JEDDAH - Kerajaan
Arab Saudi pada tahun ini mengeluarkan aturan tidak memperbolehkan
siapapun membawa air zamzam ke luar negeri. Terutama air zamzam yang
tidak dikemas secara khusus oleh Maktab Zamazimah.
Hal tersebut
diungkapkan Kepala Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), Syairozi
Dimyati, saat rapat dengan rombongan kedua Komisi VIII DPR, di Kantor
Konsulat Jenderal di Jeddah, Jumat (11/11/2011).
Kementerian Haji Arab Saudi menjelaskan, lanjut Syaizori,
terdapat sebuah kajian di Eropa bahwa air zamzam sudah tercemar. “Untuk
menjaga nama baik Kerajaan dan juga umat Islam. Air zamzam tersebut
tidak boleh dibawa keluar kecuali yang dikemas Maktab Zamazimah,”
paparnya.
BERITA BBC hari Kamis (05/5) yang menyebutkan air Zamzam dari Makkah yang dijual di Inggris terkontaminasi beberapa hari lalu sesungguhnya tak mengejutkan.
Tuduhan seperti ini sesungguhnya bukan yang pertama kali. Food Standards Agency Inggris
bahkan pernah merilis pernyataan di situsnya (30 Juli 2010), yang
menyerukan agar orang-orang mempertimbangkan untuk tidak meminum air
Zamzam.
Usaha-usaha untuk membuat umat Islam tak percaya rahasia air yang
telah dimuliakan Nabi. Allah dalam al-Qur’an menyebut Air Zam-zam dengan
istilah ‘’Aayaatun bayyinaatun (air Zam-zam). Ia menjadi menjadi hiasan
yang menghiasai keagungan Baitullah yang suci. Air ini telah berusia
5000 tahun lebih, dan mendapat kemuliaan dan keistimewaan dari pemukim
Makkah dan tamu-tamu Allah. Semua penduduk Makkah benar-benar memulyakan
air surga ini, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Saw dan para
sahabatnya. Nabi dan para sahabat telah menjadi pelayan Baitullah serta
penduduk Makkah sesuai dengan yang digariskan Allah Swt.
Sejarah Zamzam
Alkisah setelah tiba di suatu lembah sunyi, kering dan tak berpenghuni, Ibrahim Alaihissalam
meninggalkan Hajar beserta sang putra beliau Ismail yang saat itu masih
menyusu. Ditinggalkan pula sebuah periuk berisi korma dan tempat minum
yang berisi air.
Ketika Ibrahim beranjak pergi, Hajar mengikutinya dan mengatakan,
”Wahai Ibrahim, ke mana engkau hendak pergi, engkau meninggalkan kami di
lembah yang tidak berpenghuni.” Berkali- kali Hajar mengulangi
kata-kata itu, sedangkan Ibrahim tetap tidak menoleh ke arahnya.
Akhirnya Hajar bertanya,”Apakah Allah memerintahkanmu melakukan hal
ini?” Ibrahim menjawab,”Iya.” Hajar lega dengan jawaban itu, hingga
mengatakan,”Jika demikian, Allah tidak akan membiarkan kami.” Lantas,
sang istri kembali ke tempat semula dimana ia ditinggalkan.
Hajar tinggal hingga perbekalan habis. Beserta putranya, beliau mulai
merasakan kehausan. Beliau berlari-lari menuju bukit Shafa untuk
melihat, apakah ada orang di sekitarnya. Ternyata, setelah tiba di
tempat itu, tidak ada siapa pun yang terlihat. Akhirnya Hajar mencoba
menuju Marwah untuk tujuan yang sama, namun apa yang diharapkan tidak
diperoleh, hingga beliau berlari-lari keci,l bolak-balik antara
Shafa-Marwa hingga tujuh kali, dengan hasil yang sama. Saat itulah
malaikat turun di tempat dimana Ismail ditinggalkan. Di tempat itulah
akhirnya air mamancar. Hingga malaikat itu mengatakan kepada
Hajar,”Janganlah khawatir disia-siakan. Sesungguhnya di tempat inilah
Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya.”
Itulah kisah yang termaktub dalam Shahih Al Bukhari mengenai asal usul mata air yang disebut dengan Zamzam ini.
Dalam Shahih Al Bukhari juga dijelaskan bahwa setelah itu sebuah
kafilah menyaksikan ada beberapa burung berputar-putar, hingga mereka
berkesimpulan bahwa burung-burung tersebut melihat air. Diutuslah dua
budak kafilah untuk melihat. Mereka kembali dengan mambawa berita
gembira, bahwa memang di tempat itu ada air. Mereka akhirnya meminta
izin kepada Hajar untuk tinggal. Kafilah dari Syam ini memperoleh izin,
namun tidak berhak menguasai air Zamzam. Mereka ini yang disebut Al
Azraqi sebagai kabilah Jurhum. Kabilah ini akhirnya hidup berdampingan
dengan keluarga Hajar. (Akhbar Makkah, hal. 29)
Al Azraqi menyebutkan, bahwa setelah Ismail Alaihissalam
wafat, penguasaan terhadap Ka’bah yang mana Zamzam merupakan bagiannya,
turun kepada keturunan beliau, Bani Ismail bin Ibrahim. Namun, setelah
Bani Ismail melemah, Bani Jurhum menggantikan posisi mereka. (Akhbar Makkah, hal. 44)
Saat Bani Jurhum berkuasa di Makkah, datanglah Kabilah Khaza’ah yang
berasal dari Yaman. Merka berbondong-bondong pergi ke Makkah, karena
tertarik dengan sumber air Zamzam yang melimpah itu. Akhirnya mereka
memutuskan tinggal di tempat itu. Perselisihan dengan Jurhum sering
terjadi, hingga terjadi pertempuran antara kedua kabilah tersebut.
Jurhum kalah dalam pertempuran, mereka terusir. (Akhbar Makkah, hal.51)
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa saat kabilah Jurhum keluar Makkah
itulah, mereka sengaja menimbun mata air Zamzam, hingga tidak diketahui
bekasnya. (Lihat, Sirah Ibnu Hisyam, 1/116)
Mata air Zamzam kemudian digali kembali oleh Abdul Muthallib, setelah
ia bermimpi mendapat perintah untuk menggalinya. Dalam mimpi, Abdul
Muthallib juga mendapat petunjuk posisi mata air tersebut. Salah satu
ciri yang disebutkan adalah adanya sarang semut dan tempat burung gagak
biasa mengais. Dengan putra satu-satunya, Harits. Abdul Muthallib
melakukan penggalian. Setelah itu, dirinyalah yang bertanggung jawab
menjaga mata air Zamzam dan memberi minum jam’ah haji. (Lihat, Sirah Ibnu Hisyam, 1/150)
Upaya Menjauhkan Umat Islam dari Zamzam
Pasca Abdul Muthallib, pengelolan air Zamzam diwariskan
turun-temurun, dari generasi ke generasi selanjutnya. Dan Zamzam tetap
menjadi air yang diminati oleh seluruh Muslim di seluruh penjuru dunia.
Hingga akhirnya ada pihak yang iri, dan mencoba membuat sumur di luar
Makkah, agar para jama’ah meninggalkan sumur Zamzam yang penuh berkah
itu.
Perbuatan tersebut dilakukan oleh Khalid bin Abdullah Al Qasri,
penguasa Makkah pada tahun 89 H. Namun upaya yang dilakukan seorang yang
suka mencela Ali bin Abi Thalib ini gagal, karena umat Islam tetap
berbondong-bondong menuju sumber Zamzam. Dan tak mengiraukan seruan
Khalid. Hingga akhirnya, sumur tersebut ditimbun dan tak berbekas
(lihat, Raudhah Al Anf,1/170)
Hal yang menghebohkan juga terjadi pada tahun 1304 H mengenai Zamzam,
dimana Konsulat Inggris yang berkedudukan di Jeddah mengeluarkan
penyataan bahwa air Zamzam banyak dicemari kuman-kuman berbahaya, dan
mengandung kolera.
Kabar itu pun akhirnya sampai di telinga Khalifah Utsmaniyah, Abdul
Hamid II. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengirim beberapa dokter
Muslim ke Makkah untuk membuktikan pernyataan miring tersebut. Hasilnya,
setelah diteliti, air Zamzam tetap air yang terbaik. Setelah itu pihak
Utsmani mengeluarkan pernyataan untuk menyanggah klaim pihak penjajah
itu. (Fadha`il Ma` Zamzam, hal. 161-163)
Tradisi penjagaan Zamzam terus berlanjut, hingga akhirnya klan
Zamazimah bertanggung jawab memelihara Zamzam. Dengan terbentuknya
Kerajaan Saudi, Zamazimah tetap berkhidmat kepada jama’ah haji dalam
membagikan air Zamzam atas dasar keputusan pemerintahan lokal.
Di masa pemerintahan Raja Faishal, pada tahun 1384 H, dibuka
kesempatan bagi berbagai kabilah untuk berkompetisi dalam pengelolahan
Zamzam, hingga siapa saja memiliki kesempatan yang sama untuk berkhidmat
kepada jama’ah haji.
Pengelohahan air Zamzam pada tahun 1403 benar-benar sudah lepas dari
dominasi kabilah tertentu, setelah dibentuknya Maktab Az Zimazamah Al
Muwahhad, yang merupakan yayasan yang bertugas secara khusus mengelolah
air Zamzam. Dan hal itu berlangsung hingga saat ini.
Kini para jama’ah haji dari berbagai negeri yang baru tiba di Arab
Saudi, sudah bisa mereguk segarnya air Zamzam sebelum masuk ke Makkah
atas jasa yayasan ini. Demikian pula untuk para jama’ah yang hendak
meninggalkan kota suci setelah mereka menunaikan ibadah haji, mereka
akan membawa pulang Zamzam dalam botol kemasan yang berlogo Ka’bah
dengan dua gerabah air yang diproduksi oleh yayasan tersebut.*
(Hidayatullah.com) http://haji.okezone.com
No comments:
Post a Comment