Setelah itu, dia mengambil semua barang yang dimiliki Ghalib, apapun bentuknya. Dengan demikian, penguasa Mekkah kini menjadi salah seorang pejabat Muhammad Ali di Hijaz. Tak berapa lama, Muhammad Ali memenangkan peperangan terhadap kekuatan pemerintahan Saudi pada bulan Januari 1815 M. dalam sebuah peperanganyyang disebut dengan Basal.[29] Peristiwa ini oleh sebagian orang dianggapp sebagai peristiwa terbesar dalam perang yang dipimpin oleh gerakan Wahhabi, bahkan merupakan peristiwa paling monumental dalam sejarah peperangan Mesir.[30]

Muhammad Ali tidak berdiam lama di Jazirah Arabia demi menorehkan kemenangan-kemenangan yang lain. Sebaliknya dia kembali ke Mesir dan membiarkan anaknya Thusun di Hijaz.[31] Dengan cepat Thusun mampu mengalahkan pasukan Saudi untuk pertama kalinya. Setelahh itu dia segera bergerak menuju arah utara Najd hingga sampai ke kota Ras, setelah itu dia menguasai Syabiyah dan kini pintu untuk menuju Dir’iyyah terbuka lebar di depan matanya. Maka Pangeran Abdullah segera membuka pintu damai dengannya, untuk mencegah semakin banyaknya tumpahan darah kaum muslimin serta untuk melindungi kota-kota dan desa. Terjadilah perundingan damai itu antara dua pihak dengan syarat-syarat sebagai berikut;

1.    Pasukan Mesir menduduki Dir’iyyah.
2.    Hendaknya Pangeran Abdullah mengikuti perintah Thusun Pasya, dan hendaknya berangkat ke tempat yang dikehendaki Thusun.
3.    Hendaknya Pangeran Abdullah memberikan jaminan perjalanan haji dan tunduk pada hukum sipil yang datang dari Muhammad Ali sejak kesepakatan ini hingga saat ditandatanganinya kesepakatan.
4.    Janganlah kesepakatan ini diberlakukan sebelum ditetapkan oleh Muhammad Ali.

Ternyata syarat-syarat ini tidak diterima oleh Pangeran Abdullah. Dia pun mengambil keputusan untuk mengirim utusan langsung kepada Muhammad Ali secara langsung untuk membicarakan syarat-syarat tersebut. Namun delegasi yang dia utus gagal dalam usahanya, karena adanya sikap keras kepala para Pasya. Maka pengikut Bani Saud kembali bersiap untuk berperang dan bertempur. Maka Muhammad Ali kembali mengirim ekspedisi militer pada tahun 1816 M. Yang dipimpin langsung oleh anaknya Ibrahim Pasya.[32]

Pasukan Ibrahim Pasya bergerak dari Hijaz menuju Najd dan berhasil menguasai kota-kota Unaizah, Buraidah dan Syaqra’, serta bisa menaklukkan kawasan Alqashim. Ibrahim meneruskan gempuran dengan menggunakan taktik lembut terhadap para kabilah. Yakni sebuah taktik yang berusaha menjadikan orang-orang Najd senang padanya. Dimana dia selalu mengadakan pertemuan dan memberikan hibah pada banyak orang, terutama di awal kedatangannya dengan memakai metode yang membuat kabilah-kabilah tertarik. Maka dia melarang pasukannya merampas dann merampok harta rakyat. Dengan pasukannya yang sangat terlatih yang terdiri dari orang-orang Perancis, dia mampu melanjutkan serangan hingga ke Dir’iyah yang kemudian dikepung karena memiliki pertahanan yang kokoh. Pengepungan ini berlangsung lama yang dimulai sejak bulan April hingga Septernber 1818 M. dan berakhir dengan menyerahnya Pangeran Abdullah bin Saud serta masuknya Ibrahim ke Dir’iyah. Dari Dir’iyah Pangeran Abdullan dikirim ke Mesir dengan pengawalan yang sangat ketat. Setelah dari Kairo, dia dikirim ke Istanbul.[33]

