Thursday, June 14, 2012

Mencium Hajar Aswad Antara Mitos dan Sunnah Nabi

 

Ditanya Rasa Mencium, Jemaah Katakan, "Tidak Boleh Bilang-bilang"

Mencium Hajar Aswad bukan rukun umrah atau haji. Namun, banyak jemaah berjuang "mati-matian" menciumnya. Rahasia apa di balik batu hitam itu?
Laporan: Basri, Mekah
Hajar Aswad adalah batu hitam yang ditempelkan di salah satu sudut Kakbah. Diriwayatkan sebagai batu dari surga. Oleh karena itu, aksesoris Baitullah ini dimuliakan umat Islam.
Tidak ada anjuran wajib ataupun sunnah untuk mencium batu dalam lingkaran yang dilapisi emas itu. Kalaupun ada masuk dalam tata cara ikhram, paling tidak jemaah diharuskan mencium dari jarak jauh dalam setiap putaran tawaf.


Tidak boleh menyentuhnya, apalagi menciumnya ketika jemaah melakukan tawaf ikhram untuk umrah. Nantilah bisa mencium Hajar Aswad kalau semua prosesi umrah sudah selesai yang ditandai oleh takhalul atau potong rambut.


Namun, pada kenyataannya, banyak jemaah umrah dan haji berusaha keras menciumnya. Baik seusai takhalul, maupun pada setiap kesempatan. Ada yang bahkan menjadikannya sebuah kebanggan jika berhasil mencium Hajar Aswad.
Atas arahan pembimbing ibadah Konsorsium, begitu tiba di area Kakbah, saya coba menampik mitos-mitos kebanggaan yang banyak diceritakan orang-orang di kampung. Di kampung, ada yang dengan bangga menceritakan bahwa dirinya berhasil mencium tiga kali.


Ada pula yang mencoba rendah bicara, tapi pada dasarnya mengangkat diri. Ia mengatakan, "Saya ini tidak sombong, tapi Alhamdulillah, saya beberapa kali mencium Hajar Aswad."
Ironisnya, ketika mereka ditanya, bagaimana rasanya ketika mencium Hajar Aswad, mereka menjawab, "Tidak boleh bilang-bilang, pemali. Bisa-bisaki pendek umur."


Untung manasik umrah yang telah diberikan pembimbing ibadah Konsorsium Laa Ilaaha Illallah menyadarkan saya tentang persepsi "kampungan" saya terhadap ritual mencium Hajar Aswad. Kalau saja tidak, saya kemungkinan akan berupaya menghalalkan segala cara untuk mencium. Mumpung sudah ada di hadapan batu dari surga itu.


Saya berusaha keras meruntuhkan mitos-mitos itu. Namun, naluri jurnalistik saya terpancing pula oleh keseriusan orang di kampung yang mengatakan, "Tidak boleh bilang-bilang." Lantas apa sesungguhnya yang ada dalam ritual mencium Hajratul Aswad itu?


Bulu kuduk saya tiba-tiba merinding. Ada getaran hingga terasa dingin. Hati dan pikiran saya "berdialog" serius.
Dalam keadaan labil, saya bergabung di salah satu kelompok yang dipandu pembimbing ibadah Konsorsium, Husni bin Abdullah.


Kami diarahkan memulai tawaf di bawah garis start yang ditandai lampu hijau. Tempat selurus dengan sudut Kakbah yang ditempati Hajar Aswad.
Namun, dalam putaran kedua, saya terpisah. Luapan jemaah dari negara-negara lain semakin memperpadat tawaf. Saya ternyata berjalan lebih lambat. Rombongan sudah melaju ke depan.


Dalam putaran berikutnya, saya mendapatkan teman. Ia memang tidak bergabung dengan rombongan karena sudah kedua kalinya ke Mekah.


Jemaah Konsorsium yang sudah pengalaman Tawaf memang diberikan kebebasan apakah mau bergabung dengan rombongan atau tidak. Yang penting melapor di masing-masing pembimbing, sebagaimana dilakukan Mila. Ia bahkan memandu dua orang. Saya pun bergabung dengan mereka.


