Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi
al-Hambali an-Najdi (Arabic:محمد بن عبد الوهاب التميمى) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh
pemimpin gerakan salafiah yang pernah menjabat sebagai menteri penerangan Kerajaan
Arab Saudi.
Peniggalan
Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha membangkitkan kembali pergerakan
perjuangan Islam; para pendukung pergerakan ini sering disebut wahabbi,
tetapi mereka menolak istilah ini karena pada dasarnya ajaran bin Wahhab adalah
ajaran Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih
untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti
"satu Tuhan".
Istilah
Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan
kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka
kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan
alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab
dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Nama Wahhabi
atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab iaitu bapa
kepada pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi.
Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri
dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun(3)
(unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke
dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat
perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd.
Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik
sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar
"keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun
mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul
'Aziz bin Abdillah bin Baz.
Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H
(1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab
Saudi sekarang.
Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah
seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakeknya adalah seorang qadhi
(mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah
yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama,
yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua
orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh
tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama
setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah Saudara
kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerasan
Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat
dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul
Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di
Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke
Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan
menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh
Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh
Muhammad Hayah al-Sindi.
Kehidupan Syeikh Muhammad di Madinah
Ketika berada di kota Madinah, ia mengira banyak umat Islam
di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi
makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada
kuburan dan penguhuninya. Hal ini menurut dia sangat bertentangan dengan ajaran
Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah. Hal ini
membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan
yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya
sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana sesuai
keyakinannya, yaitu kepada akidah Islam yang menurutnya murni (tauhid),
jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah. Untuk itu, ia pun mulai
mempelajari berbagai buku yang di tulis para ulama terdahulu.
Belajar dan berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia
kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih
lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu
gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di
kota ini.
Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau
bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang
bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama
setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang
ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama
yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke
beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah
beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh
Abdullah bin `Abd Latif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang
selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa
waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari 'Uyainah ke
Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan belajar kepada bapanya. Tetapi
beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di
Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan perselisihan yang hebat
antara beliau dengan bapanya (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut
terus berlanjut hingga ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.
Perjuangan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam
Awal Pergerakan
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia
bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan
mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu. Melihat
keadaan umat islam yang menurutnya sudah melanggar akidah, ia mulai
merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang
diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh
lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya
sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan
gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung
perjuangan tersebut. Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin
pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam
Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di
atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan. Amir menjawab
"Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang
mulia ini." Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi
oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600
orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan
maqam yang dikeramatkan itu. Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai
syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab)
di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka.
Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi
pengenalan mereka. Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu
adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah
terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya
dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia
kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi
ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak
dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita tentang
pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di
luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad
bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula
menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada
pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia
kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang
diberikan oleh Amir al-Ihsa. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat
itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia
tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi
perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu keputusan:
Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul
Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad
bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah,
dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan
lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri
Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa
ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari,
dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh
`Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22) Tetapi ada juga tulisan lainnya yang
mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh dari
pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api
pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan
pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari
kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian,
tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk
meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar
dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Syeikh Muhammad di Dariyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah
Dariyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar’iyah),
Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad
bin Sulaim al-`Arini.
Bin Sulaim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat.
Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia
meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima
Syeikh di rumahnya, karena suasana Dariyah dan sekelilingnya pada waktu itu
tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan
maksud dan tujuannya datang ke negeri Dar’iyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah
Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Sulaim ingin
menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dariyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang
melaporkan diri kepada pihak berkuasa setempat, maka pergilah Muhammad bin
Sulaim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab
yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada
beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di
rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya. Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud
mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua
pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya:
"Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita
seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah,
berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang
sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama
ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari." Namun baginda
bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang
menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa
ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa
penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain
sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di
rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka
pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin
Sulaim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Sulaim, amir Ibnu
Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Sulaim. Amir
Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami
menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan
kami berikrar untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda Syeikh di negeri ini
dalam menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Dariyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda Syeikh
rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa
dan harta untuk bersama-sama anda Syeikh berjuang demi meninggikan agama Allah
dan menghidupkan sunnah RasulNya sehingga Allah memenangkan perjuangan ini,
Insya Allah!"