Pangeran Abdullah diarak di jalan-jalan Istanbul selama tiga hari penuh, kemudian setelah itu diperintahkan agar dia dihukum pancung. Semoga Allah memberikan rahmatnya pada orang yang dizhalimi ini[34] dan nanti di Hari Kiamat akan tampak bagaimana hakikat pembunuhannya itu. Sesungguhnya dia telah mengajak untuk berdamai, perdamaian yang diinginkan oleh penduduk Jazirah Arabia, melalui sebuah surat yang dikirimkan oleh Syaikh Ahmad Al-Hanbali kepada Thusun. Mereka telah menjelaskan bahwa mereka mengakui kesultanan Utsmani dan tidak pernah menyatakan pemberontakan terhadap pemerintahan Utsmani. Lalu kenapa ada usaha yang terus menerus untuk melakukan penyerbuan ke Jazirah Arabia? Demikian ruh kaum muslimin dibinasakan oleh tangan sebagian kaum muslimin yang lain, akibat tipu daya musuh. Padahal orang-orang Jazirah Arabia telah membantu kaum muslimin di Mesir tatkala mereka dijajah oleh orangg-orang Perancis. Lalu kenapa harus ada permusuhan yang disengaja? Sesungguhnya Muhammad Ali dengan bantuan para pemimpin yang menisbatkan dirinya pada Islam mampu meyakinkan sebagian besar kaum awam, bahwa mereka melakukan itu sebagai bukti ketaatan mereka kepada khalifah Rasulullah yang harus mereka tunduk padanya dan taati. Dan bahwa yang mereka lakukan ­kata Muhammad Ali-adalah dalam rangka mencegah pemisahan Jazirah Arabia dari kekhilafahan Utsmani.[35]

Sesungguhnya masalah loyalitas dan disloyalitas terhadap agama Islam, sama sekali tidak ada pada pribadi Muhammad Ali dengan dalil bahwa dia memberikan sikap loyalitasnya kepada musuh-musuh Islam. Dia memberikan kesempatan pada mereka untuk memimpinnya, memimpin dan menggiring umat bersama-sama dengannya kepada kehancurannya. Ini merupakan akibat dari adanya kelakuan pedagang tembakau yang tidak ketahuan nasabnya yang menginginkan dirinya duduk menjadi penguasa di negeri kaum muslimin.[36]

Inggris demikian senang tatkala mengetahui jatuhnya Dir’iyyah, ibu kota Saudi yang pertama, di tangan kekuatan Ibrahim Pasya.[37] Pemerin­tahan Saudi Salafiyah inilah yang telah membantu Qawasim dalarn jihad mereka melawan orang-orang Inggris di Teluk Arab, sehingga mengancam kepentingan Inggris d India sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelum ini.[38] Di sini kita patut bertanya, khususnya dalam peristiwa-peristiwa ini yang dialami oleh dunia Islam dalam sejarahnya di masa modern. Kita akan katakana: Andaikata tentara Muhammad Ali dan pasukan pemerintah Utsmani bekerjasama dengan pemerintahan Saudi periode awal dan bukan malah memeranginya untuk menghadapi keserakahan orang-orang Eropa secara umum dan Inggris secara khusus, jika ini yang terjadi pasti wajah sejarah akan berubah. Khususnya bahwa pemerintahan Saudi itu adalah pemerintahan Islam yang dibangun di alas prinsip dasar Salafiyah yang benar. Dunia Islam saat itu demikian membutuhkan pemerintahan seperti ini. Apapun yang terjadi, sesungguh­nya Inggris menyadari apa yang bisa mereka ambil manfaat dari kondisi yang terjadi saat ini. Maka mereka pun dengan segera mengucapkan selamat kepada Ibrahim Pasya, dengan prinsip untuk menjaga kepenting­an mereka. Inggris mengutus kapten George Forester Sadler[39]- untuk memberikan ucapan selamat kepada Ibrahim Pasya atas keberhasilannya dalam menguasai Dir’iyah serta adanya usaha untuk membentuk kerja sama antara kekuatan darat Ibrahim Pasya dan kekuatan laut Inggris dalam rangka menghadapi Qawasim, yang merupakan pengikut pemerintahan Saudi periode awal.<[40]