Putaran ketujuh tawaf berhasil kami selesaikan. Kami pun melanjutkan dengan melakukan sa'i. Prosesi ini berupa lari-lari kecil di antara dua bukit, yaitu Safa dan Marwah.


Memulai dari Safa, hitungan pertama diambil setelah tiba di Marwah. Kembali ke Safa, berarti sudah hitungan kedua. Kami berakhir pada hitungan ketujuh di Marwah. Di sinilah dilakukan takhalul berupa potong rambut. Menurut pembimbing ibadah Konsorsium, Puang Cora, sesungguhnya, potong rambut itu hanya penanda bahwa semua yang dilarang sejak pengambilan niat umrah, kini sudah gugur.


Sampai prosesi akhir umrah ini, kami masih utuh. Mila yang berasal dari Jaya Pura itu menjadi pemandu dalam rombongan kecil kami yang hanya empat orang. Maklum, Mila sudah pengalaman haji dan lebih lincah.


Mila mengarahkan untuk salat syukur di hadapan Kakbah. Usai berdoa, Mila berinisiatif untuk ke Kakbah. Kami pun langsung berdiri. Kami mengikuti gelombang kepadatan jemaah tawaf. Makin ke dalam makin sesak. Dan, saya terlepas dari pegangan yang dipandu Mila.


Mila dan dua teman lainnya entah di mana. Saya berjuang sendiri. Rencana awal yang hanya ingin mengusap Kakbah, tiba-tiba ada "kekuatan lain" dan membuat saya bisa .mencium Hajar Aswad hingga dua kali berturut-turut dengan aman.


"Kekuatan lain" itu malah menyuruh saya mencium lagi untuk ketiga kalinya, tapi saya katakan, "Sudah-mi." Soalnya, saya tersentak dan menolaknya ketika mendengar jeritan perempuan. Siapakah "kekuatan lain" itu?

"Kekuatan Lain" Itu Berteriak, "Ugi-ki?" 

Ketika mencium Hajar Aswad, ada "kekuatan lain" yang tiba-tiba muncul. Mereka itu adalah kelompok anak muda.
Untung saja  Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم‎ tidak mewajibkan  umatnya mencium Hajar Aswad. Jika itu wajib, entah  apa yang terjadi di hadapan batu hitam tersebut.

Laporan: Basri, Mekah

Jemaah umrah Konsorsium Laa Ilaaha Illallah  telah diberi manasik intensif  mengenai eksistensi Hajar Aswad. Oleh larena itu, tidak ada jemaah yang salah persepsi. Tidak ada yang berjuang "mati-matian" mencium batu dari surga  itu.

Kalaupun saya berada di pusaran jemaah yang berjuang "mati-matian" mencium Hajar Aswad, itu karena secara tiba-tiba. Saya awalnya hanya ikut dengan teman yang mengajak merapat ke kiswah Kakbah, belum untuk mencium batu yang dimuliakan  tersebut.

Pada kesempatan pertama itu, saya sesungguhnya belum berani berjuang mencium Hajar Aswad. Selain karena masih berpakaian ikhram (meskipun sudah takhalul), juga karena belum merencanakan secara matang, kendati keinginan itu sudah bertahun-tahun ada.

Apalagi  memasuki pusaran jemaah yang berhimpitan itu dalam keadaan berpakaian ikhram, risikonya tinggi. Bisa saja ada jemaah lain  berpegang dari belakang sehingga  pakaian ikhram terlepas. Minimal akan melorot atau tersingkap. Dan, bisa dibayangkan, selain kain putih dua potong itu, tidak ada sehelai pun benang di badan.

Gelombang jemaah tawaf makin padat. Ada beberapa yang berhenti sambil mencium jauh Hajratul Aswad. Ada juga yang mencoba memotong arus tawaf untuk cepat sampai di Kakbah. Jemaah seperti ini punya dua tujuan.
Pertama, mereka ingin ke dinding Kakbah untuk mengusap dan mencium, kendati hanya kiswahnya. Golongan ini sekadar coba-coba untuk mencari celah ke Hajar Aswad. Mereka tidak memaksakan diri.

Begitu rintangannya keras, mereka langsung kembali ke belakang dan bergabung dengan jemaah tawaf. Untuk bisa lebih mudah  ke luar dari kepadatan tawaf, mereka mengikuti arus melingkar.

