حجر الأسود |
Kota Mekkah, dengan kemuliaan yang
disandangnya, ia memiliki hukum-hukum yang telah ditetapkan syari’at,
sebagai bukti yang menunjukkan kemuliaannya. Siapapun dilarang melakukan
perbuatan maksiat. Meski larangan ini telah jelas, ternyata dalam
perjalanan sejarah kaum Muslimin, khususnya kota Mekkah dan Ka’bah,
pernah terjadi pelanggaran yang sangat memilukan dan menodai Ka’bah
secara khusus, yaitu terjadinya penjarahan Hajar Aswad.
Hajar Aswad merupakan batu termulia. Dia berasal dari Jannah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نَزَلَ الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ
“Hajar Aswad turun dari Jannah, dalam
kondisi berwarna lebih putih dari air susu. Kemudian, dosa-dosa anak
Adamlah yang membuatnya sampai berwarna hitam” [1].
Tentang keutamaannya yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ِإنَّ لِهَذَا الْحَجَرِ لِساَناً وَ شَفَتَيْنِ يَشْهَدُ لِمَنْ اسْتَلَمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَقٍّ
“Sesungguhnya batu ini akan punya lisan
dan dua bibir akan bersaksi bagi orang yang menyentuhnya di hari Kiamat
dengan cara yang benar” [2].
Dari Ibnu ‘Umar, saya mendengar Rasulullah bersabda:
إِنَّ مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطِيئَةَ
“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan menghapus dosa”.[3]
Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu
bongkahan. Namun setelah terjadinya penjarahan yang terjadi pada tahun
317H, pada masa pemerintahan al Qahir Billah Muhammad bin al Mu’tadhid
dengan cara mencongkel dari tempatnya, Hajar Aswad kini menjadi delapan
bongkahan kecil. Batu yang berwarna hitam ini berada di sisi selatan
Ka’bah.
Adalah Abu Thahir, Sulaiman bin Abu Said
al Husain al Janabi, tokoh golongan Qaramithah pada masanya, telah
menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan dan peperangan
terhadap kaum Muslimin. Kota yang suci, Mekkah dan Masjidil Haram tidak
luput dari kejahatannya. Dia dan pengikutnya melakukan pembunuhan,
perampokan dan merusak rumah-rumah. Bila terdengar namanya, orang-orang
akan berusaha lari untuk menyelamatkan diri.[4]
Kisahnya, pada musim haji tahun 317H
tersebut, rombongan haji dari Irak pimpinan Manshur ad Dailami bertolak
menuju Mekkah dan sampai dalam keadaan selamat. Namun, tiba-tiba pada
hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah), orang-orang Qaramithah (salah
satu sekte Syiah Isma’iliyah) melakukan huru-hara di tanah Haram. Mereka
merampok harta-harta jamaah haji dan menghalalkan untuk memeranginya.
Banyak jamaah haji yang menjadi korban, bahkan, meskipun berada di dekat
Ka’bah.
Sementara itu, pimpinan orang-orang
Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir –semoga mendapatkan balasan yang
sepadan dari Allah– berdiri di pintu Ka’bah dengan pengawalan,
menyaksikan pedang-pedang pengikutnya merajalela, menyudahi nyawa-nyawa
manusia. Dengan congkaknya ia berkata : “Saya adalah Allah. Saya bersama
Allah. Sayalah yang menciptakan makhluk-makhluk. Dan sayalah yang akan
membinasakan mereka”.
Massa berlarian menyelamatkan diri.
Sebagian berpegangan dengan kelambu Ka’bah. Namun, mereka tetap menjadi
korban, pedang-pedang kaum Syi’ah Qaramithah ini menebasnya. Begitu
juga, orang-orang yang sedang thawaf, tidak luput dari pedang-pedang
mereka, termasuk di dalamnya sebagian ahli hadits.
Usai menuntaskan kejahatannya yang tidak
terkira terhadap para jamaah haji, Abu Thahir memerintahkan pasukan
untuk mengubur jasad-jasad korban keganasannya tersebut ke dalam sumur
Zam Zam. Sebagian lainnya, di kubur di tanah Haram dan di lokasi
Masjidil Haram.
Kubah sumur Zam Zam ia hancurkan. Dia
juga memerintahkan agar pintu Ka’bah dicopot dan melepas kiswahnya.
Selanjutnya, ia merobek-robeknya di hadapan para pengikutnya. Dia
meminta kepada salah seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka’bah dan
mencabut talang Ka’bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut terjatuh dan
mati seketika. Abu Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil
talang Ka’bah. Kemudian, ia memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad
dari tempatnya. Seorang lelaki memukul dan mencongkelnya.
