Suasana Masjidil Haram Makkah Arab Saudi, Rabu (1/8/2012). |
Muhammad Nuruddin, pria
kecil asal Lombok tampil bersahaja. Berkumis tipis dan jenggotnya tidak
menjulur seperti kebanyakan pria Indonesia di Arab lainnya. Pada Ramadan
1433 Hijriyah ini, usianya 26 tahun. Tidak terasa dirinya sudah tinggal
di Kota Mekkah (tanah suci umat Islam sedunia) Arab Saudi selama hampir
5 tahun lamanya.
Tahun 2005 lalu, niat awal pergi ke Mekah hanya untuk mengaji.
Sesampainya di sini, keinginannya lebih dari itu, lalu dia memutuskan
belajar di sebuah universitas. Seperti halnya mahasiswa yang menempuh
kuliah di negara lain. Lima tahun tinggal di daerah yang sangat panas,
tidak menghalanginya untuk berpuasa. Kenyataannya sungguh berbeda jika
dibandingkan dengan melakukan puasa di Tanah Air.
Selain panas, aktivitas kerja dan ibadah di sini lebih disiplin
tertib, teratur, dan aman. Saat pelaksanaan Ramadan, kondisi Masjid
Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah lebih bersih. Suasana
bersih tidak hanya di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram saja, melainkan
seluruh masjid-masjid di Arab Saudi melakukan hal yang sama.
"Selama belajar di sini, saya selalu berurusan dengan jemaah dari
Tanah Air yang akan melaksanakan ibadah umrah dan haji. Alhamdulillah
umat muslim dari Indonesia paling banyak jumlahnya yang ke sini," ujar
pria bernama lengkap Muhammad Nuruddin Alawi, Rabu (1/8/2012).
Jika ditanya akan rasa rindu terhadap kampung halaman, ia hanya
mengangguk dan manggut-manggut saja. Teringat ketika masa kecilnya di
kampung, saat waktu sahur tiba anak-anak kecil beramai-ramai membawa
kentongan. Kemudian memukul kentongan dan membuat bunyi-bunyian yang
ramai sambil membangunkan warga muslim yang akan sahur.
Selama tinggal di sini, kata Nuruddin, dia tidak pernah mendengar
lagi aktivitas yang terdengar di masa kecilnya. Termasuk seluruh masjid
juga tidak pernah meneriakkan kata-kata seperti itu saat sahur tiba.
Kendati demikian, khusus prosesi ibadah suasananya lebih syahdu,
khusyuk, dan tidak akan pernah membosankan. Dari Ramadan ke Ramadan
setiap tahunnya banyak kemudahan yang dia terima.
"Meski berbeda dengan kebiasaan di Tanah Air, rasa kangen saya
terobati jika jemaah calon haji atau umrah datang ke sini. Obat kangen
saya sama keluarga dan kampung halaman adalah datangnya jemaah dari
Indonesia," ujarnya.
Lima tahun lalu ia menikmati Ramadan di Lombok, namun suasananya
kurang bersahabat. Di kota, waktu siangnya tidak terlihat suasana puasa
Ramadan sama sekali. Masih banyak orang yang makan, minum, atau merokok
dis embarang tempat. Bahkan restoran atau kedai minuman berjualan
seperti umumnya di luar puasa Ramadan.
Suatu saat di Tanah Air, dia pernah salat berjamaah di sebuah musala.
Cukup mencenangkan sebab orangnya cuma satu. Dia yang melakukan azan
dan iqamat serta dia sendiri yang menjadi imam. Sungguh sedih jika
Nuruddin mengingat kejadian itu. Tetapi di tempat lain, rasa gembiranya
terobati karena pelaksanaan tarawihnya hampir satu juz.
Di Tanah Air, menjelang 10 hari terakhir Ramadan situasi pasar yang
ada di sekeliling sangat ramai. Sementara kondisi masjid menjadi sepi,
terlebih jika jamaah sudah mulai melakukan i'tikaf (berdiam diri dalam
masjid). Berbeda di Mekkah atau Madinah kondisi sangat berbalik. Di
sini, muai 1 Ramadan sampai akhir penuh dengan lautan umat muslim dari
seluruh dunia.
"Ramadan di Mekkah tidak ada rasa duka. Saya merasakan senang, baik
itu urusan dunia atau akhirat. Ini motivasi saya, sebab nuansa Ramadan
sangat kental ibadahnya. Apalagi jika berada di Masjidil Haram, tidak
ada yang saya saksikan kecuali semua orang berlomba-lomba beribadah dan
memberikan sedekah," imbuhnya.
Selain itu, Ramadan merupakan bulan yang sangat bagus untuk melakukan
sedekah (memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengaharap imbal
balik). Rata-rata setiap hari, semua orang, tidak peduli apakah orang
Arab, Indonesia, Jerman, atau negara lainnya, mereka terus
membagi-bagikan makanan atau minuman. Pelaksanaannya pada saat hendak
berbuka puasa tiba.
Andaikata seseorang datang ke tanah suci tanpa membawa bekal apa-apa,
dipastikan orang tersebut tidak akan kelaparan. Alasannya, hampir semua
orang di dalam masjid membagi-bagikan makanan di mana-mana. Artinya,
cukup datang dengan badan saja, dijamin pasti kenyang dan tidak
kelaparan. Bahkan jika dia sanggup justru bisa pulang ke hotel atau
penginapan dengan membawa puluhan makanan.
Khusus untuk menu yang umumnya dibagikan secara gratis adalah kurma.
Semua hasil panen kurma terbaik di Arab Saudi dijual secara umum. Mulai
dari harga SAR 30 sampai harga SAR 130 per kilogramnya. Umumnya, orang
membeli kurma dengan jumlah banyak yang kemudian dibagi-bagikan kepada
jemaah yang berada di luar atau dalam Masjidil Haram untuk persiapan
berbuka.
Di Masjidil Haram salat sunat Tarawihnya 23 rakaat. Rata-rata semua
jemaah yang makmum menikmati dan menghayati setiap bacaan imam. Setiap
1-2 juz surat Alquran dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam dibaca dalam
bilangan salat Tarawih. Meski berdiri salatnya lama, hal ini tidak
membuat jemaah bosan atau kemudian beranjak pergi.
Lantunan bacaan imam yang sangat merdu menghanyutkan suasana jemaah.
Banyak jemaah yang larut dan menangis karena mereka paham dan menghayati
makna arti lafaz yang dilantunkan oleh imam. Tidak hanya itu, sebelum
masuk masuk pintu masjid, sebagian mereka ada yang sudah menangis karena
sudah sangat rindu berjumpa dengan Kabah.
Laporan Tribunnews.com Candra P. Pusponegoro dari Makkah Arab Saudi
TRIBUNNEWS.COM, MAKKAH -
Subhanallah....Allahu Akbar.....aku rindu untuk menginjakkan kaki ku di sana.....
ReplyDelete