Golongan kedua adalah kelompok  yang berjuang keras untuk mencium Hajar Aswad. Secara tidak sengaja, saya tiba-tiba terdesak masuk di  kelompok terakhir ini. Laksana ombak, di sini terjadi pertemuan arus yang sewaktu-waktu bisa menghanyutkan. Perkataan lain, risiko terhimpit hingga terinjak, sangat berpeluang.

Tubuh-tubuh kekar dan besar tengah merangsek di sisi kiri-kanan dan depan-belakang saya. Bekisar lima meter Hajar Aswad itu di hadapan saya. Ketika tubuh-tubuh jemaah rebah, tampak jelas batu hitam dalam lingkaran emas itu. Semakin dekat, guratan-guratan batu hitam itu semakin tampak. Ia menyerupai belahan tempurung kelapa besar.

Hanya saja ia hitam. Bagian dalamnya terdapat relief seperti urat-urat atau lebih mirip  kaligrafi. Saya tidak mampu membacanya.

Sementara mencermati bundaran Hajar Aswad  itu, pusaran jemaah semakin padat. Saya terhimpit. Tidak bisa bergerak. Saya hanya berusaha bertahan seraya mencari celah ke luar. Akan tetapi, dorongan dari luar lebih kuat, sehingga saya ikut saja. Kapan melawan arus, bisa-bisa celaka.

Kalau mau dimitoskan, saya bisa katakan bahwa, sepertinya ada kekuatan lain yang menuntun. Namun, mitos ini coba saya runtuhkan dengan menggunakan logika, bahwa kenapa saya terdorong masuk, itu karena desakan dari luar lebih kuat daripada dari dalam. Arus jemaah dari dalam paling hanya beberapa orang. Baik yang telah berhasil mencium, maupun yang gagal dan memilih ke luar. 

Pikiran dan hati saya saat itu menyatu untuk terus maju. Saya lupa, jangan-jangan pakaian ikhram saya tersingkap atau melorot. Yang jelas, manasik dari pembimbing ibadah Konsorsium telah saya jalankan, terkhusus bagaimana mengenakan pakaian ikhram dengan baik agar "yang patut dijaga itu" lebih aman.

Gelombang desakan jemaah makin sesak. Tiba-tiba ada suara dengan bahasa Indonesia dialek Melayu, "Hajji, mau mencium?"

Spontan saya berujar, "Sudah, sudah." Anak muda itu pun berlalu.
Saya baru sadar kalau saya bohong di hadapan Kakbah. Saya mau meralat, tapi anak muda itu tidak tampak lagi.
Saya istigfar di tengah himpitan jemaah.  Saya menarik napas panjang-panjang. Agak lama mematung sambil menahan serempetan orang-orang yang menuju Hajar Aswad.

Tiba-tiba ada lagi teriakan, "Ayo ke sini."  Saya acuh tak acuh terhadap suara itu. Saya hanya mendesakkan badan ke depan yang tiba-tiba ada seluas tegel yang kosong. Riang itu semakin kosong. Saya pun maju lagi.
Beberapa anak muda membuka jalan. Yang di samping kiri saya berteriak, "Ugi-ki?" Saya masih diam sambil mendesakkan badan ke depan.

Anak muda yang mengenakan peci hitam bergaris abu-abu itu bertanya lagi, "Ugi-ki?" (Orang Bugis)?  Saya menjawabnya dengan napas agak tertahan, "Iye, Ugi Bone-ka." (Iya, saya Bugis Bone).
Anak muda itu tidak menjawabnya. Ia langsung ke depan seraya menyuruh saya memegang bahunya. Saya pun mengikutinya. Sekali-sekali menggantung di belakangnya ketika dia menyeruak ke depan.

Tidak sampai lima menit, dia meraih tangan kanan saya. Anak muda itu langsung meletakkan tangan kanan saya di sisi kanan lingkaran emas yang di dalamnya adalah Hajar Aswad.
"Cium! Cium!" Teriak anak muda itu sambil memasang kuda-kuda di sisi kiri. Saya pun mencium batu dimuliakan itu, lalu mengeluarkan kepala lagi. Ternyata di belakang saya kosong, bisa untuk tiga orang.

