Telah terjadi hukum pancung atas ibu Ruyati pada tanggal 18 Juni 2011 lalu di negara Saudi Arabia (http://m.inilah.com/read/detail/1620212/inilah-kronologis-proses-hukum-tki-ruyati/),
kejadian yang cukup menggemparkan, terutama di Indonesia. Bagaimana
tidak? Ibu Ruyati -semoga Allah merahmatinya-, adalah seorang ibu
berkewarganegaraan Indonesia, yang bekerja menjadi TKW di Saudi Arabia
telah dihukum pancung. Seolah tiada hujan tiada angin, tiba-tiba berita
duka tersebut menghujani tanah air ini dengan deras, bahkan keluarga
korbanpun mengaku tidak mendapat informasi yang cukup. Sebagaimana
pemerintah Indonesia juga mengaku demikian.
Informasi yang tiba-tiba dan dengan
segala kekurangannya mengundang banyak komentar di berbagai kesempatan.
Tentu, komentar itu pun bermacam-macam sesuai keberagaman orang yang
berkomentar. Dari muslim, sampai non muslim. Dari orang yang bijak
sampai orang yang sembrono. Dari yang menunggu informasi yang cukup
sampai yang asal bunyi dengan penuh ketergesaan dan emosi.
Saya memandang bahwa kasus ini sebagai
ujian yang cukup berat bagi kita semua, tentu sebagai seorang muslim
meyakini, bahwa segala kata-kata yang keluar darinya akan dicacat oleh
malaikat, yang bakal ditimbang sebagai amal baik atau buruk di akhirat
kelak, ‘Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ [Q.S. Qaf:18]
Inilah ujian pertama bagi kita semua,
ketergesaan dalam berkomentar tanpa memiliki informasi yang cukup
membuat seseorang terjerumus dalam komentar yang salah dan tidak bijak,
sehingga bisa menjadi bencana buatnya atau buat orang lain di kemudian
hari.
Memojokkan salah satu pihak dan
menyalahkannya tanpa informasi yang cukup adalah sikap yang tidak bijak
yang akan merugikan. Ini menggambarkan ketergesaan yang tanpa pikir
panjang. Sama saja apakah yang di pojokkan itu adalah pihak Ibu Ruyati
-semoga Allah merahmatinya- atau pihak pemerintah RI sebagai penanggung
jawab atas warganya, ataukah pihak keluarga majikan sebagai korban
pembunuhan Ibu Ruyati, ataukah pihak pemerintah Saudi Arabia sebagai
hakim antara dua orang yang bertikai dan yang memutuskan perkaranya.
Tentu untuk menilai siapa yang salah,
siapa yang keliru, kita harus mengetahui sejak awal kasus ini, apa yang
dilakukan Ibu Ruyati, benarkah dia membunuh, bagaimana membunuhnya,
kenapa dia melakukannya, apa yang dilakukan majikan, kenapa dia
melakukannya, apa yang dilakukan pihak hakim, kenapa sampai pada vonis
hukum mati, apa yang dilakukan pemerintah Saudi Arabia terhadap pihak
pemerintah RI, apa upaya yang telah dilakukan pemerintah RI melalui duta
besarnya. Apakah informasi itu semua telah kita miliki sehingga kita
dapat menilai dengan baik dan benar baik dalam menyalahkan atau
membenarkan salah satu pihak?
Apakah komentar kita adalah komentar yang dapat dipertanggung jawabkan di dunia maupun di akhirat di hadapan Rabbul Alamin?
Jangan sampai musibah yang menimpa membuat kita jatuh dalam musibah lain, tergelincirnya kita dalam komentar yang salah.
Sebelum saya lanjutkan, saya ucapkan
kepada keluarga Ibu Ruyati -semoga Allah merahmatinya- agar bersabar
atas segala musibah. Sebagai umat muslim, tentu meyakini bahwa semua
musibah mengandung hikmah, apa yang terjadi semoga menjadi penebus dosa.
Semoga Allah mengganti musibah kalian dengan pahala dan yang lebih
baik.
Kembali kepada ujian di balik kasus, di
antara ujian yang terberat bagi muslimin dari kasus itu adalah ujian
keimanan terhadap ajaran Islam. Tak sedikit dari kasus ini muncul
komentar, atau minimalnya perasaan dan anggapan negatif terhadap hukum
Islam, qishash. Dari kasus tersebut bisa jadi seorang muslim
justru menyalahkan hukumnya, tanpa menengok kepada alur peristiwa dan
hukum. Ini yang justru sangat dikhawatirkan, oleh karenanya saya
menganggap ini ujian yang sangat berat bagi muslimin, karena ini bisa
menggoyah keimanan dan keislamannya. Kembali, sebabnya adalah tiadanya
informasi yang cukup tentang kejadian yang sesungguhnya dan tentang apa
itu hukum qishash dalam Islam.