Sesungguhnya hubungan antara Muhammad Ali dan orang-orang Inggris itu adalah hubungan yang sudah terjalin demikian lama. Sejak awal masa pemerintahannya, dia langsung melakukan perundingan dengan mereka selama empat bulan. Dalam perundingan itu Muhammad Ali menekankan, tentang keseriusannya dan keinginannya yang demikian tulus untuk membangun hubungan dengan Inggris, bahkan lebih jauh dari itu dia rela menempatkan dirinya berada di bawah perlindungan Inggris. Inilah yang disebutkan oleh keterangan yang disampaikan oleh Freezer, delegasi yang menjadi wakil dalam perundingan itu. Satu hal yang membuat -setelah puas dengan itu- mereka meninggalkan sekutu-sekutu lamanya orang-orang Mamluk. Isi dari kesepakatan yang disiapkan oleh pimpinan ekspedisi Freezer yang melakukan perundingan dengan utusan Muhammad Ali yang dikirim pada Jendral Moor tanggal 16 Oktober tahun 1807 M. mengandung bagian penting dari isi perjanjian itu. Dalam ketetapan itu disebutkan; “Ijinkan saya untuk membeberkan kepada tuan agar ini menjadi fokus perhatian tuan tentang isi pembicaraan yang terjadi antara Pasya Mesir dengan Mayor Jenderal Sharirouk dan kapten Feloz saat keduanya melakukan tugas mereka. Satu hal yang membuat saya yakin bahwa pembicaraan ini, dan komunikasi khusus yang lain yang saya lakukan bersamanya, menggambarkan bahwa dia itu sangat serius dengan apa yang menjadi usulannya. Muhammad Ali Pasya, gubernur Mesir telah mengutarakan keinginannya untuk memposisikan dirinya di bawah perlindungan Inggris. Kami menjanjikan padanya akan menyam­paikan usulannya itu kepada pimpinan-pimpinan kekuatan Inggris dengan harapan mereka menyampaikannya pada pemerintah Inggris.

Sementara itu, Muhammad Ali Pasya menjanjikan untuk melarang orang­-orang Perancis, Turki atau kekuatan lain yang berada di bawah sebuah pemerintahan tertentu untuk masuk ke Iskandariyah dari jalan laut dan sebagai sekutu Inggris Raya di Iskandariyah. Namun tak ada pilihan lain baginya untuk menunggu dan untuk tidak meminta bantuan Inggris dengan kekuatan lautnya, tatkala ada serangan dari arah laut sebab dia tidak memiliki kapai-kapal perang. Pada saat yang sama Muhammad All Pasya sepakat untuk membekali kapal-kapal Inggris yang berada jauh dari Iskandariyah dengan semua apa yang dibutuhkan, termasuk air sungai Nil tatkala ada isyarat kesepakatan untuk itu.[41]

Konsul Perancis Drupati memberikan catatan atas apa yang sampai padanya dari kabar tentang kesepakatan antara Muhammad Ali dan Inggris yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari kesepakatan bahwa itu adalah; “Perjanjian seperti ini tatkala sampai pada titik kesepakatan akan menggolkan semua keinginan Inggris dengan cara mengirimkan ekspedisi militer mereka ke Mesir, jika akibatnya tidak disadari dengan dikirimkannya ekspedisi militer tersebut.“[42]

Inggris tidak ingin mengumumkan semua isi perjanjian setelah ditandatanganinya dan mereka meninggalkan Iskandariyah serta diserahkan kepada Pasya Mesir, ssebab Inggris melihat pentingnya melihat dengan teliti akibat apa yang akan mereka terima jika harus menyatakan permusuhan secara terang-terangan terhadap pemerintahan Utsmani sebagai akibat bantuan yang diberikan Inggris pada seorang penguasa yang menginginkan kemerdekaan dari pemerintahannya. Padahal saat itu, diplomasi Inggris memiliki kepentingan yang demikiian besar dari pemerintahan Utsmani. Di samping itu Inggris juga mengambil banyak faedah dari anteknya yang baru untuk meluaskan pengaruhriya di kawasan itu jika mungkin.[43]