Anak muda itu berteriak lagi, "Cium! Cium!" Belum selesai teriakan cium, pipi kanan saya sudah rapat, agak lama. Dan, tanpa perintah anak muda tersebut, saya rapatkan  pipi kiri, lalu muka sepenuhnya.
Saya mengangkat wajah dan menatap dalam-dalam Hajar Aswad.  Anak muda di belakang saya  berteriak lagi, "Hajji, cium lagi!"

Pada saat bersamaan, saya mendengar jeritan perempuan. Saya tersentak. Ketika anak muda tersebut  berteriak cium lagi, saya pun menolak seraya berujar, "Sudah, Alhamdulillah."
Siapa sesungguhnya anak muda itu? Bagaimana rasa mencium Hajratul Aswad, dan bagaimana pula komentar agamawan? Baca kelanjutannya besok. (*/sil)
 
Mendengar Jeritan Perempuan, Saya Berhenti Mencium 
Saya sudah telanjur berada di area "berjuang mati-matian" mencium Hajar Aswad. Namun, saya masih sadar untuk tidak melukai perasaan jemaah lainnya.
Laporan: Basri, Mekah

Saya sebetulnya puas mencium untuk kedua kalinya. Namun, anak muda itu menyuruh lagi untuk ketiga kalinya. Pada saat bersamaan, saya mendengar jeritan perempuan.
Jeritan yang selintas melengking dari sisi  kiri Hajar Aswad itu  menghentak hati saya. Jangan-jangan perempuan itu terinjak. Jangan-jangan dia terjepit. Jangan-jangan kena siku.

Jangankan kena siku, membuat tersinggung saja jemaah lainnya selalu saya jaga. Termasuk lewat di hadapan orang salat atau melangkahi kepala orang bersujud, seperti yang banyak dilakukan jemaah dari negara-negara lain.

Saya tidak mau semua itu terjadi.  Jangan sampai  cara saya mencium Hajar Aswad  tidak benar. Soalnya,  Koordinator Pembimbing Ibadah Umrah Konsorsium Laa Ilaaha Illallah, KH Puang Cora  telah mewanti-wanti kami untuk selalu beribadah dengan cara yang baik dan benar.

Cara yang baik adalah secara fisik mengikuti tata cara sesuai yang dikehendaki  Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم‎.  Tentu saja tidak menyenggol atau menyakiti jemaah lainnya.
Cara yang benar adalah mencium Hajar Aswad dengan memperlakukannya sebagai "makhluk biasa". Hajar Aswad adalah juga ciptaan Allah, sama dengan makhluk lainnya. Artinya, tidak memberhalakan Hajar Aswad.

Usai  mencium Hajar Aswad, anak muda itu  menuntun saya ke luar  untuk sujud syukur. Di depan saya, kira-kira tiga meter dari Hajar Aswad, tiba-tiba ada ruang kosong. Saya langsung membungkukkan badan untuk sujud syukur. Anak muda  langsung berteriak, "Jangan di situ, nanti terinjak."

Saya disuruh berpegang di bahunya. Pada saat bersamaan, seorang  jemaah yang mengenakan celana panjang tiba-tiba  bekelebat di atas kepala saya. Saya membungkuk sehingga ia lewat di kepala jemaah lainnya yang rata-rata jauh lebih tinggi daripada saya.

Dia sepertinya teprental dari Kakbah, entah sudah mencium atau gagal mencium. Yang jelas, dia melewati atas kepala jemaah yang selanjutnya jatuh entah di mana.
Saya pun tiba di luar kepadatan tawaf, kira-kira lebih 10 meter dari multazam (bekas telapak kaki Nabi Ibrahim As). Di sana langsung sujud syukur.

Kecurigaan saya muncul ketika di depan saya duduk dua saf anak muda yang fasih berbahasa Melayu. Dialeknya beragam. Yang memandu saya dari tadi itulah yang menego. Dia duduk di sebelah kiri saya menunggui selesai salat sunat. Saya kira dia mau menanyakan asal usul saya. Apalagi lebih awal bertanya,  "Ogi-ki".

Di luar dugaan, ternyata yang dijelaskan adalah keberadaannya bersama enam teman lainnya. Dia mengaku pelajari yang studi di Arab Saudi.