Kita tutup sejenak lembaran ibu Ruyati,
karena itu sifatnya kasuistik yang untuk mempelajarinya perlu studi
kasus. Kita akan coba buka lembaran ensiklopedi fikih Islam, untuk
mengetahui apa itu qishash.
Ternyata qishash bukan hanya ada
dalam al-Quran bahkan dahulu dalam kitab Taurat pun telah ada
syariatnya, saat kitab Taurat masih murni. Allah berfirman yang artinya,
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun)
ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim.” [Q.S. al-Maidah:45]
Namun demikian, syariat qishash
dalam hal pembunuhan, nyawa dibayar nyawa, tidak sesederhana yang
dibayangkan, bahkan hal itu tidak terlepas dari segala aturan yang
terkait dengannya. Sebagai contohnya, diantara beberapa syarat seseorang
dibalas bunuh, misalnya si pembunuh adalah mukallaf (dibebani hukum, red.), dan si pembunuh membunuhnya dengan suka rela, tidak dipaksa. Dengan pembunuhan ‘qotlul amd’ (sengaja melakukan pembunuhan dengan alat yang mematikan).
Dan di antara syarat meminta qishash
adalah bahwa seluruh wali korban sepakat untuk membalas bunuh, bila ada
salah satu saja yang memaafkan, maka gugurlah permintaan qishash.
Untuk diketahui pula bahwa balas bunuh
bukanlah satu-satunya pilihan bagi keluarga korban, tetapi ada dua
pilahan, Nabi memberikan dua opsi, “Barangsiapa yang salah satu keluarganya terbunuh maka dia di antara dua pilihan, diberi diyat (tebusan) atau di-qishash.” [Sahih, H.R. al-Bukhari]
Bahkan, dalam Islam sangat dianjurkan
bagi para wali korban untuk memaafkan, artinya tidak membalas bunuh tapi
membayar diyat. Dan lebih baik lagi jika para wali korban tersebut
memaafkan tanpa bayaran sama sekali. Lihatlah firman Allah yang artinya,
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,“ [Q.S. al-Baqarah:178]. Lihatlah penggunaan kata saudara, apa rahasia di balik itu?
Asy Syaikh as-Sa’dy dalam tafsirnya
mengatakan, “Terkandung pada ayat tersebut anjuran untuk berbelaskasih
dan memaafkan, mengganti qishash dengan diyat, dan lebih bagus lagi
memaafkan tanpa minta diyat”.
Bahkan, Rasulullah sendiri senantiasa menyarankan para wali korban untuk memberikan maaf. Shahabat Anas bin Malik menceritakan, “Tidaklah didatangkan kepada Rasulullah satu urusan qishash pun kecuali beliau menyarankan untuk dimaafkan”. [Sahih, HR Ibnu Majah. Lihat Sahih Sunan]
Bahkan Rasulullah pernah memberikan harta
yang sangat banyak kepada orang-orang Laits agar mereka mau memaafkan,
dan tidak menuntut qishash.
Namun, hal ini tentu tanpa
mengesampingkan hak keluarga korban. Kita tidak bisa hanya memandang
orang yang hendak dieksekusi. Tentu hak korban juga harus diperhatikan,
mereka orang yang telah dirugikan dalam hal ini, salah satu anggota
keluarga mereka telah wafat dengan cara dibunuh, dan bukankah membunuh
itu dosa yang sangat besar? (lihat Q.S. an-Nisa’:93). Bayangkan kalau
itu menimpa salah satu kita -semoga tidak terjadi-. Andai mereka
memaafkan, itu keutamaan yang sangat tinggi nilainya, tapi kalau mereka
tetap menuntuk hak, itu hak mereka, bukan sikap yang adil kalau hak
mereka dihambat.
Pihak pemerintah yang sebagai hakim,
mereka adalah pengayom bagi kedua belah pihak yang bertikai, bukan sikap
adil kalau mereka langsung memutuskan pancung, atau memutuskan maaf.
Dia harus melihat kejadian secara fakta yang nyata lalu menghukuminya
tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun.
Seandainya pun pihak yang akan di-qishash itu adalah keluarga hakim sendiri, ia harus tetap berbuat adil, dahulu Nabi pernah mengatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri tentu akan aku potong tangannya.”