Kemudian anda Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda
juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah
Subhanahu wa Taala.
Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama
ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa
yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita
akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama."
Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dariyah, yang bukan hanya
sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus membela darahnya bagaikan
saudara kandung sendiri, yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah
setia sehidup-semati, senasib, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di
bumi persada tanah Dariyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud
itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu
dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya. Nama Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dariyah
maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dariyah pun berduyun-duyun
datang ke Dariyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri
Dariyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia
pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang
menjadi teras bagi rencana perjuangan beliau, yaitu bidang pengajian Aqaid
al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith,
gramatikanya dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat saja, Dariyah telah menjadi kiblat
ilmu dan kota pelajar penuntut Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda,
berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah),
diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat umum.
Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dariyah dan
negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mula menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya
kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin
yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan
tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing.
Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula
mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui
Surat-menyurat
Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan
dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping
berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan
pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang). Maka Syeikh
mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, yang pada
ketika itu adalah Dahkan bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga
kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat
dakwahnya itu ke sleuruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam
surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam
di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul. Bukanlah berarti bahwa ketika itu
tidak ada lagi perhatian para ulama Islam setempat kepada agama ini, sehingga
seolah-olah bagaikan tidak ada lagi yang memperahtikan masalah agama. Akan
tetapi yang sedang kita bicarakan sekarang adalah masalah negeri Najd dan
sekitarnya.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama
dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga
beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya
semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di
kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika
Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain
lagi. Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut tetapi
pada waktu itu kebanyakan di antara mereka yang kehilangan arah, meskipun
mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Demikianlah banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan
para ulama di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat
berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, yang berupa risalah,
maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak
dan disebarkan ke seluruh pelosok dunia Islam, baik melalui Rabithah
al-`Alam Islami,
maupun terus dari pihak kerajaan Saudi sendiri ( di masa mendatang). Begitu
juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta
tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah
mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar
luas ke seluruh pelosok dunia Islam. Dengan demikian, jadilah Dar’iyah sebagai
pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian
murid-murid keluaran Dar’iyah pula menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini
ke seluruh pelusuk negeri dengan cara membuka sekolah-sekolah di daerah-daerah
mereka.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari
jenisnya dan amat cemerlang. Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan
perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Karena
pergerakan ini mendapat tentangan bukan hanya dari luar, akan tetapi lebih
banyak datangnya dari kalangan sendiri, terutama dari tokoh-tokoh agama Islam
sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya.
Namun, oleh karena perlawanan sudah juga digencarkan muslimin sendiri, maka
orang-orang di luar Islam pula, terutama kaum orientalis mendapat angin segar
untuk turut campur-tangan membesarkan perselisihan diantara umat Islam sehingga
terjadi saling membid’ahkan dan bahkan saling mengkafirkan. Masa-masa tersebut
telah pun berlalu. Umat Islam kini sudah sedar tentang apa dan siapa kaum
pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin Abdul Wahhab (dijuluki
Wahabi). Dan satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara
sesama umat Islam semenjak awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya
kini sudah terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, sama ada
dari kalangan dalam Islam sendiri, mahupun dari kalangan luarnya, yang
dilancarkan melalui pena atau ucapan, yang ditujukan untuk membendung dakwah
tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh
Syeikh Islam, Imam Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan
hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke
seluruh dunia Islam dari Maghribi sampai ke Merauke, malah kini sudah berkumandang pula
ke seluruh dunia. Dalam hal ini, jasa-jasa Putera Muhammad bin Saud (pendiri kerajaan Arab Saudi)
dengan semua anak cucunya tidaklah boleh dilupakan begitu saja, di mana dari
masa ke masa mereka telah membantu perjuangan tauhid ini dengan harta dan jiwa.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala
kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan
perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas
dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun
pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan
hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah
membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu
sendiri.