Saya tidak bertanya lagi lebih jauh. Saya menangkap maksudnya. Mereka inginkan pamrih. Saya pun menyalaminya, lalu merangkul bahunya, dan memeluknya. Saya memperlihatkan simpati dan terima kasih sesungguh-sungguhnya.
Namun, ketika menyebut jumlah riyal di luar kemampuan saya, spontan saya berujar, "Maaf, Dek, saya tidak punya uang sebesar itu."

Saya lalu membayangkan uang rupiah yang masih di tas saya. Saya mengusap bahunya. Saya menyebut jumlah rupiah sesuai keikhlasan saya. Namun, ia menolak dengan alasan bahwa mereka ada enam orang. Tidak cukup untuk dibagi.

Saya lalu berujar, "Hanya itu uang saya." Astagafirullah, saya berbohong di hadapan Kakbah. Saya cepat-cepat meralat, "Adek, sesungguhnya, masih ada uang saya. Tapi saya di Makkah masih tinggal seminggu. Jadi, tolong tunggu saya atau ikut ke hotel untuk ambil uangnya."

Dengan ekspresi terpaksa, dia pun berdiri dan menunjuk tempat start tawaf, "Nanti ketemu saja di bawah lampu hijau itu." Saya pun setuju dan memberi waktu seusai salat subuh.

Namun, apa yang terjadi? Sampai kami tawaf akhir (wada) untuk pulang ke tana air, tak seorang pun di antara mereka saya ketemu. Padahal, jangankan seusai subuh, setiap selesai salat di Masjidilharam, selalu saya berdiri beberapa lama di tempat yang kami sepakati itu seraya mencari-cari mereka.

Saya pun berkesimpulan untuk membawa ke tanah air uang itu untuk dimanfaatkan di jalan Allah. Niatnya adalah sumbangan  anak muda tadi. Saya yakin mereka akan mendapatkan pahalanya lebih dari jumlah yang mereka minta.
Lantas bagaimana sesungguhnya rasa mencium Hajar Aswad itu? Boleh dikata "tidak ada apa-apa". Namun, saya tidak mengatakan "tidak ada apa-apanya".

Yang ada adalah rasa syukur bisa mengikuti Nabi. Ada rasa plong. Karena saat mencium semua bagian wajah dan telinga berada di kedalaman Hajar Aswad, maka logis jika saya beberapa detik tidak mendengar dunia luar. Hampir sama ketika tiba-tiba beberapa detik terkantuk dan jatuhlah apa-apa yang kita pegang. Setelah itu, semua panca indera terasa segar.

Itu mungkin sangat subjektif. Oleh karena itu, sejak awal tulisan ini selalu menggunakan gaya menulis dengan sudut pandang "saya".

KH Lutfi Mustari (salah seorang pembimbing ibadah umrah Konsorsium Laa Ilaaha Illallah mengatakan,  ungkapan  orang-orang yang telah mencium Hajar Aswad, memang berbeda-beda. Hal ini katanya  mungkin bergantung pada tingkat kepuasan atau motivasi spiritual orang-orang yang bersangkutan.

Bagaimana pula pada zaman Nabi? KH Puang Cora mengisahkan, bahwa sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم‎ yang pertama kali mengikuti Nabi mencium adalah Abubakar. Namun, ia  hanya mengikuti Nabi mencium. Abubakar tidak berkomentar. Ia juga tidak mengomentari perasaannya seusai mencium.

Berbeda dengan Umar. Seusai mencium, sahabat Nabi ini berkata  kepada Hajar Aswad yang penafsirannya berbunyi,  "Wahai Hajar Aswad, sesunguhnya saya mengetahui bahwa kamu adalah batu biasa. Kamu tidak membawa mudarat dan juga tidak membawa manfaat.  Seandainya saya tidak melihat Nabi-ku menciummu, maka saya pun tidak akan menciummu."

Ungkapan sebagai "batu biasa" ini pun masih menyisakan pertanyaan kritis. Mengapa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم‎ mau mencium kalau itu batu biasa. Tidak  mungkin Nabi mencium batu itu seandainya batu biasa.