Saat itu telah terjadi pencurian oleh salah seorang wanita bangsawan
dari kabilah Bani Makhzum, ia telah diproses secara hukum dan ia mesti
mendapatkan hukuman potong tangan. Keluarga wanita tersebut merasa
keberatan. Bagaimana mungkin seorang wanita dari keluarga bangsawan
harus dipotong tangannya karena mencuri. Maka mereka meminta sahabat
Usamah bin Zaid, sebagai orang yang sangat disayangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan maaf, dengan kata lain, mengurungkan hukum potong tangan tersebut. Beliau pun marah dan mengucapkan, “Yang
menghancurkan umat sebelum kalian adalah bila yang mencuri di antara
mereka adalah bangsawan, mereka biarkan (kebal hukum), dan bila yang
mencuri orang lemah mereka tegakkan hukum padanya” lalu mengucapkan
ucapan tersebut di atas. Wanita itu pun akhirnya mengambil pelajaran
dari pemotongan tangan tersebut dan semakin memperbaiki ketaatannya.
[Sahih HR an Nasai. Lihat Sahih Sunan Nasa’i]
Dalam kasus Ruyati, memang benar apa yang
dikatakan duta besar RI bahwa Raja pun tidak bisa campurtangan bila
hukum telah diputuskan dan keluarga korban tetap tidak mau memaafkan. (http://fokus.vivanews.com/news/read/228792-raja-saudi-tidak-bisa-ikut-campur)
Namun apa yang bisa dilakukan Raja,
Hakim, atau pihak RI, mereka hanya bisa menganjurkan keluarga korban
untuk menempuh jalan damai, ishlah, saling memafkan, minimalnya
berpindah kepada diyat, walaupun bernilai besar, dan lebih baik lagi
gratis. Seperti yang sering dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihhi wa sallam.
Untuk diketahui pula, seandainya hakim memutuskan bahwa pembunuhan ini qotlul ‘amd
(pembunuhan sengaja, pembunuhan dengan alat yang mematikan). Bisa jadi
si pembunuh sebenarnya tidak berniat membunuh, ia hanya ingin melukai,
tapi ternyata justru kematian yang terjadi. Dalam kondisi seperti ini,
hakim tetap menghukumi secara fakta lapangan. Adapun ucapan si pembunuh
bahwa ia tidak bermaksud membunuh, hakim tidak tahu sejauh mana
kejujurannya, maka kata-kata tersebut tidak merubah hukum. Ada
kemungkinan ia jujur dalam pengakuan tersebut, tapi hanya Allah yang
mengetahui. Atas dasar itu, hukum hakim hanya sebatas hukum dunia, dan
hakim hanya dapat menganjurkan wali korban untuk memaafkan. Jika si
pembunuh telah mengaku bahwa ia tidak punya niatan untuk membunuhnya,
kalau ia jujur dan tetap dilaksanakan qishash, maka wali korban yang meng-qishash dianggap telah melakukan pembunuhan terhadapnya.
Abu Hurairah pernah bercerita, telah terjadi pembunuhan terhadap seseorang di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka perkara tersebut diajukan kepada beliau. Setelah proses, Nabi
menyerahkan pembunuh tersebut kepada wali korban untuk dibalas bunuh.
Ternyata si pembunuh mengatakan, “Wahai Rasulullah, demi Allah, saya tidak bermaksud membunuhnya.” Rasulullah pun mengatakan kepada keluarga korban, ”Kalau dia jujur, dan kamu tetap membunuhnya maka kamu masuk neraka.” Akhirnya keluarga korban melepaskannya. [Sahih, HR Abu Dawud dan yang lain. Lihat Sahih Sunan]
Hukum qishash, dalam Islam bukan
hanya sebagai hukuman, ada sisi lain yang jarang dipahami oleh banyak
orang, yaitu bahwa hukum tersebut juga berfungsi sebagai kaffarah, penutup dosa. Sehingga, hukuman di akhirat bisa terbebaskan dengan di-qishash ini. Dan tentu, hukuman di dunia jauh-jauh lebih ringan ketimbang hukum di akhirat.
Ibnul Qoyyim
menjelaskan, “Yang benar, pembunuhan itu terkait dengan 3 hak: hak
Allah, hak yang terbunuh, dan hak keluarganya. Maka jika si pembunuh
menyerahkan dirinya dengan suka rela kepada wali korban, karena menyesal
dan takut kepada Allah, lalu bertaubat dengan taubat yang benar, maka
hak Allah gugur dengan taubatnya. Hak keluarga gugur dengan qishash,
damai, atau pemberian maaf. Tinggal hak orang yang terbunuh, maka Allah
akan memberikan gantinya untuk hamba-Nya yang bertaubat tersebut dan
Allah akan memperbaiki hubungan antara keduanya.”