Apa
yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab
dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad
Basyir as-Sahsawani,
dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya
tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri
dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim
dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis
bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh
membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya
sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman
bin `Abdullah,
Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah
mazhab Ahli Sunnah wal
Jamaah, sebagai
tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat
dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan
kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon
syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan
lainnya." `Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam
risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh
Ibnu `Abdul Wahab,
seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah
mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah
mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti
mazhab Ahmad
bin Hanbal
rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab
dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui
seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak
membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa
mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut.
Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara
para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada
beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari
Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan
teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang
menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang
Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut,
seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki;
Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab
kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal.
474. Seterusnya beliau berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah
tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan
mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan
Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami
tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi
wassalam’ dan dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam
itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat
daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat. Dan ziarah kepada kubur
Nabi itu tidak sunat, Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah"
sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La
ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi,
bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan
kitab-kitab karangan para ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang
hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami
mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti
kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga kami menetapkan
atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga bukan
musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca
selawat ke atas Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke
kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran
agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan
kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun. Kami dituduh
tidak mahu mengakui kebenaran para ahlul
Bait
Radiyallahu 'anhum. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta
memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk
diceraikannya, karena akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat
derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh
kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawapan, kecuali yang
dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini
adalah kebohongan yang besar. Oleh karena itu, maka barangsiapa menuduh kami
dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan
yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa
yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya
itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh musuh-musuh agama
ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran
sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar,
seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar,
begitu juga seperti berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang,
maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal
dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua
ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475) Khusus tentang Nabi Muhammad
Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata:
"Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi
wassalam bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk
secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih
daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena
Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan
kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika
semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga
berziarah ke masjid Nabi dan melakukan solat di dalamnya, kemudian berziarah ke
maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca
selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan
mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tantangan Dakwah Beliau dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu
gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari
sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar
Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui
tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira
banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga
negeri-negeri Ajam (bukan Arab). Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang
menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan
niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya. Sebagian dari surat-surat ini
sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian
lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang
sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah
kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu
berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di
madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya,
muncul dalam dua bentuk: 1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan
agama, 2. Atas nama politik yang berselubung agama. Bagi yang terakhir, mereka
memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk
memusuhi dakwah Wahabiyah. Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang
yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar
terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya. Namun Syeikh
menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau
tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan celaan orang
yang mencelanya.
Pada
hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
1.
Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq
(benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan
bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan
berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan
dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada
orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi
adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci
auliya’ dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera
diperangi.
2.
Golongan ulama taashub, yang mana mereka tidak banyak tahu
tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka
hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai
Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak
dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa
mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu
menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti
Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka.
Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
3.
Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh
dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang
dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal
karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah
nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini, yang mana
akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara
Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis
surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa
hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di
mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama. Merekalah yang
meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab, yang
dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya. Demikianlah
perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya
dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa
Dar’iyah. Beliau pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada
tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila
tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun
pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan
secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk
mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata.
Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak
mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan
senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata. Alangkah
benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan
kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan
dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang,
keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik
dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di
tengah-tengah umat manusia. Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan
lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut
keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai
kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan,
meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti
menggunakan unsur besi. Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan
umat manusia yang mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan
banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi
kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah
dimanfaatkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya
tiga abad yang lalu.
Orang
yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima
ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, mahupun oleh para ulama.
Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan
oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya,
melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Penutup
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah
dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda
mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu
telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun
tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206
H.
Wafatnya Beliau
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama
48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis,
mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan
Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun,
beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M,
dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).
Oleh: Qoem Aulassyahid disusun sebagai tugas mata kuliah kemuhammadiyahan di PUTM
materi-kuliahku-dot.blogspot.com
assalamu'alaikum ustadz
ReplyDelete(Shiyanah al-Insan, m.s 475) itu karangan siapa ?artikel ini sumbernya dari mana ustadz mohon pencerahanya karena orang sufi getol&kritis banget
syukron jazilan
wa 'alaikum salam. Jawaban ada di artikel
Delete