Oleh karena itu,  suatu ketika sahabat Ali berkata kepada Umar, wahai Umar, saya pernah mendengar, Rasulullah berkata, bahwa sesungguhnya Hajar Aswad akan dibangkitkan nanti pada hari kiamat oleh Allah di tengah-tengah padang mahsar.

Pada saat itu,  Hajar Aswad diberikan "telinga" (pendengaran) dan "mata", serta "lidah" untuk bicara. Atas kekuasaan Allah, Hajar Aswad akan  bersaksi nanti di hadapan Allah.

"Pada saat itu, Hajar Aswad akan mengatakan, 'Saya tidak akan masuk kembali ke dalam surgamu  ya Allah, apabila saya tidak bersama dengan orang-orang yang pernah menciumku.' Tentu saja atas isyarat mencium Hajar Aswad dengan baik dan benar," kata Puang Cora di sela persiapan kepulangan ke tanah Air jemaah umrah Konsorsium Laa Ilaha Illallah, di Jeddah, Rabu, 13 Juni.

Menurut salah seorang dokter yang menangani kesehatan jemaah Konsorsium, Jumraini Tammasse, Sp.S.,   hingga persiapan pulang kemarin untuk gelombang pertama, semua jemaah dalam keadaan sehat wal afiat. Gelombang terakhir dari 400 jemaah Konsorsium itu, akan meninggalkan Jeddah, Kamis sore, 14 Juni.

Kembali ke soal Hajar Aswad tadi, Puang Cora mewanti-wanti agar  umat Islam senantiasa memperbaiki ketahuidannya saat mencium Hajar Aswad. Jangan sampai membuat musyrik.
"Hajar Aswad itu jangan dimisalkan dengab  zat Allah," kata kiai bersahaja asal Maros ini.



Rasulullah telah memberikan contoh mencium Hajar Aswad. Baik secara langsung, maupun jarak jauh, pahalanya sama saja.
Rasulullah bahkan pernah mencium dari jarak jauh di atas kendaraan ontanya. Caranya, sama saja ketika sedang tawaf, yaitu, mengarahkan tangan ke arah Hajar Aswad, lalu menciumnya.

Atas isyarat ini, tampak bahwa Rasulullah punya prediksi ke depan yang cukup jauh tentang umatnya yang kian banyak di hadapan Kakbah. Populasi umat Islam yang kian banyak itu, tentu saja sebaiknya mengikuti cara mencium Hajar Aswad dengan jarak jauh. Puang Cora menyebutnya dengan istilah "beristilam" (mencium jarak jauh).

Ironisnya, masih banyak yang belum mengerti. Ada bahkan yang mengandalkan tenaganya tanpa memperdulikan jemaah lainnya. Termasuk mengabaikan kekuasaan Allah. KH Lutfi mencontohkan suatu kejadian yang dialami oknum militer dari marinir.

Beberapa tahun lalu, ada oknum marinir yang dia temui di sekitar Masjidilharam. Istrinya ingin sekali mencium Hajar Aswad secara langsung. Jawaban oknum marinir itu kepada istrinya, "Gampang itu." Maksudnya, dengan mengandalkan fisik, tidak ada masalah.

Namun, apa yang terjadi, istrinya berhasil mencium secara langsung tanpa kendala berarti, sementara sang suami yang notabene  oknum marinir,  tidak berhasil menerobos kepadatan jemaah.

Banyak cerita yang menandakan kekuasaan Allah. Namun, banyak pula mitos yang harus diolah melalui logika-logika filosofis sejauh batas-batas kemampuan pikiran yang diberikan oleh Allah. Artinya, sebuah "kasus" sebaiknya tidak ditelan mentah-mentah.

Contoh, ketika ada jemaah di sekitar masjid yang tiba-tiba merasakan hawa sejuk di tengah-tengah terik matahari yang melebihi 40 derajad celcius, baik di Madinah maupun di Makkah. Hawa itu boleh saja dari pintu-pintu masjid yang memang di dalamnya sangat dingin oleh AC.  (*/sil)
 
fajar.co.id
 
 


Artikel Terkait:

1 comment:

  1. Mencium Hajar Aswad . . agar RINDU dg SYURGA
    agar manusia menjaga dirinya dari DOSA . . menjaga TAUHID .. dan AklaQnya . .

    ReplyDelete