Dengan penjelasan di atas, seandainya ibu Ruyati salah, semoga ia benar-benar taubat dengan taubatan nashuha, sehingga dosanya terampuni, dan diterima di sisi-Nya. Amin…
Untuk itu, jangan sampai kasus semacam
ini memengaruhi keimanan kita terhadap Islam, banyak pihak ingin
memanfaatkannya untuk menyudutkan pihak tertentu, dengan berbagai gosip
yang tak bertanggung jawab. Yang cukup aneh dan lucu dalam kasus ini,
demi menyudutkan orang Arab, ada yang menganggap bahwa ibu Ruyati
membunuh karena membela diri dari upaya pemerkosaan majikannya. Padahal
yang dibunuhnya adalah seorang nenek-nenek tua, dan pada dasarnya
majikannya adalah keluaga yang baik. Sebagaimana diakui teman satu
majikan Ibu Ruyati yang bernama Suwarni, hanya saja si nenek malang
-semoga Allah merahmatinya dan memafkannya- suka marah-marah. Ibu Ruyati
pun mengakui sebab pembunuhannya adalah rasa kesal
akibat sering dimarahi oleh ibu majikan dan kecewa karena majikan tidak
mau memulangkan. Ruyati juga menyatakan berniat untuk melarikan diri
namun pintu rumah selalu terkunci sehingga tidak dapat keluar dari rumah
majikan. Ruyati mengaku tidak pernah disiksa oleh majikannya. (http://m.inilah.com/read/detail/1620212/inilah-kronologis-proses-hukum-tki-ruyati/)
Seandainya pembunuhnya bukan ibu Ruyati,
tapi orang Arab sendiri, tentu akan dihukumi dengan hukuman yang sama.
Dan faktanya, sudah banyak warga Saudi Arabia yang mati dalam hukum
pancung. Memang orang jahat di mana-mana ada, dan kejahatan tetap
kejahatan di manapun dan oleh siapapun.
Yang paling berbahaya, ketika kasus ini
dipakai untuk menyudutkan Islam. Padahal bila dilihat dengan jujur dan
benar, bahwa dalam hal ini syariat Islam lah yang paling adil dan paling
menjaga perasaan semua pihak, paling bijak dalam memutuskan. Kita
selaku seorang muslim yang hakiki bukan muslim liberal (orang yang
mengaku muslim tapi jauh dari Islam), tentu mengimani firmanNya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [Q.S. al-Baqoroh:179].
Imam Asy Syinqithi dalam tafsirnya menjelaskan, “Di antara pentunjuk Al-Quran yang lebih tepat dan adil adalah qishash,
karena bila seseorang marah kemudian bertekad membunuh orang lain, lalu
ingat bahwa bila ia membunuh ia akan dibunuh dengan sebab itu, ia akan
takut dari akibat perbuatannya sehingga ia mengurungkan niatnya.
Sehingga, tetap hiduplah orang yang akan ia bunuh dan dia pun tetap
hidup karena tidak membunuh sehingga tidak dibunuh karena qishash. Dengan dibunuhnya seorang pembunuh, akan mengakibatkan hidupnya banyak orang yang tidak diketahui jumlahnya kecuali oleh Allah. Hal itu, sebagaimana kami sebutkan, sesuai dengan firman Allah (artinya), “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.[Q.S. Al Baqarah:179].
Tidak diragukan bahwa ini adalah jalan
yang paling adil dan paling lurus. Oleh karenanya, telah disaksikan di
penjuru dunia, baik dahulu maupun sekarang, sedikitnya jumlah pembunuhan
pada negeri-negeri yang berhukum dengan hukum Allah. Karena, qishash adalah peringatan keras terhadap tindak pembunuhan seperti yang Allah sebutkan dalam ayat yang tersebut tadi.
Dan apa yang disebutkan oleh orang-orang anti Islam bahwa qishash
tidak bijaksana karena menyebabkan berkurangnya jumlah komunitas
masyarakat -yakni membunuh yang kedua setelah matinya yang pertama-,
bahwa semestinya dihukum dengan dipenjara, dan bisa jadi ia beranak di
balik terali besi sehingga menambah jumlah komunitas masyarakat, ini
semua adalah ucapan yang tidak ada nilainya, kosong dari hikmah atau
kebijaksanaan. Karena penjara tidak membuatnya jera dari pembunuhan
(Apalagi jaman sekarang yang semuanya bisa ditebus dengan uang,
penerj.), dan bila hukuman itu tidak membuat jera maka orang-orang
rendahan itu akan banyak melakukan pembunuhan sehingga akan bertambah
banyak pembunuhan dan komunitas masyarakat akan berkurang berkali
lipat.” [dikutip dari Adhwa`ul Bayan, hal:427-428, karya Syaikh Amin Asy-Syinqithi].
Oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.