Mereka bilang, "Kasihan orang yang tidak mengenal bahasa Inggris. Ia akan kesulitan dalam memahami perkataan manusia".
Aku katakan, "Kasihan orang yang tidak mengenal bahasa Arab. Ia akan kesulitan dalam memahami perkataan Rabb-nya manusia".
Suatu yang menakjubkan kami ketika menghadiri Dauroh para ulama di
kota Riyadh kemarin sore. Dauroh tersebut diisi oleh seorang ulama yang
tidak ada yang sangka kalau dia adalah ulama besar. Terlihat dari
kejauhan begitu imut-imut, masih terlihat seperti orang yang berusia
30-an. Namun ketika mulai kajian, masya Allah, luar biasa ilmu yang
dibahas. Bahasannya begitu bagus ketika menguraikan penjelasan Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam kitab Manhjaus Salikin.
Nama beliau adalah Syaikh Dr. ‘Abdus Salam bin Muhammad Asy
Syuwai’ir. Beliau adalah lulusan doktoral terbaik dari Ma’had Al ‘Ali
lil Qodho’ (sekolah tinggi untuk para hakim) yang merupakan cabang
Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud. Beliau adalah Ustadz (gelar
pendidikan, yang dimaksud adalah professor) di Ma’had Al ‘Aali
lilqodho’. Beliau adalah di antara murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah. Beliau adalah ulama yang fakih dan tidak diragukan lagi
kecerdasan beliau dalam ilmu, terlihat begitu tawadhu’. Kalau seseorang
melihatnya, maka ia akan menyangka bahwa Syaikh masih berusia kisaran 30
tahunan. Begitu pula yang kami sangka.
Di suatu waktu beliau pernah berhenti dan duduk selama setengah jam
lebih untuk meladenin para thulab (pelajar) yang ingin bertanya
persoalan agama kepada beliau. (Lihat biografi beliau di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=252029)
Ketika membahas syarat nikah saat mengulas persyaratan sekufu, Syaikh memberikan sedikit penjelasan menarik.
Syaikh As Sa’di dalam Manhajus Salikin berkata, “Tidak boleh wali
perempuan menikahkan seorang wanita dengan orang yang tidak sekufu
dengannya. Tidak boleh seorang wanita yang baik-baik dinikahkan dengan
laki-laki yang suka maksiat. Orang Arab satu dan lainnya adalah sekufu.”
Lalu Syaikh ‘Abdus Salam Asy Syuwai’ir menjelaskan apa yang dimaksud
orang Arab di sini. Dari kesimpulan pendapat Ibnu Taimiyah, disebut
orang Arab bukanlah dilihat dari nasabnya karena ia keturunan Arab.
Namun yang disebut orang Arab jika ia memiliki dua kriteria:
1. Ia bisa berbicara dengan bahasa Arab (orang Arab secara lisan)
2. Akhlak, pakaian dan tabi’atnya pun mengikuti orang Arab.
Artinya di sini, kita pun bisa jadi mulia karena menguasai bahasa
Arab. Menjadi orang Arab tidak mesti dari keturunan Arab. Jika akhlak
dan tabi’at kita baik, kita pun bisa disebut demikian. Coba kita
saksikan banyak ulama dari luar Arab yang disangka orang Arab karena ia
memiliki tulisan-tulisan dan karya dalam bahasa Arab dan bisa
bercakap-cakap pula dengan bahasa Arab. Salah satu akhlak bagus orang
Arab yang kami temui adalah sering menasehati orang lain dengan cara
yang santun, berpenampilan selalu rapi dan pakaian bersih (apalagi yang
mereka suka kenakan adalah pakaian putih-putih sebagaimana yang Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- sukai), badan dan pakain mereka pun
selalu harum dengan minyak wangi. Inilah akhlak dan penampilan yang
patut kita ikuti.
Sedikit faedah di pagi hari ini yang bisa kami torehkan untuk pembaca.
Semoga Allah senantiasa mengkaruniakan kita ilmu dan akhlak yang mulia.
Faedah dari Dauroh Shoifiyah di Masjid (Jaami’) Ar Roojihi, Riyadh,
KSA, 23 Rajab 1433 H bersama Syaikh ‘Abdus Salam Asy Syuwai’ir -hafizhohullah- membahas kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As Sa’di.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 24 Rajab 1433 H
www.rumaysho.com
No comments:
Post a Comment