Saturday, October 8, 2011

Menggunakan media untuk gemakan suara perempuan Saudi

Net Media



Jeddah, Arab Saudi – Media sosial di Arab Saudi ramai dengan luapan rasa girang atas keputusan Raja Abdullah baru-baru ini untuk mengangkat perempuan ke Majelis Syura dan memperbolehkan perempuan memilih dan dipilih pada pemilu daerah 2015 mendatang. Hak untuk memilih dan menjabat di jawatan publik memang telah menjadi tuntutan teratas para perempuan Saudi selama satu dasawarsa terakhir, dan telah secara luas dibincangkan dalam media sosial maupun tradisional.
Jika Anda masuk ke dunia media sosial dan menelusuri para perempuan Saudi, Anda akan melihat bahwa mereka tengah mendiskusikan politik, ekonomi, agama, sastra, acara televisi dan topik-topik beragam lainnya – tidak saja yang terkait perempuan. Bahkan, mereka tengah membahas masalah-masalah yang mungkin Anda kira tidak mereka sadari dengan menonton televisi atau membaca koran Saudi, di mana pendapat para perempuan umumnya diabaikan.
Ini bermula beberapa tahun lalu ketika para penulis perempuan, yang frustrasi dengan sensor dan pengetatan dalam media tradisional, menciptakan blog dan laman web mereka sendiri untuk mengungkapkan pendapat mereka secara lebih bebas.
Dengan munculnya Facebook, Twitter, YouTube dan media sosial lainnya, bertukar pikiran dengan cepat, meningkatkan kesadaran dan melancarkan kampanye untuk menuntut pengakuan atas hak-hak perempuan pun menjadi lebih mudah.
Kampanye “Women2Drive” di Facebook dan Twitter, serta video yang diposting di YouTube oleh aktivis Manal Al-Sharif beberapa waktu lalu, di mana ia tengah mengemudi mobil dan menyerukan agar perempuan Saudi diberi izin untuk mengemudi, mendapatkan perhatian luas dan menghidupkan momentum di seputar isu yang telah hilang dari pantauan media untuk beberapa lama.
Para penulis dan aktivis perempuan Saudi telah membuat grup-grup di Yahoo dan Google untuk berbagi artikel atau berita, bertukar gagasan, mengedarkan petisi dan menentukan strategi untuk menangani masalah-masalah penting. Grup-grup ini hanya terbuka bagi anggota dan karenanya penggunanya tidak akan mendapatkan sorotan yang tidak diinginkan seperti halnya kalau menggunakan situs media sosial umum.
Media baru punya keuntungan lain: media baru memaksa media tradisional mengangkat isu-isu yang mungkin enggan mereka ulas sebelumnya – yakni isu-isu perempuan.
Karena mereka semakin resah dengan tingkat oplah dan pengaruh mereka, media tradisional pun berada di bawah tekanan untuk mengikuti tuntutan masyarakat akan mimbar yang lebih bebas dan tegas. Semakin banyak media tradisional yang melirik media baru untuk menakar pendapat-pendapat dan menyoroti topik-topik yang penting bagi pembaca mereka.
Namun, media baru ada kekurangannya juga. Dalam ruang yang tidak terbatasi seperti itu, di mana semua informasi dan pendapat beredar, cukup mudah untuk menyebarkan rumor dan informasi keliru.
Kekurangan lainnya adalah bahwa kampanye di dunia maya belum tentu berhasil ataupun menjelma menjadi aksi di dunia nyata, seperti kita lihat dalam kampanye untuk meminta para perempuan Saudi mengemudi mobil pada 17 Juli lalu. Sedikit sekali perempuan Saudi yang mengindahkan seruan untuk mengemudi pada hari itu yang dimulai lewat media sosial. Perpaduan antara media dan kampanye penyadaran dalam media tradisional ataupun media baru, dan lobi-lobi ke lembaga dan aparat pemerintah, akan lebih efektif dalam melahirkan perubahan nyata yang bertahan lama.
Liputan media Barat tentang perempuan Saudi bak pedang bermata dua. Meski media Barat cenderung mencap dan superfisial dalam meliput para perempuan Saudi – terutama dengan meliput larangan mengemudi, jilbab dan segregasi jender – media Barat juga menarik perhatian internasional ke masalah-masalah perempuan, yang memberi tekanan pada para pejabat publik. Dinamika ini terlihat dalam beberapa kasus masyhur, seperti perempuan yang dipaksa cerai dari suaminya lantaran “ketidakcocokan leluhur” meskipun ia bahagia telah menikah dan punya dua anak. Ia dipenjara, dan kasus ini pun secara luas diliput media nasional dan internasional. Setelah dua tahun dipenjara, ia diberi pengampunan dari kerajaan dan dikembalikan ke suaminya.
Media-media Saudi telah menjadi kian berani dalam beberapa tahun ini, dengan mengangkat isu-isu kontroversial, termasuk isu-isu perempuan. Media lokal sering kali menjadi yang pertama kali mewartakan sebagian besar, kalau tidak semua, cerita yang dikutip oleh media internasional. Namun, tidak adanya perempuan dalam proses penentuan kebijakan dan posisi-posisi tinggi keredaksian membatasi suara mereka tentang bagaimana isu-isu perempuan diliput dan disajikan.
Akibatnya, blog dan media sosial tetap menjadi saluran paling populer di mana perempuan Saudi mengekspresikan diri mereka, dan menghindari sisa-sisa sensor di media Saudi dan cara-cara media Barat membingkai isu-isu itu. Kampanye daring yang mendapat dukungan baru-baru ini berfokus pada pencabutan keharusan memiliki wali dalam persoalan-persoalan kantor, bisnis dan personal perempuan – suatu isu yang dirasa banyak perempuan Saudi menjadi pokok diskriminasi dan ketidakadilan yang mereka hadapi.
Ini adalah sebuah awal. Tapi, agar mempunyai daya tarik di dunia nyata, kampanye daring ini perlu menjangkau media tradisional dan menghasilkan aksi nyata lewat masyarakat sipil yang aktif.
###
* Maha Akeel ialah seorang jurnalis dan penulis Saudi, serta pengarang buku Saudi Women in the Media.
Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 30 September 2011, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment