Imam Ahmad rahimahullah berkata :
“Berperang (jihad) adalah syariat yang terus berjalan hingga hari kiamat bersama penguasa apakah penguasa itu baik maupun buruk tidak boleh ditinggalkan”
(Ushul Assunnah)
Penguasa mempunyai kekhususan hak yang tidak boleh dilaksanakan atas izinnya dan melaksanakan tanpanya, salah satunya adalah jihad, dan merupakan syarat asasi jihad (melawan orang kafir) harus dipimpin oleh pimpinan negara (penguasa), sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairoh radhiallahu’anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah tameng (perisai), harus dilakukan peperangan dari belakangnya”
Makna hadits ini dikuatkan oleh sebagian riwayat diantaranya ;
1- Kisah shahabat yang terdzolimi di makkah, mereka ditindas oleh kaum musyrikin, mereka datang dan mengeluhkan kepada Rasulullah atas gangguan kaum musyrikin terhadap mereka, Nabi pun menasehati mereka dengan banyak nasehat, sisi pendalilan dari riwayat ini ialah para shahabat tidak mengadakan perlawanan sendiri (maupun kelompok) karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan hal tersebut.
2- Pada waktu perjanjian Hudaibiyah, yang jumlah para shahabat waktu itu tidak kurang dari 1000 orang akan tetapi tidak ada yang berangkat untuk berperang sendiri (berkelompok), bahkan Umar bin Khattab radhiallahu’anhu yang tidak setuju degan perjanjian tersebut (Umar berkata; ya Rasul bukankah jika berperang yang mati diantara mereka masuk neraka dan yang mati diantara kami disurga ?), beliau tidak berperang sendiri walaupun dia mempunyai kekuatan.
Inilah syarat yang tertanam pada diri para shahabat, bahwa jihad harus dibawah kepemimpinan.
Maka ini adalah prinsip yang ditegaskan oleh para ulama, bahwa jihad harus dipimpin oleh penguasa.
Ini adalah keyakinan yang ditegaskan oleh para Imam-Imam salaf (terdahulu).
Telah ijma’ ulama salaf dalam hal ini, diwakili oleh dua imam besar; Abu Hatim dan Abu Zur’ah ar-razi berkata;
“Kami menjumpai para ulama diseluruh negeri (hijaz, iraq, syam, mesir, yaman, dan lainnya) diantara keyakinan mereka adalah “kita menegakkan kewajiban haji bersama imam kaum muslimin pada setiap masa dan zaman, dan jihad itu terus berjalan bersama penguasa imam kaum muslimin semenjak Nabi diutus hingga hari kiamat, tidak dibatalkan syariat ini oleh suatu apapun”.
(Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Lalika’ai)
Ini merupakan kesepakatan (ijma’) ulama yang dinukil oleh Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur’ah.
Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushonnaf meriwayatkan atsar;
Dari Abu Hamzah, beliau pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang berjihad bersama para penguasa padahal penguasa tersebut telah mengadakan perkara-perkara baru, kata ibnu Abbas; “Engkau berperang bersama mereka untuk mendapatkan bagian akhirat”.
Karena didalamnya adalah ibadah yang menghasilkan kebaikan dan jika ada kesalahan merekalah yang menanggungnya.
Ibnu Sirin dan Hasan Al-Bashri mengatakan;
Kalian jihad bersama mereka dan kalian mendapat keutamaan (pahala) dan kemuliaannya dan yang menanggung kesalahan (dosa) adalah mereka (penguasa).
Ini merupakan nash-nash dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang masalah jihad bersama penguasa.
Allahu a’lam
Abu Rafi’ Al-Majakartiy
(Kajian Ushul Assunnah, ust.Dzulqarnain, Makassar)
No comments:
Post a Comment