[1] Dinukil dari “Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah”, Pustaka Al-Kautsar, cet. I, 2003, hal. 469-483.
[2] Lihat : Imam at-Tauhid Muhammad bin Abdil Wahhab, Ahmad al-Qaththan, hal. 35
[3] Ibid : hal. 36
[4] Ibid : hal. 45-46.
[5] Lihat : Istimrariyat ad-Da’wah, Muhammad Sayyid al-Wakil (III/293).
[6] Lihat : Imam at-Tauhid Muhammad bin Abdil Wahhab, Ahmad al-Qaththan, hal. 53
[7] Ibid : hal. 78
[8] Lihat : Al-A’lam al-‘Arobi fit Tarikh al-Hadits, hal. 17.
[9] Lihat : Qira’at Jadiidah fi Tarikhil Utsmaniyyin, hal. 156.
[10] Ibid : hal. 158.
[11] Lihat : Ad-Daulat al-Utsmaniyyah, DR. Jamal, hal. 94.
[12] Idem : hal. 94.
[13] Idem : hal. 95.
[14] Lihat : Al-‘Alam al-‘Arobi fit Tarikh al-Hadits, DR. Ismail Yagha, hal. 171.
[15] Ibid : hal. 172.
[16] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit tarikh al-‘Utsmani, hal. 183.
[17] Lihat : Min Akhbar an-najd wal Hijaz, Muhammad Adib Sholih, hal. 111.
[18] Idem : hal. 111-112.
[19] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit tarikh al-‘Utsmani, hal. 186.
[20] Lihat : Min Akhbar al-Hijaz wan Najd, Muhammad Adib Gholib, hal. 110.
[21] Ibid : hal. 100.
[22] Lihat : ‘Ajaib al-Atsar Akhbar Yaumi Akhir Dzilqo’dah Sanat 1328, Adib Gholib, 149.
[23] Lihat : Ad-Daulat al-‘Utsmaniyyah, Muhammad Anis, hal. 233.
[24] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal.188.
[25] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitabul Jamal (XV/263).
[26] Lihat : Nashbur Rooyah, Az-Zaila’i (III/463).
[27] Diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanad yang shahih. Sedangkan Imam adz-Dzahabi menyatakan sebagai hadits mauquf di dalam Al-Mustadrak (II/155).
[28] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal. 189.
[29] Lihat : Ad-Daulah as-Su’udiyah al-‘Ula, DR. Abdul Halim Abdur Rahman,hal. 199-235.
[30] Lihat : Qiro’ah Jadidah fit Tarikhil Utsmani, hal. 172.
[31] Ibid : hal. 172.
[32] Lihat : Ad-Daulah as-Su’udiyah al-‘Ula, hal. 339-345.
[33] Lihat : Al-‘Alam al-‘Arobi fit Tarikhil Hadits, hal. 174.
[34] Ibid : hal. 174.
[35] Lihat : Ad-Daulah al-Utsmaniyyah, DR. Jamal Abdul Hadi, hal. 96.
[36] Ibid : hal. 97.
[37] Lihat : Dirosat fi tarikh al-Khaliij al-‘Arobi al-hadits wal Mu’ashir (I/198).
[38] Lihat : Tarikh al-Ahsa’ as-Siyasi, DR. Muhammad ‘Arobi, hal. 42-43.
[39] Lihat : Dalil al-Khaliij at-Taarikhi, J.J. Lurimer (II/1009-1010).
[40] Lihat : Huruub Muhammad ‘Ali ‘ala asy-Syaam, DR. Ayidh ar-Ruuqi, hal.112.
[41] Lihat : Mishr fi Mathla’ al-Qornit Taasi’ ‘Asyar, DR. Muhammad Fu’ad Syukri (II/856-857).
[42] Ibid : hal. (II/826).
[43] Lihat : Daur al-Kanisah fi Hadmid Daulatil Utsmaniyyah, Tsuroyya Syahin, hal.56-57.

abunamira.wordpress.com




Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment