Saturday, November 12, 2011

Air Zam Zam Kemasan Untuk Menjaga Nama Baik

 
JEDDAH - Kerajaan Arab Saudi pada tahun ini mengeluarkan aturan tidak memperbolehkan siapapun membawa air zamzam ke luar negeri. Terutama air zamzam yang tidak dikemas secara khusus oleh Maktab Zamazimah.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), Syairozi Dimyati, saat rapat dengan rombongan kedua Komisi VIII DPR, di Kantor Konsulat Jenderal di Jeddah, Jumat (11/11/2011).

Kementerian Haji Arab Saudi menjelaskan, lanjut Syaizori, terdapat sebuah kajian di Eropa bahwa air zamzam sudah tercemar. “Untuk menjaga nama baik Kerajaan dan juga umat Islam. Air zamzam tersebut tidak boleh dibawa keluar kecuali yang dikemas Maktab Zamazimah,” paparnya.

BERITA BBC hari Kamis (05/5) yang menyebutkan air Zamzam dari Makkah yang dijual di Inggris terkontaminasi beberapa hari lalu sesungguhnya tak mengejutkan.
Tuduhan seperti ini sesungguhnya bukan yang pertama kali. Food Standards Agency Inggris bahkan pernah merilis pernyataan di situsnya (30 Juli 2010), yang menyerukan agar orang-orang mempertimbangkan untuk tidak meminum air Zamzam.

Usaha-usaha untuk membuat umat Islam tak percaya rahasia air yang telah dimuliakan Nabi. Allah dalam al-Qur’an menyebut Air Zam-zam dengan istilah ‘’Aayaatun bayyinaatun (air Zam-zam). Ia menjadi menjadi hiasan yang menghiasai keagungan Baitullah yang suci. Air ini telah berusia 5000 tahun lebih, dan mendapat kemuliaan dan keistimewaan dari pemukim Makkah dan tamu-tamu Allah. Semua penduduk Makkah benar-benar memulyakan air surga ini, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya. Nabi dan para sahabat telah menjadi pelayan Baitullah serta penduduk Makkah sesuai dengan yang digariskan Allah Swt.

Sejarah Zamzam
Alkisah setelah tiba di suatu lembah sunyi, kering dan tak berpenghuni, Ibrahim Alaihissalam meninggalkan Hajar beserta sang putra beliau Ismail yang saat itu masih menyusu. Ditinggalkan pula sebuah periuk berisi korma dan tempat minum yang berisi air.
Ketika Ibrahim beranjak pergi, Hajar mengikutinya dan mengatakan, ”Wahai Ibrahim, ke mana engkau hendak pergi, engkau meninggalkan kami di lembah yang tidak berpenghuni.” Berkali- kali Hajar mengulangi kata-kata itu, sedangkan Ibrahim tetap tidak menoleh ke arahnya.
Akhirnya Hajar bertanya,”Apakah Allah memerintahkanmu melakukan hal ini?” Ibrahim menjawab,”Iya.” Hajar lega dengan jawaban itu, hingga  mengatakan,”Jika demikian, Allah tidak akan membiarkan kami.” Lantas, sang istri kembali ke tempat semula dimana ia ditinggalkan.
Hajar tinggal hingga perbekalan habis. Beserta putranya, beliau mulai merasakan kehausan. Beliau berlari-lari menuju bukit Shafa untuk melihat, apakah ada orang di sekitarnya. Ternyata, setelah tiba di tempat itu, tidak ada siapa pun yang terlihat. Akhirnya Hajar mencoba menuju Marwah untuk tujuan yang sama, namun apa yang diharapkan tidak diperoleh, hingga beliau berlari-lari keci,l bolak-balik antara Shafa-Marwa hingga tujuh kali, dengan hasil yang sama. Saat itulah malaikat turun di tempat dimana Ismail ditinggalkan. Di tempat itulah akhirnya air mamancar. Hingga malaikat itu mengatakan kepada Hajar,”Janganlah khawatir disia-siakan. Sesungguhnya di tempat inilah Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya.”
Itulah kisah yang termaktub dalam Shahih Al Bukhari mengenai asal usul mata air yang disebut dengan Zamzam ini.

Dalam Shahih Al Bukhari juga dijelaskan bahwa setelah itu sebuah kafilah menyaksikan ada beberapa burung berputar-putar, hingga mereka berkesimpulan bahwa burung-burung tersebut melihat air. Diutuslah dua budak kafilah untuk melihat. Mereka kembali dengan mambawa berita gembira, bahwa memang di tempat itu ada air. Mereka akhirnya meminta izin kepada Hajar untuk tinggal. Kafilah dari Syam ini memperoleh izin, namun tidak berhak menguasai air Zamzam. Mereka ini yang disebut Al Azraqi sebagai kabilah Jurhum. Kabilah ini akhirnya hidup berdampingan dengan keluarga Hajar. (Akhbar Makkah, hal. 29)

Al Azraqi menyebutkan, bahwa setelah Ismail Alaihissalam wafat, penguasaan terhadap Ka’bah yang mana Zamzam merupakan bagiannya, turun kepada keturunan beliau,  Bani Ismail bin Ibrahim. Namun, setelah Bani Ismail melemah, Bani Jurhum menggantikan posisi mereka. (Akhbar Makkah, hal. 44)
Saat Bani Jurhum berkuasa di Makkah, datanglah Kabilah Khaza’ah yang berasal dari Yaman. Merka berbondong-bondong pergi ke Makkah, karena tertarik dengan sumber air Zamzam yang melimpah itu. Akhirnya mereka memutuskan tinggal di tempat itu. Perselisihan dengan Jurhum sering terjadi, hingga terjadi pertempuran antara kedua kabilah tersebut. Jurhum kalah dalam pertempuran, mereka terusir. (Akhbar Makkah, hal.51)

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa saat kabilah Jurhum keluar Makkah itulah, mereka sengaja menimbun mata air Zamzam, hingga tidak diketahui bekasnya. (Lihat, Sirah Ibnu Hisyam, 1/116)
Mata air Zamzam kemudian digali kembali oleh Abdul Muthallib, setelah ia bermimpi mendapat perintah untuk menggalinya. Dalam mimpi, Abdul Muthallib juga mendapat petunjuk posisi mata air tersebut. Salah satu ciri yang disebutkan adalah adanya sarang semut dan tempat burung gagak biasa mengais. Dengan putra satu-satunya, Harits. Abdul Muthallib melakukan penggalian. Setelah itu, dirinyalah yang bertanggung jawab menjaga mata air Zamzam dan memberi minum jam’ah haji. (Lihat, Sirah Ibnu Hisyam, 1/150)
Upaya Menjauhkan Umat Islam dari Zamzam
Pasca Abdul Muthallib, pengelolan air Zamzam diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi selanjutnya. Dan Zamzam tetap menjadi air yang diminati oleh seluruh Muslim di seluruh penjuru dunia. Hingga akhirnya ada pihak yang iri, dan mencoba membuat sumur di luar Makkah, agar para jama’ah meninggalkan sumur Zamzam yang penuh berkah itu.
Perbuatan tersebut dilakukan oleh Khalid bin Abdullah Al Qasri, penguasa Makkah pada tahun 89 H. Namun upaya yang dilakukan seorang yang suka mencela Ali bin Abi Thalib ini gagal, karena umat Islam tetap berbondong-bondong menuju sumber Zamzam. Dan tak mengiraukan seruan Khalid. Hingga akhirnya, sumur tersebut ditimbun dan tak berbekas (lihat, Raudhah Al Anf,1/170)
Hal yang menghebohkan juga terjadi pada tahun 1304 H mengenai Zamzam, dimana Konsulat Inggris yang berkedudukan di Jeddah mengeluarkan penyataan bahwa air Zamzam banyak dicemari kuman-kuman berbahaya, dan mengandung kolera.

Kabar itu pun akhirnya sampai di telinga Khalifah Utsmaniyah, Abdul Hamid II. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengirim beberapa dokter Muslim ke Makkah untuk membuktikan pernyataan miring tersebut. Hasilnya, setelah diteliti, air Zamzam tetap air yang terbaik. Setelah itu pihak Utsmani mengeluarkan pernyataan untuk menyanggah klaim pihak penjajah itu. (Fadha`il Ma` Zamzam, hal. 161-163)
Tradisi penjagaan Zamzam terus berlanjut, hingga akhirnya klan Zamazimah bertanggung jawab memelihara Zamzam. Dengan terbentuknya Kerajaan Saudi,  Zamazimah tetap berkhidmat kepada jama’ah haji dalam membagikan air Zamzam atas dasar keputusan pemerintahan lokal.

Di masa pemerintahan Raja Faishal, pada tahun 1384 H, dibuka kesempatan bagi berbagai kabilah untuk berkompetisi dalam pengelolahan Zamzam, hingga siapa saja memiliki kesempatan yang sama untuk berkhidmat kepada jama’ah haji.

Pengelohahan air Zamzam pada tahun 1403 benar-benar sudah lepas dari dominasi kabilah tertentu, setelah dibentuknya Maktab Az Zimazamah Al Muwahhad, yang merupakan yayasan yang bertugas secara khusus mengelolah air Zamzam. Dan hal itu berlangsung hingga saat ini.

Kini para jama’ah haji dari berbagai negeri yang baru tiba di Arab Saudi, sudah bisa mereguk segarnya air Zamzam sebelum masuk ke Makkah atas jasa yayasan ini. Demikian pula untuk para jama’ah yang hendak meninggalkan kota suci setelah mereka menunaikan ibadah haji, mereka akan membawa pulang Zamzam dalam botol kemasan yang berlogo Ka’bah dengan dua gerabah air yang diproduksi oleh yayasan tersebut.* (Hidayatullah.com) http://haji.okezone.com


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment