Dulu pak Danarto menulis sebuah buku dengan judul “Orang Jawa Naik
Haji”, kini banyak orang Jawa yang harus mencari “sesuap nasi dan
segenggam berlian” ke tanah haji alias Arab Saudi. Beraneka macam
pekerjaan yang digeluti oleh orang-orang Jawa dari tukang las di sektor
kontruksi, sopir-sopir pribadi, taxi maupun sopir bus angkutan, dan
tentu saja yang paling banyak di sektor rumah tangga menjadi pembantu.
Rupanya ibukota Jakarta sudah tidak menarik lagi untuk mencari duit,
maka jangan heran jika banyak “lulusan” pembantu Jakarta mengadu nasib
di Saudi Arabia.
Cerita-cerita yang memilukan tentang nasib pekerja TKI/TKW tentu saja
ada. Akan tetapi cerita kesuksesan, memperoleh kekayaan, para
TKI/TKW menjadi daya tarik yang mampu menyedot animo para pencari kerja
untuk mengadu nasib di tanah gurun. Jika bernasib baik, mereka
mendapatkan majikan yang baik, yang memperlakukan mereka dengan
manusiawi dan bayaran yang cukup besar. Tetapi tidak sedikit juga yang
jatuh di tangan majikan buruk yang memperlakukan para pembantu bak
budak-budak yang diperlakukan semau-maunya dan sewenang-wenang.
Bus yang membawa rombongan kami dari Jeddah ke Madinah dikemudikan oleh
mas Nasir, orang Brebes, sebuah daerah sentra penghasil bawang dan
telor asin di Jawa. Pada saatnya nanti ternyata bus-bus pembawa jamaah
umrah banyak dikemudikan oleh bangsa dewek, ada kang Chomsin, orang
Purwakarta, ada kang Dayat, orang Ciamis. Tentu saja sebagaimana orang
yang mencari duit pada umumnya, ada yang bertujuan hanya untuk
lembaran-lembaran riyal belaka, namun ada juga yang berniat mencari duit
sekaligus beribadah, mumpung di negeri nabi, tak ada salahnya sekalian
berumrah dan berhaji.
Rata-rata para sopir itu adalah suami, ayah yang sedang mencari nafkah
untuk anak istri di tanah Jawa. Mereka dikontrak 1 - 2 tahun dan dapat
dikontrak kembali sesuai dengan profesionalitas dalam bekerja. Para
suami itu sementara menjadi “bulok- bujang lokal”, ini tentu menjadi
tantangan tersendiri. Jika tidak mempunyai kendali moral yang kuat,
rasanya “membeli sate” menjadi hal yang lumrah demi memenuhi hasrat
kelelakian mereka. Semua terpulang kepada kendali moral, kendali iman,
islam yang ada pada diri masing-masing. Barangkali masing-masing
mempunyai trik didalam mengendalikan nafsu syahwatnya, apalagi di sana
sangat sulit untuk melihat para wanita yang dandanannya “mengundang”
dengusan lelaki.
Bus yang kami tumpangi hanya ada sopir tanpa kenek seperti di tanah air,
bus dirancang untuk bisa dikendalikan seorang diri, alat-alat untuk
membantu parkir disamping ada spion kanan-kiri, dibelakang bus dipasang
kamera sehingga sopir tahu situasi dan kondisi di bagian belakang bus.
Telepon genggam merupakan sarana komunikasi yang paling diandalkan untuk
menghubungkan sopir dengan pihak pengelola bus dan antar sesama sopir
untuk meminta informasi tentang jalan, situasi lalu lintas dan
sebagainya. Bus hanya mempunyai dua pintu keluar, satu di samping depan
dan yang lain di tengah, di sebelah sopir tak ada pintu, sebagaimana
bus-bus di tanah air. Tempat duduk penumpang lebih tinggi dibanding
tempat duduk sopir, sepertinya sopir dituntut bertanggung jawab dengan
keselamatan penumpang. Jika sopir ugal-ugalan dan terjadi kecelakaan
semacam tabrakan atau nabrak maka ia orang yang pertama yang menjadi
korban, karena tak ada pintu untuk menyelamatkan diri.
Dan walaupun sepertinya tak ada polisi lalu lintas yang lalu lalang di
jalan, jangan coba-coba mengebut melebihi batas ambang kecepatan yang
ditetapkan, karena ada alat sensor yang di tempatkan di beberapa titik
untuk memantau kecepatan kendaraan. Jika nekad mengebut maka surat
tilang langsung dikirimkan ke pengelola, bahwa bus nomor sekian telah
melakukan pelanggaran. Jumlah pelanggaran itu akan membuat kredibiltas
sopir turun, dan bukan tidak mungkin kontraknya diputus di tengah jalan.
Sopir-sopir itu akan makin sibuk dan makin gemuk kantongnya
ketika musim haji tiba, bukan hanya fisik yang harus kuat tetapi
mentalpun harus kuat di tengah kepadatan yang luar biasa saat jutaan
jamaah haji mulai berdatangan dari berbagai penjuru dunia.
Kang, selamat bekerja melayani jamaah, jika diniatkan ibadah, bukan
hanya lembaran rupiah yang didapat tetapi barakah dari do’a tulus para
jamaah haji yang telah ditolong dan dilayani dengan baik.
Sumber : http://wisata.kompasiana.com dengan sedikit penyesuaian