Dengan nada menantang, Abu Thahir sesumbar : “Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari Neraka Sijjil?”
Peristiwa penjarahan Hajar Aswad ini,
membuat Amir Mekkah dan keluarganya dengan didukung sejumlah pasukan
mengejar mereka. Amir Mekkah berusaha membujuk Abu Thahir agar mau
mengembalikan Hajar aswad ke tempat semula. Seluruh harta yang dimiliki
Sang Amir telah ia tawarkan untuk menebus Hajar Aswad itu. Namun Abu
Thahir tidak bergeming. Bahkan Sang Amir, anggota keluarga dan
pasukannya menjadi korban berikutnya. Abu Thahir pun melenggang menuju
daerahnya dengan membawa Hajar Aswad dan harta-harta rampasan dari
jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa pulang ke daerahnya, yaitu
Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.
Menurut Ibnu Katsir, golongan Qaramithah
membabi buta semacam itu, karena mereka sebenarnya kuffar zanadiqah.
Mereka berafiliasi kepada regim Fathimiyyun yang telah menancapkan
hegemoninya pada tahun-tahun itu di wilayah Afrika. Pemimpin mereka
bergelar al Mahdi, yaitu Abu Muhammad ‘Ubaidillah bin Maimun al Qadah.
Sebelumnya ia seorang Yahudi, yang berprofesi sebagai tukang emas.
Lantas, mengaku telah masuk Islam, dan mengklaim berasal dari kalangan
syarif (keturunan Nabi Muhammad). Banyak orang dari suku Barbar yang
mempercayainya. Hingga pada akhirnya, ia dapat memegang kekuasan sebagai
kepala negara di wilayah tersebut. Orang-orang Qaramtihah menjalin
hubungan baik dengannya. Mereka (Qaramithah) akhirnya menjadi semakin
kuat dan terkenal.
Perbuatan Abu Thahir al Qurmuthi, orang
yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad ini, oleh Ibnu Katsir
dikatakan : “Dia telah melakukan ilhad (kekufuran) di Masjidil Haram,
yang tidak pernah dilakukan oleh orang sebelumnya dan orang sesudahnya”.
[5]
Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan. Tetapnya pada tahun 339H.
Pada saat mengungkapkan kejadian tahun
339 H, Ibnu Katsir menyebutnya sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan
Dzul Hijjah tahun tersebut, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula.
Peristiwa kembalinya Hajar Aswad sangat menggembirakan segenap kaum
Muslimin.
Pasalnya, berbagai usaha dan upaya untuk
mengembalikannya sudah dilakukan. Amir Bajkam at Turki pernah menawarkan
50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar Aswad. Tetapi, tawaran ini tidak
meluluhkan hati Abu Thahir, pimpinan Qaramithah saat itu.
Kaum Qaramithah ini berkilah : “Kami
mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan mengembalikannya
berdasarkan perintah orang yang bersangkutan”.
Pada tahun 339 H, sebelum mengembalikan
ke Mekkah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufah, dan
menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang dapat
menyaksikannya. Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan : “Kami
dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami
mengembalikannya dengan perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji
umat menjadi lancar”.
Akhirnya, Hajar Aswad dikirim ke Mekkah
di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai di Mekkah pada
bulan Dzul Qa’dah tahun 339H.[6]
Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa
pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang Qaramithah terpaksa
mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa onta. Punuk-punuk onta sampai
terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat dikembalikan hanya
membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal aneh dalam
perjalanan. (Mas)
Maraji’ :
- Shahih Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun.
- Shahih Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H.
- Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H.
- Al Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H.
- Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali Barnawi, Mekkah Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H.
- Shahih Sunan at-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif.
- Shahih Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah al Ma’arif.
- Shahihul-Jami’ wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktab Islami, Cet. III, Th. 1408.
- Taisiril Karimir-Rahman, Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H.
- Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.
- Shahih Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun.
- Shahih Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H.
- Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H.
- Al Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H.
- Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali Barnawi, Mekkah Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H.
- Shahih Sunan at-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif.
- Shahih Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah al Ma’arif.
- Shahihul-Jami’ wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktab Islami, Cet. III, Th. 1408.
- Taisiril Karimir-Rahman, Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H.
- Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.
Ustadz Ashim bin Musthafa
Sumber : almanhaj.or.id
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877.
[2]. HR al Hakim dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami’, no. 2184.
[3]. Hadits shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[4]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/187.
[5]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192.
[6]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/265.
_________
Footnotes
[1]. Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877.
[2]. HR al Hakim dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami’, no. 2184.
[3]. Hadits shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[4]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/187.
[5]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192.
[6]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/265.
abangdani.wordpress.com
No comments:
Post a Comment